3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Ketika aku melepaskan blouse yang lebih tepat disebut kaus singlet wanita itu, Frida berkata perlahan, “Aku degdegan Bang.”

“Santai aja Beib. Meski belum menikah, kita kan sudah merasa saling memiliki, “aku berjongkok sambil menggenggam blouse youcansee biru tua itu. Lalu kuturunkan ritsleting celana corduroy yang sama-sama berwarna biru tua itu. Dan kupelorotkan celananya sampai terlepas dari kakinya, lalu aku berdiri lagi sambil membawa blouse dan celana corduroy Frida itu.

Kemudian menghampiri Frida lagi. Frida yang membuatku terlongong dalam takjub.

Mungkin sejak berjumpa dengan keponakan Mamie ini, aku terlalu mengagumi wajah cantiknya, sehingga aku tidak terlalu memperhatikan bentuk badannya.

Dalam keadaan tinggal mengenakan celana dalam, bentuk asli Frida mulai jelas di mataku. Bahwa tubuhnya membentuk seperti piramida langsing. Sepasang toketnya berukuran sedang-sedang saja, tidak besar, tapi tidak kecil juga. Namun dari perut ke bawah, sangat mirip bentuk ibunya, Ia memiliki bokong yang gede dan sepasang paha yang gempal.

Frida menyadari bahwa aku sedang mengamati bentuk dirinya dari ujung kaki sampai ke rambutnya. Lalu ia mendekap pinggangku sambil berkata, “Bang… meski kita belum menikah, aku merasa sudah menjadi milikmu. Karena itu jangan pernah sakiti hatiku, ya Bang.”

Dekapan Frida terasa erat sekali. Sehingga sepasang toketnya yang perfect dan kencang itu menempel ketat di dadaku.

“Aku bukan manusia kejam, Beib. Apa pun yang kulakukan padamu, akan kupertanggungjawabkan semua. SIlakan catat di dalam memori otakmu,” sahutku yang diikuti dengan kecupan mesra Frida di bibirku, sementara dekapannya di pinggangku semakin erat saja rasanya.

Akju pun melingkarkan lenganku di lehernya. Dan menyambut kecupannya dengan menjepit bibirnya. Lalu kusedot lidahnya ke dalam mulutku.

Cukup lama aku melakukan ini semua. Sehingga bola mata bundar Frida tertutup kelopaknya. Mungkin dia sedang menghayati sesuatu yang teramat indah ini.

Beberapa saat kemudian aku berlutut sambil memeluk sepasang kaki indah Frida. Sepintas aku seperti sedang menyembahnya. Padahal saat itu aku ingin menurunkan celana dalam yang masih melekat di tubuh Frida. Lalu hal itu kulakukan. kupelorotkan celana dalam putih bersih itu sampai terlepas dari sepasang kaki Frida.

Dan aku dibuat terlongong lagi ketika menyaksikan sebentuk kemaluan yang tampak cantik sekali. Kemaluan yang tidak berjembut sehelai pun. Sehingga yang nampak hanya garis lurus dari atas ke bawah. Sungguh rapat pertemuan sepasang bibir luarnya, seolah tiada lubang di baliknya.

Aku pun menciumi kemaluan Frida dengan sepenuh gairahku. Namun aku tak mau membuat Frida stress. Lalu aku bangkit lagi sambil bertanya, “Memekmu pakai wax?”

“Apa itu wax?” Frida balik bertanya.

“Semacam lem yang cepat mengering, yang bisa mencabut jembut sampai ke akar-akarnya.”

Frida malah ketawa kecil, lalu berkata, “Sejak kecil sampai sekarang memekku gak pernah ditumbuhi rambut sehelai pun. Aneh ya. Jadi aja memekku seperti memek anak kecil.”

“Ohya?! Waaaah… itu suatu kebetulan yang luar biasa.”

“Kenapa? Gak senang memek yang gak ada jembutnya?”

Aku jadi ingat pengakuan seorang pembantu di rumah Mama dahulu. Bahwa dia tidak pernah mengalami apa yang disebut menstruasi alias datang bulan. Menurutku, hal itu sebagai suatu kelainan.

Apa yang dialami oleh Frida juga lain dari yang lain. Tapi kelainan yang satu itu justrui menyenangkanku…!

“Justru aku senang sekali,” sahutku, “senang pada memek yang gak ada jembutnya. Jadi gampang waktu menjilatinya… gak terganggu oleh jembut yang bisa copot dan tertelan.”

“Duh yang udah banyak pengalaman…”

“Banyak sih nggak. Cuma pernah aja,” sahutku berusaha jujur, meski tidak sepenuhnya jujur.

Untungnya Frida tidak mempermasalahkan.

Lalu kulepaskan celana dalamku. Dan kami mulai mandi dengan air hangat yang terpancar dari shower di atas kepala kami. Frida pun tak menolak waktu disabuni olehku. Namun matanya berkali-kali memandang ke arah penisku yang ngaceng berat ini. Tanpa komentar.

Justru aku yang berkata pada waktu sedang menghanduki tubuh perfect Frida, “Sekarang di anrtara kita berdua tiada rahasia lagi ya. Aku sudah tau bentuk tubuhmu dari ujung kaki sampai ke ujung rambutmu, kamu pun sudah tau bentuk tubuhku.”

“Iya. Rasanya seperti dalam mimpi aja. Kita baru dikenalkan tadi pagi, sekarang sudah telanjang berdua.”

Sebagai tanggapan, kupijit hidung mancung meruncing Frida sambil berkata, “Masalahnya, aku harus yakin secepatnya, bahwa kamu benar-benar akan menjadi milikku, Sayang.”

Frida tersenyum. Lalu mengenakan kimono putihnya sambil berkata, “Keputusan Tante Yun menjodohkan kita sangat tepat ya.”

“Iya,” sahutku, “Meski pun aku anak tirinya, aku sangat menghormati dan menyayangi beliau.”

“Bang…”

“Ya?”

“Bang… aku lapar nih.”

“O my God…! Aku yang sedang dimabjuk cinta ini sampai lupa makan! Kita baru makan satu kali ya! Ya udah kita cari rumah makan yang dekat-dekat aja. Tapi pakai baju lagi yang pantas. Masa mau pake kimono?”

“Iya tentu aja. Masa ke luar pake kimono,” sahut Frida sambil duluan melangkah keluar dari kamar mandi.

Tak lama kemudian Frida tampak sudah mengenakan celana jeans dan blouse tangan panjang berwarna hijau pucuk daun polos. Aku pun sudah mengganti celanaku dengan celana denim hitam dan baju kaus berwarna hitam juga.

Kemudian kami mencari rumah makan yang tidak terlalu jauh dari kompleks villa itu.

Sampai akhirnya kami putuskan untuk makan di sebuah rumah makan chinese food halal, yang letaknya tidak sampai 5 kilometer dari kompleks villa itu.

Sementara itu sikap Frida jadi “nempel” terus padaku, seolah-olah sikap pengantin perempuan kepada pengantin pria di masa bulan madunya. Dan aku bersikap biasa-biasa saja, seolah tiada sesuatu yang lain dari biasanya. Tapi tahukah Frida bahwa “sesuatu” mengeras terus di balik celanaku, karena membayangkan bentuk memek Frida yang kulihat jelas di kamar mandi tadi?

Apakah dengan ngacengnya terus penisku ini sesuatu yang brengsek atau memang hal yang normal-normal saja? Entahlah. Yang jelas aku terus-terusan membayangkan betapa nikmatnya kalau penisku ini diteroboskan ke dalam memek Frida yang luar biasa cantiknya itu.

Karena itu pada waktu makan pun aku melamun-lamun terus. Membayangkan bagaimana nikmatnya jika aku menyetubuhi Frida. Namun aku berusaha untuk bersikap wajar-wajar saja. Lalu kuhabiskan makanan yang sudah terhidang di atas meja makan restoran chinese food yang memiliki label halal itu (mungkin pemiliknya seorang mualaf).

Namun setelah berada di villa lagi, setelah Frida mengenakan kimono lagi… aku tahu apa yang Frida lakukan. Bahwa bra dan celana dalamnya tidak dikenakan. Ia hanya mengenakan kimono itu. Mungkin ia sudah terbiasa seperti itu. Bahwa pada waktu mau tidur, biasa tidak mengenakan bra maupun CD. Dan aku tahu, banyak wanita yang terbiasa seperti itu, antara lain ingin agar pernafasannya tidak terganggu pada waktu tidur.

Namun ketika Frida merebahkan diri di sampingku yang sudah mengenakan baju dan celana piyama, aku menyambutnya dengan ucapan, “Ini untuk pertama kalinya tidur bersama cowok ya.”

“Iya, “Frida mengangguk. Lalu merebahkan diri di sampingku.

“Ohya… kamu di Jakarta tinggal di rumah saudara ya?”

“Iya. DI rumah anak saudara sepupu Mama.”

“Keponakan Tante Ken?”

“Iya. Suaminya seorang pengusaha sukses. Tapi usianya yah… seperti papamu dengan Tante Yun gitu.”

“Jadi kamu dengan siapa nama anak saudara sepupu mamamu itu?”

“Nora.”

“Nah… jadi kamu dengan Nora itu sepupu dua kali ya.”

“Iya. Dalam bahasa Sunda sih disebut sabrayna mindo. Kalau Mama dengan ibunya Nora disebut sabrayna teges.”

“Wow… kamu ngerti bahasa Sunda segala.”

“Almarhum Papa kan orang Sunda.”

“Ooo… pantesan.”

Jadi yang ditempati oleh Frida di jakarta itu rumah keponakan Tante Ken. Berarti keponakan Mamie juga.

Lalu kami terdiam. Tapi tanganku tidak terdiam. Aku mencoba-coba dulu merayapkan tanganku ke balik kimono Frida bagian dadanya. Sampai menyentuh payudaranya yang masih padat mancung itu.

Frida diam saja. Tapi ketika tanganku mulai mempermainkan puting payudaranya, suhu badan Frida terasa menghangat. Bahkan kemudian Frida mencium bibirku, sementara tanganklu sudah menuruni perutnya, kemudian menjamah kemaluannya. Dan… :

“Frid…”

“Hmm?”

“Aku pengen jilatin memekmu… boleh nggak?”

“Iiiih… dengernya aja merinding.”

“Tapi enak lho. Kamu bakal merasakan orgasme tanpa bersetubuh. Berarti kamu akan tetap perawan.”

“Emang Abang gak jijik jilatin memek segala?”

“Kalau buat cewek yang kucintai sih, taik ayam juga jadi rasa coklat.”

“Emangnya bagi Abang apa enaknya jilatin memek?”

“Mencium bibir dan menjilati lidahmu saja terasa enak sekali. Apalagi menjilati bibir yang di bawah perutmu itu. Boleh ya?”

“Terserah Abang…” sahut Frida hampir tak terdengar.

Ooo senangnya hatiku mendengar ucapan Frida itu. Membuat semangatku bangkit, untuk merayapi paha putih mulusnya, sekaligua menciuminya. Sementara Frida terdiam pasrah.

Dan ketika aku menelungkup di antara sepasang paha Frida yang sudah kudorong supaya lebih terbuka, aku menghadapi memek Frida yang plontos alamiah itu.

“Ini sih memek bidadari, bukan memek anak kecil,” kataku sambil mengusap-usap kemaluan Frida yang agak tembem namun segalanya tersembunyi di balik pertemuan dua bibir vagina yang merapat dan tampak seperti garis lurus dari atas ke bawah itu

“Garis” lurus itu mulai kujilati sambil membukanya dengan kedua tanganku secara hati-hati.

Sedikit demi sedikit bagian yang tersembunyi itu pun mulai kelihatan. Bibir luarnya yang terlipat ke dalam dan bibir kecilnya yang berwarna pink serta bagian yang seperti tumpukan telur ikan arwana itu… wow… luar biasa menggiurkannya. Terlebih lagi setelah melihat kelentitnya yang menonjol dari selubungnya dan berada di bagian paling atas itu…

Begitu ujung lidahku menyentuh bagian yang berwarna pink itu, terasa paha Frida mengejut sekejap. Tapi lalu terdiam, membiarkan lidahku semakin leluasa menjilati bagian dalam memeknya yang terasa masih “serba lengkap” ini.

Kalau diibaratkan rumah, kemaluan Frida ini masih lengkap perabotannya. Ada meja, kursi, lemari, tempat tidur, kulkas, kompor, microwave dan sebagainya. Hihihihiiii…!

Dan kini memek yang “serba lengkap” itu sedang kujilati dengan lahap. Tak peduli lagi apakah semua ini terlalu cepat atau memang zamannya yang sudah serba cepat, sehingga aku tak mau membuang kesempatan selagi ada.

Sementara itu Frida pun mulai menggeliat-geliat sambil menahan-nahan nafas dan berdesah-desah dan merintih-rintih merintih, “Bang Saaam… aaaa… aaaaah… Baaaang… aaaaa… aaaaah… Baaaang… Baaaang… aaaaaa… aaaaaaahhhh…”

Terlebih setelah aku mulai fokus untukmjenjilati kelentitnya yang nyempil di atas celah memeknya… Frida semakin gedebak-gedebuk sambil meremas-remas rambutku…

“Baaaang… dudududuuuuh… ini enak sekali Baaaaang… aaaaaah… Baaaaang… enak banget Baaaaang… aaaah… aaaaa… aaaaaahhhhhh…”

Di antara desahan dan rintihan itu, diam-diam aku mengamati bagian dalam kemaluan Frida itu. Dan aku yakin pengakuan Frida itu benar. Bahwa ia masih perawan. Aku memang bukan dokter. Tapi minimal aku sudah punya pengalaman sebelum dan sesudah mengambil keperawanan Mbak Ayu. Rasanya celah kemaluan Frida ini malah lebih rapat daripada celah memek Mbak Ayu.

Lalu apakah aku akan memecahkan keperawanan Frida ini?

Kalau menuruti nafsu sih mau aja langsung kueksekusi putri Tante Ken ini. Tapi aku belum mau melakukannya malam ini. Entahlah di hari-hari berikutnya, mungkin saja aku akan melakukannya.

Karena itu, setelah Frida berkelojotan dan terkejang-kejang, aku merasa sudah cukup waktunya untuk “pengenalan” ini. Meski nafsu birahiku belum terpuaskan.

Setelah mencuci kemaluannya, Frida yang sudah berkimono lagi, menghampiriku kembali dan langsung menghimpitku dengan gaya manja.

“Gimana? Enak kan?” tanyaku sambil mendekap pinggangnya.

“Luar biasa. Gak nyangka… baru dijilatin aja sudah kayak gitu rasanya. Apalagi kalau bersetubuh beneran kali ya…”

“Semuanya akan kamu rasakan nanti, Sayang,” sahutku sambil mencium pipinya.

Biarlah, untuk sementara segitu juga sudah cukup jauh bagi Frida.

Tapi sampai kapan aku bisa bertahan terus tanpa melakukan penetrasi? Bukankah pernikahanku dengan Frida masih berbulan-bulan lagi?

Apakah aku akan mampu bertahan sampai Frida resmi menjadi istriku?

Entahlah…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu