2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 05

Ketikaaku membenamkan batang kemaluanku tadi, terasa begitu mudahnya menembus liang memek kakakku ini. Sebagai pertanda liang memek Wati tidak sempit lagi. Tapi setelah lebih dari setengah jam aku mengentotnya, terasa benar betapa enaknya liang memek kakakku ini. Kenyal - kenyal legit begitu.

Dan yang menyenangkan adalah pentil toketnya itu. Gede - gede. Membuatku senang menyedot - nyedotnya seperti bayi yang sedang menetek pada emaknya.

Kakakku justru suka diperlakukan seperti itu. Dia malah mengsap - usap rambutku sambil berkata, “Iya… sedotin terus pentil toketku Wan… enak… iyaaaaa… iyaaaa… iyaaaa… sedotin terus… kuat - kuat juga gak apa - apa.”

Yang paling menyenangkan, kakakku sangat kreatif dengan posisi - posisi sex. Terkadang ia main di atas, di saat lain dia menungging dan kuentot liang memeknya dari belakang. Terkadang juga ia miring dan aku diminta ngentot dari belakangnya.

Kakakku juga memujiku. Ia berkata bahwa disetubuhi olehku laksana disetubuhi oleh beberapa orang lelaki. Karena posisi demi posisi sudah dilakukan, tapi aku belum ejakulasi juga. Padahal menurut pengakuannya, dia sudah tiga kali orgasme. Sementara aku masih bertahan terus.

Padahal keringat kami sudah bercucuran. Sampai akhirnya aku membisikinya dengan terengah - engah, “Aku udah mau ngecrot. Lepasin di mana?”

“Di dalam saja. Aman kok, aku udah disuntik kabe… cukup buat lima bulan lagi. Emangnya kamu udah mau ngecrot?”

“Iiii… iyaaaaa…” sahutku sambil mempercepat entotanku.

“Ayo lepasin aja di dalam memekku… aku juga kayaknya mau lepas lagi niiiih…”

Lalu kami seperti sepoasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram… saling cium dan akhirnya meriam pusakaku melepaskan pelurunya bertubi - tubi… blam… blaaaaaaam… dhuaaaaar… dhuaaaar… crooootttt… craaaaaaaat…!

Esok paginya, aku agak buru - buru meninggalkan rumah. Karena sebelum ke kantor, aku mau membeli mobil dulu, seperti yang dianjurkan oleh Bu Laila. Sengaja aku mencari mobil di showroom mobil second tapi masih bagus - bagus. Padahal Bu Laila menyuruhku membeli mobil di dealer yangf menyediakan mobil - mobil 100% baru.

Kebetulan di showroom yang cukup terkenal itu ada mobil yang masih sangat baru, dalam kondisi di atas 95%. Harganya tentu sudah jatuh. Jauh dengan harga 100% baru.

SUV berwarna hitam itu tidak tergolong mobil mahal, tapi juga bukan mobil murahan. Dengan harga yang sangat miring, mobil itu sudah bisa langsung dibawa pulang. Tidak seperti mobil brand new, yang harus pakai nomor sementara dulu lah, STNK dan BPKBnya pun harus menunggu sekian hari lah. Sementara mobil yang sudah kupilih itu bisa langsung dipakai ke mana saja, dengan surat - surat yang sudah lengkap.

Setelah test driver sebentar, aku langsung menyatakan setuju kepada mobil SUV hitam metalik itu. Setelah melaksanakan transaksi di showroom, aku langsung membawa mobil itu ke kantor, untuk memulai bekerja sebagai aspri Bu Laila yang selalu ingin dipanggil Cinta itu (kalau sedang berduaan saja).

Ketika aku memberesi barang - barangku di ruang kerja lamaku, di lantai tiga, teman - teman pada heran. “Mau ke mana Wan?” tanya salah seorang di antara mereka.

“Dipindahin ke lantai lima,” sahutku.

“Haaa?! Lantai lima kan kantor para dirut dan para manager?!”

“Iya.”

“Terus dijadiin apa kamu di sana nanti?”

“Belum tau,” sahutku pura - pura belum tahu apa jabatan baruku nanti, “Pokoknya aku ikut perintah aja. Suruh pindah, ya pindah. Oke gaes… doakan aku bisa melaksanakan tugas baruku di lantai lima.”

Lalu aku naik lift menuju lantai lima. Langsung mengetuk pintu ruang kerja Bu Laila.

Bu Laila tampak semringah sekali melihat kedatanganku. Dia mengecup pipi kanan dan pipi kiriku dengan hangatnya.

“Maaf aku terlambat, karena tadi beli mobil dulu,” kataku.

“Ohya?! Sudah beli mobil?” Bu Laila tampak senang sekali.

“Sudah. Tapi tadi beli di showroom mobil - mobil second. Kebetulan ada mobil yang baru dipakai tiga bulan. Keadaannya masih sembilanpuluhlima persen baru. Harganya lumayan murah. Sudah langsung bisa dipakai ke luar kota pula.”

“Mobil apa? “tanyanya.

Kusebutkan merek mobil itu*(maaf takkan kusebutkan mereknya, takut disangka ada sponsor gelap)*.

“Hihihihiii… pintar juga kamu pilih mobil Honey.”

“Nggak mau lihat mobilnya?”

“Jangan. Nanti karyawan malah curiga. Masa mobil aja dilihat langsung olehku. Kalau ada yang nanya nanti, bilang aja mobil itu dibeli dengan uangmu sendiri Honey. Jangan sampai ada yang tau kalau aku yang ngasih duitnya. Nanti mereka pada ngiri sama kamu,” kata Bu Laila yang disusul dengan kecupan hangatnya di bibirku.

Kemudian Bu Laila menunjukkan ruang kerjaku yang letaknya berdampingan dengan ruang kerjanya. Bahkan boleh dibilang ruang kerjaku ini satu ruangan dengan ruang kerja Bu Laila, karena hanya dibatasi oleh partisi yang terbuat dari kaca buram (blur).

“Apakah ini bukannya ruang kerja sekretaris?” tanyaku sambil meletakkan barang - barangku di atas meja kerjaku.

“Hush… tadinya ruang kerja ini tempat kerjaku. Sedangkan ruang kerjaku yang kutempati sekarang, tadinya ruang kerja ayahku. Sekarang ruang kerja ayahku diserahkan padaku. Tapi secara resminya dua bulan lagi perusahaan ini jadi milikku. Siap - siap aja untuk kuangkat sebagai dirut nanti.”

“Wow… mudah - mudahan aku mampu melaksanakan tugas yang berat itu. Terus Cinta sendiri jadi apa nanti?”

“Aku jadi komisaris utama lah. Mmm… mulai sekarang harus rajin baca buku tentang managemen, marketing dan leadership ya. Setelah kuanggap pasti mampu, aku akan segera mengangkatmu sebagai direktur utama. Keren kan?”

“Sangat - sangat keren. Tapi Cinta harus tetap membimbingku, sjupaya aku tidak salah dalam mengeluarkan kebijaksanaan.”

“Gampang itu sih. Sebenarnya yang benar - benar bekerja itu para manager dan stafnya masking - masing. Direktur utama hanya perlu menetapkan garis - garis besar beleid perusahaan saja.”

“Beleid itu kebijakan ya.”

“Iya, kata itu diambil dari bahasa Belanda yang sudah biasa digunakan di perusahaan ini.”

“Iya… berarti mulai sekarang harus banyak baca buku.”

“Ada lagi yang lebih penting,” kata Bu Leila sambil mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “Kamu harus bisa menghamiliku Honey.”

“Iya, “aku mengangguk sambil tersenyum, “Mudah - mudahan aku bisa mewujudkan keinginan itu, Cinta.”

“Tapi sekarang aku baru saja dapet…” ucapnya tersipu.

“Dapet apa?” tanyaku penasaran.

“Dapet datang bulan,” sahutnya.

“Ogitu… hihihiii… kirain dapet apa.”

“Sabar ya Honey. Nanti setelah bersih, aku akan memasuki masa subur. Pada masa itulah kita harus melakukannya secara intensif, supaya aku bisa hamil.”

“Iya Amore… apa pun akan kulakukan untuk mewujudkan keinginan itu.”

Bu Laila mencium bibirku disusul dengan ucapan mesra, “Aku suka dipanggil Amore oleh kekasih tercintaku.”

Hari itu aku lumayan sibuk untuk beradaptasi dengan suasana baru ini. Sebagai aspri Bu Laila ini. Bukan sekadar jadi karyawan biasa di bagian administrasi itu.

Namun pada jam makan siang, Bu Laila membolehkanku pulang duluan. Untuk mengurus renovasi rumahku itu.

Maka siang itu aku langsung menjumpai Mas Bowo, ahli bangunan yang biasa dipakai oleh boss lamaku (pemilik beberapa taksi yang dahulu jadi tempatku bekerja itu). Setelah ngomong sedikit tentang rencanaku untuk membuat garasi dan tiga kamar baru yang lengkap dengan kamar mandinya masing - masing itu, Mas Bowo pun kuajak ke rumahku.

Rumahku menghadap ke utara. Bukan rumah besar, tapi tanah di sekitarnya lumayan luas. Karena itu aku berencana untuk membangun dua kamar baru di sebelah timur dan satu garasi berikut sebyuah kamar di belakang garasi itu di sebelah barat rumahku. Dengan demikian, aku bisa membangun semuanya tanpa mengganggu Ibu dan kakakku.

Setelah berunding dengan Mas Bowo, tercepai kesepakatan bahwa pembangunan itu bisa selesai dalam tempo dua bulan. Dengan catatan bahwa bagian atapnya akan dicor, supaya nanti bisa dikembangkan ke atas pada suatu saat kelak. Begitu juga dengan harga borongannya sudah kusepakati.

Jadi nanti Mas Bowo akan jadi pemborong kecil, yang akan menyediakan segala bahan dan buruhnya, sementara aku akan membayarnya sebagai pemborong full, tanpa harus memberi makan pada anak buah Mas Bowo. Karena di rumah hanya ada Ibu dan Wati yang sama - sama tunanetra. Yang tak mungkin bisa menyediakan makanan untuk buruh bangunan nanti.

Setelah Mas Bowo berlalu, aku mengajak Ibu dan kakakku duduk di ruang tamu. Memang rumah ini belum punya ruang keluarga. Terpaksa aku mengajak mereka ngobrol di ruang tamu saja. Nanti, kalau ketiga kamar dan garasi itu sudah selesai, mungkin rumah lama ini akan dirobohkan, kemudian dibangun yang baru, yang sesuai dengan kriteria rumah layak huni.

Aku duduk di kursi panjang, diapit oleh Ibu di sebelah kananku dan Wati di sebelah kiriku.

Kemudian kuceritakan semuanya. Bahwa aku sudah punya mobil. Bahwa rumah akan segera direnovasi, tapi takkan mengganggu ibnu dan kakakku karena pembangunan itu takkan mengganggu rumah lama. Kuceritakan juga bahwa yang akan dibangun adalah tiga kamar baru yang memiliki kamar mandi masing - masing. Kamar mandi yang dibuat sedemikian rupa agar lebih nyaman dipakai mandi oleh ibu dan kakakku.

Aku pun menceritakan rencanaku, bahwa setelah ketiga kamar dan garasi itu selesai, rumah lama ini akan dirobohkan dan dibangun ruang keluarga, ruang makan, kitchen yang up to date dan sebagainya. Juga kujelaskan bahwa semuanya itu akan kubiayai dari uangku sendiri, takkan meminjam uang serupiah pun pada bank.

Ibu dan Wati tampak gembira sekali mendengar penuturanku. Mereka menciumi pipiku dari sebelah kanan dan kiriku saking gembiranya.

Selanjutnya aku berkata, “Nanti kita bersetubuh rame - rame ya Bu. Aku akan menyetubuhi Ibu dan Wati di atas ranjang Ibu.“

“Haaa?!” Ibu kaget. Wati pun terperanjat.

“Gak ada yang perlu dirahasiakan lagi ya. Wati sudah tidak perawan lagi sejak berada di Kalimantan. Ibu juga sudah sering kusetubuhi. Jadi… mendingan kita bikin acara happy - happy nanti malam ya Bu, ya Wat…” kataku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik celana dalam Ibu dan menyelinapkan tangan kiriku ke balik celana dalam Wati.

“Ibu tak usah mempersoalkan masalah Wati. Aku sudah memutuskan, darip[ada Wati ngeluyur ke tempat jauh lagi untuk mencari kontol, biarlah kontolku saja yang akan memuasinya. Dan Wati juga tak usah mendakwa Ibu, karena Ibu masih muda dan masih membutuhkan sentuhan lelaki. Maka sebelum Ibu punya suami lagi, biarlah aku saja yang akan memuasinya.

“Iya Wan… aku setuju… setuju sekali…” kata Wati sambil merenggangkan kedua kakinya, karena tanganku sudah menggerayangi kemaluannya.

“Ibu juga sama dengan Wati… semuanya terserah Wawan saja. Silakan atur aja bagaimana baiknya… aaaaaah…” ucap Ibu yang disusul dengan desahan, karena jari tengah kananku sudah menyelinap ke dalam liang memeknya.

“Ngomong - ngomong sudah pada makan siang nih?”

“Sudah Wan. Tadi beli makanan dari warung nasi itu,” sahut Ibu.

“Kalau begitu, aku mau mandi dulu ya. Biar badannya seger. Setelah mandi kita langsung bikin acara bertiga nanti.”

“Aku juga mau ikut mandi sama kamu Wan,” kata Wati.

“Ibu juga mau mandi, biar badannya segar dan wangi,” kata Ibu.

“Ayo deh… kita mandi rame - rame kalau gitu,” ucapku sambil berdiri, sambil memegang tangan Ibu dan tangan Wati. Lalu kutuntun mereka ke dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku membayangkan kehidupan manusia di zaman purbakala. Mungkin seperti ini pula yang terjadi. Bahwa ibu dan kakakku sedang menelanjangi dirinya di dalam kamar mandi, tanpa keraguan sedikit pun kelihatannya.

Menyenangkan sekali rasanya, mandi bersama dua orang wanita yang sudah pada telanjang ini. Meski mereka adalah ibu dan kakak kandungku …

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu