2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 07

Tarian birahiku di atas perut Bi Euis benar - benar bermutu, menurutku. Karena gesekan demi gesekan membuatku serasa dialiri arus listrik dari ujung kaki sampai ubun - ubun di kepalaku.

Apakah aku merasa hina? Seorang dirut menyetubuhi pembantunya sendiri?

Tidak. Pembantu juga manusia. Sama saja seperti aku. Bahkan kuanggap Bi Euis laksana mutiara di dalam lumpur.

Bi Euis punya kulit putih mulus. Punya wajah cantik sekaligus manis. Punya bentuk tubuh yang sangat menggiurkan, terutama bokong gedenya itu. Punya sepasang payudara yang masih padat kencang.

Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Sehingga harus bekerja di rumahku sebagai seorang pembantu.

Dan aku bertekad untuk menyenangkannya kelak. Aku ingin mendandaninya, ingin mencukupi kebutuhan hidupnya, ingin juga menempatkannya di rumah yang layak huni.

Aku bahkan bisa membayangkan seandainya Bi Euis sudah didandani, membawanya ke tengah kelompok kaum elite pun takkan memalukan. Karena hanya dengan dandanan sederhana saja sudah kelihatan cemerlangnya wajah Bi Euis, yang usianya kira - kira sebaya dengan Wati itu. Apalagi kalau sudah benar - benar didandani dan dipoles make up.

Dan liang memeknya yang tengah kuentot ini bermacam - macam nikmat yang kurasakan, yang sulit menjelaskannya. Yang pasti aku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Aku menilai Bi Euis ini punya rasa yang lain dari perempuan - perempuan yang pernah kusetubuhi. Dan ini membuatku jadi sangat bergairah menyetubuhinya.

Untuk itu aku pun ingin menciptakan kesan, bahwa aku pun lelaki yang lain dari yang lain. Karena itu ketika batang kemaluanku sedang gencar - gencarnya mengentot, mulut dan tanganku pun mulai beraksi. Aku mulai memagut bibirnya yang tipis mungil, lalu melumatnya habis - habisan. Bukan sekadar menciumnya.

Terasa tubuh Bi Euis bergetar - getar. Mungkin saking menikmatinya. Mungkin juga karena baru sekali ini dia merasakan bibirnya dilumat pada saat liang memeknya sedang “dipompa” oleh kontol.

Ketika mulutku pindah sasaran, untuk menjilati lehernya, disertai gigitan - gigitan kecil, tangan kiriku tetap asyik meremas toketnya yang berukuran ideal dan masih kencang itu, rintihan - rintihan histerisnya terdengar lagi.

“Deeen… oooo… oooooh… be… belum pernah… sa… saya merasakan… di… disetubuhi yang seenak ini Deeen… ini akan menjadi kenangan tak terlupakan di seumur hidup saya Feeen… ini… ini luar biasa enaknya… aaaaah… aaaaaaah… aaaaah… Deeen… aaaaaah… hhhhhh …

Mendengar pengakuan itu aku baru ngeh bahwa Bi Euis sudah dua kali orgasme. Pantasan keringat sudah membanjiri leher dan ketiaknya. Dan kini dia mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya. Sementara tubuhku pun sudah bermandikan keringat.

Maka kupacu batang kemaluanku untuik mengentot liang memek Bi Euis habis - habisan. Dengan target ingin mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan.

Berhasil. Ketika sekujur tubuh Bi Euis terkejang - kejang, dengan perut sedikit terangkat, sementara liang memeknya terasa mengejut - ngejut erotis, batang kemaluyanku pun sedang kutancapkan sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.

Lalu kontolku mengejut - ngejut di dalam liang heunceut Bi Euis, sambil menembak - nembakkan lendir pejuhku.

Creeeettttt… cretttcretttttt… crooootttttt… cret… crooootttttttt… crettttt… crooootttt…!

“Uuuughhhhhhh… ughhhhh… uuuuuuuggggghhhh… “nafasku berdengus - dengus, lalu terkapar di atas perut Bi Euis.

Namun aku masih bisa memperhatikan wajah Bi Euis yang seakan memancarkan aura kecantikannya, sebagai wanita muda yang baru mengalami orgasme.

Ia pun menatapku dengan senyum manis di bibirnya. Lalu terdengar suaranya lirih, “Sekarang saya sudah menjadi milik Den Wawan.”

“Bagaimana perasaan Bibi setelah menjadi milikku?”

“Bahagia sekali,” sahutnya, “tapi bercampur perasaan kuatir.”

“Kuatir kenapa?”

“Takut kalau Aden sudah bosan lalu memecat saya dari sini.”

“Aku bukan manusia sekejam itu Bi,” sahutku sambil mencabut kontolku yang sudah lemas dari dalam liang memek Bi Euis, “Ohya… umur Bibi kan cuma beda dua tahun denganku. Panggilan Bibi kan cocoknya buat orang yang belasan tahun lebih tua dariku. Bagaimana kalau kupanggil Ceu Euis aja?”

“Panggil nama langsung, saya malah lebih suka.”

“Ya udah, aku buang aja sebutan Bibinya. Karena usia Euis kan sebaya dengan usia Wati. Kepada Wati pun aku manggil nama langsung. Padahal dia kakakku. Tapi dia sendiri yang ingin dipanggil namanya saja, gak usah pakai Ceu atau Kak dan sebagainya,” ucapku sambil meraih pergelangan tangan Euis, “Kita mandi bareng yuk.

“Malem - malem gini mau mandi Den?” tanyanya seperti ragu. Tapi dia turun juga dari bed dan mengikuti langkahku menuju kamar mandi, dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.

“Kita kan mau mandi pakai air hangat, bukan air dingin. Jadi mandi malam juga gak apa - apa,” kataku setelah berada di dalam kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, lagi - lagi kuperhatikan sekujur tubuh Euis dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Penilaianku semakin teguh. Tiada cela yang ada di tubuh sempurna (menurut ukuran manusia biasa) itu. Bahkan nilai plusnya adalkah… penmuh dengan daya pesona.

Memang tadinya aku tak pernah memperhatikan Euis sedikit pun. Bahkan tadi pun aku takkan memperhatikannya andai tiada alasan, yakni perasaan takutku kalau rahasia pribadiku dengan ibu dan kakakku bocor ke luar.

Tapi aku tak mau memperlihatkan rasa kagumku secara berlebihan. Lalu aku memutar keran shower utama. Maka air hangat pun memancar dari atas kepala kami.

Lalu kuambil sabun shower. Kukucurkan sedikit ke telapak tanganku sambil berkata, “Kita gantian menyabuni ya. Sekarang aku mau menyabuni Euis dulu.”

“Aaah… masa saya disabuni sama Den Wawan?”

“Nggak apa - apa. Aku hanya ingin memperlihatkan perasaan sayangku padamu Is.”

Euis menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. Lalu dibiarkannya aku menyabuni punggungnya, bokong gede dan betis indah dan telapak kakinya.

Pada waktu aku menyabuni bagian depannya, Euis tampak tersipu - sipu terus. Mungkin karena tak mengira akan disabuni olehku dengan telaten. Terlebih ketika aku menyhabuni kemaluannya, ia semakin tersipu - sipu. Padahal aku melakukan semua ini dengan senang hati. Terutama waktu menyabuni memeknya yang sudah memberikan kenikmatan luar biasa bagiku.

Tapi aku sekadar menyabuninya saja. Tidak memanfaatkan kesempatan untuk “macem - macem” di kamar mandi. Kalau masih bernafsu, toh kamarku masih leluasa untuk melakukannya.

Ketika tiba giliran Euis yang harus menyabuniku, terasa benar dia lebih telaten daripada aku. Setiap bagian yang tidak terjangkau oleh tanganku, disabuninya dengan cermat. Dan ketika sedang menyabuni batang kemaluan berikut kantung pelernya, Euis tampak tersenyum - senyum. Lalu menciumi moncong kontolku yang sudah berlepotan air sabun.

Kusahut: “Iya, tapi nanti aja kalau sudah selesai mandinya. Kalau diselomoti di sini, nanti kontolku bakal nagih, bakal ngaceng dan pengen ngentot di sini juga. Kalau bisa di atas kasur empuk, ngapain ngewe sambil berdiri di dalam kamar mandi.”

Euis mengangguk - angguk sambil tersenyum.

Lalu keran shower air hangat kuputar lagi. Untuk membilkas tubuh kami sampai bersih.

“Saya pasti bakal ketagihan,” ucap Euis pada waktu sedang menghanduki badannya sendiri yang sudah bersih dan harum sabun.

“Aku juga pasti ketagihan,” sahutku.

“Terus kalau Ibu dan Neng Wati sudah pulang bagaimana?”

“Kita tetap bisa melakukannya di dalam kamarku.”

“Kalau ketahuan sama Ibu atau Neng Wati nanti gimana?”

“Alaaa… aku jamin mereka takkan berani memarahi kita. Aku kan tulang punggung di rumah ini,” sahutku disusul dengan kecupan hangatku di pipi Euis.

Tiba - tiba Euis mendekapku dari belakang sambil berkata, “Kalau Den Wawan takkan memutuskan hubungan ini, saya hamil pun gak apa - apa.”

“Jadi simpananku mau?”

“Siap Den.”

“Tapi sekarang sih jangan hamil dulu. Nanti gak ada yang bantuin Ibu dan Wati di sini. Tapi bukankah Euis sudah bertahun - tahun punya suami gak hamil juga? Sebenarnya siapa yang mandul?”

“Gak tau. Belum pernah diperiksa ke dokter. Tapi kayaknya sih mantan suami saya yang mandul. Setelah kawin lagi juga, istrinya belum hamil - hamil sampai sekarang. Jadi mungkin saja dia yang mandul.”

“Bekas suamimu itu kerja apa?”

“Cuma buruh bangunan Den.”

“Kalau Euis sedang dapoat libur, pulang ke mana?”

“Ke rumah ibu saya, satu - satunya orang tua yang masih saya miliki.”

“Ayahmu sudah meninggal?”

“Iya. Meninggal karena kecelakaan lalu lintas.”

“Ogitu… jadi kalau sedang libur, Euis pulang ke rumah ibu?”

“Iya Den.”

“Rumah punya ibumu?”

“Bukan. Rumah kontrakan Den.”

“Yang bayar uang kontrakan rumahnya siapa?”

“Tadinya ibu saya sendiri. Karena dia suka usaha kecil - kecilan. Tapi setelah saya bekerja di sini, saya yang membayar uang kontrakannya.”

“Ibumu masih kuat usaha segala?”

“Masih Den. Ibu saya kan belum tua - tua benar. Baru empatpuluhtiga tahun. Dia menikah di usia enambelas. Lalu di usia tujuhbelas melahirkan saya.”

“Berarti ibumu sebaya dengan ibuku ya?”

“Iya… usia Ema kira - kira seumuran sama Ibu.”

“Kamu manggil Ema sama ibumu?”

“Iya, sejak kecil saya manggil Ema sama ibu dan manggil Bapa sama ayah. Nggak mau ikut - ikutan manggil papa dan mama seperti anak - anak lain. Tau diri aja, orang miskin masa manggil mama atau mamie kepada ibu. Bisa diketawain orang nanti.”

Obrolan itu kami lanjutkan di atas sofa kamar tidurku.

“Euis kan punya jatah libur sehari dalam seminggu. Tapi hari liburnya selalu berubah - ubah. Siapa yang menentukan hari libur itu Is?” tanyaku ketika Euis sudah mengenakan daster batik lusuhnya lagi.

“Yang menentukan hari libur itu Ibu Den. Jadi libur saya kadang Senin, kadang Selasa dan seterusnya. Saya malah belum pernah dikasih hari libur hari Sabtu dan Minggu. Mungkin karena Den Wawan ada di rumah. Jadi ada yang masakin buat Aden,” sahut Euis, “Tapi selama Ibu dan Neng Wati ada di rumah sakit, saya tidak boleh ngambil libur dulu.

“Besok kan Sabtu. Berarti aku libur. Kita jalan - jalan ya.”

“Iya Den. Saya kan sudah menjadi milik Aden. Jadi, dibawa ke mana pun saya siap.”

“Sekarang ewean lagi siap?”

“Hihihihiii… siap Den. Saya juga malah kepengen lagi. Soalnya waktu Aden nyabunin memek saya tadi, saya langsung kepengen…”

Maka kami pun bertelanjang bulat kembali. Dan bersetubuh lagi sepuasnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu