3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

**Bagian 20

Kuakui bahwa Sinta adalah cewek tercantik di antara semua koleksiku. Dan aku tak menduga kalau Ceu Inar yang sudah kujadikan manager restoran di resort dan pemancingan umum itu punya anak secantik dan semulus begini.

Tadinya aku mau membelainya dulu selama berhari - hari, baru kemudian akan kueksekusi setelah dia dimabuk cinta akibat belaian dan cumbuanku. Tapi SInta sendiri yang menginginkan kueksekusi, karena ia sendiri ingin membuktikan apakah dia masih perawan atau tidak.

Lalu, kucing mana yang kabur setelah dilempari ikan kesukaannya? Mungkin hanya kucing dungu yang pergi begitu saja meninggalkan ikan di depan matanya.

Dalam keadaan telanjang bulat yang mengejutkan, aku terkagum - kagum oleh kesempurnaan mahluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Terkagum - kagum menyaksikan bentuk tubuhnya yang tinggi semampai dan serba ideal. Sepasang toketnya berukuran sedang - sedang saja. Pinggangnya ramping, bokongnya lumayan gede namun tidak berlebihan.

Sementara kulitnya putih cemerlang dan sangat mulus, tiada noda setitip pun di tubuh mulus itu. Dan wajah SInta itu… cantik sekali. Dengan hidung mancung meruncing, dengan sepasang mata bening dan alis tebal tanpa diatur oleh pensil alis, dengan bulu mata yang lentik tanpa bulu mata palsu, dengan bibir tipis mungil yang manis sekali sewaktu menyunggingkan senyumnya.

O, aku bangga sekali telah berhasil menaklukkan hatinya. Bahkan kini dia sendiri yang minta dieksekusi untuk membuktikan keperawanannya.

Pada waktu aku menjilati kemaluannya, sambil mengintip ke bagian dalamnya, aku yakin bahwa memek Sinta masih perawan. Tapi tentu saja harus dengan pembuktian lain nanti.

Lalu kutanggalkan celana pendek dan bnaju kaus serba putihku. Begitu pula celana dalamku yang menyembunyikan kengacengan alat kejantananku.

Dan kini aku sudah mengarahkan agar Sinta menarik lututnya sampai menghimpit sepasang toket mulusnya. Sehingga memek Sinta menengadah ke atas, sementara aku berlutut sambil meletakkan moncong penisku di ambang mulut vagina Sinta yang tengadah ke atas itu. Lalu kudesakkan penisku sekuat tenaga ke arah liang memeknya yang sudah basah kuyup oleh air liurku itu.

Blesssssss… penisku berhasil menerobos liang vagina Sinta, meski baru sampai lehernya. Kudesakkan lagi penisku sekuatnya, sampai masuk setengahnya. Sementara Sinta memejamkan matanya.

Dalam keadaan tetap berlutut, aku pun mulai mengayun penisku perlahan - lahan. Lalu semuanya menjadi jelas. Bahwa aku penisku mulai ada garis - garis darah yang berasal dari liang memek Sinta. Makin lama makin banyak darahnya, seolah membalut penisku.

Pada saat itulah akku menghemnpaskan diri ke atas perut dan dada Sinta, sambil berkata, “Kamu masih perawan, Sayang…”

Itulah pertama kalinya kau mengucapkan kata sayang kepada Sinta. Karena dia memang layak untuk kusayangi dan kucintai…!

“Abang sudah membuktikannya?” tanya Sinta sambil melingkarkan lengannya di leherku.

“Sudah Sayaaaang… emwuaaaah… emwuaaaah…” sahutku yang diikuti dengan ciuman - ciuman mesraku di bibir sensual Sinta. Kemudian kulanjutkan ayunan penisku bermaju - mundur di dalam jepitan liang memek Sinta yang terasa sempit sekali.

Sinta pun bereaksi. Berawal dari dekapan eratnya di pingangku, mulutnya pun mulai ternganga - nganga, nafasnya tertahan - tahan dan diikuti dengan hembusannya yang tak beraturan… “Aaaaa… aaaa… aaaaah… aaaah… Baaang… aaa… aaah… Bang… aaaaa… aaaa… aaaaahhhh… ooo…

“Sakit?” tanyaku ketika entotanku masih berjalan lamban.

“Eng… enggak Bang… justru ini… eee… enak sekali Bang… ooooh… aku semakin cinta Abang… cinta sekali Bang… aku milik Abaaaang… Aku sudah gila Abang… oooo… oooo… oooohh… ini luar biasa enaknya… serasa melayang - layang saking enaknya Baaang… oooohhhh… ooooohhhhhhhhh…

Aku memang mulai mempercepat gerakan penisku, sambil menciumi bibir dan menjilati leher Sinta. Sementara tangan kiriku pun mulai beraksi, untuk meremas - remas toket kanan Sinta yang masih teramat kencang ini.

Sinta yang baru sekali ini merasakan bersetubuh, tampak sangat menikmatinya. Kedua tangannya terkadang meremas - remas kain seprai, terkadang meremas - remas bahuku. Manakala kucium bibirnya, ia pun menyambut dengan lumatan hangat.

Namun aku tidak mau menyiksa Sinta yang baru sekali ini disetubuhi sekaligus kehilangan jangat perawannya.

Aku mulai “mengintip” gejala - gejala kalau ia mau orgasme.

Maka ketika Sinta mulai berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku secepat mungkin. Dan ketika ia mengejang tegang, aku pun membenamkan penisku sedalam mungkin di liang memeknya. Kemudian kudesakkan penis ngacengku tanpa kugerakkan lagi.

Pada saat itulah Sinta seperti kerasukan. Nafasnya tertahan, matanya terbeliak lalu terpejam erat - erat. Disusul dengan lenguhan nafasnya, “Aaaaaah… Baaaaang… enak sekaliiiiiii…”

Kurasakan liang memeknya berkedut - kedut kencang. Pada saat itulah moncong penisku menembak - nembakkan cairan mani di dalam liang yang super sempit ini. Crottt… croooot… crot… crooooottttttttt… croootttt… croooottttttttt… crotcrot… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkulai lemas.

Setelah mencabut penisku dari liang memek Sinta, kulihat darah sebesar diameter telur ayam yang tergenang di bawah kemaluan Sinta. “Tuh… darah perawanmu, Sayang.”

SInta menjauhkan pantatnya dari genangan darah itu. Lalu buru - buru mengambil kertas tissue basah dari atas meja kecil dekat bed. Diseka - sekanya darah itu sampai bersih, tapi tidak benar - benar bersih. Masih ada noda samar - samar di kain seprai itu.

“Sekarang kamu gak perawan lagi,” ucapku sambil menciumi tengkuknya dari belakang.

“Iya… gak apa - apa. Karena yang mengambil keperawananku adalah orang yang kucintai,” sahut Sinta.

“Aku juga bangga kok bisa memilikimu, Sayang,” bisikku disusul dengan kecupan di pipinya, “Tapi selama tiga harian aku tak boleh menyetubuhimu dulu. Karena luka di dalam kemaluanmu haur benar - benar sembuh dulu.”

“Iya Bang. Aku percaya Abang akan melakukan yang terbaik untukku.”

“Sekarang minumlah pil anti hamil ini,” kataku sambil memberikan satu strip pil kontrasepsi pada Sinta, “Aku tak mau kamu hamil dulu. Karena masih banyak tugas yang harus kamu kerjakan. Nanti kalau kamu sudah benar - benar piawai, barulah kamu boleh hamil.”

“Iya Bang. Kalau bisa sih aku juga nggak mau hamil dulu.”

Ketika malam tiba, aku menyuruh Sinta istirahat saja di kamar. Tak usah ikut meeting dengan investor dari Macao itu.

“Istirahat aja di sini ya. Kali ini gak usah mendampingiku meeting dengan investor itu.”

“Iya Bang. Barusan juga setelah dibawa melangkah, terasa sakit juga memekku.”

“Iya, itu biasa. Dalam dua hari juga bakal sembuh lagi.”

Kemudian kukenakan pakaian resmiku, lengkap dengan jas dan dasi. Dan meninggalkan kamar sambil menjinjing tas kerjaku. Untuk melakukan meeting dengan investor dari Macao yang menginap di hotel lain.

Meetingku dengan Mrs. Alana berjalan lancar, berkat bantuan lelaki bernama Jack yang sigap menjadi penerjemahnya.

Jack itu lahir besar di Indonesia, tapi lalu pindah ke Macao dan akhirnya pindah kewarganegaraan. Karena itu dia fasih berbahasa Indonesia. Sedangkan Mrs. Alana hanya berbahasa Portugis dan Mandarin, bisa juga berbahasa Inggris sedikit - sedikit.

Ternyata Mrs. Alana yang berdarah campuran antara Portugis dan Chinese Macao itu dahulunya rekan bisnis almarhum mantan suami Merry. Maka aku pun tak segan - segan mengakui bahwa aku adalah suami Merry yang sekarang.

Mrs. Alana itu kutaksir berusia 40 tahunan. berperawakan tinggi semampai dan cantik wajahnya. Bahkan kunilai dia tampak anggun dengan kacamatanya, menggambarkan dirinya berasal dari keluarga elit.

Perundinganku dengan Mrs. Alana tidak menemui kesulitan. Terlebih setelah Merry meneleponnya, untuk menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa ke Jakarta, karena baru habis melahirkan. Setelah menerima call dari Merry, Mrs. Alana berkata dalam bahasa Inggris tertatih - tatih sambil menjabat tanganku, “You have daughter from Merry.

“Thank you Senhora…”

Mrs. Alana tampak senang mendengar istilah “senhora itu. Lalu bertanya, “Do you speak Portuguese?” (Apakah Anda bisa berbahasa Portugis?).

Kujawab, “No. I can’t speak Portuguese. It is more fluent in English “, sahutku*(Tidak. Saya tidak bisa berbahasa Portugis. Lebih lancar berbahasa Inggris)*

Kemudian Mrs. Alana menandatangani MOU*(Memorandum of Understanding)_sekaligus MOA*(Memorandum of Agreement)_. Sebagai tanda persetujuannya untuk mengalirkan dananya ke rekeningku secara bertahap, sesuai dengan kesepakatan dalam perundingan tadi.

Aku takkan menceritakan apa isi perundingan tadi, karena mungkin termasuk sesuatu yang harus dirahasiakan, mengingat nama perusahaanku akan dipakai untuk mengelola dananya yang luar biasa besarnya itu. Yang jelas, rencana usahanya halal semua. Dan memang sejauh ini aku berbisnis, selalu menghindari hal - hal yang melanggar hukum.

Aku pun menandatangani MOU dan MOA itu. Kemudian berjabatan tangan lagi.

Setelah pamitan, aku melangkah ke tempat mobilku diparkir. Belum lagi tiba di tempat parkiran, terdengar suara lelaki memanggilku, “Mr. Sam… tunggu sebentar… !”

Aku menoleh. Ternyata Jack yang memanggilku itu. Maka kuhentikan langkahku. “Ada yang ketinggalan?” tanyaku.

“No.. no… no… !” sahut Jack sambil mendekatkan mulutnya ke telingaku, “Ini tidak biasa terjadi Boss. Barusan Mrs. Alana membisiki saya. Dia tertarik oleh Boss dan ingin berkencan besok di hotelnya. Apakah Boss bersedia?”

“Sebentar Jack,” sahutku, “Mrs. Alana itu punya suami?”

“Tadinya punya. Tapi sejak dua tahun yang lalu mereka berpisah. Suaminya sudah kawin lagi di Eropa, sementara Mrs Alana masih melajang sampai sekarang.”

Aku berpikir sejenak. Kemudian menepuk bahu Jack sambil bertanya, “Besok jam berapa dan di mana?”

“Sekarang beliau masih letih sehabis terbang dari Macao ke Jakarta ini. Dia ingin besok pagi Boss datang ke hotel ini.”

“Ketemuannya di hotel ini juga?” tanyaku.

“Iya di hotel ini saja Boss. Mrs. Alana kan menginap di sini.”

“Oke,” kataku, Besok jam sembilan pagi aku akan merapat ke hotel ini.”

“Terima kasih Boss.”

Setelah Jack berlalu, aku menghampiri mobilku. Lalu masuk ke belakang setir sambil menyalakan mesinnya. Sebelum menggerakkan mobil, aku menyempatkan diri menelepon Merry.

“Hallo Pangeranku… gimana hasil perundingannya? Sukses?”

“Sukses Sayang. Tapi uangnya akan ditransfer secara bertahap ke rekening perusahaanku. Gak apa-apa?”

“Gak apa - apa. Itu kan rejeki Sam. Aturlah duitnya sebaik dan seefisien mungkin. Aku sendiri sudah gak membutuhkan financial untuk modal lagi. Makanya kuminta Sam yang menemuinya. Kalau sukses, berarti itu sukses Sam. Aku ikutan happy aja dengernya.”

“Jadi Merry sendiri takkan memakai duitnya?”

“Kan udah bilang barusan. Aku gak butuh duit buat modal lagi. Mikirin perusahaan yang segitu banyaknya aja udah pusing. “Terima kasih ya Bidadariku Sayang…! Kamu luar biasa baiknyha padaku. Ohya bagaimana keadaan Tami sehat - sehat aja kan?“

“Sehat. Neteknya luar biasa lahap. Kalau gak dikasih, marah dia. Hihihi…”

“Biasanya kan aku yang netek… sekarang buat putriku yang jelita seperti ibunya itu…”

Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Biasa, obrolan suami - istri seolah takkan ada putusnya.

Lalu kugerakkan mobilku ke luar dari area parkiran, sambil berkata di dalam hati… lagi - lagi perempuan…! Apakah aku sedemikian istimewanya di mata kaum hawa, sehingga banyak perempuan yang kasmaran olehku?

Dan kini… Mrs. Alana kasmaran pula olehku. Dia dalah wanita konglomerat kedua yang tergoda olehku, setelah Merry.

Sebelum menuju hotel tempatku menginap, aku mampir dulu di rumah makan langgananku untuk membeli dua porsi mie goreng kesukaanku.

Sinta tampak senang sekali melihatku pulang sambil membawakan dua bungkus mie goreng, yang ternyata dia pun menyukainya. Masih panas pula.

Mie goreng itu disertai baso berbentuk segi empat, ada semur kulit, jamur kancing dan udang besar - besar pula. Mie goreng seperti ini belum pernah kutemukan di kotaku.

“Bagaimana meetingnya Bang? Sukses?” tanya Sinta setelah menghabiskan mie gorengnya.

“Sangat sukses. Tapi besok pagi aku harus ketemuan lagi dengan mereka, untuk mematangkan rencana kerjasamanya,” sahutku… lagi - lagi mulutku melontarkan kebohongan. Kapan aku bisa jujur pada perempuan - perempuan yang sudah menjadi milikku itu?

Setelah sama - sama merebahkan diri di atas bed, gairahku bangkit lagi. Tapi aku menahannya. Aku harus menjaga staminaku untuk “perjuangan” besok pagi…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu