3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Aku dan Mama disambut oleh Tante Fenti yang mengenakan kimono putih polos, tampak sederhana tapi menimbulkan “sesuatu” di hatiku, karena aku sudah tahu acara apa yang akan terjadi sebentar lagi di rumah megah ini.

Rendi sedang berjabatan tangan dengan Mama disambung dengan cipika-cipiki.

Dan yang membuatku agak kaget, Tante Fenti mencium pipi kanan dan kiriku, disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku…!

Diikuti dengan bisikan pula, “Makin lama kamu makin ganteng aja Sam.”

Aku cuma tersenyum canggung. Tapi aku yakin dalam tempo singkat saja aku akan bisa beradaptasi dengan suasana unik ini.

Sementara itu Mama tampak asyik duduk berdampingan dengan Rendi, dengan sikap yang begitu mesra pula. Jelas aku cemburu melihatnya.

Tapi aku menindas perasaan cemburu ini dengan memperlakukan Tante Fenti dengan hal yang sama seperti Rendi kepada Mama. Kulingkarkan lenganku di pinggang Tante Fenti yang duduk di sebelah kiriku, sementara Tante Fenti merapatkan pipinya ke pipiku.

“Ren, suguhkan wine yang baru datang kemaren itu. Biar suasananya lebih mencair,” kata Tante Fenti.

Rendi pun bangkit dan masuk ke dalam.

“Ohya… kamar Rendi di atas,” kata Tante Fenti kepada Mama, “Jadi nanti naik aja ke atas.”

“Dan Sam masuk ke kamarmu?” tanya Mama.

“Ya,” sahut Tante Fenti sambil tersenyum.

Tak lama kemudian Rendi muncul sambil membawa sebotol wine dan empat buah gelas kecil. Kemudian Rendi sendiri yang menuangkan wine itu ke semua gelas yang dibawanya. Dan membagikan gelas-gelas berisi wine itu kepada Mama, kepada Tante Fenti, kepadaku, lalu untuknya sendiri.

Tante Fenti mengacungkan gelasnya ke depan. Lalu kami berempat melakukan toast… triiiing… dan kami minum isi gelas itu sampai habis.

“Wuiiihhh… wine apa neh? Rasanya kok keras gini…” kata Mama setelah menghabiskan winenya.

“Kan biar cepat naik,” sahut Tante Fenti sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.

“Oke… kalau gitu aku mau langsung naik ke atas aja ya Fen,” ucap Mama sambil memegang pergelangan tangan Rendi.

“Silakan. Selamat bergumul yaaaa,” sahut Tante Fenti sambil memegang pergelangan tanganku. Lalu menoleh padaku, “Mau langsung masuk ke kamar tante?”

“Terserah Tante,” sahutku agak nervous. Karena tatapan Tante Fenti itu… sangat menggoda.

“Ayo, kalau gitu di kamar tante aja yuk,” Tante Fenti bangkit dari sofa sambil menarik tanganku.

Aku pun mengikuti langkah Tante Fenti masuk ke dalam kamarnya.

Ternyata kamar Tante Fenti jauh lebih mewah daripada kamar Mama dan Papa. Aku tak mau menjelaskannya secara detail, takut dianggap katro. Yang jelas kamar Tante Fenti ini mewah wah wah… wah…!

Namun yang paling kusukai adalah… senyum Tante Fenti yang kearab-araban itu. Manis dan mengundang gairah.

Dan aku memang menyambut undangan Tante Fenti dengan dekapan di pinggang ramping yang masih tertutup kimono itu, sambil memagut bibirnya ke dalam lumatanku.

Tante Fenti pun menyambut lumatanku dengan lumatan yang lebih hangat. Sehingga kami seolah sepasang kekasih yang sudah lama berpisah, lalu berjumpa lagi dalam suasana yang hangat dan romantis ini.

Dalam pengaruh wine, aku pun tidak canggung lagi. Ketika Tante Fenti melepaskan ikatan tali kimono putihnya, aku seolah ingin membantunya untuk menanggalkan kimono itu.

Lalu sebentuk tubuh indah nyaris telanjang di depan mataku. Tubuh yang berkulit sawomatang namun sangat mulus dan indah. Hanya dua benda yang masih melekat di tubuh Tante Fenti. Penutup payudara dan penutup kemaluan. Keduanya terbuat dari bahan yang sama. Bahan kaus berwarna abu-abu. Yang unik adalah penutup payudara yang tidak bisa disebut beha itu punya dua tonjolan, karena pentil di dalamnya mendorong ke depan.

Tentu saja aku kleyengan dibuatnya. Dan dalam pengaruh wine keras itu membuatku jadi lancang. Langsung menyentuh “sesuatu” yang dipertontonkan oleh penutup memek itu…!

Dan gilanya, Tante Fenti malah melepaskan celana dalam berlubang itu, lalu duduk ngangkang di atas bed sambil mengelus-elus kemaluannya yang bersih dari jembi dan berkata, “Ayo mau diapain… memang yang ini buat kamu Sam.”

Kutatap mata bundar Tante Fenti yang bergoyang perlahan dan senyum manisnya yang lengkap dengan lesung pipit di kedua pipinya. Dan tanpa ragu lagi aku merangkak, dengan mulut mendekati antara kedua paha yang dikangkangkan itu. Langsung menciumi kemaluan tak berambut itu.

Namun sebelum sempat aku menjilati kemaluan Tante Fenti yang sudah kungangakan itu, tiba-tiba Tante Fenti memberi isyarat agar aku menelentang di atas bednya.

Kuikuti isyarat itu dengan perasaan ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Tante Fenti merayap ke atas dadaku. Mencium bibirku dengan hangatnya. Lalu berlutut, dengan kedua lutut tioletakkan di kanan-kiri kepalaku. Sementara kemaluannya itu… persis berada di atas mulutku…!

Seandainya aku tidak minum wine dulu, mungkin semuanya ini akan terasa begitu cepat terjadi. Namun karena aku sudah minum wine yang jauh lebih keras daripada wine yang pernah kuminum, semuanya jadi terasa wajar saja.

Bahwa sebentuk kemaluan yang indah telah menganga di atas mulutku. Lalu kemaluan itu menurun sendiri meski aku belum menyentuhnya.

Dan… kemaluan Tante Fenti itu sangat jelas di mataku. Bahwa bibir kemaluannya berwarna lebih gelap daripada kulit di dekitarnya. Bahwa selubung yang menyembunyikan kelentitnya pun begitu je;las lipatannya. Kelentitnya pun agak menyembul ke luar. Dan bibir kemaluannya yangh ternganga itu membuat bagian dalamnya yang merah membara itu jelas pula terlihat olehku.

Jam terbangku pun sudah lumayan banyak, berkat seringnya aku menggauli ibu tiriku. Sehingga dalam hitungan detik saja lidahku sudah menancap di liang yang menganga erotis itu.

Gila… fantastis sekali menjilati kemaluan Tante Fenti ini. Hangat dan licin.

sementara kedua tanganku pun berulang-ulang membukakan mulut kemaluan yang berwarna sawomatang itu.

Kemaluan Tante Fenti pun tidak diam saja. Bergerak-gerak maju mundur, membuatku semakin bergairah menjilatinya.

Sambil mengelus-elus rambutku, Tante Fenti berkata setengah merintih, “Duh Sam… kamu sudah pandai menjilati memek ya. Ini enak sekali Sam…”

Aku tidak menyahut, karena sedang asyik-asyiknya menjilati kemaluan Tante Fenti ini. Sementara aku merasakan sesuatu pula, bahwa penisku yang sudah tegang sejak tadi, semakin ngaceng saja rasanya.

Tapi aku berusaha untuk menciptakan kenikmatan buat Tante Fenti. Maka jilatanku pun mulai kuarahkan ke kelentitnya yang sudah tampak menonjol dan mengkilap itu.

Bukan sekadar menjilat lagi. Aku “berjuang” untuk menyedot-nyedot kelentit Tante Fenti, sambil “dibantu” dengan elusan-elusan ujung lidahku secara intensif.

Spontan Tante Fenti mulai mengejang-ngejang, menahan-nahan nafas dan mendesah-desah, “Saaam… ooooh… Saaaam… ooooh… Saaaam… ooooh… Saaaam… ooooh Saaaam…”

Sementara elusan-elusannya di rambutku mulai berubah jadi jambakan-jambakan yang lumayan kuat.

Cukup lama aku melakukan ini semua.

Sampai akhirnya Tante Fenti menjauhkan kemaluannya dari mulutku… lalu bergerak ke bawah. Menarik ritsleting celana jeansku, lalu menarik celana berikut celana dalamku sekaligus.

Dan dalam hitungan detik, keadaan sudah berbalik. Kini Tante Fenti yang melakukan felatio (mengoral penis). Membuat penis tegangku semakin tegang… semakin menagih-nagih.

Tapi tampaknya Tante Fenti sudah sangat horny. Baru beberapa menit dia menyelomoti dan mengurut-urut penisku, lalu ia berusaha memasukkan penisku ke dalam liang kewanitaannya.

Tidak sulit memasukkan penisku ke dalam liang kemaluan Tante Fenti yang sudah basah kuyup itu. Lalu ia pun mulai beraksi, mengayun pinggulnya sambil berlutut, dengan kedua lutut berada di kanan-kiri pinggulku.

Ternyata hal ini pun hanya bisa dilakukannya selama belasan menit saja. Akhirnya ia ambruk di atas perutku sambil merintih, “Aaaaah… tante udah lepas Sam… kontolmu terlalu enak sih…”

Aku tidak tahu apakah Tante Fenti bicara yang sebenarnya atau tidak. Yang jelas, Mama pun sering mengatakan hal yang sama. Bahwa aku jauh lebih memuaskan daripada Papa. Karena ereksiku sempurna dan bisa bertahan lama di atas perut Mama.

Dan ketika Tante Fenti sudah menelentang, sementara penisku sudah terlepas dari kemaluannya, aku pun tidak banyak basa-basi lagi. Kuletakkan moncong penisku di mulut vagina Tante Fenti.

Lalu dengan sekali dorong penisku sudah membenam lagi ke dalam liang kewanitaan Tante Fenti, diiringi desahan nafas sahabat Mama itu, “Oooooh…”

Tante Fenti pun merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Dan terdengar suaranya perlahan di dekat telingaku, “Ayo lanjutkan Sam… sekarang giliranmu…”

Ya, sekarang memang giliranku untuk mengayun penisku. Bermaju mundur di dalam liang kemaluan Tante Fenti yang sudah licin tapi terasa sangat legit ini.

Kini aku sudah semakin sadar, bahwa ucapan Mama itu benar. Bawa perempuan yang hitam manis seperti Tante Fenti ini, liang senggamanya legit…!

Aku mulai bisa membedakan mana vagina yang legit dan mana yang sekadar sempit menjepit belaka.

Sehingga ketika aku mulai mengentot memek Tante Fenti, komentarku terlontar begitu saja, “Memek Tante legit sekali…”

“Enak mana dengan memek mamamu?” tanya Tante Fenti sambil tersenyum bangga.

Aku agak kaget, karena poertanyaan itu membuktikan bahwa Tante Fenti sudah tahu kalau aku sudah terbiasa bersetubuh dengahn kibu tiriku. “Mmm… lain-lain rasanya. Ohya… Rendi pernah menyetubuhi Tante?”

“Belum pernah. Tante nggak mau digauli oleh keponakan yang sudah dianggap anak kandung tante sendiri sejak bayi. Makanya tante ngajak mamamu… supaya Rendi tidak sembarangan menyalurkan nafsunya di luar.”

Aku tidak menanggapinya, karena ada bagian yang termasuk ranah pribadi Tante Fenti. Lalu kulanjutkan mengayun penisku yang sempat terhenti beberapa detik barusan.

Tante Fenti yang sudah bergairah kembali itu merangkul leherku kembali. Dan asyik melumat bibirku. Lalu berkata lagi, “Nanti kalau tante pengen lagi… Sam bisa datang sendiri ke sini tanpa Mama kan?”

“Bisa… asal jangan malam aja…” sahutku tersendat, karena sudah mulai mempercepat ayunan penisku. Sambil menikmati legitnya memek Tante Fenti.

Tante Fenti pun tampak menikmati genjotan penisku yang kata Mama sangat tangguh ini.

Dan ketika aku sedamng asyik mengentot Tante Fenti, tiba-tiba aku teringat Mama. Dan membayangkan apa yang sedang terjadi antara Mama dengan Rendi.

Tidak aneh rasanya kalau hal itu membuatku cemburu. Lalu kulampiaskan kecemburuanku dengan menggenjot penisku habis-habisan di dalam jepitan liang kemaluan tante Fenti yang legit menjepit ini.

Akibatnya, tante Fenti gedebak-gedebuk, menggeliat dan mengepak-ngepakkan sepasang tangannya di atas kasur. Sembil menyebut namaku berulang-ulang, “Saaam… ooooh… Saaaam… Saaaam… oooooh… Saaaam… ooooh…”

Bahkan pada suatu saat Tante Fenti membisiki telingaku, “Tante mau orgasme lagi Saaam…”

“Iiiyaaa… lepasin aja Tante. Aku ma… masih lama…” sahutku tersendat-sendat.

“Iiii… iiiniii lepasss… aaaa… aaaahhhhh… “Tante Fenti berkelojotan lalu mengejang tegang. Dan akhirnya tergolek lemas.

Ini sesuatu yang sangat nikmat bagiku. Karena dengan Mama pun aku merasa nikmat sekali pada saat beliau orgasme.

Maka seperti yang biasa kulakukan kepada Mama paska orgasmenya, kucium bibir Tante Fenti yang tampak lebih cantik. Karena aura kewanitaannya seolah terpancar dari wajahnya.

Aku memang belum ejakulasi. Tapi kuistirahatkan dulu entotanku. Menunggu Tante Fenti segar kembali.

Hanya lima menit aku beristirahat. Lalu kulanjutkan genjotanku. Memompakan penisku di dalam liang kemaluan Tante Fenti yang basah dan hangat ini.

Tak cuma itu. Tangan dan mulutku pun ikut “melengkapi” perjalanan birahi yang indah dan sangat menyentuh ini.

Bahwa ketika penisku bermaju-mundur di dalam jepitan liang kewanitaan Tante Fenti, tanganku mulai asyik meremas payudaranya dengan lembut, sementara lidahku menjilati lehernya yang sudah berkeringat, disertai dengan gigitan-gigitan kecil.

Aksiku ini membuat Tante Fenti semakin terpejam-pejam, dengan mulut tiada hentinya memanggil-manggil namaku, “Saaam… ooooh… Saaaam… ooo… oooh Saaam… oooh… Saaam… ini luar biasa enaknya Saaaam…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu