3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Sebenarnya pada waktu mandi bersama Mamie, nafsuku timbul lagi. Tapi sengaja kutahan nafsuku, agar tidak mengacaukan jadwal pulang ke kota kami.

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di belakang setir mobil Papa lagi.

Rencana Mamie akan menginap di villanya, dibatalkan. Mungkin karena Mamie sudah mendapatkan apa yang diinginkannya. Karena itu kami gunakan jalan tol lagi.

Di salah satu rest area, kami istirahat dan makan dulu di sebuah restoran. Di situlah Mamie berkata, “Sebenarnya mamie punya rumah yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor. Nanti kalau Papa sudah pulang, kamu tinggal di rumah itu aja ya. Supaya kalau mamie kangen sama kamu, tinggal datangin rumah itu aja.

“Kalau Mama nanya nanti harus gimana jawabnya?” tanyaku.

“Bilang aja kamu kerja magang di perusahaan mamie. Mmm… soal itu sih biar Papa yang jelasinnya nanti ke Mama.”

“Rumah Mamie itu kosong?”

“Kosong sekali sih nggak. Ada kakakku yang nungguin.”

“Kakak Mamie laki-laki?”

“Perempuan,” sahut Mamie, “Janda beranak satu.”

“Owh…”

“Jadi nanti ada yang masakin untuk makan Sam sehari-hari.”

“Iya.”

“Tau gak apa sebabnya mamie mau menempatkan Sam di rumah itu?”

Aku menggeleng.

“Meski kita sudah mendapat izin dari Papa, kita tetap harus menjaga perasaannya. Jadi kalau kita mau bercinta, sebaiknya Papa tidak usah menyaksikannya. Karena itu Sam akan mamie tempatkan di rumah yang terpisah dari rumah mamie.”

“Iya Mam. Aku sih mau nurutin apa kata Mamie aja.”

Mamie meeremas-remas tanganku yang terletak di atas meja makan. sambil berkata, “Tepat seperti yang Papa sering bilang, kamu ini easy going, penurut, jujur dan teguh memegang rahasia. Makanya pilihan Papa jatuh kepada kamu, Sayang.”

“Demi Mamie, apa pun akan kulakukan,” sahutku.

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di belakang setir lagi, melajukan mobil dengan kecepatan sedang, karena Mamie minta agar aku jangan ngebut di jalan tol.

Setibanya di kotaku, Mamie mengulangi ucapannya di rest area tadi, “Arah ke kantor dulu ya. Biar kamu tahu rumah yang akan kamu huni setelah Papa pulang dari luar negeri nanti.”

“Iya Mam.”

Rumah itu memang sangat dekat ke kantor Papa. Tidak sebesar rumah yang Mamie tempati. Tapi tetap aja tampak megah.

Ketika mobil kumasukkan ke pekarangan rumah itu, seorang wanita membuka pintu depan.

Sebelum membuka pintu mobil, Mamie berkata, “Nah itulah kakak mamie. Nanti kamu harus manggil Tante Ken sama dia ya.”

“Iya Mam,” sahutku sambil mematikan mesin mobil. Lalu turun dari mobil. Mengikuti langkah Mamie menghampiri wanita itu.

Mamie cipika-cipiki dengan wanita itu, lalu memperkenalkanku padanya.

Aku pun menjabat tangannya dengan sikap sopan. Wanita itu pun bersikap ramah padaku, “Baru sekarang kita ketemu ya?”

“Iya Tante,” sahutku.

Lalu kami masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang peralatannya serba modern dan mahal.

“Di sini ada tiga kamar yang kosong di lantai bawah, satu kamar di lantai atas. Nanti terserah Sam mau pakai kamar yang mana,” kata Mamie sambil duduk di ruang keluarga.

Kemudian Mamie berkata kepada kakaknya. Bahwa setelah Papa pulang dari luar negeri, aku akan ditempatkan di rumah ini.

“Baguslah,” kata Tante Ken, “kalau ada laki-laki di rumah ini, aku takkan takut-takut lagi di malam hari.”

“Iya, maksudku memang gitu,” sahut Mamie, “sementara Sam juga tak usah repot-repot masak sendiri. Karena Ciecie kan jago masak.”

Tante Ken mengangguk, “Kalau soal masak memasak sih bagianku deh.”

Mamie memanggil “Ciecie” kepada kakaknya, menyadarkanku bahwa Mamie ada darah campuran Tionghoanya.

Lalu aku diajak memeriksa kamar-kamar yang kata Mamie bisa dipakai olehku itu. Akhirnya kupilih kamar yang di atas, karena sudah terbiasa menempati kamar di lantai atas rumah Mama.

Mamie setuju. “Memang bagusan di atas, supaya kamu bisa belajar dengan tenang nanti, “katanya.

Dalam perjalanan pulang meuju rumah utama Mamie, aku mendengar penuturannya tentang Tante Ken itu. “Suami kakak mamie itu meninggal pada saat anaknya sedang-sedangnya membutuhkan biaya. Makanya mamie suruh dia menunggu rumah itu, supaya segala kekurangannya tertutupi.”

“Anaknya cowok?” tanyaku

“Cewek,” sahut Mamie.

“Tadi anaknya kok gak muncul Mam?” tanyaku lagi.

“Anaknya kuliah di Jakarta. Mungkin masa liburannya beda dengan masa liburanmu Sam.”

“Haaa? Wanita semuda itu punya anak yang sudah kuliah?”

“Kakak mamie itu menikah di usia muda sekali. Umur tujuhbelas sudah melahirkan. Maka sekarang anaknya sudah delapanbelas tahun… mungkin seumuran denganmu Sam.”

“Aku sudah sembilanbelas tahun Mam.”

“Ya, beda setahun lah. Tapi kira-kira anaknya itu sebaya denganmu.”

Aku terdiam. Tadinya kupikir anak Tante Ken itu masih balita. Ternyata sudah mahasiswi. Hmm… wanita berusia 35 tahun punya anak yang sudah menjadi mahasiswi.

“Dalam masalah mencari harta, mamie menang. Tapi dalam masalah anak, mamie sangat ketinggalan,” kata Mamie dengan suara lirih.

“Mudah-mudahan aku bisa membuahi Mamie secepatnya,” sahutku.

Mamie menyandarkan kepalanya di bahuku sambil berkata, “Iya Sayang. Mamie sudah ingin sekali punya anak darimu. Kalau anaknya cowok, pasti seganteng ayah biologisnya.”

“Kalau cewek, pasti secantik ibunya.”

“Emangnya aku cantik di matamu?”

“Sangat… sangat cantik Mam.”

“Emwuaaah…! “Mamie mengecup pipi kiriku, “Kamu juga ganteng dan macho Sam. Beruntung mamie bisa memilikimu.”

“Maaf Mam… kalau boleh aku mau nanya…”

“Nanya apa?”

“Waktu Mamie menikah dengan Papa, apakah Mamie memang mencintainya?”

“Ini rahasia ya. Jangan sampai papamu tau. Mmm… sebenarnya mamie menerima cinta papamu berdasarkan pikiran untuk menyelamatkan dan mengembangkan perusahaan. Dan mamie tau bahwa satu-satunya orang yang bisa mamie percayai, adalah Papa. Dia itu rajin, jujur dan cerdas. Atas dasar itulah mamie menerimanya sebagai suami.

“Lalu… apakah mamie pernah mencintai lelaki lain sebelum mengenal Papa?”

“Nggak pernah. Waktu masih gadis mamie sangat jutek. Kalau ada cowok mendekat, mamie malah curiga. Takut cowok itu hanya mau mengincar harta mamie.”

“Jadi lelaki yang Mami cintai itu Papa?”

“Mamie hanya sayang pasa Papa. Dan masalah cinta pertama… kamulah cinta pertama mamie. Sungguh Sam. Mamie nggak main-main. Sekarang ini hati mamie sudah sepenuhnya milik kamu. Tapi rahasiakan ini ya. Jangan sampai Papa tau. Kasian dia nanti.”

“Mam… kalau boleh bicara jujur… aku juga baru sekali ini merasakan cinta… ya kepada Mamie…”

“Terus… perempuan-perempuan yang pernah kamu gauli di masa lalumu, gak ada yang kamu cintai?”

“Semuanya kulakukan tanpa perasaan cinta, Mam. Percayalah, baru dengan Mamie ini aku melakukannya dengan perasaan cinta… Jadi… hatiku sekarang sudah menjadi milik Mamie…”

“Terima kasih Sam. Tapi sebelum Sam mencintai mamie, hati mamie ini sudah duluan menjadi milikmu.”

“Duh Mam… ucapan Mamie barusan, membuat dadaku berdenyut… aku… aku bahagia sekali saat ini Maaam…”

Sebagai jawaban, Mamie mencium pipi kiriku lagi. Disusul dengan bisikan di dekat telingaku, Mamie juga sedang merasa bahagia… sangat bahagia, Sam.”

Setibanya di rumah utama Mamie, aku diajak langsung masuk ke dalam kamarnya. Dan settelah berada di dalam kamarnya, Mamie memelukku sambil berkata, “Selama Papa belum pulang, Sam harus tidur sama mamie di sini ya.”

“Iya Mam. Whatever you ask for, I will do…” sahutku terputus di tengah jalan, karena Mamie mencium bibirku.

Disusul dengan ucapan mesranya, “My heart is yours, honey…”

Aku memberanikan bicara dalam bahasa Inggris, karena kulihat ada ijazah yang diberi kaca dan pigura tertempel di kamarnya. Ijazah dari salah satu universitas di Amerika Serikat. Sudah pastilah Mamie pandai berbahasa Inggris. Tak mungkin kuliah di Amerika kalau tidak pandai berbahasa Inggris.

“Nanti kita tidur telanjang ya,” bisik Mamie.

“Kalau aku kepengen lagi gimana?”

“Gampang lah… tinggal masukin aja… kan udah hafal jalannya… hihihii…” sahut Mamie sambil ketawa kecil.

Begitulah… malam itu kami tidur telanjang, di balik selimut tebal.

Tapi tidur sambil memeluk tubuh Mamie dalam telanjang begini, malah membuatku tidak bisa tidur. Malah “sibuk” meraba ke sana-sini, sampai akhirnya… bersetubuh lagi…!

Peristiwa seperti itu berulang-ulang terjadi tiap malam. Selama Papa belum pulang, tiada malam yang kulewatkan tanpa hubungan sex dengan Mamie.

Setelah Papa datang, aku pun mendapat briefing dari beliau. Bahwa aku harus merahasiakan hubunganku dengan Mamie, jangan sampai Mama dan saudara-saudaraku tahu. Karena Papa hanya memberikan “privilege” itu untukku sendiri.

Selain daripada itu, aku pun harus “laporan” kepada Mama, bahwa aku akan kerja magang di perusahaan Papa dan harus tinggal di mess karyawan.

Banyak lagi yang Papa katakan. Antara lain harapan Papa agar Mamie bisa hamil olehku. Karena kalau aku “sukses” menghamili Mamie, berarti aku telah berhasil untuk melanggengkan rumah tangga Papa dengan Mamie.

Dan aku melaksanakan semua arahan dari Papa itu.

Kebetulan kedatangan Papa itu tepat dengan habisnya masa liburanku. Maka pada hari itu juga aku pulang ke rumah Mama dan mengatakan semua yang diarahkan oleh Papa. Bahwa aku akan kerja magang di perusahaan Papa. Bahwa aku harus tinggal di “mess karyawan perusahaan” dan sebagainya.

Mama kelihatan sedih mendengarkan penuturanku.

“Nanti kalau mama kangen sama kamu gimana?” tanya Mama dengan suara lirih.

Kujawab, “Gampang Mam. Telepon aja aku. Dan aku akan segera datang ke sini. Kalau aku sedang sibuk, kan ada Yoga yang bisa menggantikanku.”

Sebenarnya aku tidak tega juga meninggalkan Mama. Tapi aku pun harus memikirkan masa depanku. Kalau aku mengikuti keinginan Mamie, masa depanku akan lebih terjamin. Selain daripada itu, aku memang sudah mencintai Mamie. Sehingga aku pun akan merasa berat kalau harus jauh dari Mamie.

Esoknya aku mulai tinggal di rumah yang telah disediakan itu oleh Mamie itu, bersama kakak Mamie yang telah kubiasakan memanggilnya Tante Ken itu.

Memang menyenangkan tinggal di rumah sebesar ini, meski jauh dari Mama dan saudara-saudaraku. Tapi aku juga harus bisa menempatkan diri, dengan mengerjakan apa yang bisa kukerjakan.

Pagi-pagi, setelah bangun aku beres-beres kamar dulu sampai benar-benar bersih dan rapi. Karena aku teringat nasehat Papa dahulu. Bahwa jangan dulu keluar dari kamar sebelum keadaan kamar benar-benar rapi. Kain seprai dirapikan, selimut dilipat dan diletakkan di atas bantal yang sudah kususun rapi.

Beberapa kertas yang tak dipakai lagi, kumasukkan ke tempat sampah. Lalu aku menyapu di kamarku, dilanjutkan dengan mengepelnya.

Pokoknya seluruh lantai dua kubbersihkan dan kurapikan. Pulang kuliah pun aku tidak malas-malasan. Kusirami setiap tanaman hias di pekarangan depan dan di sekitar kolam renang yang terletak di pekarangan belakang.

Bukan cuma itu. Keseluruhan rumah yang terdiri dari 7 kamar di lantai bawah dan 2 kamar di lantai atas, hampir tiap hari kuperiksa. Kalau ada yang kurang bagus letaknya, aku tidak ragu-ragu untuk mengubahnya.

Mamie memang sudah mengijinkanku untuk merapikan dan mengubah sesuatu yang kuanggap tidak pada tempatnya atau harus diganti oleh sesuatu yang baru.

Masalah biayanya, aku tidak sayang-sayang mengeluarkan duit dari kocekku, karena Mamie mentransfer dana yang jumlahnya luar biasa bagiku.

Pada hari ketiga aku tinggal di rumah yang disediakan oleh Mamie itu, aku mendapat call dari Mamie :

“Sudah tinggal di rumah yang dekat dengan kantor itu?”

“Sudah tiga hari aku tinggal di rumah ini Mam. Kapan Mamie mau ke sini?”

“Sekarang sih belum bisa. Usaha kita belum berhasil Sam.”

“Maksud Mamie?”

“Ini baru saja mamie datang bulan. Berarti Mamie belum hamil.”

“Mungkin tempo hari kita melakukannya bukan di masa subur.”

“Memang waktu kita ke Jakarta juga masa suburnya sudah terlewat Sam. Makanya nanti kalau mamie ke situ, berarti mamie sedang dalam masa subur. Mudah-mudahan bisa langsung jadi nanti.”

“Masa subur Mamie kira-kira kapan?”

“Mungkin dua atau tiga hari setelah mamie bersih. Jadi kira-kira dua minggu lagi mamie akan datang ke situ. Ohya… meski tidak ada nama yang ditulis di depan rumah yang kamu tempati itu, kita namakan rumah itu Rumah Cinta ya.”

“Iya Mam. Setuju seratus persen… !”

“By the way, tadi mamie udah transfer duit lagi. Kalau ada bagian rumah yang harus diperbaiki, pakai aja duit itu ya Sam.”

“Iya Mam. Terima kasih. I love you Mam…”

“I love you too, Honey. Emwuaaaah…”

Setelah hubungan seluler dengan Mamie ditutup, aku tersenyum sendiri. Karena membayangkan segala yang pernah terjadi antara aku dan ibu sambung keduaku itu.

Tapi kudengar Tante Ken memanggilku dari lantai bawah, “Saaam… !”

“Yaaa!” sahutku sambil keluar dari kamarku dan melangkah ke dekat tangga.

“Makan malam yuk,” kata Tante Ken di bawah.

“Iya,” sahutku sambil melangkah menuruni tangga menuju ruang makan.

Di meja makan sudah terhidang beberapa macam makanan chinese food. Ada capcay, fuyunghay, soup sayap ayam dan lainnya.

“Makanan sebanyak ini, hasil masakan Tante sendiri?” tanyaku sambil menarik kursi makan dan duduk di situ.

“Iya. Tante jarang beli makanan dari luar, kecuali kalau kepepet.”

“Pantesan Mamie bilang Tante ini jago masak.”

“Wanita kan sebaiknya membiasakan giat di dapur.”

“Tapi Mamie sih kelihatannya gak pernah masak sendiri ya.”

“Dia kan orang kaya Sam. Segalanya bisa main suruh.”

Lalu kami mulai makan.

“Sebelum ada aku, Tante gak takut tinggal sendirian di sini?” tanyaku.

“Takut juga sih. Terutama di malam hari. Maklum zaman sekarang kan banyak kejadian yang menyeramkan.”

“Anak Tante di Jakarta tinggal di rumah kos?”

“Frida sih tinggal di keluarga ayahnya. Tante gak bakal ngijinin kalau tinggal di rumah kos sih. Dia kan cewek. Kalau bukan tinggal di rumah famili, gak ada yang ngawasin.”

“Iya Tante. Tapi kenapa Tante gak kawin lagi?”

“Nggak ada yang mau. Hihihiii…”

“Ah masa sih? Tante kan cantik… masih muda pula.”

“Masih muda apa? Umur tante sekarang sudah tigapuluhlima. Tiga tahun lebih tua daripada mamie sambungmu Sam.”

Lalu entah kenapa aku jadi ngomong agak menjurus ke arah “sana”.

“Tapi Tante masih punya hasrat kan?” tanyaku memancing.

“Hasrat apa?”

“Hasrat untuk… untuk disentuh oleh laki-laki.”

“Ya tentu aja. Tante kan perempuan normal.”

“Lantas kenapa gak menikah lagi?”

“Orang bilang, perempuan itu hanya bisa dipilih, tidak bisa memilih. Makanya, selama tidak ada laki-laki yang memilih tante, ya tante jalani aja hidup dalam kesendirian seperti sekarang ini.”

Aku terdiam. Dan teringat riwayat penyanyi dari Filipina yang sudah lama bermukim di Indonesia. Menurutku artis berdarah Filipina itu cantik, tapi sampai sekarang belum punya suami. Padahal usianya sudah 45 tahun.

Mungkin seperti itu pula takdir yang tersurat di kehidupan Tante Ken itu.

Padahal di mataku Tante Ken (yang sebenarnya bernama Niken) itu sangat sexy. Wajahnya mirip Mamie. Kulitnya putih mulus (maklum ada darah Tionghoanya). Pinggangnya ramping, tapi bokongnya semok.

Aaah… kenapa aku jadi punya pikiran sejauh itu? Bukankah aku bertekad untuk mencintai Mamie seorang saja? Mamie yang mencintaiku dan sudah berharap untuk kuhamili itu?

Entahlah. Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku mulai memperhatikan wajah Tante Ken yang sedang duduk di depanku dibatasi oleh meja makan. Wajahnya memang sangat mirip Mamie. Kulitnya juga sama putihnya dengan Mamie. Cuma bentuk tubuhnya yang berbeda.

Mamie bertubuh tinggi semampai, sementara Tante Ken bertubuh tinggi montok. Sama dengan Mbak Ayu dan Mbak Ita. Tubuh Mbak Ayu tinggi montok, sementara tubuh Mbak Ita tinggi semampai.

“Tidur sendirian apa gak takut dan kesepian, Tante?” tanyaku, memancing lagi.

“Emang kenapa? Mau nemenin tante tidur?” dia balik bertanya dengan senyum yang mengundang hasratku.

“Mau… asal jangan laporan sama Mamie aja,” sahutku.

“Ya jangan sampai dia tau dong. Dia kan ada hubungan istimewa denganmu ya?”

Aku tersentak, “Haaa?! Emangnya Mamie ngomong gitu sama Tante?”

“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi tante melihat sikapnya padamu tidak seperti sikap seorang ibu kepada anaknya. Iya kan?”

Aku terdiam. Tidak berani membicarakan masalah Mamie lagi. Takut salah ngomong.

Namun kenapa penisku diam-diam terbangun di balik celana dalam dan celana jeansku?

Apakah ini yang disebut tuntutan biologis?

Entahlah. Yang jelas, ketika tanganku berada di atas meja makan, Tante Ken meremasnya. Sementara matanya pun menatapku dengan senyum yang sangat menggodaku…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu