3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Aku tersenyum sambil menepuk - nepuk kedua belah pipi Utami.

“Tapi kalau diizinkan, saya mau mandi dulu Boss. Saya belum mandi sore,” kata Utami.

“Silakan mandi dulu sebersih mungkin ya. Apa perlu kutemani?” tanyaku dengan tatapan dan senyum menggoda, “Kebetulan aku juga belum mandi sore.”

“Heheee… malu Boss…”

“Nanti juga kamu harus telanjang di depan mataku sebelum tidur kan?”

“Harus telanjang Boss?”

“Iya. Kamu pasih virgin kan?”

“Masih Boss. Soal itu sih jangan diragukan. Saya tidak pernah sembarangan bergaul.”

“Kalau sedang berduaan gini, jangan manggil boss terus. Panggil Bang aja ya…”

“Para manager hotel ini pada manggil Big Boss, masa saya manggil Bang.”

“Sekarang kamu kan punya arti khusus di hatiku. Jadi kamu punya privilege untuk memanggil Bang. Kecuali kalau sedang di depan karyawan lain,” ucapku sambil mencolek bibir sensualnya, “Ayolah kita mandi bareng. Biar sama - sama bisa melihat kelebihan dan kekurangan kita.”

Lalu kami masuk ke dalam bathroom yang bersatu dengan bedroom. Di situ Utami tampak canggung. Tidak berani melepaskan pakaian serba putihnya. Blazer putih, blouse putih dan spanrok putih pula.

Aku sendiri sudah melepaskan jas dan dasi di bedroom tadi. Tinggal celana panjang, kemeja putih dan celana dalam yang masih melekat di badanku.

“Kenapa malu - malu telanjang? Banyak bekas borok dan kudis di badanmu?” tanyaku sambil melepaskan blazer putih yang masih melekat di tubuh Utami.

“Idiiih… amit -amit. Liat aja sendiri nanti… kalau ada bekas borok satu titik aja, Boss boleh ludahi muka saya.”

“Iya… ini mau dibuktikan,” sahutku sambil melepaskan blouse dan spanrok putihnya.

Utami semakin malu - malu, karena di tubuhnya tinggal melekat bra dan CD saja.

Kulit Utami tidak putih seperti Aleksandra atau Frida. Kulitnya bisa disebut mirip warna sawo matang. Tapi bentuknya itu… maaak… benar - benar mirip bentuk biola Stradivarius. Behanya masih menyembunyikan sepasang toketnya yang pasti gede - gede. Pinggangnya ramping, perutnya kempes, tapi bokongnya itu…

Setelah melepaskan kemeja putihku, bokong gede itu kutepuk - tepuk sambil berkata, “Luar biasa seksinya kamu ini Tam… !”

Dipuji seperti itu, Utami seolah ingin memamerkan kelebihan lainnya. Tanpa kuminta, Utami melepaskan behanya. Sehingga sepasang toket gedenya tak tertutup apa - apa lagi.

Dan aku menyentuh toket gede itu sambil berdecak kagum, “Ck… ck ck…! Kamu memang layak kujadikan kekasih di seumur hidupku, Tam.”

Utami tersipu - sipu, sementara aku melepaskan celana panjangku. Kemudian menggantungkannya di kapstok bersama pakaianku dan pakaian Utami yang sudah ditanggalkan.

Kami sama - sama tinggal mengenakan celana dalam saja. “Mau di situ mandinya?” tanyaku sambil menunjuk ke bathtub.

“Maaf… takut Boss. Sering lihat film yang kena setrum di dalam bathtub. Jadi parno melihatnya juga,” sahut Utami sambil melepaskan celana dalamnya, sebagai satu - satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.

Tubuh seksi berkulit light brown itu pun telanjang sudah di depan mataku.

Aku pun melepaskan celana dalamku. Kemudian memutar kran shower di titik merah. Titik panas.

Pada saat air hangat mulai memancar dari atas kepala kami, kupeluk Utami dari belakang. Dan berhasil menelungkupkan kedua tanganku di sepasang toket gedenya.

“Setelah mandi, boleh kubuktikan keperawananmu?” bisikku dari belakang telinganya.

“Iya, asalkan Boss jangan buang saya sesudahnya,” sahut Utami tanpa menoleh ke arahku.

“Aku tidak sejahat itu Tam. Nanti kamu buktikan sendiri tanda sayangku padamu setelah kita pulang dari kota ini.”

Utami tidak menyahut. Lalu kami mulai mandi dengan air hangat. Saling menyabuni dengan sabun cair, lalu membilasnya sampai bersih dari air sabun.

Ketika aku sudah menghanduki tubuhku, Utami masih menyempatkan diri untuk menyikat giginya dengan sikat gigi dan odol yang disediakan oleh hotel.

Kubelitkan handuk di tubuhku, dari perut sampai ke lutut. Sementara Utami baru selesai menghanduki tubuhnya, lalu mengikuti caraku, membelitkan handuk dari toket sampai pahanya. Dan melangkah ke luar kamar mandi.

Aku memang sangat tergiur oleh bentuk fisik Utami yang seperti biola Stradivarius itu. Kulitnya agak gelap pula. Tidak seperti perempuan - perempuan yang sudah kumiliki, yang berkulit putih semua. Sedangkan lelaki yang suka bertualang seperti aku ini, suka tertarik pada sesuatu yang belum dimiliki. Punya pasangan yang langsing, tergiur oleh perempuan chubby.

Utami bukan cewek hitam. Mungkin harusnya jangan dijuluki hitam manis, melainkan “coklat manis”.

Kini aku sudah tahu bentuk sekujur tubuh Utami. Memang mulus sekali. Tak ada “paku payung”nya setitik pun. Dan kelihatannya Utami sudah sangat pasrah. Mau diapakan juga terserah aku saja.

Tapi aku harus berusaha untuk bersabar sedikit. Segalanya harus kulakukan secara step by step. Dengan kesediaannya untuk tidur telanjang di balik satu selimut saja sudah merupakan “kemajuan pesat” bagiku.

Biarlah… untuk malam pertama di Surabaya ini, cukup dengan itu saja. Cukup dengan memeljuk tubuh padat telanjangnya saja sudah cukup. Bahkan aku belum mau menjamah kemaluannya yang tembem erotis itu. Cukup dengan memegang toket gede yang masih kencang saja. Lalu kami sama - sama tertidur nyenyak.

Esok paginya, ketika aku bangun, Utami sudah tidak ada di atas bed lagi. Ternyata dia sudah membeli dua helai gaun dan sehelai kimono di lantai dasar. Karena hotel ini punya butik juga di lantai dasar.

Ketika muncul di bedroom, Utami sudah mengenakan kimono putih, yang terbuat dari bahan handuk tebal.

“Selamat pagi Boss,” ucap Utami setelah melihatku duduk di pinggiran bed.

“Pagi,” sahutku, “Kok gak bisa manggil Bang aja padaku Tam?”

“Maaf… belum berani manggil bang - bangan. Takut menurunkan wibawa Boss.”

“Kita sudah tidur bareng, sama - sama telanjang pula. Masa belum bisa dianggap bahwa hubungan kita sudah sangat dekat? Atau mungkin kita harus berhubungan sex dulu, supaya kamu merasa tak punya jarak lagi denganku ya?”

“Tadi malam saya malah sudah mengira Boss mau mengambil virginitas saya. Ternyata tidak.”

“Nanti memang mau kuambil, sekalian untuk membuktikan siapa dirimu yang sesungguhnya. Tapi aku harus menyelesaikan dulu urusan bisnis di kota ini. Supaya kita bisa melakukannya dengan tenang dan nyaman.”

“Maaf… kalau boleh saya tahu, mau berapa hari kita berada di Surabaya ini Boss?”

“Belum bisa dipastikan. Kalau tidak ada masalah, besok juga kita bisa pulang. Tapi kalau ada masalah… bisa seminggu atau dua minggu kita berada di sini. Gimana? Kalau sampai dua minggu kita berada di sini, kamu gak keberatan?”

“Nggak apa - apa. Saya sudah bilang pada ibu saya, bahwa saya bisa sebentar bisa juga lama berada di Surabaya ini.”

“Ohya… sekarang orang tuamu tinggal ibumu aja ya?” tanyaku.

“Iya Boss,” sahut Utami sambil duduk di samping kiriku.

“Saudaramu berapa orang?” tanyaku lagi.

“Cuma seorang Boss. Kakak saya perempuan juga.”

“Kakakmu sudah menikah?”

“Sudah Boss. Tapi keadaannya memprihatinkan. Masih pas - pasan kehidupannya. Makanya saya bertekad tak mau buru - buru kawin sebelum punya pegangan buat masa depan saya.”

“Umurmu kan baru duapuluhtiga tahun ya?”

“Iya Boss.”

“Kamu memang cerdas kok. Setahun yang lalu berarti usiamu baru duapuluhdua. Tapi di umur segitu, kamu sudah jadi sarjana.”

Utami cuma menunduk. Tidak menanggapi ucapanku.

“Soal masa depan, jangan takut. Aku menjamin masa depanmu takkan kekurangan. Asalkan kamu tetap setia menjadi kekasih rahasiaku.”

“Iya Boss. Saya percayakan semuanya ke tangan Boss. Soal kesetiaan, saya berjanji takkan membelot dari Boss, baik dalam soal pribadi mau pun di lapangan profesi.”

“Oke,” kataku sambil menepuk bahu Utami, “Sekarang aku mau mandi dulu, lalu ambil sarapan di resto hotel. Setelah perut terisi, aku mau meninjau beberapa perusahaan yang lain. Nanti kamu istirahat aja di sini ya. Nggak usah ikut - ikut terus. Biar gak letih.”

“Siap Boss.”

Sejam kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitam yang kemaren menjemputku dari bandara. Menuju kantor - kantor perusahaan yang semuanya sudah dicatat oleh pengemudi sedan hitam ini. Semuanya sudah diatur oleh Merry sebelum aku terbang ke Surabaya. Dan semua perusahaan yang akan kutinjau sudah tahu bahwa aku ini owner baru perusahaan - perusahaan itu.

Setibanya di kantor perusahaan pertama, yang memproduksi makanan ringan, aku disongsong oleh seorang wanita muda yang cantik dan berperawakan tinggi langsing. “Selamat datang di kantor pusat PT BGN yang sekarang sudah menjadi milik Big Boss. Kebetulan saya direktur utamanya, “sambut wanita muda yang mengenakan blazer biru muda dengan spanrok biru tua, sementara blousenya berwarna biru tua juga.

Aku cuma mengangguk dengan senyum. Kemudian dipersilakan duduk di sofa ruang tamu dirut.

Aku belum bicara apa - apa, wanita cantik itu berkata, “Maaf… mungkin Big Boss sudah lupa pada saya. Tapi saya takkan lupa, Big Boss dahulu teman sekelas saya di SD.”

Aku terhenyak. “Haaa?! Siapa Anda?” tanyaku heran.

“Saya Renata. Mudah - mudahan Big Boss mulai ingat.”

“Kamu… Rena? Yang dahulu sering kupanggil si Jelek?”

“Betul. Hihihiiii… dulu saya sering dibully oleh Big Boss. Makanya tadi saya kaget sekali setelah melihat wajah Big Boss… karena ternyata owner perusahaan ini teman sekelas saya di SD dahulu.”

Aku bangkit dari sofaku dan pindah ke sofa yang sedang diduduki sang Dirut, lalu kutepuk bahu wanita muda yang sangat cantik itu, “Rena… Rena… kamu kok bisa jadi cantik begini sih? Padahal waktu masih sama - sama di SD kamu ini jelek dan nyebelin.”

“Sekarang juga masih jelek Big Boss.”

“Nggak ah. Orang buta aja kalau bilang kamu jelek sih. Kamu sekarang jadi super cantik. Apa pernah dioperasi plastik, makanya kamu jadi cantik begini?”

“Nggak pernah Big Boss, Sulam alis aja gak pernah, apalagi operasi plastik.”

“Eh… panggil aku Sam aja. Gak usah terlalu formal. Kita kan teman masa kecil.”

“Iya Big… eh… Sam.”

“Terus gimana ceritanya sehingga kamu bisa tinggal di Surabaya?”

“Sejak masih di SMP, saya dibawa pindah ke Surabaya oleh kedua orang tua saya. Jadi sejak saat itu juga pendidikan saya dilanjutkan di kota ini. Dan akhirnya dipercaya untuk memimpin perusahaan ini.”

“Perusahaan yang sudah menjadi hak milikku di kota ini ada lima. Apakah keempat perusahaan yang lain ada sangkut pautnya dengan perusahaan yang kamu pimpin ini Ren?”

“Keempat perusahaan lain itu cabang dari perusahaan ini saja. Ya pusatnya di sini, Sam.”

“O, kalau begitu, untuk mendapatkan penjelasan tentang keempat perusahaan lain itu cukup dengan meminta penjelasan darimu saja ya Ren.”

“Bisa, “Renata mengangguk.

“Terus… kalau tuntutan biologisku sulit dipadamkan, kamu bisa meredakannya kan?”

Renata menatapku dengan sorot menyelidik. “Bisa,” sahutnya, “Cewek yang bagaimana pun bisa saya carikan.”

“Iiiih… aku sih bukan pemain yang begituan. Maksudku kamu sendiri yang meladeni kebutuhan biologisku. Deal?”

“Saya kan udah punya suami Sam.”

“Aku juga udah punya istri. Tapi apa salahnya kalau kita berbagi rasa dengan sesama teman karib?”

Renata menatapku lagi. Seperti ada yang dipikirkannya.

“Gimana? Bisa?”

“Siap Big Boss,” sahut Renata tegar. Yang penting jabatan saya jangan sampai dicopot. Karena saya ini tulang punggung orang tua dan keluarga.”

“Justru kalau kita berbagi rasa, hubungan kita bisa lebih dekat dan kental. Dengan sendirinya jabatanmu akan dikukuhkan terus. Asal jangan korupsi aja.”

“Soal korupsi sih tak mungkin terjadi di perusahaan Sam ini. Karena auditornya sangat cerdas dan teliti. Hilang satu rupiah pun bisa diketahui olehnya.”

Aku cuma mengangguk sambil tersenyum. Tiba - tiba Renata memegang tanganku sambil bertanya setengah berbisik, “Sekarang hasrat biologisnya sedang naik?”

Aku terhenyak. Pertanyaan itu merupakan lampu hijau buatku. Bahwa kalau aku mau, sekarang juga aku bisa menyalurkan hasrat biologisku kepada Renata…!

“Iya sih. Soalnya kamu ini kok jadi sangat cantik begini Ren,” sahutku yang kulanjutkan dengan mengecup pipinya.

Renata tersenyum manis. Ya… manis sekali senyum teman se-SD-ku itu. “Mau dilaksanakan di mana? Di hotel Sam?” tanyanya.

“Jangan di sana dong. Nanti bisa timbul gossip. Cari hotel lain saja. Malah sebaiknya yang lebih bagus daripada hotelku.”

“Gampang soal hotel sih. Terus sekarang mau berangkat dengan mobil masing - masing ke hotel itu?”

“Mendingan Rena ikut ke mobilku aja. Biar jangan berceceran.”

“Siap Big Boss. Hihihihiii… gak nyangka bakal ketemu teman masa kecil setelah sama - sama dewasa gini.”

“Iya. Ini surprise besar buatku. Bahwa teman yang sering kubilang si Jelek di masa kecil dahulu, ternyata sudah menjelma jadi bidadari yang begini cantiknya… !”

“Hmmm… saya jadi merasa tersanjung. Tapi nanti jangan sampai malam benar ya Sam. Bisa kan sebelum jam delapan malam saya pulang?”

“Bisa. Sekarang hitung - hitung perkenalan aja dulu. Lain waktu kita atur lagi pertemuan berikutnya.”

“Perkenalan gimana maksudnya?” tanya Renata.

Aku menjawabnya dengan bisikan di dekat telinga Renata, “Memekmu harus berkenalan dulu dengan kontolku… !”

“Hihihihiiiii… Sam masih nakal kayak waktu masih kecil dahulu… !”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu