3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 18

Papa memberi nama pada bayi itu, Satria Pratama. Dan Papa kelihatan sangat menyayangi “anaknya” itu, meski sebenarnya akulah anak biologisnya. Mungkin Papa menganggapnya anak kandung sekaligus cucunya sendiri.

Sementara itu, aku mulai membuka komunikasi dengan Aleksandra lewat WA. Banyak yang kami bahas. Sementara hubunganku dengannya sengaja kumatangkan di WA, supaya pada waktunya bisa langsung akrab nanti.

Bahkan pada suatu saat, lewat WA itu pula aku memberanikan membahas sesuatu yang sangat penting bagiku :

-Maaf Sandra. Boleh aku bertanya sesuatu yang sangat pribadi?-

-Mau tanya masalah apa?-

_

-Sekali lagi maaf ya… kamu masih virgin?-

-Masih lah. Aku kan belum pernah pacaran satu kali pun. Pokoknya soal yang satu itu sih dijamin. Aku ini masih 100% virgin-

-Syukurlah. Karena masalah itu salah satu kriteria untuk calon istriku-

-Aku memang cewek bule. Tapi aku ini bule yang gak gaul di negaraku. Setelah di Indonesia aja aku mau bergaul dengan teman-teman baruku. Tapi teman-temanku di Indonesia ini cewek semua-

_

Banyak… banyak lagi yang kami bahas di WA itu.

Terkadang komunikasi lewat dunia maya membuat kita bergerak lebih cepat daripada komunikasi empat mata. Cepat sekali, karena berkomunikasi di dunia maya membuatku leluasa untuk mengatakan apa saja.

Bahkan lewat WA aku pernah menanyakan seperti apa warna jembutnya? Dan Aleksandra menjawab*,-Tentu aja pirang seperti rambutku. Kalau ada cewek yang rambutnya pirang tapi jembutnya berwarna hitam, berarti rambutnya itu diwarnai oleh cat rambut. Tapi pubic hair-ku selalu kucukur sampai bersih. “*

-Justru aku suka sekali pada vagina yang bersih dari rambut. Supaya menjilatinya enak-

_

-Iiih… kamu… bikin aku horny… -

-Mmm… kebayang indahnya tubuhmu, sweetheart-

-Jangan cuma dibayangin dong-

-Ya udah. Sabtu pagi ada kuliah gak-

-Gak lah. Kampus kita kan libur tiap Sabtu. Emang mau ngajak ketemuan di mana?-

-Di café aja. Jangan pakai motor. Karena aku mau ngajak ke villaku. Oke?-

-Oke. Hari Sabtu jam berapa?-

-Jam 10 pagi-

-Yes honey-

-Sampai jumpa Sabtu lusa ya-

-Yes Sir-

_

Begitulah. Komunikasi lewat WA demikian cepatnya berkembang. Sehingga dalam tempo beberapa hari saja aku merasa seolah sudah berhubungan bertahun-tahun dengan Aleksandra.

Ketika hari yang dijanjikan tiba, tepat jam sepuluh pagi mobilku sudah merapat ke café itu. Tampak Aleksandra mengenakan gaun putih dengan garis-garis yang melenggak-lenggok dari atas ke bawah. Rambut pirangnya pun dibalut dengan kain berwarna biru tua pula.

O… maaak! Betapa cantiknya Aleksandra pagi ini. Mungkin karena kesehariannya selalu mengenakan celana panjang, sehingga aku terlongong ketika menyaksikan bentuk aslinya yang tinggi semampai itu.

“Kenapa melotot gitu?” tanyanya sambil tersenyum.

“Dalam gaun itu, kamu berubah jadi cewek yang sangat-sangat dan sangat cantik… !” sahutku setengah berbisik.

“Masa sih?! Tapi… kamu juga tampak ganteng sekali, Honey.”

“Sudah dibayar minumannya?” tanyaku.

“Sudah.”

“Kalau begitu kita langsung berangkat aja yuk. Mumpung belum siang benar.”

Lalu kugandeng lengan Aleksandra menuju mobilku yang terparkir di depan café itu.

Agar terkesan memperhatikan etiket, kubuka pintu kiri depan mobilku untuk Aleksandra.

“Thanks,” ucapnya setelah duduk di dalam mobilku.

Setelah menutupkan kembali pintu depan kiri, cepat aku menuju pintu depan kanan. Membukanya dan masuk ke dalamnya.

Setelah menyalakan mesin mobil, aku langsung menggerakkan mobilku ke jalan aspal sambil berkata, “Aku sudah gak sabar ingin mencium bibirmu…”

“Lalu?”

“Lalu menciumi perutmu.”

“Lalu?”

“Lalu menciumi bibir yang di bawah perutmu… !”

“Sam… merinding aku mendengarnya…”

“Ohya… boleh aku tau berapa tahun usiamu saat ini?”

“Pasti lebih tua darimu lah. Aku kan kuliah di Jogja dulu selama tiga setengah tahun. Kuliah di kampus kita sudah tiga tahun. Jadi umurku sekarang sudah duapuluhtiga tahun.”

“Jadi kamu sudah merantau ke Indonesia sejak usia enambelas?”

“Iya… kira-kira begitulah. Pokoknya setahun setelah orangtuaku meninggal, aku memutuskan untuk terbang ke Indonesia. Kebetulan uang asuransi dari kapal pesiar itu cukup besar. Sehingga aku tidak takut kehabisan duit di mana pun aku berada. Dan yang kupakai selama ini hanya bunga depositonya saja. Belum pernah memakai uang asuransinya.

“Bunganya saja? Memangnya berapa jumlah asuransi yang kamu terima?” tanyaku.

Aleksandra menyebutkan nominal uang asuransi itu. Uang santunan untuk dua nyawa yang melayang. Dan aku terkejut. Sangat terkejut mendengar nominalnya yang begitu besarnya. Cukup untuk membangun hotel lima atau enam lantai!

“Kenapa kamu tidak memutar uang asuransi itu untuk bisnis di Indonesia?”

“Gak berani usaha di sini. Takut kena sanksi, lalu aku diusir dari Indonesia kan gawat nanti.”

“Nanti setelah kamu jadi warganegara Indonesia, kamu bisa bangun hotel five star di sini.”

“Setelah jadi WNI sih kamu atur aja uangku. Yang penting jangan dipakai untuk foya-foya.”

“Soal itu sih percaya deh sama aku.”

“Ohya… kita mau menuju ke villamu?”

“Iya. Villa kecil, tapi tanahnya luas sekali. Sejak kubeli belum direnovasi. Hanya dibersihkan dan dirapikan saja di sana-sini.”

“Kamu hebat ya. Masih sangat muda tapi sudah punya villa segala.”

“Hotel juga aku punya. Tapi cuma hotel sederhana.”

“Wow! Luar biasa. Di umur sembilanbelas sudah punya villa dan hotel?! Kamu memang orang sukses dalam segala bidang Sam.”

“Umurku sudah duapuluh tahun, Sweety.”

“Ohya?! Tapi bentuknya kayak masih belasan tahun. Tapi aku tetap lebih tua darimu.”

“Aaah, hanya beda tiga tahun. No problem.”

“Hmm… gak sangka aku bisa begini dekatnya denganmu…” ucap Aleksandra sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Harum parfumnya pun tersiar ke penciumanku. “Aku merasa sudah menjadi milikmu sekarang Sam.”

“Aku juga sama. Sejak ketemu lagi di café itu, siang malam wajahmu membayangiku terus, Sandra.”

“Aku juga begitu. Aku malah pernah mimpikan kamu. Dalam mimpi itu kamu mengajakku menaiki bukit yang sangat indah. Di puncak bukit itulah kamu mencium bibirku.”

“If you believe, itu pertanda yang baik. Pertanda akan sukses di kemudian hari.”

“Amiiin.”

Lalu hening sesaat. Hanya suara mesin mobilku yang sayup-sayup masih terdengar.

“Sam…”

“Hmm?”

“Aku akan menyerahkan diriku padamu. Jadi… tolong jangan sakiti aku nanti ya.”

“Tentu saja. Sejak kecil sampai saat ini, aku belum pernah berkelahi. Bahkan menyembelih ayam pun aku tidak berani, karena tidak tega. Apalagi menyakiti orang, semoga tak pernah terjadi di dalam kehidupanku.”

“Iya, aku percaya itu. Sepintas pun aku bisa menilaimu. Kelihatannya sabar, penyayang dan tak mau menyakiti hati orang lain.”

“Aku memang punya prinsip, kalau tidak mau disakiti, jangan pernah menyakiti orang lain. “

Sebagai tanggapan, Aleksandra mencium pipi kiriku lalu berkata, “Aku juga seperti itu. Aku tak mau disakiti dan menyakiti orang. “

Tanpa terasa mobilku sudah mencapai jalan kecil menuju puncak bukit itu, di mana villaku berdiri dengan santai.

Villa itu memang tidak besar-besar amat. Hanya ada dua kamar tidur, ruang makan, ruang cengkerama dan dapur. Itu saja.

Bangunan aslinya dibuat dengan adukan semen dan pasir biasa. Tapi yang menarik, dinding-dindingnya dilapisi bambu tua yang dilapisi vernis yang sangat mengkilap. Begitu pula pintu-pintunya dilapisi bambu semua. Sehingga villa ini tidak tersentuh cat sama sekali. Sementara alam di sekitarnya masih asli, karena belum dijangkau oleh wisatawan.

Sebelah utara tampak rumpun-rumpun bambu menghijau di bawah sana. Di sebelah timur, kebun buah-buahan. Sementara di sebelah barat dan selatan tampak hamparan sawah yang sedang menghijau pula.

Begitu turun dari mobil, Aleksandra tampak sangat mengagumi pemandangan asli yang belum terjamah manusia kota itu. Pemandangan yang tidak akan ditemukan di negaranya…

Udara di puncak bukit ini pun sangat sejuk, karena berada di ketinggian.

Lalu terdengar suara Aleksandra, “Wow… kalau aku punya rumah di daerah ini, pasti bakal nyaman sekali, Sam. Pemandangannya indah sekali, jauh dari kebisingan kota pula. “

“Villa ini kan punyaku,” sahutku, “Seluruh bukitnya pun sudah menjadi milikku. Nanti kalau kita sudah menikah, aku akan membangun beberapa bagian dari bukit ini secara teratur tapi artistik. Tentu saja aku harus meminta bantuan arsitek untuk membangunnya. “

“Tapi itu berarti istrimu juga ikut memiliki villa dan bukit ini kan?”

“Tidak. Istriku belum pernah kukasih tau. Papaku juga belum tau. Pokoknya belum ada yang tau, kecuali kamu aja seorang. “

“Ohya?! Kalau begitu, nanti aku mau tanam investasi aja di sini. Mau dibikin apa, terserah kamu. ”

“Jangan di sini kalau mau berinvestasi sih. “

“Kenapa?”

“Duitmu kan harus berkembang. Kalau di sini takkan bisa berkembang duitnya. Mending untuk hotel aja di dalam kota. Ada hotel bintang empat yang mau dijual. Kapan-kapan kita survey ke sana ya. “

“Hotelnya pasti harus direnovasi ya?”

“Iya. Tapi tidak terlalu parah. Cuma kerusakan-kerusakan kecil aja. “

“Tapi aku kan belum jadi warganegara di sini. “

“Itu sih bisa diakalin. Nanti transaksinya atas namaku. Kemudian kita buat perjanjian di notaris, bahwa hotel itu sebenarnya milikmu tapi dipercayakan padaku untuk mengelolanya. Sementara kamu sendiri bisa jadi general manager di hotel itu. “

“Lantas Sam sebagai apa?”

“Aku bisa sebagai Komisaris Utama. “

“Ah… otakmu cerdas sekali Honey, “Aleksandra merangkulku sambil mendekatkan bibirnya ke bibibrku. Tentu saja kusambut dengan pagutan lembut, sambil menyedot lidahnya yang agak terjulur.

Beberapa saat kami tenggelam dalam saling lumat yang teramat mesra ini.

Namun jujur saja. Aku memang tenggelam dalam ciuman mesra yang menghanyutkan. Tapi otakku tetap saja ngeres. Aku malah bertanya-tanya di dalam hati, seperti apa ya bentuk cewek bule blonde ini kalau sudah kutelanjangi? Seperti apa bentuk toketnya ya? Seperti apa bentuk memeknya ya?

Normalkah pikiran ngeresku ini? Ataukah semua petualang sex selalu berpikir seperti aku?

Entahlah. Yang jelas setelah duduk berdampingan di sofa pun Aleksandra nempel terus padaku, seperti yang takut ditinggalkan sendirian. Bahkan kemudian ia merebahkan kepalanya di atas pangkuanku.

Pada sat itulah aku bertanya setengah berbisik, “Kalau kamu gak keberatan, aku ingin menjilati vaginamu. “

“Berarti aku harus telanjang dong,” sahutnya.

“Gak telanjang juga gak apa-apa. Bahkan tetap mengenakan celana dalam juga gak apa-apa. Kan bisa ditarik celana dalamnya ke samping. Tapi kalau mau normal, memang mendingan telanjang. Supaya jangan jual kucing dalam karung. Sebelum aku menikahimu, wajar kalau aku ingin melihat bentuk tubuhmu dalam keadaan telanjang kan?

“Di kamar aja yuk. Aku mau telanjang demi kamu,” ucap Aleksandra sambil bangkit dan berdiri di depanku. Maka aku pun berdiri, lalu menggandeng lengannya untuk masuk ke dalam kamar yang paling depan.

Aku memang sudah menyuruh untuk membersihkan villa ini. Tadinya untuk menyiapkan tempat pertemuanku dengan Mama. Tak tahunya Mama malah datang bulan. Jadi peremuan itu terpaksa dibatalkan.

Sebagai gantinya aku memakai villa ini untuk bidadariku yang berasal dari Eropa Timur itu.

Bidadari putih bersih yang kini sudah berada di dalam kamar yang sudah ada beberapa vas bunga mawar merah di tiap sudutnya. Menciptakan suasana romantis di dada kami berdua.

Aleksandra menyempatkan diri menciumi bunga mawar di vas bunga itu. Lalu memunggungiku sambil berkata, “Lepaskan kancing dan turunkan zipper-nya, please. “

Dengan senang hati kulepaskan kancing kait di bagian punggung Aleksandra. Lalu kuturunkan zippernya (ritsleting).

Kemudian gaun itu dijatuhkan dan beronggok di sekitar kaki Aleksandra. Kujemput onggokan gaun itu, lalu kugantungkan di kapstok.

Ketika menghadap ke arah Aleksandra lagi, aku jadi terkesima menyaksikan betapa putih mulusnya tubuh tinggi semampai yang tinggal mengenakan bra dan CD itu. Luar biasa mulusnya, seolah patung porselen yang ditatah secara sempurna sekali.

Beruntung aku ditakdirkan berperawakan tinggi. Sehingga aku tidak merasa minder waktu berhadapan dengan Aleksandra yang tingginya hampir menyamaiku. Seandainya tubuhku pendek, pasti aku merasa minder berhadapan dengan cewek bule yang berperawakan tinggi langsing itu.

Dengan nafsu yang mulai menggeliat kudekap Pinggang Aleksandra sambil mengecup bibir dan sepasang pipinya. Namun dekapanku bergerak ke arah kancing bra yang berada di punggungnya. Meski pun tidak terlihat, aku berhasil melepaskan kancing yang berada di bagian punggungnya itu. Maka terlepaslah kancing bra itu.

Maka terbukalah sepasang payudara berukuran sedang di depan mataku. Tidak besar, namun kecil pun tidak. Yang jelas sepasang payudara itu mancung ke depan, seperti bunga kuncup dikelilingi oleh embun pagi.

Aleksandra diam pasrah ketika aku menciumi sepasang payudaranya secara bergantian.

Kemudian aku berlutut di depnnya, sambil memeluk sepasang pahanya yang mulus dan menyiarkan hawa hangat ini. Namun pada saat itu aku sedang berusaha menurunkan celana dalamnya yang putih bersih seperti branya.

Lalu pandanganku terpusat ke memek cewek bule itu. Begitu bersihnya, sehingga lipatan-lipatannya tampak jelas. Membuatku harus menahan nafas. Dalam nafsu yang semakin menggebu-gebu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu