2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 11

Dengan sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak membuka asal - usulku kepada Bu Laila. Setiap kali berkomunikasi lewat ponsel, aku selalu bersikap untuk tetap seromantis mungkin.

Di balik itu semua, diam - diam aku menyisihkan dana dalam batas yang diijinkan oleh Bu Laila. Dana itu kusimpan dalam rekening baru atas nama pribadiku.

Hal ini kulakukan agar seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (setelah Bu Laila tahu asal - usulku, aku jangan sampai jatuh miskin).

Batinku memang resah gelisah menyimpan rahasia yang belum dibuka ini.

Berbulan - bulan aku menyekap rahasia ini, dengan perasaan kuatir dan resah.

Dalam keadaan galau inilah datang tamu, seorang gadis cantik bernama Anneke, yang ingin menanam saham di dalam perusahaan punya Bu Laila ini.

Gadis bernama Anneke itu berterus terang bahwa ayahnya meninggal setahun yang lalu, sementara hartanya diwariskan pada Anneke semua. Dengan catatan bahwa Anneke bertanggungjawab untuk membiayai segala kebutuhan ibunya seumur hidupnya.

Aku merasa punya jalan untuk berjaga - jaga seandainya hubunganku dengan Bu Laila mengalami sesuatu yang tidak diinginkan.

Maka dalam kunjungan Anneke yang ketiga kalinya ke kantorku, aku sudah punya keputusan yang masih tersimpan di dalam hati. Untuk membujat sebuah PT baru, di mana aku menjadi dirutnya, sementara Anneke akan kuposisikan sebagai komisaris utamanya.

Jadi investasi Anneke jangan bercampur baur dengan saham Bu Laila yang 70% itu (saham kehormatanku 30%).

Gadis cantik yang gerak - geriknya selalu membuatku kagum itu pun langsung menyetujuinya.

“Deal Bang. Yang terpenting aku ingin agar Bang Wawan mengatur dana itu, karena aku sendiri sama sekali tak punya pengalaman dalam berbisnis,” kata Anneke dengan senyum manis di bibir tipis mungilnya.

Senang hatiku mendengar persetujuannya itu.

Aku memang punya konsep bagus (menurutku) yang tidak pernah dilaksanakan dalam perusahaan milik Bu Laila ini. Sehingga PT baru itu nantinya takkan menjadi kompetitor perusahaan punya Bu Laila ini.

Lalu aku melakukan gerakan kilat. Merombak gudang peninggalan almarhum ayah Anneke, menjadi sebuah kantor. Kemudian kami merekrut puluhan tenaga untuk menjadi karyawan PT yang diriku menjadi dirutnya itu.

Arah usaha PT baru itu, ada deh. Pokoknya legal dan halal.

Dalam tempo 3 bulan saja aku berhasil mengaktifkan PT baru itu sampai pada “kecepatan normal”. Bahkan bisa dibilang di atas rata - rata.

Tapi tentu saja aku takkan meninggalkan PT punya Bu Laila itu.

Bahkan pada suatu hari aku mendapatkan panggilan di ponselku. Panggilan dari Bu Laila…!

Lalu :

“Sayaaang… udah lupa ya?”

“Masalah apa Beib? Ulang tahunmu dua bulan lagi kan?”

“Bukan masalah ulang tahun. Kandunganku ini… sekarang sudah genap tujuh bulan. Lupa ya? Kan aku bilang kalau kehamilanku sudah tujuh bulan, pangeranku boleh menggaul;iku lagi. Bahkan harus sering… supaya bayinya kuat nanti.”

“Oh… iyaaaa… iyaaa… berarti aku sudah boleh buka puasa dong. Terus di mana kita mau ketemuan?”

Kemudian Bu Laila menyebutkan nama sebuah hotel bintang lima. Dengan nomor kamarnya sekalian, karena ia sudah membooking kamar itu.

“Oke… aku segera meluncur ke hotel itu Beib,” ucapku di dekat mic ponselku.

“Aku pasti duluan tiba, karena sekarang sudah on the way menuju hotel itu. Langsaung aja ke kamar yang nomornya kusebutkan tadi ya,” sahut Bu Laila di speaker hapeku.

“Oke… oke… !”

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju hotel yang sudah disebutkan oleh Bu Laila tadi. Lalu masuk ke dalam lift dan kupijat angka 5, karena kamar yang sudah dibooking itu berada di lantai lima.

Pintu kamar itu sudah terbuka sedikit, sehingga aku bisa langsung masuk ke dalamnya.

Dan… aku tercengang menyaksikan Bu Laila yang mengenakan gaun hamil putih bersih itu.

“Beib… dirimu sangat berubah… jadi tampak jauh lebih muda dan… cantik sekali… !” seruku sambil memeluk lehernya, lalu menciumi sepasang pipinya, bibirnyha dan lehernya.

“Memang banyak yang bilang aku jadi kayak cewek duapuluhtahunan,” ucapnya sambil menjilati telingaku.

“Memang betul. Dan yang paling jelas… jadi sangat sangat dan sangat cantik sekaliii… oooh… dirimu memang bidadari yang dikirimkan dari langit, untuk menaburkan segala jenis kebahagiaan ke dalam jiwaku.”

“Hmmm… aku jadi merasa tersanjung Honey… eee… eeee… eeeeh… anak kita bergerak - gerak nih… mungkin senang karena ayahnya datang… coba pegang perutku…”

Aku pun berlutut di depan Bu Laila sambil menyelinapkan tanganku ke balik baju hamilnya. Lalu memegang permukaan perutnya yang sudah buncit. Dan… aku merasakannya… merasakan seperti ada yhang menggeliat di balik perutr buncit itu…!

“Kata orang, kalau ibu yang hamil jadi semakin cantik, biasanya bayi di dalam perutnya itu perempuan.”

“Memang iya, kata dokter bayinya cewek Honey.”

“Wow…! Semoga anakku secantik ibunya… !”

“Malah aku ingin lebih cantik dariku Honey…”

“Amiiin…”

Bu Laila tersenyum. Lalu melepaskan gaun hamil putihnya, sehingga tinggal bra yang masih melekat di badannya. Karena sejak tadi pun aku tahu bahwa ia tak mengenakan celana dalam di balik baju hamil itu.

Kemudian ia duduk di sofa sambil melepaskan beha putihnya.

“Sambil berlutut di karpet ya ngentotnya,” ucap Bu Laila sambil meletakkan behanya ke atas meja kecil di samping sofa putih itu.

“Oke. Biar bayinya jangan tergencet ya,” sahutku sambil mlepaskan dasi dan jasku. Kemudian juga kemeja dan celana panjangku. Semuanya itu kugantungkan di kapstok. Begitu juga celana dalamku.

Kemudian aku duduk bersila di atas karpet, di antara kedua paha Bu Laila yang sudah direntangkan di atas sofa itu.

Lalu kungangakan labia mayora Bu Laila, sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu pun terbuka dan langsung kujilati dengan lahapnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu