2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 01

Namaku Wawan (disamarkan). Ketika kisah nyata ini mulai terjadi, umurku 20 tahun, tapi aku sudah menyelesaikan pendidikan program D3, sehingga aku bisa bekerja di sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang lumayan.

Sejak kecil aku menjadi tulang punggung keluarga. Karena ayahku sudah meninggal, sementara ibuku seorang tunanetra. Kakak perempuanku juga tunanetra. Tapi sejak lama dia menghilang entah ke mana. Aku sudah berusaha mencarinya ke mana - mana, tapi selalu gagal menemukannya.

Dengan sendirinya yang tinggal di rumah warisan dari almarhum ayahku ini hanya aku dan ibuku berdua.

Di satu pihak aku harus bersyukur, karena penglihatanku normal. Tidak seperti ibu dan kakakku. Namun di pihak lain sejak kecil aku harus jadi tulang punggung Ibu dalam segalanya. Harus menyiapkan makanan sekaligus mencari uang sendiri untuk membeli sembako dan kebutuhan lainnya.

Maka sejak masih di SMP aku berusaha nyari duit dengan segala cara yang halal. Waktu masih di SMP, aku jadi tukang nyemir sepatu. Setelah di SMA aku berusaha nbyatut sana nyatut sini. Dan untungnya aku sering berhasil mendapatkan hasil dari usaha nyatut itu.

Setelah jadi mahasiswa pun aku sering bisnis kecil - kecilan. Cuma jadi calo, yang menghubungkan pihak penjual dengan pembeli. Berkat keuletanku, hasil bisnis kecil - kecilan itu aku bisa kuliah dengan membiayai sendiri.

Dalam kesibukan kuliahku sambil harus mencari uang sendiri untuk biaya kuliahnya, aku tak punya waktu untuk memikirkan cewek. Mungkin di antara teman - teman kuliahku, hanya aku sendiri yang tidak punya cewek. Karena di samping sibuk mencari uang dan kuliah, aku pun sering merasa minder. Takut ceweknya mundur sendiri setelah mengetahui keadaan ibuku yang tunanetra itu.

Begitulah latar belakang kehidupanku yang berat memikulnya ini.

Mengenai ibuku, sebenarnya Ibu belum tua. Ketika aku berusia 20 tahun, usia Ibu baru 38 tahun. Karena Ibu menikah di usia 16 tahun. Di usia 17 tahun Ibu melahirkan Kak Wati, satu satunya kakakku. Dan di usia 18 tahun melahirkan aku.

Ibu juga punya bentuk tubuh yang tinggi montok dan punya wajah yang cantik. Kalau Ibu mengenakan kaca mata hitam, beliau tampak lebih cantik lagi. Sayangnya Ibu tidak bisa melihat, sehingga tidak bisa punya suami lagi, karena setiap hari beliau cuma tinggal di rumah, tak pernah ke mana - mana. Pernah juga aku bertanya apakah Ibu punya niat untuk kawin lagi?

Memang aku sangat prihatin melihat keadaan ibuku itu.

Ketika aku sedang nonton televisi, Ibu suka duduk di sampingku. Dan itu berarti bahwa aku harus menerangkan apa yang sedang kutonton itu.

Terkadang Ibu suka menghidupkan televisi sendiri. Lalu beliau hanya mendengarkan suaranya sambil rebahan di sofa. Biasanya Ibu suka mencari sendiri channel yang sedang menyiarkan FTV atau sinetron. Ibu malah sudah hafal jalannya cerita setiap sinetron yang “ditontonnya”, meski hanya bisa mendengarkan suaranya saja.

Pada suatu malam…

Aku baru pulang kerja jam tiga pagi. Karena habis kerja lembur.

Seperti biasa, untguk membuka pintu depan kugunakan kunci cadangan yang selalu kubekal setiap bepergian. Supaya aku tak merepotkan Ibu untuk membukakan pintu depan yang terkunci.

Setelah masuk ke dalam rumah, kukuncikan kembali pintu depan, lalu masuk ke dalam kamarku dengan badan terasa letih sekali. Tadinya aku ingin langsung tidur. Tapi sayup - sayup kudengar suara rintihan ibuku. “Aaaaah… aaaaaah… aaaaaaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaaaah…”

Kenapa Ibu merintih - rintih begitu? Apakah Ibu sedang sakit?

Maka setelah melepaskan sepatu, aku melangkah ke luar dari kamarku dan melangkah ke arah pintu kamar Ibu yang biasanya tidak dikunci. Tapi pada saat itu ternyata pintu kamar ibuku terkunci. Sementara rintihan - rintihan ibuku masih terdengar, bahkan semakin jelas. “Aaaaa… aaaaaaah… aaaaa …

Aku semakin penasaran. Kenapa Ibu merintih - rintih begitu? Apakah Ibu sedang merasa kesakitan atau… nah, aku baru ingat pintu itu ada kacanya di bagian atas. Sehingga dengan sedikit berjingkat aku bisa melihat ke dalam kamar Ibu. Bahkan pada saat itu sengaja aku memindahkan kursi makan ke dekat pintu kamar Ibu.

Dan… apa yang kulihat?

Ternyata Ibu sedang telanjang bulat. Tangan kanannya sedang meremas - remas payudaranya, sementara tangan kirinya sedang mengelus - elus memeknya yang berjembut lebat itu.

Sebenarnya aku sudah sering melihat Ibu telanjang. Tapi biasanya aku suka memalingkan muka, karena merasa jengah dan malu sendiri. Tapi kali ini aku memandangnya dengan mata nyaris tak berkedip.

Rupanya Ibu sedang bermasturbasi. Jari tangannya dimasuk - masukkan ke celah kewanitaannya, sementara mulutnya ternganga sambil berdesah - desah histeris seiring dengan gerakan jari di dalam celah kewanitaannya.

“Aaaaaaa… aaaaahhhh… aaaaa… aaaaahhhhh… aaaaa… aaaaaahhhh… aaaaa… aaaaaah… aaaaaa… aaaaaahhhhhh…”

Dan… diam - diam tongkat kejantananku jadi tegang… tegang sekali…!

Dan aku tak kuat lagi menyaksikan kejadian selanjutnya. Lalu aku turun dari kursi dan memindahkannya ke tempat semula.

Kemudian aku merebahkan diri di atas ranjang, sambil membayangkan lagi apa yang barusan kusaksikan itu.

Kenapa penisku jadi ngaceng begini? Apakah nafsuku bangkit setelah menyaksikan Ibu yang telanjang sambil bermasturbasi itu?

Entahlah.

Yang jelas dalam tidurku di hari yang sudah pagi itu, aku bermimpi tentang sesuatu yang tidak pernah kualami sebelumnya. Aku bermimpi menyetubuhi Ibu.

Mimpi gila memang. Tapi ketika aku terbangun, celanaku basah…!

Gara - gara mimpi gila itu spermaku meletus di balik celana dalamku…!

Tapi kenapa aku harus mengalami mimpi segila itu? Kenapa pula di dalam mimpi itu aku merasakan liang memek Ibu sedemikian enaknya sehingga aku sampai ngecrot dan celana dalamku basah?

Apakah di dalam kenyataan memang seperti itu? Bahwa memek ibuku itu enak sekali sehingga membuat penisku ngecrot seperti di dalam mimpi gilaku?

Entahlah. Yang jelas setelah bangun, aku langsung mandi sebersih mungkin. Rambut pun kukeramasi dengan shampoo.

Hari itu aku memang libur. Biasa, kalau sudah kerja lembur, aku dikasih libur keesokan harinya.

Setelah menyisir rambut, aku pergi ke warung nasi yang tidak jauh dari rumahku. Kubeli dua nasi bungkus. Untukku dan untuk Ibu.

Lalu kuajak Ibu makan bersama.

Pada waktu makan itulah aku mulai mengorek pengakuan Ibu.

“Bu… aku mau bertanya, tapi kuharap Ibu menjawabnya secara jujur ya.”

“Mau nanya apa Wan?”

“Ibu masih membutuhkan sentuhan lelaki kan?”

Ibu terdiam sesaat. Lalu menjawab pertanyaanku, “Ibu kan belum tua - tua amat Wan. Tentu saja ibu masih membutuhkan sentuhan lelaki. Tapi ibu nggak mau kawin lagi, karena takut tidak sayang sama kamu dan Wati.”

Aku yang sudah selesai makan, lalu berdiri dan melangkah ke belakang kursi yang sedang diduduki oleh ibuku. Lalu kuselinapkan tanganku ke daster Ibu bagian dadanya. Aku tahu Ibu tidak mengenakan beha, sehingga aku bisa langsung menggenggam kedua payudara montoknya dengan sepasang tanganku yang sudah berada di balik dasternya.

Ibu tersentak, “Haaa?! Kamu kan anak ibu Wan…!”

“Iya… tapi daripada Ibu terus - terusan bermasturbasi, mendingan pakai kontol yang asli Bu… lagian di rumah ini kan hanya ada kita berdua,” sahutku sambil mengelus kedua puting payudara ibuku dengan kedua tanganku yang sudah berada di balik dasternya.

Ibu terdiam sejenak. Lalu memegang kedua pergelangan tanganku sambil bertanya, “Memangnya kamu bisa nafsu sama ibu?”

“Bisa Bu. Tadi jam tiga pagi aku melihat Ibu sedang bermasturbasi. Aku tak kuat menahan nafsu. Tapi nggak mau ganggu Ibu yang kelihatannya sedang asyik gitu. Makanya aku langsung tidur aja. Eee… aku malah bermimpi menyetubuhi Ibu. Sampai basah celanaku Bu.”

“Masa?! Berarti kamu nafsu melihat ibu sedang telanjang sambil masturbasi tadi?”

“Iya Bu. Nafsu sekali melihatnya. Padahal biasanya sih gak gitu. Tiap melihat Ibu telanjang, aku suka memalingkan muka. Karena merasa jengah dan malu sendiri. Tapi tadi menjelang subuh… malah sampai terbawa - bawa mimpi Bu.”

“Terus maumu sekarang bagaimana?”

“Pokoknya aku siap untuk menyetubuhi Ibu, supaya Ibu jangan masturbasi lagi. Keseringan masturbasi, lama - lama bisa gila lho Bu,” sahutku dengan “dalil” mengada - ada. Padahal aku belum pernah mendengar atau pun membaca kalau keseringan masturbasi itu bisa gila.

Tapi kelihatannya Ibu terpengaruh oleh ucapanku. “Kalau ibu nanti hamil gimana?”

“Gak apa - apa. Hamil ya hamil aja. Aku mampu kok ngurus anaknya kalau sudah lahir kelak.”

“Tapi apa kata tetangga nanti? Ibu kan gak punyha suami, lalu hamil dan melahirkan… lalu anaknya menangis… suaranya terdengar ke mana - mana… jangan Wan ah… jangan sampai ibu hamil. Beli kondom aja dulu gih… atau beli pil anti hamil. Mungkin di apotek atau toko obat juga ada.”

“Iya Bu. Sekarang juga aku mau nyari sampai dapet,” sahutku sambil bergegas menuju gudang di sebelah. Di situlah kuletakkan motorku yang jarang dipakai. Karena untuk bekerja disediakan bus antar jemput karyawan.

Beberapa saat kemudian motor bebekku meluncur di jalan aspal, menuju toko obat langgananku yang letaknya agak jauh dari rumahku.

Kebetulan pil anti hamil itu tidak sulit mencarinya. Toko obat langgananku menyediakannya dengan harga yang lumayan murah. Kubeli pil itu 3 strip, untuk persediaan ibuku. Kemudian aku pulang lagi ke rumah.

Begitu tiba di rumah, aku langsung mencari ibuku di dalam kamarnya. Tapi Ibu tidak ada di situ. O, ternyata sedang di kamar mandi, karena aku mendengar bunyi air dituangkan ke lantai.

Maka kubuka pintu kamar mandi yang tidak pernah dikunci oleh ibuku itu (karena takut kalau jatuh di dalam kamar mandi).

Ternyata Ibu sedang telanjang bulat di dalam kamar mandi.

“Habis makan kok mandi Bu? Bagusnya kalau mau mandi sebelum makan tadi,” kataku sambil masuk ke dalam kamar mandi.

“Siapa yang mandi?” tanya Ibu sambil memutarf badannya jadi menghadap padaku, “ibu abis nyukur jembut ibu Wan… tuh lihat… memek ibu jadi bersih sekarang kan?”

“Hihihihiii… iyaaa… tadi subuh masih gondrong. Sekarang udah dibotakin. Pake apa nyukurnya Bu?”

“Pake silet pemberianmu tempo hari itu, waktu ibu minta silet untuk nyukur bulu ketek.”

“Duuuh… kalau bersih gini pasti enak jilatinnya Bu,” kataku sambil mengusap - usap kemaluan ibuku yang putih bersih dan lumayan tembem itu.

“Memangnya kamu mau jilatin memek ibu?” tanyanya.

“Mau kalau sudah bersih gitu sih,” sahutku sambil membeberkan handuk dan membalutkannya di tubuh Ibu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu