3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

**Bagian 14

Sekujur tubuh kami sudah disabuni. Kemudian sama - sama membilasnya dengan pancaran air hangat shower dari atas kepala kami. Pada saat inilah aku dan Tante Mayang berpelukan, seolah tak mau melepaskannya lagi. Pada saat itu pula untuk pertama kalinya kucium bibir Tante Mayang yang agak membuka. Lalu melumatnya sambil mendekap pinggangnya erat - erat, tanpa peduli lagi dengan air hangat yang memancar terus dari atas kepala kami.

Namun dekapanku mengendur ketika tanganku mulai merayap ke bawah perut Tante Mayang, sampai menemukan kemaluannya yang terasa licin, tak berbulu sehelai pun.

Tante Mayang malah memeluk leherku erat - erat, sambil menyedot lidahku yang terjulur. Lalu gantian kusedot lidahnya ke dalam mulutku, sementara jari - jari tanganku sudah menemukan celah kemaluan tanteku yang cantik itu.

Merasakan jemariku sudah “jauh” menyelundup ke dalam celah memeknya yang sangat menggiurkan, Tante Mayang cuma bisa memeluk leherku erat - erat sambil menciumi bibirku.

Bahkan pada suatu saat ia membisikiku, “Kalau udah dibeginiin sih gak mungkin bisa dihindari lagi Sam…”

Perkembangan selanjutnya pun begitu cepat terjadi. Bahwa setelah menghanduki tubuh, kami bergegas meninggalkan kamar mandi dalam keadaan sama - sama telanjang. Lalu bergumul hangat di atas bed tanpa ada jarak lagi antara keponakan dengan tantenya.

Dan manakala lidahku asyik menjilati leher Tante Mayang, kulihat sepasang mata indahnya terpejam - pejam. Dengan suhu badan mulai menghangat. Terlebih lagi setelah aku melorot ke bawah, dengan mulut berhadapan dengan memeknya yang sangat menggiurkan, sepasang paha putih mulusnya mengangkang lebar. Seolah mengucapkan selamat datang kepada bibir dan lidah nakalku ini.

Mulutku pun langsung menyergap memek tanteku yang bibir luarnya (labia mayora) sangat tebal ini. Menjilati bagian dalamnya yang sudah terbuka dengan sendirinya akibat merenggang lebarnya sepasang paha putih mulusnya.

Tante Mayang mengelus - elus rambutku yang berada di bawah perutnya. Terkadang ia menggeliat dan mnendesah, “Aaaaaah… aaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaah… Sam… sudah lebih dari setahun aku tak pernah mendapatkan sentuhan lelaki… aaaaah… Saaaam…”

Aku percaya pada pengakuan Tante Mayang itu. Karena memeknya langsung basah setelah kujilati beberapa menit saja. Dan tanpa banyak basa - basi lagi kuselundupkan batang kenikmatanku ke dalam liang memeknya yang sudah merekah dan menunggu kejantananku ini. Blessss… melesak masuk lebih dari separohnya.

Sambil menghempaskan dadaku ke atas sepasang toketnya yang berukuran menengah itu, permainan surgawi pun dimulai. Tongkat pusakaku mulai bermaju mundur laksana gerakan pompa manual. Menyodok - nyodok liang memek tanteku yang cantik ini.

Tante Mayang pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu menciumi bibirku dengan lahapnya. Sementara tangan kananku masih bisa memegang toket kirinya yang terasa masih cukup bagus dan layak remas ini. Masih kenyal dan tidak kendor.

Dan ketika ciuman - ciuman Tante Mayang terhenti, aku pun menciumi lehernya, disertai dengan celucupan - celucupan bergairah. Lalu aku mulai menjilati leher mulusnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil.

Tak ayal lagi Tante Mayang mulai mendesah - desah sambil mengusap - usap punggungku. “Saaam… ooooh Saaaam… oooo… ooooooh Saaam… entotan kontol gedemu enak banget Saaam… ooooh… oooohhhh… Saaaam… Saaaam… ooooh… ooooh… luar biasa enaknya Saaam… entot terus sepuasmu Saaam…

entooot teruuussss… iyaa… iyaaaa… entoootttttt… entooooottttttt… iyaaaa… iyaaaa… Saaaam… Saaaam… entooottttt… entoooottt… luar biasaaaaaaa… enaaaaaaakkk… entoooootttttttt… iyaaaaaa… entooootttttt… oooooh… Saaaam… aku pasti ketagihan nih Saaam…

Mendengar rintihan - rintihan histeris itu, aku pun jadi semakin bernafsu untuk memperlihatkan kejantananku yang sesungguhnya. Sambil menjilati ketiaknya, kugenjot terus batang kemaluanku seolah ingin menjebol dasar liang memek Tante Mayang. Karena moncong penisku berkali - kali “menabrak” dasar liang memek Tante Mayang.

Mungkin hal itulah yang membuat Tante Mayang merem - melek dan merintih - rintih histeris.

Bahkan baru belasan menit aku menyetubuhinya, Tante Mayang berkelojotan dengan nafas yang tak beratruan. Lalu sekujur tubuhnya mengejang tegang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.

Aku mengerti bahwa Tante Mayang sedang menikmati orgasmenya, yang begitu cepat terjadi. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak menikmatinya. Seperti plesetan lagu Jawa.

“Suwe ora ngono… ngono ora suwe… “(lama tidak begituan, begituan tidak lama).

Aku pun merendam penisku di dalam liang memek Tante Mayang yang sudah kebanjiran lendir libidonya. Sambil menunggu fisik Tante Mayang pulih dan siap dientot lagi.

“Sam… terima kasih ya,” ucap Tante Mayang sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Baru sekali ini aku merasakan bersetubuh yang luar biasa nikmatnya…”

Kutatap wajah Tante Mayang yang kearab - araban itu. Hidung mancung, bibir agak tebal sensual, mata bundar dan bening, wajah oval dan… senyumnya manis sekali. Dihiasi dua lesung pipit di pipinya.

Di dalam hati aku berkata, aku sudah “menggarap” memek 5 orang tanteku dari pihak ibuku almarhumah. Tante Kinanti, Tante Mayang, Tante Inon, Tante Isye dan Tante Rahmi.

Tinggal Tante Annie, Tante Della dan Tante Dini yang belum kuapa - apain. Lalu apakah mereka juga akan kulibas semua? Entahlah. Tapi kalau merka mau, why not?

Soalnya yang aku rasakan, memek tante - tanteku itu enak - enak semua…!

Tante Mayang menepuk pipiku, “Kamu belum ngecrot?” tanyanya.

“Belum,” sahutku.

“Ya ayo entotin lagi… jangan direndem terus. Nanti keburu jadi es lilin. Hihihiii…”

“Barusan kan memberi kesempatan buat Tante sampai bergairah lagi. Sekarang sudah siap dilanjutkan ya?”

“Iya Sayang. Kontolmu luar biasa enaknya… jauh lebih enak daripada kontol suamiku yang sebentar lagi akan menjadi mantan.”

Aku agak terhenyak mendengar istilah “mantan” itu. Tapi aku tak terlalu memusingkannya. Yang penting penisku harus dientotkan lagi, untuk menikmati enaknya memek tanteku yang wajahnya kearab - araban ini.

Lalu penisku mulai memompa liang memek tanteku yang agak becek ini. Maklum dia baru habis orgasme.

Disambut dengan goyangan pinggul Tante Mayang yang memutar - mutar dan meliuk - liuk, diiringi oleh rintihan dengan rengekan histerisnya, “Saaaam… memang kontolmu enak sekali Saaaam… powerful pula… oooooh… oooooh… ayo entot terus seedan mungkin Saaam… entooottt… entooottttt teruussss…

Kali ini aku ingin secepatnya ejakulasi, karena badanku sudah agak letih. Sukur - sukur kalau bisa “ngecrot bareng” alias membarengkan ejakulasiku dengan orgasme kedua Tante Mayang.

Dan aku berhasil. Ketika Tante Mayang sedang terkejang - kewjang di orgasme keduanya, moncong penisku pun tengah menyemprot -nyemprotkan cairan kental hangatnjya di dalam liang memek Tante Mayang yang aduhai…!

Creeeet… cret… croooooooottttttt… cretcrett… crooooooottttttt… crooooooootttttttt…!

Disusul dengan dengus nafasku “Uuuughhhhhh…”

Lalu aku terkjulai lemas di atas perut Tante Mayang yang sudah terkapar jugadalam himpitanku.

“Barusan dibarengin ya?” tanyanya.

“Iya Tante. Biar berkesan nikmatnya,” sahutku sambil mencabut batang kemaluanku dari liang memek tanteku.

“Mudah - mudahan jadi anak,” kata tante Mayang sambil menutupkan tangannya ke kemaluannya. mungkin untuk menahan agar spermaku jangan meleleh ke luar.

“Kalau jadi anak bakal diakukan sebagai anak suami Tante?”

“Nggak. Aku mau minta cerai kok darinya. Supaya bisa konsen bekerja di perusahaanmu.”

Besoknya aku dan Tante Mayang mengurus masalah dua pabrik yang mau dijual oleh pihak bank itu. Ternyata kedua pabrik itu masih sangat bagus dan kokoh. Seolah pabrik yang baru selesai dibangun saja layaknya. Harganya pun sangat murah menurutku.

Maka aku pun langsung setuju dengan harga yang diminta oleh pihak bank. Karena jumlah dana yang harus kubayar cukup besar nominalnya, maka aku melakukan RTGS

(Real Time Gross Settlement) di depan notaris bank yang sudah dihadirkan.

Untungnya saat itu aku melakukan transaksi dengan pihak bank. Sehingga dalam tempo singkat pihak bank menyatakan bahwa dana RTGS dariku sudah masuk ke pihak bank yang menjual kedua pabrik dengan harga lelang itu.

Dalam perjalanan pulang dari bank ke hotelku kembali, aku berkata kepada Tante Mayang, “Mudah saja kalau urusan denganku kan? Sekarang Tante haruas siap -siap untuk menjadi direktur cabang yang kelima itu.”

“APakah pabrik - pabrik itu akan langsung digunakan dalam keadaan apa adanya begitu?” tanya tante Mayang.

“Tentu tidak. Aku kan punya direktur utama, Renata namanya. Dia itu menjadi atasan direktur - direktur cabang. Sedangkan direktur utama bertanggung jawab padaku. Nanti dirut itulah yang akan membenahi pabrik dan memasang segala mesin yang dibutuhkan. Pekerjaan itu mungkin butuh waktu selama dua bulan.

“Siap Big Boss…” ucap Tante Mayang yang dilanjutkan dengan kecupan mesranya di pipi kiriku.

“Sekarang kita cari makan dulu yok. Mau makan di restoran seafood yang kemaren lagi?” tanyaku.

“Jangan di situ lagi ah. Sebenarnya aku alergi sama udang dan kepiting. Ikan tongkol juga selalu kuhindari. Cari rumah makan lain aja deh.”

“Oke Beib…” sahutku sambil menggelitik pinggang Tante Mayang.

“Ulangi ucapan barusan,” ucapnya.

Kujawab dengan bisikan, “Okay my beloved aunty yang memeknya sangat enaaaak…”

Tante Mayang ketawa cekikikan.

Kutepuk bahu kiri Jalal sambil berkata, “Steak yang paling enak di mana Lal?”

“Siap…! Di jalan Darmo Permai Selatan, Big Boss,” sahut Jalal.

“Ya udah ke sana sekarang,” ucapku.

“Siap Big Boss… !”

Dua hari kemudian kami meninggalkan Surabaya, kembali ke kota kami lagi.

Tante Mayang tampak bahagia sekali saat itu. Karena selain akan menjabat direktur cabang kelima di Surabaya, ternyata dia pun mendapatkan fee dari pihak bank yang cukup banyak. Karena Tante Mayang dianggap sukses sebagai pihak arranger sampai terjadinya transaksi antara aku dengan pihak bank di Surabaya itu.

Hari demi hari pun berputar secara pasti.

Sampai pada suatu hari…

Aku terheran - heran ketika bagian security mengantarkan seorang wanita muda (setelah mendapat izin dariku lewat interphone), yang sama sekali belum kukenal. Apakah dia mau menyampaikan masalah bisnis atau apa?

Terlebih lagi setelah dia menjabat tanganku sambil menyebutkan namanya, “Aida…”

“Sammy… maaf ya apakah kita pernah berkenalan sebelumnya?” tanyaku.

“Aku istri paman Sam yang bernama Faisal.”

“Haa? Ini istri Oom Faisal?” aku masih dalam suasana kaget. Lalu kuajak wanita bernama Aida itu duduk di ruang tamu.

“Waktu reunian aku gak bisa hadir karena sedang kurang sehat,” ucap wanita itu yang pasti harus kupanggil Tante, karena dia istri Oom Faisal. Dan Oom Faisal itu satu - satunya adik almarhumah ibuku yang laki -laki.

“Pantesan… mmm… berarti kita baru kenalan sekarang ya?” kataku setelah wanita muda itu duduk berhadapan denganku di ruang tamu.

“Iya.”

“Berarti aku harus manggil Tante ya? Mmm… Tante Aida… “gumamku.

“Terserah Sam lah. Yang jelas aku datang ini karena ada sesuatu yang sangat penting mengenai Oom Faisal, Sam.”

“Ada apa dengan Oom Faisal?”

“Pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Dengan sendirinya dia jadi nganggur, tanpa uang PHK pula. Karena pemilik pabriknya kabur ke negaranya.”

“Pemilik pabriknya orang asing?”

“Iya. Pabriknya sudah disita oleh bank. Lalu Oom Faisal kerjanya cuma mancing terus. Katanya sih biar jangan stress.”

“Mancing?!” seruku serasa diingatkan pada sesuatu.

“Iya… mancing ikan. Mending kalau ada hasilnya. Tiap pulang cuma bawa ikan sebesar telapak tangan satu - dua ekor.”

“Mancing ikan di kolam pemancingan umum maksud Tante?”

“Iya.”

“Setiap kali mancxing harus bayar kan?”

“Tentu aja. Mana sedang nganggur, waktunya dihabiskan buat mancing dan mancing terus. Bukannya nyari kerja ke perusahaan lain.”

“Jadi maksud utama Tante datang ke sini hanya untuk bersilaturahmi atau ada tujuan lain?”

“Mau minta tolong… tempatkanlah dia di perusahaan Sam.”

“Begini Tante. Kebetulan aku punya kolam pemancingan yang belum dibuka untuk umum. Di kolam pemancingan itu ada puluhan cottage, agar pemancing yang membawa istrinya bisa nginap di sana. Ada juga rumah makan untuk kebutuhan makan para pemancing atau keluarganya. Ikan hasil pancingan mereka bisa juga dimasak di rumah makan itu.

“Kolam pemancingannya di mana?”

“Agak jauh di luar kota. Sekitar empatpuluh kilometer lah jaraknya dari sini. Kalau Tante mau lihat kolam dan fasilitas yang ada di sana, sekarang juga bisa kuantarkan.”

“Oooh… bolehlah. Kalau sudah tau tempatnya, nanti aku akan mengajak dia ke sana. Dan menawarkan apakah dia mau mengelola kolam pemancingan itu atau tidak.”

“Iya. Begitu juga bagus. Ayo kita berangkat aja ke sana, mumpung hari belum siang benar,” kataku sambil berdiri.

Tante Aida pun berdiri dan mengikuti langkahku menuju tempat biasanya mobilku diparkir.

Beberapa saat kemudian Tante Aida sudah duduk di sebelah kiriku, di dalam mobil yang kukemudikan sendiri.

Sementara pikiranku melayang - layang tak menentu…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu