2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Aku keluar dari kamar mandi. Lalu kututup dan kukuncikan pintu kamar Wati ini, agar aku leluasa main dengannya tanpa gangguan siapa pun.

Tak lama kemudian Wati pun muncul dari kamar mandi, dengan membelitkan handuk di badannya.

Handuk itu pun kutarik sampai terlepas dari tubuh Wati. Dan ternyata benar dugaanku. Di balik handuk itu tiada apa - apa selain tubuh Wati yang seksi abis itu.

Wati tidak marah. Malah mendekap pinggangku sambil menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. “Kamu kangen kan sama aku?”

“Kamu sendiri gimana?”

“Iiih… orang nanya malah balik nanya.”

“Iya kangen Wat. Apalagi sekarang, kamu jadi tampak benar - benar hidup.”

“Emangnya pada waktu aku masih buta kayak mayat gitu?”

“Nggak kayak mayat sih. Tapi sekarang kamu memang jadi lebih seksi. Kulitmu juga jadi lebih bersih sekarang.”

“Di rumah sakit kan cuma makan - tidur makan - tidur selama lebih dari sebulan. Makanya jadi lebih montok dan bersih.”

“Jadi lebih seksi pula,” ucapku sambil mengusap - usap toket gedenya.

“Kalau memang jadi seksi, cariin cowok buat calon suamiku Wan.”

“Terus aku mau dilupakan begitu aja?”

“Ya nggak lah. Tapi biar gimana kita kan gak bisa menikah Wan. Makanya cariin aku calon suami. Yang udah tua juga gak apa - apa, asalkan tajir. Soal hubungan kita sih bisa aja dilanjutkan secara rahasia.”

“Ya nanti kalau sudah bosan sama kamu, kucariin cowok tua tapi tajir,” sahutku sambil menelanjangi diriku sendiri.

Wati terlongong. Mengamati batang kemaluanku. Lalu memegangnya sambil berkata, “Inilah pertama kalinya aku bisa melihat bentuk kontol. Lucu ya… kepalanya seperti helm… seperti jamur kancing juga… hihihiii…”

Tak cuma memegangnya, Wati pun lalu menjilati leher dan moncong penisku. Bahkan kemudian mengulum dan menyelomotinya dengan lahap.

Cukup lama kubiarkan Wati mengoral kontolku. Setelah kontolku benar - benar ngaceng, cepat Wati menelentang sambil berkata, “Jangan jilati memekku. Langsung aja masukin kontolmu. Aku ingin merasakan nikmatnya gesekan kontolmu dalam keadaan belum becek.”

Aku menurut saja. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina kakakku.

Wati pun ikut memegang leher klontolku, sambil mengarahkan moncongnya agar berada di posisi yang pas menuju mulut liang memeknya.

Lalu kudorong kontol ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak masuk sedikit demi sedikit.

“Oooooohhhhhh… kalau gak dibecekin dulu kan enak sekali Wan… terasa sekali kontolmu bergerak masuk begini… ooooohhhhh… kontolmu memang enak sekali Wan. Sayangnya kita bersaudara ya… kalau kamu bukan adikku, pasti aku ingin dijadikan istrimu… ayo entotin Wan… !”

Dengan penuh nafsu aku pun mulai mengayun kontolku perlahan - lahan. Setelah liang memek Wati terasa licin, barulah aku bisa mempercepat entotanku, sampai pada kecepatan standard.

Dengan trampilnya Wati pun menggeol - geolkan pinggulnya, sehingga kontolku terasa dibesot - besot oleh liang memeknya yang bergerinjal - gerinjal empuk hangat dan licin itu.

Wati pun mulai merintih - rintih erotis.

“Waaaaan… aaaaaah… Waaaaan… aku udah lebih dari sebulan gak dientot sama kamu… sekarang terasa sekali enaknya kontolmu ini Waaan… iyaaaaa… iyaaaaa… entot terus Waaan… iyaaa… iyaaaaa… entot terus Waaaan… iyaaaa… iyaaaa… entottt… entooooottttt… entooot teruuuuuuusssss…

Sementara itu aku mulai menjilati leher Wati yang mulai lembab oleh keringat, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Aksiku ini membuat Wati semakin merem melek. Semakin berlontaran pula rintihan - rintihan histeris dari mulutnya.

Tapi Wati tetap menggoyangkan pinggul dengan lincahnya. Mungkin pada waktu di Kalimantan dia sudah dilatih oleh lelaki yang pernah memboyongnya ke sana. Dilatih untuk menggoyangkan pinggulnya selincah mungkin.

Cukup lama aku menggenjot liang memek Wati yang terasa licin tapi lumayan sempit ini. Sampai pada suatu saat, ketika Wati berkelojotan aku pun menggencarkan entotanku. Dan ketika ia mengejang tegang, aku pun sudah tiba di puncak kenikmatanku.

Lalu terasa liang memek Wati berkedut - kedut di puncak orgasmenya. Pada saat yang sama kutancapkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi.

Lalu… kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan air maniku.

Crooooottt… crooootttt… crottt… croooooooootttt… coooottttttttt… crooootttt…!

Aku pun terkapar di atas perut kakakku. Dengan tubuh bersimbah keringat.

“Barusan dibarengin ya?”

“Iya,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek kakakku, “Lebih enak dibarengin kan?”

“Iya. Tapi kalau aku tidak ikutan kabe sih bisa hamil.”

“Ogitu ya,” ucapku sambil meraih pakaianku yang berserakan di lantai, “Aku mau bobo sama Ibu ah. Kangen… pengen tidur dalam pelukannya.”

Kemudian, aku melangkah menuju kamar Ibu, dalam keadaan telanjang bulat sambil menggenggam pakaian yang belum kukenakan kembali.

Setelah berada di dalam kamar Ibu, kututupkan kembali pintunya, lalu kukunci sekalian.

Ibu agak kaget mendengar langkah menuju bednya. “Wan !” panggilnya.

“Iya Bu,” sahutku.

“Owh… kirain siapa.”

Lalu aku naik ke atas bed Ibu sambil berkata, “Aku kangen, pengen bobo di dalam pelukan Ibu.”

Ibu meraba - raba kakiku, perutku dan juga kontolku yang masih lemas ini.

“Kok tamu telanjang? Mau nidurin ibu ya? Sekarang mah gak bisa ibunya Wan.”

“Kenapa?”

“Ibu lagi datang bulan.”

“Owh… ya udah… aku mau sabar aja menunggu sampai Ibu bersih.”

“Mungkin lima hari lagi bersihnya Sayang.”

“Kalau Ibu lagi mens sih gak jadi ah tidur sama Ibunya.”

“Hihihiii… kasian anak ibu.”

Akhirnya kutinggalkan kamar Ibu, dengan perasaan kecewa. Lalu masuk ke dalam kamarku. Dan langsung masuk ke kamar mandi pribadiku. Keringat bekas bersetubuh dengan Wati tadi membuat badanku lengket - lengket. Karena itu aku mandi dengan air hangat yang memancar dari shower utama di atas kepalaku. Lalu menyabuni tubuhku sebersih mungkin.

Setelah mandi, badanku terasa segar kembali. Tapi perasaan kecewa masih tersimpan di dalam hatiku. Karena tadinya aku ingin menyetubuhi ibuku. Tapi ternyata ibuku sedang “palang merah”.

Meski pun sudah ngecrot di dalam liang memek Wati tadi, aku yakin masih bisa bersetubuh sekali atau dua kali lagi. Karena dalam beberapa hari belakangan ini aku tidak menggauli siapa pun. Sementara Bu Laila ingin “berpuasa” dulu katanya, agar janin di dalam perutnya tenang.

Lalu siapa yang harus kusetubuhi?

Entahlah. Yang jelas, jangan dengan Wati lagi. Sebaiknya ada sosok lain yang akan kujadikan target.

Kalau ada Euis, pasti aku akan menyetubuhi dia habis - habisan. Tapi Euis sudah pulang tadi sore.

Lalu kenapa aku tidak ke rumahnya saja? Kalau perlu kusikat dengan ibunya sekalian.

Ya, biar bagaimana pun Bu Mimin sudah pernah memberiku kenangan dan kepuasan. Tapi seandainya Euis tahu bahwa aku sudah pernah menggauli ibunya segala, apakah Euis takkan merajuk?

Entahlah. Biar bagaimana nanti saja. Aku akan melihat situasinya saja dulu. Siapa tahu ada salah seorang yang sedang datang bulan pula di antara Euis dan ibunya.

Ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul delapan malam, aku mengeluarkan mobil lamaku keluar dari garasi. Sedan hadiah dari Bu Laila hanya akan kupakai untuk ke kantor atau kalau ada meeting dengan para pengusaha relasiku saja.

Tak lama kemudian aku sudah menjalankan mobil lamaku menuju rumah Euis.

Hanya dibutuhkan waktu sejam untuk mencapai rumah yang sudah kuhadiahkan kepada Euis itu. Lalu aku pun turun dari mobilku.

Belum lagi kuketuk pintu depan rumah Euis, pintu itu terbuka dan Bu Mimin berdiri di ambang pintu depan.

“Firasat saya tajam juga ya. Saya barusan sedang mikirin Den Wawan. Eeee, gak taunya Aden datang, “sambut Bu Mimin sambil mempersilakanku masuk.

“Euis mana?” tanyaku.

“Sudah tidur Den,” sahut Bu Mimin yang malam itu mengenakan daster katun berwarna light brown polos alias tanpa corak, “Sejak jam tujuh tadi dia sudah tidur nyenyak. Aden ada perlu sama dia?”

“Nggak,” sahutku sambil menarik pergelangan tangan Bu Mimin dan mengajaknya duduk di sofa ruang keluarga.

Dia menurut saja. Duduk di sampingku sambil merapatkan pipinya ke pipiku. “Aden kangen sama saya atau sama Euis?”

Tanganku langsung merayap ke balik daster coklat mudanya. “Dua - duanya,” sahutku sambil menyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Lalu mengusap - usap permukaan memeknya. Dan menyelundupkan jari tengahku ke dalam celah vaginanya yang agak basah… dan semakin basah setelah jemariku mmenggesek - gesek dinding liang memeknya.

“Den… kalau memek saya udah dibeginiin… saya langsung kepengen…” ucap Bu Mimin setengah berbisik.

“Ya udah… kita main di sini aja Bu. Lepasin dulu dasternya dong.”

“Jangan di sini Den. Perasaan saya jadi gak tenang kalau di sini sih. Di kamar saya aja yok.”

Akhirnya kuikuti ajakan Bu Mimin, melangkah di sampingnya menuju pintu kamarnya.

Setelah berada di dalam kamarnya, Bu Mimin langsung melepaskan daster, beha dan celana dalamnya. Sehingga tubuh tinggi montoknya telanjang bulat di depan mataku.

Aku pun cep[at menelanjangi diriku sendiri, kemudian menyergap pinggang Bu Mimin dan meraihnya ke atas bed.

“Duuuh… senengnya hati saya Den… pas lagi kangen, Aden datang,” ucap Bu Mimin setelah celentang di atas bed akibat dadanya kudorong.

Tanpa basa - basi lagi kuserudukkan mulutku ke memek Bu Mimin yang tembem dan sangat merangsang itu.

Buj Mimin tersentak kaget. Mungkin karena tidak mengira kalau aku akan langsung menjilati memek tembemnya. Namun lalu ia mulai mewndesah - desah sambil meremas - remas kain seprai. Karena aku sudah gencar menjilati memeknya, sementara telunjuk dan jari tengahku mulai menyodok - nyodok liang memeknya.

Dalam trempo singkat saja liang memek Bu Mimin sudah basah dibuatnya.

Lalu… dengan sekali dorong saja kontolku mulai melesak masuk ke dalam liang sanggama wanita setengah baya itu.

“Oooooohhhh… sudah masuk Deeeen… “rintih Bu Mimin sambil mendekap kedua pangkal lenganku erat - erat, seperti orang yang takut jatuh dari ketinggian.

Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku, bergerak maju mundur seperti sedang memompa liang memek wanita setengah baya yang cantik itu.

Bu Mimin pun mulai mendesah dan merintih, “Aaaaaah… Deeen… aaaaah… Deeeen… aaaaaah… Deeeeen… aaaaah… aaaa… aaaaah… Deeeen… ini… ini… ini luar biasa enaknya Deeen… aaaaah… Den Wawaaaaan… aaaaaah… enak sekali

Deeen… entot terus Deeeen… entooot teruuusssss… entooootttt… entooooottt… !“

Bu Mimin meraung - raung histeris terus. Dan mungkin rintihan histeris Bu Mimin itu terlalu keras dan sulit dikendalikan. Sehingga rintihannya itu terdengar oleh anaknya. Entahlah apa yang menyebabkan Euis terbangun dan membuka pintu kamar ibunya. Entahlah. Yang jelas tiba - tiba aku mendengar suara Euis dari samping kiriku, “Ema…

Tentu saja aku terkejut. Lalu menoleh ke arah Euis yang sudah berdiri di ambang pintu. Dengan sikap malu - malu. Mungkin dia malu sendiri melihat ibunya sedang kusetubuhi begini.

Aku pun menghentikan entotanku dan berkata kepada Euis, “Sini… kita bikin keseruan di dalam kamar ini. Lepaskan seluruh pakaianmu dan naik ke atas bed sini.”

Sambil tersenyum - senyum Euis menghampiri bed yang tengah kami pakai bersetubuh ini.

“Ayo jangan malu - malu. Lepasin semua pakaianmu, “perintahku.

Euis mengangguk dan mengikuti apa yang kuperintahkan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu