3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 17

Setelah Natasha berlalu dari ruang kerjaku, iseng-iseng aku mengaktifkan laptopku, lalu membuka file kumpulan biodata karyawan dan karyawati di hotelku. Entah kenapa, aku ingin mempelajari biodata Natasha secara lengkap.

Setelah menemukannya, aku memeriksanya secara mendtail.

Dan tiba-tiba pandanganku terpusat ke arah keterangan nama orang tua Natasha. Di situ tertulis, Nama Ayah: Edin Baldin, Nama Ibu: Rose Gardina.

Aku agak tersentak setelah membaca nama ibunya itu. Karena seingatku, Papa punya adik kandung dengan nama yang sama, yang tinggal di Halmahera. Rose Gardina…!

Lalu kuingat-ingat lagi… seingatku nama suami Tante Rose suka kusebut Oom Edin. Ya aku ingat benar semuanya itu. Terakhir aku berjumpa dengan Tante Rose pada saat usiaku baru 4 tahun, pada saat aku masih duduk di taman kanak-kanak. Aku juga jadi ingat kembali bahwa Tante Rose punya anak perempuan yang usianya sudah 7 tahun yang suka dipanggil Sasha.

Haaaa?! Apakah Sasha itu nama kecil Natasha yang sekarang menjadi manager di hotelku?

Aku tercenung di depan laptopku. Memikirkan dan mempertimbangkan masalah itu semua.

Supaya mendapat kejelasan, akhirnya kupijat nomor hape Papa. Kemudian :

“Ya Sam… ada apa?”

“Anu Pap… nama lengkap Tante Rose itu apa?”

“Rose Gardina. Emangnya kenapa?”

“Nggak, pengen tau aja. Terus nama lengkap suaminya siapa?”

“Edin Baldin.”

Aku terhenyak. Tapi aku berusaha menguasai diri dan berkata, “Lama sekali kita tidak bertemu dengan mereka ya Pap.”

“Iya. Maklumlah mereka kan tinggalnya sangat jauh. Di Halmahera.”

“Ohya… Mamie belum melahirkan juga Pap?”

“Belum. Tapi sekarang sudah masuk bulannya. Tinggal menghitung hari saja.”

“Iya Pap. Terima kasih ya atas infonya. Daag Papa…”

Lalu secepatnya kututup hubungan selulerku dengan Papa.

Aku pun tercenung lagi. Penasaran sekali, ingin tahu siapa sebenarnya Natasha itu. Sehingga akhirnya kupanggil dia lewat interphone.

Tak lama kemudian Natasha muncul kembali di ruang kerjaku.

“Sha… nama ibumu Rose Gardina kan?”

“Iya Bang. Kenapa tiba-tiba nanyain nama ibu saya?”

“Suka berhubungan lewat hape dengan ibumu?”

“Sering.”

“Coba tanyakan lewat hape, apakah ibumu punya kakak kandung bernama Dardano?”

“Siapa Dardano itu?”

“Coba tanyakan aja dulu lewat hape sekarang. Kalau bisa, keluarkan suaranya lewat speaker, biar aku bisa ikut mendengarkan jawaban ibumu.”

“Iya, “Natasha mengangguk, lalu mengeluarkan hapenya. Dan memijat nomor ibunya.

Tak lama kemudian :

“Hallo… Mama sehat-sehat aja kan?”

“Sehat. Kamu gimana?”

“Sehat juga Mam. Ohya… Mama punya kakak kandung yang bernama Dardano?”

“Lho… itu kan nama lengkap Oom Dar. Memang kakak kandung mama itu nama lengkapnya Dardano. Waktu sebelum dibawa ke Halmahera, kamu kan sempet main segala sama anak-anak Oom Dar. Yang gede namanya Sammy, tapi biasa dipanggil Sam aja. Terus adiknya bernama Yoga. Kalau nggak salah Sam itu umurnya tiga tahun lebih muda darimu.

“Iya Mam.”

Pada saat itulah aku memberi kode agar hubungan seluler antara Natasha dengan ibunya segera ditutup.

Natasha menurut saja lalu berkata, “Mam… maaf… ini ada tamu. Nanti disambung lagi ya.”

Setelah menyimpan hapenya di dalam saku blazernya, Natasha memandangku. “Jadi apa artinya semua itu?”

Kupegang sepasang bahu Natasha sambil menjawab, “Dardano itu papaku. Berarti kamu ini saudara sepupuku. Meski usiamu lebih tua, tapi karena ibumu adik Papa, berarti kedudukan di dalam keluarga kamu ini adikku. Jadi pantaslah kamu memanggilku dengan sebutan Abang.”

Lalu… Natasha memelukku erat… erat sekali.

Pada saat itulah aku menyadari satu hal.

Bahwa petualanganku melingkar-lingkar di seputar sosok-sosok yang ada kaitannya dengan Papa semua…!

Ya… semua perempuan yang kugauli, ada hubungannya dengan Papa semua!

Apakah aku ini manusia incest? Nggak ah. ibu kandungku sudah meninggal dunia. Dan aku belum pernah macem-macem dengan ibu kandungku. Saudara kandungku juga tidak ada yang cewek. Karena itu aku yakin bahwa aku ini bukan manusia incest. Mungkin semua yang kulakukan “hanya” tergolong taboo saja.

“Sasha…” kataku mulai menyebutkan nama kecil Natasha, seperti yang pernah kusebutkan di masa kecilku, “hubungan khusus di antara kita harus tetap dirahasiakan. Jangan sampai mamamu dan papaku tau. Pokoknya yang lebih nyaman sih jangan bilang sudah bertemu denganku deh. Biar jangan banyak pertanyaan yang sulit dijawabnya.

Natasha menyahut, “Iya Bang… aku juga kaget setelah mendengar ucapan Mama di telepon tadi. Bahwa Oom Dar punya anak yang usianya tiga tahun lebih muda dariku, bernama Sammy yang biasa dipanggil Sam aja. Berarti kita sudah berkenalan sejak kecil. Tapi Abang sangat berubah sih. Jauh beda dengan waktu masih kecil dahulu.

“Emang aku berubah gimana?” tanyaku.

Natasha menatapku dengan senyum. Lalu menyahut, “Sekarang jadi ganteng sekali. Cewek mana pun pasti mau dijadikan cewek Bang Sam.”

“Sasha juga jadi berubah jauh dari masa kecil dahulu. Jadi cantik sekali. Makanya aku langsung terpikat olehmu. Dan langsung mengambil keperawananmu, karena takut keduluan sama cowok lain.”

“Gak apa-apa Bang. Aku ikhlas kok, demi lelaki yang sangat kukagumi.”

“Iya… aku sendiri heran… dengan mudahnya aku menyerahkan keperawananku. Karena aku mengagumi Bang Sam begitu jumpa pertama di hotel ini. Dan mulai tergila-gila oleh daya pesona Bang Sam. Ternyata aku tergila-gila pada saudara sepupuku sendiri.”

“Jadi teringat lagi masa kecil kita dahulu… ketika kita nyariin buah arben yang pohonnya berderet di sepanjang selokan… metikin buah kersenyang sudah merah-merah di depan rumah… gak nyangka setelah belasan tahun kita berpisah, ternyata kita masih bisa berjumpa lagi dan batin kita dipersatukan dalam kejadian yang serba tak terduga sebelumnya ya.

“Iya Bang. Setelah aku tau bahwa Bang Sam ini kakak sepupuku, hatiku malah jadi semakin teguh dan yakin bahwa Bang Sam takkan menyia-nyiakan cintaku.”

“Tentu aja Sasha… setelah ada kejutan ini, aku malah jadi kepengen lagi,” sahutku sambil menarik Sasha sampai terduduk di atas pahaku.

“Emang yang tadi belum kenyang Bang?” Natasha mengerling manja.

“Belum,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik spanrok pink-nya. Sampai menyentuh memek di balik celana dalamnya…!

“Sebentar Bang… aku mau ngunci pintu dulu ya. Takut ada yang masuk ke sini… “Natasha menepiskan tanganku dari balik celana dalamnya.

“Sebenarnya kalau langsung masuk sih takkan ada yang berani. Kecuali istriku…”

“Justru itu yang kutakutkan,” kata Natasha sambil berdiri. Lalu bergegas menuju pintu yang sudah tertutup. Lalu menguncinya dan kembali menghampiriku yang sudah berdiri.

“Di kamar lagi aja yuk. Biar lebih leluasa,” kataku sambil memegang pergelangan tangan Natasha, lalu menuntunnya menuju kamar pribadiku dan masuk ke dalamnya.

Setelah tahu bahwa aku ini saudara sepupunya, Natasha jadi berani melingkarkan lengannya di leherku. Lalu mencium bibirku dengan mesra… mesra sekali.

Tentu saja kusambut ciumannya dengan pagutan mesra, diiringi lumatan hangat.

Dan ketika Natasha sudah berdiri di dekat bed, aku pun jadi berani menanggalkan blazer putih dan spanrok pink-nya. Setelah tinggal mengenakan bra dan celana dalam, Natasha pun berinisiatif untuk melepaskan celana denim dan kemeja tangan pendekku (sporthemd). Sehingga aku tinggal mengenakan celana dalam.

Ketika aku melepaskan celana dalamku, Natasha pun melakukan hal yang sama. Memanggalkan celana dalam putihnya.

Lalu… setelah kami sama-sama telanjang, kami bergumul hangat di atas kasur empuk. Yang kusukai adalah, Natasha tidak kaku lagi. Dia tidak jadi pasangan yang pasif lagi. Dia bahkan mulai memberanikan diri memegangi batang kemaluanku yang sudah ngaceng lagi ini. Bahkan sesekali ia menciumi moncongnya.

Ini membuatku semakin bersemangat untuk menggeluti Natasha dari ujung kaki sampai ke payudaranya, lalu turun lagi ke perutnya dan bermuara di memeknya yang sudah merupakan salah satu sumber kenikmatanku.

Salah satu sumber kenikmatanku ini yang mulai kujilati, kusedot-sedot dan bahkan kusodok-sodok dengan jari tengahku. Dan sengaja kualirkan liurku sebanyak mungkin, karena terasa liang memeknya kurang basah dan pasti akan kesakitan kalau batang kemaluanku dibenamkan secara paksa.

Setelah liang sempitnya itu terasa benar-benar masah, barulah aku meletakkan batang kemaluanku di permukaan memek Natasha. Tak cuma itu. Aku sengaja mencolek-colekkan moncong penisku pada kelentit Natasha. Bahkan batang kemaluanku sengaja kupukul-pukulkan ke clitoris dan mulut vaginanya, lalu barulah moncong penisku diselundupkan ke mulut vagina Natasha.

Lalu kudorong terus penisku sampai melesak masuk dengan agak sulit… kudorong lagi sampai terbenam separuhnya di dalam liang memek adik sepupuku yang usianya tiga tahun lebih tua dariku itu.

Natasha tampak seperti menahan nafasnya. Dan baru terurai setelah aku mulai mengentot liang memek sempit menjepit itu.

“Baaang… ooooh… mungkin sekarang aku… mulai benar-benar merasakan… enaknya entotan penis Abang ini…” ucapnya setengah berbisik dan tersendat-sendat.

“Dan aku merasa semakin sayang padamu, Sha…” sahutku tersendat, karena mulai lancar mengentot memek saudara sepupuku ini.

Kini Natasha sudah mulai “terbuka”. Mungkin karena merasa sudah menyatu denganku lebih daripada menyatunya dua orang saudara sepupu. Ketika batang kemaluanku mulai massive mengentot liang memek sempitnya, Natasha pun mulai merintih-rintih histeris… “Bang Saaam… duuuh kenapa sekarang makin terasa enaknya dientot oleh penismu ini Bang?

Ya, sekali lagi kutegaskan, bahwa di dalam keluargaku berlaku peraturan, bahwa semua pihak dilarang merusak tatanan sirsilah. Meski usiaku baru 6 tahun, sementara anak adik Papa sudah dewasa, dia harus memanggilku Bang. Apalagi Natasha yang usianya hanya lebih tua 3 tahun.

Kalau aku memanggilnya Kak atau Ceu atau Teh, maka aku akan ditegur oleh Papa dan disebut merusak sirsilah.

Memang beda dengan beberapa suku lain, yang melihatnya dari faktor usia belaka. Misalnya, kepada saudara sepupu yang lebih tua, mereka harus memanggilnya Uda atau Uni, meski saudara sepupunya itu lahir dari adik-adik orang tuanya.

Dan ketika entotanku sudah berlangsung lebih dari seperempat jam, Natasha semakin menggeliat-geliat… dibarengi dengan rintihan-rintihan histerisnya, “Bang Saaam… aaa… aaaaah Baaaang… dududuuuuuuh… ini enak sekali Baaaang… Baaaang…”

Terus-terusan Natasha menyebut Bang Sam padaku, tanpa keraguan lagi. Karena memang seperti itu hukum sirsilah yang berlaku pada keluarga besar Papa.

Dan setiap kali moncong penisku menabrak dasar liang sanggamanya, selalu saja Natasha memejamkan matanya sambil menahan nafasnya. Lalu manakala penisku ditarik mundur, matanya pun terbuka kembali diiringi dengan uraian nafasnya.

Lalu gejala-gejala itu pun terasa. Bahwa Natasha mulai berkelojotan seperti ayam mau melepaskan nyawanya. Aku sudah mengerti bahwa Natasha akan mencapai orgasmenya. Maka kurangkul lehernya ke dalam pelukanku, diikuti dengan ciuman hangatku di bibirnya. Sementara entotanku semakin kupercepat. Lalu kubenamkan penisku sedalam mungkin, tanpa digerakkan lagi.

Pada saat itulah terasa liang memek Natasha mengedut-ngedut bersama rintihan histerisnya, “Bang… ooooooh… Baaang… oooooo… oooooooo… ooooooohhhh Bang Saaaaaam… !”

Pada saat yang sama Natasha meremas sepasang bahuku dengan kuatnya, seolah ingin meremukkannya.

Lalu tubuh mulus itu melemas… Natasha sudah mencapai puncak ternikmatnya. Dan aku menyambutnya dengan kecupan-kecupan mesra. Sementara penisku sengaja kubiarkan terdiam, sambil menikmati indahnya liang memek Natasha yang sedang merembeskan lendir libidonya.

Aku menunggu sampai gairah Natasha pulih kembali.

Setelah wajahnya tampak menyorotkan aura kecantikan wanita paska orgasme, barulah aku mengayun kembali penisku yang masih jauh dari ejakulasi ini.

Kali ini entotanku diiringi dengan remasan di sepasang toket mungilnya. Terkadang kusertai dengan jilatan dan gigitan kecil di ketiaknya yang beraroma harum itu. Terkadang juga kujilati dan kugigit-gigit leher jenjangnya yang sudah basah oleh keringat. Bahkan daun telinganya pun tak luput dari jilatanku.

O, betapa indahnya semua ini…

Ini membuat Natasha edan-eling kembali.

Rengekan dan rintihan histerisnya pun terdengar kembali, berbaur dengan desahan nafasnya yang tersendat-sendat, “Dududuuuuuh… Bang… Baaaang… aaaaaa… aaaaaahhh… saking enaknya… aku… aku merasa seperti sedang melayang-layang gini Bang… aaaaaaaaa… aaaaaaaaakhhh… entot terus Baaaaaang…

Namun rintihan dan rengekan itu dilontarkan dalam suara perlahan sekali, suara setengah berbisik. Mungkin karena kami sedang melakukan semua ini di dalam lingkungan kantor hotel. Entahlah kalau aku menyetubuhinya di areal bebas. Mungkin juga rintihannya bisa menjadi raungan-raungan seperti harimau yang sedang naik birahi.

Sementara bagiku persetubuhan ini bukan persetubuhan pertama. Dengan sendirinya aku jadi sangat tangguh dan mampu “bermain” dalam durasi lama sekali.

Keringatku pun mulai bercucuran. Tapi aku takkan “beradaptasi” dengan kekuatan Natasha. Aku ingin menggenjotnya sepuas hatiku secara natural. Takkan kupercepat mau pun kuperlambat.

Maka batang kemaluanku menggasak liang memek Natasha habis-habisan. Tanpa ampun. Karena aku ingin memperagakan bahwa inilah kemampuanku yang sebenarnya. Mungkin sangat ganas menurut ukuran pemula macam Natasha.

Namun pada suatu saat Natasha memeluk leherku erat-erat sambil berbisik terengah, “Bang… aku sepertinya mau orgasme lagi Bang…”

“Iya. Lepasin aja… jangan ditahan-tahan…” sahutku sambil mengayun batang kemaluanku dalam gerakan sprint…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu