3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 08

Villa yang sudah kusulap menjadi villa besar dan megah itu seolah menjadi saksi bisu. Bahwa aku telah mengeksekusi tiga wanita di sana. Wulan, Bu Fransiska dan Bu Syahrina.

Bahkan tiga hari tiga malam aku “menyekap” Bu Fransiska dan Bu Syahrina di villa itu. Sehingga aku tak dapat menghitung lagi berapa kali aku menyetubuhi kedua wanita setengah baya itu di sana.

Yang jelas villa itu sudah menjadi saksi bisu tentang indahnya pelampiasan nafsu birahiku kepada wanita - wanita yang lalu menyatakan akan setia kepadaku setelah alat vitalku memuasi alat vital mereka.

Namun tampaknya aku takkan berhenti sampai di situ saja. Aku hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan staminaku setelah dikuras oleh kedua direktur cabang perusahaanku itu.

Sampai pada suatu hari…

Pagi itu, ketika aku sedang mengemudikan mobil di jalanan yang sedang padat merayap, aku menerima call dari nomor yang tak kukenal. Tapi kuterima juga panggilannya itu. Siapa tahu ada urusan bisnis yang bisa kutanggapi.

“Hallo… dengan siapa ini ya?” tanyaku di dekat hapeku.

Terdengar suarta wanita yang menyahut, “Dengan Inon. Ini Sam kan?”

“Sebentar… Inon mana ya?”

“Tantemu Sam. Makanya harus sering silaturahmi, supaya tali persaudaraan kita jangan terputus di tengah jalan.”

“Tante Inon adik almarhumah Ibu?”

“Iya Sam. Kan waktu reuni kita sempat ngobrol agak lama.”

“Oh iya… maaf, aku baru ingat Tante. Gimana keadaan Tante? Sehat - sehat aja kan?”

“Sehat. Kamu dan keempat istrimu juga sehat kan?”

“Sehat Tante.”

“Sam ada waktu nggak pagi ini? Pengen ngobrol panjang lebar, tapi jangan lewat hape gini.”

“Boleh Tante. Mau ketemuan di mana?”

“Di mall aja Sam.”

“Mall mana Tante?”

Lalu terdengar suara Tante Inon mengatakan mall yang diinginkan untuk tempat pertemuan itu.

“Oke. Kita ketemuan di foodcourt aja ya Tante.”

“Iya. Jangan gak datang ya.”

“Pasti datang Tante. Aku akan segera meluncur ke mall itu.”

Memang mudah mencapai mall itu, karena aku sedang di jalanan padat merayap yang tak jauh dari mall itu.

Belasan menit kemudian aku sudah memarkir mobilku di basement mall itu. Lalu kugunakan lift untuk mencapai lantai tiga, lantai foodcourt.

Hari masih pagi benar. Maka mall itu pun masih tampak lengang. Sehingga Tante Inon yang datang belakangan, tak sulit mencariku yang sudah menunggunya di depan sebuah café sambil menikmati secangkir kopi panas.

Meski masih muda, Tante Inon adalah adik kandung ibuku. Karena itu aku mencium tangannya, lalu cipika - cipiki dan duduk berdampingan di depan café itu.

Wajah Tante Inon itu biasa - biasa saja. Cantik tidak, jelek pun tidak. Tapi yang menonjol padanya adalah bentuk tubuh dan kulitnya itu. Meski saat itu ia mengenakan celana corduroy coklat tua dengan blouse coklat muda, namun sepintas pun aku bisa menebak bahwa toket dan bokongnya gede, sementara pinggangnya ramping sekali.

“Sam… orang bilang, kalau mau minta petunjuk, jangan meminta dari orang yang gagal. Carilah petunjuk itu dari orang yang sukses seperti Sam,” kata Tante Inon membuka pembicaraan.

“Iya Tante. Sepertinya ada masalah yang sedang Tante hadapi ya?”

“Masalah sih nggak ada. Cuma resah doang.”

“Apa yang membuat Tante resah?”

“Usiaku sekarang sudah tigapuluhtiga tahun. Tapi aku masih hidup melajang.”

“Sebentar dulu… adik almarhumah Ibu yang bungsu itu Tante Rahmi. Kemudian Tante Rahmi punya kakak langsung yang bernama Tante Isye. Lalu Tante Isye punya kakak langsung yakni Tante Inon.”

“Betul. Memangnya kenapa?”

“Usia Tante Rahmi tigapuluhdua tahun. Tante Isye paling muda pun tigapuluhtiga tahun. Sedangkan Tante Inon ini kakak Tante Isye…”

“Kan aku dengan Tante Isye itu saudara kembar, Sam.”

“Ooo… begitu ya. Aku malah baru dengar kalau di antara adik - adik almarhumah Ibu itu ada yang kembar segala.”

Tante Inon hanya tersenyum datar.

“Terus masalah yang bikin Tante resah itu apa?”

“Maunya sih kita ngobrol di temwpat yang tenang. Biar aku bisa curhat selengkap mungkin padamu Sam.”

“Kalau ngobrolnya di villaku gimana?”

“Boleh… itu bagus. Biar santai ngomongnya.”

“Ayolah kalau gitu kita ke villa aja sekarang, mumpung masih pagi,” ajakku sambil berdiri.

Tante Inon pun berdiri, lalu mengikuti langkahku menuju pintu lift.

Beberapa saat kemjudian Tante Inon sudah duduk di sebelah kiriku dalam mobil yang sedang kukemudikan menuju ke luar kota.

“Tante Rahmi sering berjumpa denganmu Sam?” tanya Tante Inon setelah sewdan merah maroonku berlari di atas jalan aspal.

“Lumayan sering, karena ada hubungan bisnis,” sahutku.

“Bisnis apa tuh?”

“Tanah peninggalan almarhum suaminya kan banyak sekali. Dia ingin menjadikan sesuatu di atas tanah - tanah yang sudah jadi miliknya itu. Akhirnya semua tanah Tante Rahmi kubeli semua. Duitnya akan dipakai untuk membangun perumahan elit di pinggiran kota.”

“Dia sih enak, punya suami orang kaya. Setelah suaminya meninggal, banyak warisannya di sana - sini.”

Aku terdiam. Karena tak mau membicarakan Tante Rahmi terlalu jauh. Maklum, aku dan adik Tante Inon itu sudah melangkah jauh… jauh sekali.

“Tante sendiri selama ini gak pernah pacaran?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

“Pernah, tapi gak ada yang awet. Paling juga dua - tiga bulan pacaran, lalu putus di tengah jalan,” sahutnya.

“Hubungannya ada yang sampai kebablasan?”

“Iiiih… gak ada. Paling juga ciuman. Megang toket juga gak kuijinkan.”

“Jadi Tante sampai sekarang masih perawan?”

“Harusnya sih masih. Tapi gak tau juga. Karena usiaku sudah tigapuluhtiga, siapa tau udah hilang sendiri.”

“Kok hilang sendiri?”

“Kata orang, cewek yang sering naik sepeda juga bisa membuat keperawanannya hilang.”

“Tapi menurut keyakinan Tante sendiri, masih perawan atau tidak?”

“Nggak tau. Yang jelas aku gak pernah berhubungan sex.”

“Nggak pernah diperiksakan ke dokter? Kan dokter bisa memastikan Tante masih perawan tidaknya.”

“Malu ah. Masa datang ke tempat praktek dokter cuma mau meriksain memek perawan tidaknya.”

“Aku juga bisa meriksain keperawanan Tante. Tapi harus pakai alat.”

“Alat apa?”

“Alat vital… hahahaaa…”

“Ngaco kamu… “cetus Tante Inon sambil menggelitik pinggang kiriku.

“Kata orang, anak kembar itu suka senasib terus. Kalau yang satu sakit, yang satunya lagi juga sakit, katanya. Benar begitu Tante?”

“Benar. Kalau Tante Isye sakit, aku juga sedang dalam keadaan sakit. Statusnya juga sama sampai sekarang. Sama - sama perawan tua.”

“Mungkin Tante Inon dan Tante Isye terlalu pilih - pilih. Makanya banyak cowok yang mundur sendiri.”

“Nggak juga. Cuma memang belum jodohnya aja kale.”

“Padahal di mataku, Tante ini manis. Punya bentuk tubuh yang seksi, punya kulit yang putih bersih. Gak tau kalau di balik pakaian Tante banyak panuan atau bekas borok sih.”

“Amit - amit… nanti di villa lihat sendiri. Tubuhku ini mulus. Boro - boro panuan atau bekas borok. Bekas luka segede pentol korek api aja gak ada.”

“Jangan ah. Jangan dilihatin semua padaku. Takut aku gak kuat nahan nafsu nanti.”

“Sama adik ibu kandungmu sendiri bisa nafsu?” tanya Tante Inon sambil memegang tangan kiriku yang nganggur (karena sedanku matic).

“Tante memang adik almarhumah ibuku. Tapi ketemunya setelah aku dewasa gini… jadi di mataku Tante seperti sosok baru aja.”

“Waktu kamu masih kecil, aku kan sering ngasuh kamu Sam.”

“Nggak inget Tante. Mungkin waktu itu aku masih balita.”

“Iya sih. Waktu itu kamu baru umur setahun kalau gak salah.”

“Belum ingat dong kalau umur setahun sih.”

Sedan merah maroonku meluncur terus menuju desa di mana villaku berdiri.

“Kamu udah kaya raya kok masih nyetir sendiri Sam? Kenapa gak pakai sopir?”

“Sopir sih ada dua orang. Tapi sopir hotel. Sementara aku sendiri masih muda. Ngapain pake sopir. Nanti kalau umurku sudah tujuhpuluh tahun, baru pake sopir.”

“Villamu masih jauh?” tanya Tante Inon.

“Sepuluh menit lagi juga nyampe. Udah gak sabar ya?”

“Bukan gak sabar, cuma pengen tau aja.”

“Kirain udah gak sabar pengen pamerin bahwa di sekujur tubuh Tante gak ada bekas borok dan panunya. Hihihiii…”

“Memang gak ada noda setitik pun. Nanti kamu buktikan sendiri.”

“Kalau aku gak kuat nahan nafsu gimana?”

“Istrimu udah banyak gitu, masa sama cewek setua aku masih nafsu?”

“Tante… aku ini pengagum wanita yang usianya lebih tua dariku. Mungkin karena pertama kalinya aku mengalami nikmatnya perempuan itu, dengan perempuan yang usianya jauh lebih tua dariku.”

“Ooo… begitu ya. Ya udah… nanti biarkan aja semuanya mengalir sendiri… asal sama - sama bisa memegang rahasia aja.”

“Siiiip! Artinya kita sudah sepakat ya…”

“Sepakat dalam soal apa?”

“Sepakat untuk membiarkan semuanya mengalir sendiri.”

“Hmm… aku kan sama sekali belum berpengalaman. Masih bodoh dalam soal yang satu itu sih.”

“Nanti aku ajarin.”

“Terus… kalau aku hamil gimana?”

“Aku punya pil kontrasepsi. Santai aja Tante.”

“Sekarang dibawa pil kontrasepsinya?”

“Dibawa. Tuh buka aja laci dashboardnya. Masih ada belasan strip di situ.”

Tante Inon membuka laci dashboard mobilku. Lalu mengeluarkan 1 strip pil kontrasepsi.

“Kamu bpunya banyak pil kontrasepsi ini buat apa?”

“Istriku empat orang Tante. Dengan sendirinya aku harus selalu siap dengan pil kontrasepsi. Kecuali kalau ada niat ingin punya anak lagi.”

“Istrimu sekarang empat orang?”

“Iya Tante.”

“Waktu kita reunian, istrimu baru tiga kan?”

“Iya. Sekarang sudah maksimal, tidak bisa nambah lagi.”

Tak lama kemudian mobil kubelokkan ke kiri, ke jalan kecil menuju puncak bukit di mana villaku berdiri.

Setelah tiba di depan villaku, seperti biasa kumasukkan mobilku ke lantai dasar yang disediakan hanya untuk mobil - mobil.

Lalu Tante Inon kuajak naik ke lantai tiga, langsung ke kamar yang di sudut itu. Kamar yang sudah kupakai mengeksekusi Wulan, Bu Fransiska dan Bu Syahrina itu.

Karena jam baru menunjukkan pukul 10.30 pagi, Tante Inon bisa menyaksikan view di luar villa yang memang sangat indah itu.

Dan ketika Tante Inon masih berdiri di dekat dinding kaca gelap itu, aku pun mendekapnya dari belakang. “Bagaimana Tante… suasana di sini sangat nyaman kan?”

Tante Inon tidak meronta. Pertanda mengizinkanku untuk tetap mendekapnya dari belakang. “Iya… pemandangan di luar indah sekali Sam,” sahutnya, “tapi villa ini ada yang mengurus kebersihan dan kerapiannya kan?”

“Tentu saja Tante. Ada sepasang suami - istri yang mengurus villa dan tanaman di sekelilingnya ini. Suaminya bertugas mengurus tanaman hias, memberi pupuk dan membersihkan rumput liar di luar. Istrinya bertugas membersihkan dan merapikan di dalam villa. Terkadang sekadar masak nasi saja sih bisa juga.

Tante Inon cuma mengangguk, dengan pandangan tetap tertuju ke luar. Ke rumpun - rumpun bambu dan pesawahan serta bukit - bukit kecil di lembah sana.

“Mumpung hari sedang terang - terangnya, kalau Tante mau membuktikan kemulusan tubuh Tante ya sekaranglah saatnya,” ucapku setengah berbisik.

“Iya… tapi kalau kamu nafsu nanti, aku gak tanggung jawab ya,” sahut Tante Inon sambil memutar badannya jadi menghadap padaku.

“Kujamin Tante takkan kuperkosa. Pokoknya nanti terserah Tante. Kalau Tante kepengen, barulah aku akan melakukannya,” ucapku sambil menepuk - nepuk pinggang Tante Inon yang ramping.

Tante Inon menatapku dengan senyum. Lalu ia melepaskan blouse coklat mudanya. Diikuti dengan pelepasan celana corduroy coklat tuanya.

Meski Tante Inon masih mengenakan beha dan celana dalam, aku sudah terangsang menyaksikan keindahan bentuk tubuh dan keputih mulusan adik almarhumah ibuku itu.

“Nggak ada setitik noda pun kan?” ucap Tante Inon sambil bertolak pinggang.

“Belum bisa melihat total. Siapa tau di balik beha dan celana dalam itu ada sesuatu yang Tante sembunyikan,” sahutku bersiasat.

Tante Inon menatapku dengan senyum di bibirnya, “Jadi harus telanjang bulat?” tanyanya.

“Iya Tante. Aku ingin menilai tubuh Tante dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” sahutku.

“Tolong lepasin dong kancing behaku,” kata Tante Inon sambil membelakangiku. Dengan hati bersorak dalam kemenangan, kulepaskan kancing beha Tante Inon yang terletak di bagian punggungnya itu. Lalu Tante Inon sendiri yang melepaskan behanya. Dan menghadap ke arahku lagi.

“Duh Tante… payudara Tante luar biasa indahnya… !” pujiku sambil mendekatkan tanganku ke arah sepasang toket Tante Inon yang gede - gede itu, “Boleh aku memegangnya?”

Tante Inon mengangguk sambil tersenyum malu - malu.

Aku tak mau membuang kesempatan ini. Dengan hatri - hati kuusap - usap toket gede Tante Inon itu. Lalu mulutku mendekati pentilnya. Dan mengulumnya disertai dengan jilatan.

Tiba - tiba Tante Inon memeluk kepalaku sambil menekan ke arah toketnya. Mungkin karena ia ingin agar aku tetap mengemut pentil toketnya, mungkin karena terasa enak…!

Tapi tak lama aku mengemut pentil toket Tante Inon, karena benda terakhir itu masih melekat di tubuhnya. “Aku aja yang melepaskan celana dalamnya, ya Tante… “pintaku sambil memandangnya dengan nada ngarep.

“Terserah…” sahut Tante Inon mengambang.

Sambil berjongkok kupelorotkan celana dalam Tante Inon sampai terlepas dari sepasang kakinya. Lalu terbengong - bengong memperhatikan memek Tante Inon yang luar biasa menggiurkannya. Memek yang licin tandas tanpa sehelai jembut pun.

“Kenapa memekku dipelototin gitu?” ucap Tante Inon sambil meutupi memeknya dengan kedua tangannya.

“Memek Tante sangat menggiurkan. Kebayang enak menjilatinya,” sahutku sambil berdiri kembali.

“Memangnya Sam mau menjilati memekku?” tanya Tante Inon perlahan.

“Sangat mau Tante,” sahutku sambil memegang sepasang pangkal lengan Tante Inon. Lalu mengamati bentuk tubuh indahnya dari kaki sampai ke ujung rambutnya yang pendek seperti rambut cowok.

“Aku sering dengar, waktu memek dijilatin itu enak sekali rasanya ya,” ucapnya dengan sikap canggung.

“Iya Tante. Nikmatnya memek dijilatin itu nyaris tak berbeda dengan nikmatnya disetubuhi. Mau dibuktikan sekarang?”

“Mau tapi takut…”

“Takut apa?”

“Takut ketagihan.”

“Kalau ketagihan tinggal call aku aja. Aku siap untuk menjilati memek Tante kapan pun…”

“Janji ya…”

“Iya… aku janji. Janji seorang lelaki.”

“Di mana jilatinnya? Apa aku harus tetap berdiri begini?”

“Tante celentang aja di situ, biar mudah jilatinnya,” sahutku sambil menunjuk ke arah bed.

Dengan sikap canggung Tante Inon merebahkan dirinya di atas bed. Menelentang sambil menatap langit - langit kamar sudut di lantai tiga ini.

Aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tempatnya. Lalu aku merayap ke antarasepasang kaki Tante Inon yang sengaja kurenggangkan.

“Tante rajin mencukur memek sampai bersih gini,” ucapku sambil mengusap - usap memek plontos licin itu.

“Ikut - ikutan teman aja. Mereka suka mencukur memeknya juga. Mereka bilang sekarang ini bukan musimnya lagi memek dibiarkan gondrong.”

“Memang betul. Tanpa jembut, memek Tante jadi kelihatan jelas bentuk aslinya. Hmmm… memek Tante memang menggiurkan sekali,” ucapku yang kulanjutkan dengan menciumi memek Tante Inon yang mulai kungangakan dengan kedua tanganku.

Lalu kujulurekan lidahku, untuk menjilati bagian dalam memek Tante Inon yang sedang kungangakan ini.

Tante Inon agak mengejut, tapi lalu terdiam pasrah.

Aku bukan hanya menjilati bagian dalam memek Tante Inon. Jempol kiriku yang sudah terlatih ini pun mulai menggesek - gesek kelentitnya sambil agak ditekan supaya lebih terasa olehnya.

Tante Inon pun mulai “berkicau”… “Sam… duuuuh kok geli gini ya… tapi gelinya geli enak Sam… ooooh… mungkin kalau disetubuhi lebih enak lagi, ya Sam…”

Aku tidak menjawabnya. Biarlah dia berimajinasi tentang nikmatnya disetubuhi. Aku hanya ingin membuat nafsunya memuncak, lalu kutunggu “request”nya. Kalau dia minta disetubuhi, ya akan kuikuti permintaannya. Tapi kalau dia tidak menginginkannya, aku pun takkan memaksanya.

“Saaaam… oooo… ooooohhh… Saaaam… enak sekali Saaam… ooo… ooooh… Saaam… enak Saaaam… enaaaak… !”

Liang memek Tante Inon sudah mulai basah kuyup, karena aku terus - terusan mengalirkan air liurku ke dalamnya.

Sebenarnya kondisi liang memek tanteku ini sudah saatnya untuk ditembus oleh penis ngacengku. Tapi aku masih menunggu “request” darinya. Agar jangan terkesan aku yang memaksakan kehendakku.

Akhirnya “request” itu terlontar dari mulut Tante Inon: “Sam… aku ingin nyobain disetubuhi oleh kontolmu… pasti lebih enak lagi kan? Masukkan aja kontolmu Saaam…”

Aku pun menghentikan jilatanku dan menjauhkan mulutku dari memek tanteku. “Beneran pengen nyobain dientot Tante?”

“Iya… pengen nyobain kontol…” sahut Tante Inon yang tampak sudah lupa daratan itu.

“Nanti kalau Tante masih perawan, bakal hilang dong keperawanannya.”

“Jangan bawel Sam… masukkan kontolmu, please…”

Aku tersenyum lagi dalam kemenangan. Kulepaskan celana dalamku sebagai satu - satunya benda yang masih melekat di tubuhku. Lalu kurenggangkan jarak kedua paha tanteku selebar mungkin.

Tante Inon menatapku dengan sorot pasrah. Kasihan juga tanteku itu. Dalam usia 33 tahun belum pernah merasakan enaknya kontol…!

Kuletakkan moncong penisku tepat di ambang mulut memek Tante Inon. Lalu kukerahkan tenagaku untuk mendorong penis ngacengku… terasa sulit… perlu berulang - ulang mendorong penisku untuk mencapai sasarannya.

Namun berkat keuletanku, akhirnya penisku mulai membenam meski baru sebatas lehernya. Kukumpulkan lagi tenagaku. Lalu kudesakkan peniskju yang sudah terbenam sampai lehernya ini… uuuuughhh… membenam lagi sedikit demi sedikit, sementara Tante Inon tampak memejamkan matanya.

Setelah penisku terbenam lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayunnya dengan hati - hati agar jangan sampai terlepas dan susah memasukkannya lagi.

“Oooo… oooooh… Saaaam… ini… ini lebih enak lagi Saaam… oooh… ternyata kontolmu enak Saaam… oooh… ternyata seperti ini… nikmatnya disetubuhi yaaa… oooh… Saaam… Saaaaam… enaaak Saaam… enaaak…”

Padahal permainan surgawi ini baru start… karena selanjutnya aku tak sekadar mengentot memek Tante Inon. Leher jenjangnya pun mulai kujilati. Seperti biasa jilatan ini kusertai dengan gigitan - gigitan kecil, yang membuat Tante Inon semakin lupa diri, membuat Tante Inon menggeliat - geliat dalam arus birahinya yang sudah bersatu dengan aliran birahiku.

Yang kami ingat saat itu cuma satu. Bahwa gesekan antara batang kemaluanku dengan liang memek Tante Inon, menimbulkan rasa yang luar biasa nikmatnya bagiku dan mungkin juga bagi Tante Inon.

Sasaran mulutku berikutnya adalah ketiak Tante Inon. Kuarahkan lengan kirinya ke samping kepalanya, lalu kujilati ketiaknya habis - habisan. Sehingga rengekan dan desahannya semakin erotis saja kedengarannya :

“Saaam… ooooo… ooooohhhhhhh Saaaam… setiap bagian yang Sam sentuh ini membuatku nikmaaaaaaaat… Saaam… ooooh… semua yang kamu lakukan ini luar biasa nikmatnya bagiku Sam… oooo… oooh Sam Sayaaaaang… aku jadi sangat sayang padamu Saaam… iyaaaa… entot terus Saaam… kontolmu membuatku edan - eling niiiih …

Lebih dari setengah jam aku mengentot tanteku. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuh kami. Keringatku yang sudah bercampur - aduk dengan keringat Tante Inon, tak kami pedulikan lagi. Yang kami pedulikan hanya bagian tubuh di bawah perut kami. Aku hanya peduli dengan sempit dan lezatnya liang memek Tante Inon.

Sampai pada suatu saat, Tante Inon mulai menggeliat - geliat, lalu berkelojotan… lalu mengejang tegang… tegang sekali. Aku tahu bahwa Tante Inon akan mencapai orgasme pertamanya (atau mungkin juga kedua atau ketiga, entahlah).

Sebenarnya aku masih bisa bertahan lama. Tapi aku tak mau menyiksa fisik Tante Inon terlalu lama. Karena kalau dia tak pernah disetubuhi sebelumnya, pasti ada luka di dalam memeknya.

Itulah sebabnya, ketika Tante Inon mulai berkelojotan aku pun mempercepat genjotan kontolku. Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya di dalam liang memek Tante Inon… sampai akhirnya Tante Inon meremas - remas rambutku sambil menahan nafasnya. Pada saat itulah kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin.

Crooottt… croooottttt… crooootttttt… croooooot… crottt… crooootttt…!

Aku terkapar lunglai di atas perut tanteku.

Tante Inon pun terkulai lemas dengan keringat membasahi leher dan dahinya.

Pada saat itulah aku menyempatkan diri untuk mencium bibir Tante Inon yang agak ternganga. Tante Inon pun menyambut dengan pelukan eratnya di leherku.

Setelah mencabut batang kemaluanku dari liang memek Tante Inon, kulihat sesuatu di bawah kemaluan tanteku itu. Ada genangan darah sebesar coin limaratusan di situ.

“Tante memang masih perawan sebelum kusetubuhi tadi,” ucapku sambil menunjuk ke darah perawan yang menetes ke kain seprai itu.

“Ya iyalah,” sahut Tante Inon sambil bangkit. Duduk mengangkang sambil menyeka kemaluannya dengan kertas tissue basah. Sambil memperhatikan bercak - bercak darah di kain seprai itu, “Hanya saja aku mikir kalau sudah usia tigapuluhtiga gini selaput daranya sudah hilang dengan sendirinya. Tapi ternyata masih utuh, ya Sam.

“Iya Tante. Apakah Tante menyesal karena telah ternodai olehku?” tanyaku.

“Nggak, “Tante Inon menggeleng sambil tersenyum, “karena yang mengambilnya seorang lelaki muda yang ganteng dan kusukai. Dan kebetulan yang mengambil keperawananku adalah keponakanku sendiri. Bukan orang jauh …“

Lalu Tante Inon memeluk sambil mencium bibirku. Dan berkata setengah berbisik, “Aku jadi sangat sayang padamu Sam… bagaimana perasaanmu padaku sekarang?”

“Sama seperti yang Tante rasakan. Aku jadi sayang sekali kepada Tante yang sudah memberikan keperawanan untukku. Dan rasanya… hmmm… memek Tante memang luar biasa enaknya… ohya… minum pil kontrasepsinya dulu sesuai dengan petunjuk di kertas lampirannya Tante.”

“Nggak mau ah.”

“Lho… kalau Tante hamil nanti gimana?”

“Biarin aja. Aku pengen punya keturunan kok. Mumpung usiaku belum tua.”

“Tapi istriku sudah empat orang Tante. Aku taki mungkin bisa menikah lagi.”

“Biar aja. Walau pun kamu belum punya istri, kamu takkan diperbolehkan menikahiku, Sam Sayang.”

“Jadi…? Aaah… sebaiknya minum aja pilnya Tanrte. Biar kita leluasa untuk melakukan dan melakukannya terus, kapan pun kita mau.”

“Iya deh aku minum, Sayang… anggap aja anjuranmu itu sebagai perintah suami yang tak boleh ditolak… hihihiii… suamiku masih sangat muda dan ganteng gini sih?” sahut Tante Inon sambil mencubit pipiku.

Kemudian Tante Inon mengeluarkan 1 strip pil kontrasepsi dari dalam tas kecilnya. Pil yang diambilnya dari laci dashboard mobilku tadi

“Nih saksikan… kuminum pil ini demi suami tercintaku,” ucap Tante Inon sambil memegang sebutir pil kontrasepsi lalu menelannya dengan bantuan air mineral yang selalu tersedia di setiap kamar villaku.

“Iya Tante,” ucapku sambil mendekap pinggang Tante Inon yang masih telanjang bulat, “Meski pun kita dilarang menikah, aku akan menganggap Tante sebagai istriku.”

“Terima kasih Sam. Sebenarnya aku siap untuk dihamili olehmu, meski tanpa pernikahan yang sah. Asalkan aku disediakan rumah untuk membesarkan dan mendidik anak kita kelak,” kata Tante Inon dengan nada lembut.

“Soal itu nanti kita pikirkan dulu matang - matang. Jangan terburu - buru karena masalah yang satu itu masalah penting.”

“Iya Sayang,” sahut Tante Inon disusul dengan kecupan mesranya di pipiku.

“Sekarang kita mandi dulu. Kemudian nyari rumah makan yang lezat masakannya.”

“Oh iya… sampai lupa makan… gara - gara kontol nyungsep di memekku. Hihihiii… !”

Lalu kami melangkah ke dalam kamar mandi dalam keadaan masih sama - sama telanjang. Di dalam kamar mandi, kami saling menyabuni, saling berpelukamn dan saling lumat bibir di bawah pancaran air hangat shower.

“Nanti sehabis makan, entot aku lagi ya,” kata Tante Inon setelah mengeringkan badannya dengan handuk.

“Memangnya memek Tante gak sakit?” tanyaku.

“Nggak, “Tante Inon menggeleng.

“Oke deh. Sehabis makan, kita turunkan dulu isi perutnya barang setengah jam, lalu ngewe lagi ya…”

“Iya suamiku sayaaang… emwuaaaaah… “Tante Inon mencium bibirku lagi.

Beberapa saat kemudian, Tante Inon sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang sedang kusetir melewati jalan berliku - liku menuju jalan raya di bawah sana.

Sikap Tante Inon begitu mesranya padaku. Kepalanya menyandar terus ke bahuku. Sesekali ia mencium pipiku dengan hangatnya.

Semua ini menciptakan getaran aneh di batinku. Apakah diam - diam aku mulai mencintainya?

Aaaah… aku akan menyayanginya saja, tanpa embel - embel cinta di dalam hatiku. Tapi bagaimana perasaan Tante Inon yang sesungguhnya terhadap diriku? Apakah dia juga akan menindas perasaan cinta dan hanya akan menyayangiku belaka?

Jawabnya… tertiup bersama angin lalu …

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu