2 November 2020
Penulis —  Mr_Boy

Dirumah Bambu Bercinta dengan Ibu

Kampung cipalasik adalah kampung yang damai dan sejuk. Disini kebayakan penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, ada yang berkebun, berternak unggas, kambing, juga menanam padi di sawah. Kebayangkan rumah penduduk disini rumah panggung dengan dinding bambu atau papan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga menjadi rumah yang memang bagi kami sangat layak untuk ditempati.

Terletak di pegunungan yang berkabut dengan curah hujan yang tinggi. Posisi tempat kampung kami juga berada sangat jauh dari kota, butuh perjalanan berjam-jam untuk sampai ke sana. Selain jalannya yang rusak parah penuh lumpur dan berbatu, ditengah jalan juga belum tentu selamat dari perampok yang selalu saja ada kejadian orang dianiaya bahkan hingga tewas.

Begitu pun dengan keadaan rumah yang sedang kami tempati terbuat dari anyaman bambu, bagian atasnya terbuat dari anyaman daun kelapa yang disusun rapi berbaris-baris yang kini sudah berwarna coklat. Kadang jika hujan sangat lebat, ada saja air yang menetes kedalam ruangan rumah kami. Ini sudah menjadi kebiasaan disaat hujan pasti terjadi seperti ini.

Sedangkan lantainya juga terbuat dari anyaman bambu yang kerangkanya dari campuran bambu tua juga kayu-kayu yang diambil dari hutan. Karena rumah kami adalah rumah panggung, dibagian bawahnya dimanfaatkan untuk kandang beberapa unggas, dipinggir rumah juga ada beberapa kambing yang setiap hari saya mencari rumput untuk makanan ternak kami.

Hidup seperti ini yang penuh dengan kekurangan, tidak membuat kami merasa mengeluh dengan pemberian rejeki yang ditebarkan tuhan kepada makhluknya. Kami merasa bersyukur dengan keadaan kami karena diluar sana pastilah banyak keluarga yang lebih susah kehidupannya daripada kehidupan kami.

Saya Ucup berusia 18 tahun dengan tinggi 170 berbadan agak kekar hasil dari kerja keras setiap hari, kehutan, sawah, dan menggembala kambing. Kulitku juga berwarna coklat kehitaman akibat disaat terik matahari pergi ke hutan mencari rumput untuk makanan ternak. Ketika menggembala kambing saya tak sendiri, karena ada teman-teman sebayaku yang juga punya hewan ternak yang selalu digembalakan.

“Cup.. Ucup…?!” Ibuku memanggilku dari dalam rumah.

“Iyaa Bu?? Ada apa bu…??” Kata aku kepada ibu.

Sedikit tentang ibuku, namanya ibu darsih berusia 38 tahun tinggi sama denganku 170, berat badannya saya tidak tahu persis, yang jelas tubuhnya gendut dengan paha dan pantat yang besar pinggul lebar, payudaranya yang besar kadang sampai menyembul. Terlihat uratnya yang hijau dibalik kulitnya yang putih, entah mungkin bhnya tak sanggup menampung payudaranya atau memang bhnya kekecilan.

“Ini nasi sama lauknya nak, kenapa tidak makan dulu saja sebelum menggembala kambingnya? Nanti kamu sakit nak…?” Kata ibuku.

“Nanti saja Bu di hutan makannya sama teman-teman, soalnya Ucup suka kalau makan bareng sambil menggembala Bu..” kata aku kepada ibuku yang sedang membawakan rantang berisikan nasi dan lauknya lalu dimasukan kedalam tas selempangku yang terbuat dari anyaman rotan.

“Makasih bu, ibu selalu nyiapin buat Ucup makanan kalau mau menggembala…” Kataku kepada ibu.

“Kamu udah berapa kali ngomong itu kepada ibu nak?, sampai tidak ke hitung.. memang nalurinya seorang ibu menyayangi anaknya.. setiap ibu pasti begitu. Hati-hati yaa nak dihutannya…” Ucap ibuku sambil tersenyum, aku pun melambaikan tanganku sambil terus melangkah menggiring beberapa kambing menuju hutan.

Ditengah jalan saya bertemu dengan teman-teman yang sedang menggiring kambing-kambingnya. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan kadang tak melakukan perjanjian pun kami selalu bertemu ditengah jalan.

Setelah sampai ditempat yang penuh rumput yang menghijau, kami membiarkan kambing-kambing itu makan sendiri. Saya bersama teman-teman membuka bungkusan bekal dari rumah masing-masing, kami makan dengan lahap serta saling berbagi lauk pauknya. Sesekali mata kami melihat kambing-kambing itu agar tidak mencari makan terlalu jauh, karena pernah saking asiknya ngobrol kambing kami hilang dari pantauan meskipun akhirnya ditemukan kembali.

Sorenya saya pulang kembali sambil membawa rumput di karung untuk diberikan ke hewan ternak pada pagi harinya. Setelah memasukkan kambing-kambing ke kandangnya, saya taruh karung yang berisikan rumput itu disamping kandang, lalu istirahat sejenak didepan rumah diterasnya yang berbentuk panggung yang terbuat dari anyaman bambu.

Duduk sambil melihat pemandangan alam yang menghijau, disertai angin yang begitu sejuk membelai kulitku sampai keringatku mengering.

Ketika sedang duduk-duduk itu, datanglah ibuku sambil membawa ketel (tempat air minum) yang terbuat dari aluminium beserta gelas kacanya yang bermotif bunga.

Ibuku ikut duduk di sampingku lalu berkata, “Cup, minum dulu nak…” Ucap ibuku sambil menuangkan ketel yang berisikan air teh yang masih mengepul karena masih agak panas.

“Ibu… Jangan repot-repot Bu..? Ucup bisa ambil sendiri minumnya… Ucup malu tidak bisa membalas kebaikan ibu…” Kataku kepada ibu.

Ibuku tersenyum, lalu berkata, “Nak, kamu putra ibu satu-satunya… Kamu juga penyemangat ibu, buah hati ibu… Ibu mana yang tega melihat anaknya penuh peluh keringat kecapean, setidaknya ibu bawakan air teh ini bisa meringankan beban kamu nak…”

“Makasih yaa Bu, ibu juga sumber dari segala harapanku… Kelak aku akan mencari istri yang baik juga tulusnya seperti ibu…”

Kataku kepada ibu sambil saya minum teh anget itu.

Rupanya ucapanku tadi telah membuat ibuku malu-malu dan merasa dibanggakan, dirinya melemparkan senyuman lalu katanya, “kamu bilang apa sih cup…? Masa ibu sumber harapan kamu… memangnya ibu begitu ya di mata kamu?”

“Iyaa Bu, selain itu ibu juga cantik dan montok, beruntung sekali ayah memiliki istri yang sempurna seperti ibu… Oiya Bu, ayah kemana yaa? Kok gak keliatan?”

“Bapak kamu nyari kayu bakar, tapi belum juga pulang… Kamu makin ngelantur aja ngomongnya cup.. masa ibu yang gendut ini dibilang cantik.. bapak kamu aja biasa aja tuh gak puji-pujian ibu… Cuman kamu aja yang peka kalau ibu selalu merawat tubuh…“.

Ucapanku semakin masuk mempengaruhi pikiran dan hati ibu sedikit demi sedikit sehingga ibu terbawa jebakan kata-kataku. Saya hanya berharap ibuku mau menjadikanku suami keduanya.

Sejak 5 tahun yang lalu, ketika pikiranku sudahbaligh (mimpi keluar air mani) kebetulan yang saya mimpikan itu ibuku sendiri. Saat itulah ibu selalu menjadi fantasiku dalam beronani.

Lalu, perlahan-lahan saya mulai berani mengeluarkan kata-kata rayuan yang awalnya dianggap biasa-biasa saja oleh ibu. Tapi seiring berjalannya waktu, dengan penuh kesabaran dan keinginan yang kuat dari dalam diriku, setidaknya ibu mau memberikan hati dan perasaannya.

Kini perjuanganku selama bertahun-tahun lamanya membuahkan hasil, ibuku semakin memberikan perhatian dan selalu mengeluarkan uneg-unegnya disaat hatinya gelisah.

Meskipun saya sudah beranjak dewasa, aku selalu tiduran dipangkuan ibu sambil mencari kutu. Padahal kutu di kepalaku sudah tidak ada, hanya saja kebiasaan itu sudah melekat pada kami, sehingga tiduran dipangkuan ibu menjadi hal yang lumrah kami lakukan.

Ketika sedang mengobrol itu, ayahku pak Samin sudah berusia 49 tahun datang dari arah depan, sambil memikul kayu bakar yang dibawa di atas pundaknya. Lalu setelah dibawa ke dapur ayah menghampiri kami.

“cup kamu baru pulang?“.

“Dari tadi yah, Ucup ngangin dulu sambil minum teh anget dari ibu..”

“Mandi dulu sana, udah mau Maghrib..”

“Iya yah..”

saya pun bangkit beranjak dari tempat duduk menuju tempat mandi. Jujur saja sebenarnya tidak kuat mandi pagi, sore atau malam. Udara yang dingin ditambah air yang seakan menusuk tulang, pasti membuat badanku menggigil kedinginan.

Setelah saya mandi, membersihkan bagian-bagian tubuh yang kotor, saya ke kamar mengganti baju. Disusul ayah pun mandi juga kebelakang rumah, sedangkan aku menuju ibuku yang sedang menyiapkan makanan.

“Masak apa Bu? Wangi sekali aromanya…?” Kataku sambil menghirup bau yang sedap.

“Ini ibu masak sayur jamur sama rebung pake bumbu kacang kesukaan kamu nak…” Ucap ibu sambil menyodorkan piring yang sudah berisikan nasi putih yang mengepul.

“Wahh! Hebat banget ibu masaknya.. masakan ibu selalu enak, nanti ajarin Ucup masak rebung dong Bu?”

“Iyaa ibu nanti ajarin kamu cara masaknya ya.. sekarang kita makan, tapi nunggu ayahmu dulu ya…?”

Ucap ibuku, selain memiliki tubuh yang montok, ibu punya daya tarik yang sangat mengundang birahiku. Entah ada apa denganku ini? Mencintai ibuku sendiri.

Sambil menunggu ayah selesai mandi, diam-diam aku pandangi lekukan tubuh ibu dari wajah sampai kedua kakinya. Melihat paras ibu yang cantik, payudaranya yang montok juga tubuhnya yang bahenol, sampai membuat torpedoku mengeras hebat.

Tiba-tiba ibu melihatku ketika aku sedang mengamati tubuhnya,“Cup? Bengong kenapa..? Dari tadi liatin ibu terus..? Kenapa, ibu gendut yaa..?” Ucap ibuku memandangku lalu menyiapkan nasi ke piring untuk ayah.

“Bagaimana Ucup tidak bengong Bu… Perasaan, ibu semakin cantik saja setiap harinya… hehee!” Kataku kepada ibu yang tersipu malu.

“Udah ahh jangan godain ibu terus.. tuhh! Tangan ibu sampai gemetaran begini…” Ucap ibu.

Benar saja jangankan tangannya, tubuhnya pun ikut gemetaran karena pujianku barusan.

Lalu ayah pun datang dari arah kamar mandi, masuk sebentar ke kamar dan menghampiri kami yang sudah menunggu lama untuk makan.

Ketika sedang makan dengan lahapnya, ibu berkata kepada ayah, “Gimana pak masakan ibu enak…?” Ucap ibu.

“Hmmm.. lumayan…” Kata ayah sambil mengunyah.

Rupanya ucapan ayah tadi sudah menghilangkan senyuman di wajah ibu, saya bisa melihat dan merasakan bagaimana perasaan ibu ketika mendengar jawaban datar itu.

Apa ayah tidak tahu, pujian sederhana terhadap kerja keras seorang wanita adalah penghargaan terbesar dari hasil usahanya? Memang kejadian seperti ini sejak dulu sering ku lihat.

Saya pun tahu, ibu seperti menahan rasa sesak dihatinya bertahun lamanya.

‘Tok! Tok! Tok!‘. “Assalamualaikum, Pak Samin..?!!” Suara pintu diketuk.

“Iyaa sebentar…” Ayah ke depan membuka pintu.

“Pak Samin maaf mengganggu..”

“Gak apa-apa pak Kasim, ada apa ya..?”

“Besok pagi kita sama lima orang lainnya oleh ketua adat, mengajak pak Samin ke kota untuk mewakili kampung kita menghadiri pesta rakyat syukuran pak. Bagaimana pak Samin akan ikut?”

Ucap pak Kasim tetangga kami.

“Baiklah saya ikut pak Kasim, apalagi yang mengajak kan ketua adat. Suatu kehormatan bagi saya untuk bisa ikut pak…”

“Baiklah kalau begitu saya pamit dulu pak Samin, besok pagi kita siap-siap berangkat… Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam… Ehh.. tunggu pak Kasim… Berapa lama kita disana?”

“O.. iya saya hampir lupa, sekitar tiga harian pak… Permisi pak saya pamit…”

“Iyaa..” pintu pun ditutup.

_“Mau menghadiri pesta rakyat pak?” Kata ibuku ketika ayah duduk kembali.

“Iya Bu, sepertinya bapak akan ikut ke kota bersama yang lainnya, apalagi yang mengajak ketua adat. Bapak harus ke sana besok pagi…” Kata ayah melanjutkan makannya.

“Ya sudah, hati-hati pak di sana…” Ucap ibu.

“Hmmm…” Ayah hanya berdehem menjawab ibu sambil mengunyah.

Akhirnya makan-makan pun selesai, saya membantu ibu membawakan piring, lauk dan nasi di bakul. Sedangkan ibu menyapu sisa-sisa nasi yang berjatuhan.

Seperti biasa selesai membantu ibu, saya ke depan rumah duduk diteras panggung untuk menikmati suasana malam.

Ketika sedang duduk datang ayah dari dalam rumah sepertinya mau pergi, “Cup, jagain ibu ya? Bapak mau ke ketua adat dulu…”

“Iya yah…” Kataku singkat.

Beberapa menit sejak ayah pergi, datang ibu dari dalam rumah membawa secangkir kopi, lalu diletakkan dipinggir tempatku berada.

“Bu..?” Aku tertegun melihat ibu begitu perhatian kepadaku.

“Minum kopinya nak… Masa nongkrong gak minum kopi…” Ucap ibu yang sambil duduk di pinggirku.

“Makasih bu, kenapa harus repot-repot bawain kopi…? Ucup merasa tidak sopan ibu selalu bawain minuman untuk ucup…”

“Gak kamu suruh pun, ibu akan tetap bawain kamu minuman nak… Ibu merasa gak tega melihat putra ibu yang selalu menyenangkan ibu, membuat ibu tersenyum, membuat ibu bahagia. Duduk tak ada secangkir teh pun ada didekatmu…” Ucap ibu sambil menarik napas panjang.

“Ucup juga merasa senang, ibu begitu baik kepadaku… Semoga ibu selalu bahagia dan panjang umur Bu…” Kataku sambil memegang tangannya.

“Amin nak… Makasih doanya… Ibu merasa senang ada kamu disisi ibu… Disaat ayah kamu tak memperhatikan yang sepele, kamu malah selalu memuji ibu… Ibu merasa senang, kamu penyemangat ibu nak…” Ucapnya sambil saling menggenggam tangan denganku.

Entah ada apa denganku ini, apa hanya tanganku yang mengeluarkan keringat atau ibu juga sama telapak tangannya keluar keringat juga. Padahal udara sangat dingin berkabut dan mulai terlihat gelap.

Rintik-rintik hujan mulai terdengar suaranya menimpa dedaunan dan atap rumah, saya tidak tahu apakah ayah akan terjebak hujan atau tidak? soalnya tadi pas berangkat tidak bawa payung.

Secangkir kopi saya ambil lalu diminum, tak pikir panjang aku pun menyuruh ibu meminum kopi. Lalu dengan senang hati Ibu pun meminumnya dibekas mulutku tiga kali tegukan.

Aku pun meminum lagi kopi itu dibekas mulut ibu dengan nikmatnya, rasanya seperti berciuman secara tidak langsung dengan ibuku.

“Bu, kalau ibu punya sesuatu yang mengganggu hati ibu, jangan ibu pendam sendiri… Ucup anak ibu siap mendengar keluh kesah ibu meskipun Ucup belum berpengalaman mengatasi masalah… Tapi Bu, Ucup janji sama ibu… Ucup akan berusaha untuk membuat ibu bahagia..” kataku semakin menggenggam tangan ibuku, tak ku sangka ibu pun membalas genggamanku.

“Ibu tak tahu harus memulainya dari mana nak… Banyak sekali beban yang ibu pendam selama ini yang tak sekali pun ibu ceritakan kepada ayah kamu… Karena masalah itu ada di ayah kamu itu nak…” Ucap ibu mulai bercerita.

Ketika sedang curhat itu tiba-tiba saja hujan lebat yang cipratan airnya sampai mengenai kami berdua.

Saya berinisiatif untuk mengajak ibu kedalam, “Bu, kita kedalam yuk? Ibu boleh ceritakan semuanya uneg-uneg ibu ke Ucup… Ucup akan mendengarkan keluhan ibu karena Ucup sayang ibu… Yuk Bu..?” Saya tarik tangan ibu untuk kedalam, ibu pun menurut mau aku ajak seperti tak ada penolakan.

Pintu rumah saya kunci karena hujan sangat lebat dan berangin, jika ayah pulang pasti nanti mengetuk pintu.

Ketika sudah sampai didalam, saya mengajak ibu ke kamarku. Ibu pun tidak berkata kenapa harus ke kamarku? Bukan ditengah rumah atau di dapur.

Bukan pertama kalinya ibu berduaan dikamarku, dulu ketika saya sakit pun ibu sering ke kamarku mengompres keningku dengan lap basah, bahkan pernah saya juga masuk ke kamar ibu merawat ibu ketika sakit.

Mungkin karena sebab kebiasaan itulah ibu tak bertanya, kenapa harus ke kamarku hanya untuk sekedar curhat?

Kami pun duduk di pinggir kasur saling berhadapan, ku genggam tangan ibu agar ibu kuat dan ibu yakin bahwa aku peduli untuk mendengar keluh kesahnya.

“Bu, katakan saja… Ucup bersama ibu sekarang… Jangan ibu pendam terus karena Ucup juga tidak mau hanya ibu saja yang menanggungnya. Mari Bu, Tumpahkan semuanya beban ibu itu kepada Ucup..” saya cium tangan ibu dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang.

Hujan diluar semakin bergemuruh, suara halilintar menyambar-nyambar. Terlihat sedikit kabut yang masuk melalui celah papan dan lobang anyaman bambu kedalam kamar, berarti diluar kabut sangat pekat sampai masuk kedalam rumah.

“Cup.. ibu sebenarnya malu mengatakannya, tapi ibu percaya sama kamu… Dalam membangun rumah tangga ibu paham banyak lika-likunya… Ibu bingung kenapa bapak kamu kurang respek terhadap kerja keras ibu, mulai dari dandanan, rasa masakan, perhatian dan kasih sayang. Setidaknya pujilah istrinya meskipun melakukan pekerjaan rumah yang terlihat sepele pun, karena ibu bukannya tak ikhlas berbakti kepada suami, tapi seorang istri juga butuh perhatian dari suaminya. Bertahun-tahun ibu merasa tak dihargai, tapi ibu juga untungnya ada kamu disisi ibu yang selalu menghargai ibu, memuji ibu sampai ibu merasa senang dan tersenyum sendiri karena saking bahagianya…” Ibuku tak sanggup menahan beban dihatinya lagi sampai meneteskan air mata di pipinya.

Aku peluk ibuku, lalu ibu pun menangis di pelukanku sambil terisak-isak. Ku usap-usap belakang kepala ibuku menenangkannya, sialnya torpedoku terbangun sehingga menyalurkan pikiran-pikiran kotor ke otakku.

Sambil ku peluk, kucium leher ibu lalu keluarlah hembusan nafas birahi yang menerpa lehernya. Ibu diam saja tatkala tanganku juga membelai punggungnya.

Setelah beberapa kali ku belai, ibu tidak tahu dari tadi nafsuku sedang bergejolak dan ingin sekali melepaskan cairan birahi itu semuanya.

Perlahan aku pandangi wajah ibu, ku seka air matanya yang sudah berhenti mengalir. Kedua mata saling bertemu, perasaanku juga dengannya yang berada di hati, seakan saling terkoneksi seperti bluetooth bertukar data-data perasaan yang ada di hati kami.

Saya ajak ibuku menuju tengah kasur lalu ibu pun berbaring disitu dengan hanya memakai kemben dan kain sarungnya. Aku pun tiduran dengan posisi menyamping sambil memeluk ibu, dengan kaki kananku menindih kakinya seperti memeluk guling.

Baru kali ini aku dan ibu saling berpelukan dikasur, dengan begini seakan benteng yang menghalangi kami berdua mulai ada sedikit retakan dan berlobang.

Ku belai rambut ibu dengan lembut dan perlahan, kedua mata saling bertemu, lalu ibu tersenyum kepadaku dengan senyuman yang membuat perasaanku campur aduk.

Wajahnya yang begitu cantik, tubuh yang diselimuti aura birahi mengundang naluri lelakiku. Perlahan-lahan tanganku turun mengusap pantat ibuku yang membusung dan lebar, tak ada sedikitpun reaksi penolakan dari ibu.

Seharusnya ibuku mendelik atau memarahiku karena aku sudah menggerayangi tubuhnya, tapi dia pun malah mengusap pipiku sambil memandangi setiap sudut wajahku.

“Bu, ibu cantik sekali… ” Kataku sambil meremas belahan pantatnya.

“Ternyata kamu sudah dewasa ya cup..? Setiap ada masalah di hati ibu, kamu selalu menjadi solusi tempat ibu mengadu…”

“Bu, memang Ucup belum berpengalaman membangun rumah tangga… Tapi, Ucup bisa merasakan apa yang mengganggu pikiran ibu.. Ucup hanya tidak mau ibu menanggung beban dihati ibu sendirian.. biarkan Ucup juga merasakan yang ibu rasakan ya Bu..?”

Kataku semakin meremas pantat ibu.

“Makasih yaa nak? Ibu beruntung sekali punya anak sepertimu… Ini semua gara-gara bapak kamu kurang peka sama ibu…” Ucapnya cemberut lalu tersenyum lagi setelah memandangku.

“Gak apa-apa kalau ibu ingin meluapkan perasaan ibu ke Ucup… Malah Ucup senang kita saling terbuka, bukan maksud Ucup ingin menjelekkan ayah dibalik masalah yang ibu hadapi, tapi… Ucup hanya semata-mata ingin membahagiakan ibu dengan cara Ucup sendiri…” Tanganku mulai menyingkapkan kain sarungnya sampai tanganku menyentuh celana dalamnya langsung.

Mata ibu begitu sayu, nafasnya pun mulai memburu, ku lihat ibu mulai gelisah dengan tubuhnya yang terus menggelinjang pelan.

Hujan semakin lebat disertai angin kencang dan kilat yang menyambar. Saya berharap ayah jangan dulu pulang ke rumah, karena bagiku ini momen yang sangat langka dalam hidupku.

“Bu, ibu tidak marah? Ucup memeluk ibu menggerayangi ibu?”

“Kalau ibu marah sudah dari tadi nak ibu memarahimu sebelum kamu menidurkan ibu di kasur, lagian kenapa kamu meraba-raba pantat ibu sih? Ingat jangan kebablasan?! Aku ibu kamu lho…?”

“Ibu jangan khawatir, Ucup hanya ingin meraba ibu saja kok… Kalau pun Ucup kebablasan, ibu segera tegur Ucup Bu… Karena Ucup tidak mau ibu merasa dilecehkan… Ibu percaya kan sama Ucup …?”

Kataku meyakinkan ibu, tentunya kain sarung ibuku semakin terbuka naik keatas dan tanganku semakin bebas meraba pantat ibu.

“Tapi jangan sampai ketika ada bapak kamu cup… Juga jangan sampai ketahuan ya…?”

“Baik Bu, Ucup akan hati-hati… Yang penting ibu tak merasa risih saja itu sudah cukup… oiya bu, apa masalah ranjang ibu dengan ayah tak ada masalah…?”

Obrolanku mulai menjurus ke hal yang privasi.

“Alhamdulillah baik-baik saja cup.. hanya saja bapak kamu lebih cepat keluar, sehingga ibu belum apa-apa sudah berhenti ditengah jalan…” Ucapnya dengan sedikit ada kekecewaan.

“Syukurlah Bu kalau begitu, Ucup pun senang mendengarnya…” Saya tidak berani langsung ke masalah pokoknya, yaitu mengajak ibu untuk bersetubuh denganku. Sedangkan penisku terasa sangat panas ketika bersentuhan dengan paha bagian dalamku.

Obrolanku dengan ibu berhenti sejenak, ibu pun hanya terdengar suara nafasnya saja dengan wajah kami saling berhadapan. Ku lihat ibu membasahi bibirnya sampai aku menelan ludah melihat pemandangan yang mengundang birahiku.

“Bu.. boleh Ucup cium ibu…?” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulutku disertai perasaan takut dan gugup.

Ibuku memandang mataku sejenak memastikan apakah aku serius meminta itu? Lalu ibu pun memejamkan matanya, saya tidak tahu kalau itu adalah sebuah kode dari ibu bahwa aku dibolehkan menciumnya. Perasaan itu mengalir saja dari diriku, dengan perlahan aku dekatkan wajahku sehingga kedua bibir bertemu.

Sungguh dalam sejarah hidupku, inilah yang pertama kali aku dalam usia sekarang ini mencium wanita, sedangkan wanita itu adalah ibu kandungku sendiri.

Deg! Deg! Deg! Jantungku semakin berdegup kencang! Membuat aliran darahku seakan menyembur deras mengalirkan benih-benih birahi ke seluruh penjuru syarafku. Perlahan-lahan aku lumat bibir ibu lalu dibalasnya oleh ibuku, hawa udara yang dingin diatas pegunungan yang berkabut, seakan bertabrakan dengan hawa panas yang keluar dari tubuh kami.

Ibu sekarang sudah membuka matanya meskipun merem melek seperti mata ayam, tak ada perlawanan atau penolakan dari ibu, karena sejak awal aku sudah mengatakan jika kebablasan ibu boleh menolaknya.

Padahal sebenarnya ini sudah kelewat batas kelakuan anak dan ibu kandung. Saya sendiri tahu ini salah dan akan menjurus ke arah perzinahan.

Anehnya justru itulah yang aku harapkan dari ibuku, harapanku cita-citaku malah ingin memiliki seorang adik atau anak dari benihku bersama ibu.

Ketika sedang saling berciuman itu, aku dekatkan penisku sehingga tubuh bagian depan kami merapat dan aku rasakan penisku yang tak memakai celana dalam dari kolorku nyundul pubis memeknya.

Entah menyadari atau tidak, ibuku diam saja tak berkomentar. Malah aku rasakan ciuman ibu semakin liar ku rasakan. Lidah kami pun mulai beradu ugh! Nikmat sekali, apalagi penisku semakin aku tekan-tekan kearah memeknya, sehingga membuat kami berdua lupa yang niat awalnya untuk curhat, ini malah saling berbagi dan melepaskan birahi.

“Bu, Ucup sayang ibu…”

“Apalagi ibu nak… sebelum kamu lahir, ibu sudah sangat menyayangimu…” ucap ibuku melihat-lihat wajahku sambil tersenyum.

Tok! Tok! Tok! “Buu?!!!! Buka pintunya…! Bapak pulang…?!!” Kami pun kaget dengan kedatangan ayah, sekaligus kecewa. Kenapa harus sekarang?

Ibu membereskan lagi bajunya juga kain sarungnya yang sudah tersingkap dan tak menutupi pantatnya.

“Cup.. jangan sampai bapakmu tahu kita begini ya…?!” Ucap ibu menatapku.

“Iyaa Bu, ini rahasia kita berdua… Tapi ibu gak kapok kan?”

“Gak tahu…”

Ucap ibu, lalu pergi menuju pintu depan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu