2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 18

Nova yang sudah telanjang selalu membuatku terpukau. Tinggi langsing, putih bersih… berwajah cantik, bermata sayu, dengan bibir tipis sensualnya… dengan senyum manisnya… o my God… seandainya dia bukan adik kandungku, hari ini juga aku mau menikahinya…!

Tapi tanpa menikahinya pun aku dan Nova sudah saling mencintai. Tak usahl;ah aku mengkhayal sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Dengan sikap dan sorot pasrah, Nova menelentang di atas bed kamar villaku ini.

Aku pun langsung menghimpitnya dengan nafsu yang sedang kutahan, agar jangan terburu - buru melakukannya. Maklum kali ini aku akan menggaulinya untuk kedua kalinya. Ya, baru mau kedua kalinya aku akan merasakan nikmatnya liang memek Nova yang luar biasa sempitnya.

Kutatap wajahnya yang berada di bawah wajahku. Dan bergumam, “Kamu adalah cewek tercantik di antara perempuan - perempuan yang pernah kukenal Sayang.”

Nova menatapku sambil menyahut, “Abang pun seorang cowok yang penuh pesona. Cowok yang mampu menentramkan hatiku. Mampu menyejukkan perasaan dan penuh kelembutan. Aku tak mungkin bisa mencintai orang lain Bang… karena hatiku sudah sepenuhnya Abang miliki.”

Lalu kupagut bibirnya ke dalam ciuman mesraku, sementara tanganku mulai mendarat di permukaan payudaranya yang berukuran sedang - sedang saja namun kencangnya bukan main.

Suhu badan Nova pun terasa menghangat. Terlebih setelah aku melorot turun… dengan wajah langsung berhadapan dengan memeknya yang bersih dari bulu, yang sudah kungangakan dan kuciumi… lalu ujung lidahku pun mulai menyapu - nyapu bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu, sambil mengalirkan aior liurku sebanyak mungkin.

Last but not least, tentu saja aku harus menjilati, mencelucupi dan mengisap - isap kelentitnya. Pada waktu aksi mulutku sedang terpusat di kelentit inilah, Nova bukan sekadar menggeliat lagi, melainkan mendesah dan merengek manja, “Baaaang… aaaaaaaaa… aaaaaah Baaaang… ini membuatku seperti melayang - layang Baaang…

Dan setelah memek Nova terasa sudah basah sekali, aku pun menjauhkan mulutku dari bagian yang paling indah itu.

Lalu kuletakkan moncong kontol ngacengku di ambang mulut vaginanya.

Kupusatkan dulu konsentrasiku sambil mengumpoulkan tenaga agar jangan meleset - meleset lagi seperti waktu baru pertama kalinya tempo hari. Kudorong dulu kontolku perlahan… hanya bertujuan untuk memasukkan kepalanya dulu.

Berhasil. kepala penisku sudah masuk dan berada di dalam jepitan liang memek Nova yang begini sempitnya. Lalu dengan sekuat tenaga kudorong kontolku sampai masuk lebnih dari setengahnya.

Dan mulailah aku mengayun kontol ngacengku dalam “irama slow” dulu. Sambil menunggu liang memek sempit ini beradaptasi dengan ukuran penisku yang kebetulan bisa dianggap di atas rata - rata penis bangsaku (kalau dibandingkan dengan kontol negro sih pasti kalah).

Suara Nova pun mulai terdengar, “Dudududuuuuuh… Baaaang… ini enak sekali Baaaaaang… oooooh Baaaaang… aku makin dalam mencintaimu Baaaang… cinta sekali Bang… ooooohhhhh… aaaaaahhhh… Baaaaang…”

Terlebih setelah entotanku mulai kupercepat sampai kecepatan normal, Nova memelukku erat - erat, sambil sesekali menciumi bibirku. Namun rintihannya lebih dominan di telingaku, “Baaaang… ooooohhhhh… Baaaaang… ooooohhhh… Bang Wawan Sayaaaaang… aku semakin mencintaimu Baaaang… oooooh…

Baaaaang… enak sekali Baaaang… oooooh… rasanya seperti melayang - layang gini Baaaang… ooooohhhh… entot terus Baaaang… jangan brenti - brenti Baaaang… ooooh… aku makin cinta Abaaaang… cinta sekali Bang… ooooohhhh… entot terus Baaaang… oooohhhhh… luar biasa enaknya Baaaaang …

Kali ini aku ingin memperlihatkan keperkasaanku. Karena itu aku berusaha agar durasi menuju ejakulasiku harus selama mungkin.

Dan aku berhasil. Lebih dari sejam aku menyetubuhinya, sampai ia orgasme tiga kali, aku masih stabil dan mengayun kontolku tanpa ampun. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat, Nova pun sama. Kontolku maju mundur terus di dalam liang memek Nova yang sudah licin dan semakin enak rasanya.

Nova tidak complain. Apalagi ketika aku mengentotnya sambil melumat bibirnya, menjilati lehernya disertai gigitan - gigitan kecil, menyedot dan menjilati pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya, menjilati ketiaknya sambil meremas toketnya terus… ia bahkan berkata terengah, “Bang… ooooh…

Melihat wajah Nova sudah pucat pasi, aku pun iba. Kasihan kalau adikku kenapa - kenapa. Maka kupercepat entotanku sambil menjilati ketiaknya terussss…

Lalu ketika Nova mengejang tegang dengan liang memek terasa berkedut - kedut kencang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai terasa moncongnya mentok di dasar liang sanggamanya.

Lalu kontolku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir surgawiku.

Croootcrotttt… crooootttt… crottt… croooottttt… crotcrooooooottttt… crooootttt…!

Lalu aku terlunglai - lunglai di atas perut Nova yang sudah terkulai lemas juga. Dengan tubuh sama - sama bermandikan keringat.

Kemudian kucabut kontolku dari liang memek Nova, sehingga air maniku membludak dan mengalir dari mulut memek adikku dan berjatuhan ke atas seprai.

“Aku harus mandi nih… badanku penuh keringat gini,” kataku sambil turun dari bed.

Nova pun bangkit sambil berkata, “Aku juga mau mandi Bang…”

Aku mengangguk sambil mengangkat tubuh adikku. Dan membopongnya ke kamar mandi. Dengan manja Nova melingkarkan lengannya di leherku. Ia tampak senang sekali kubopong seperti ini. “Cinta dan sayangku pada Abang semakin mendalam Bang,” ucapnya.

Setelah berada di dalam kamar mandi, kubelai rambut Nova sambil bertanya, “Masih kangen sama Mama?”

Nova menatapku sambil menggelengkan kepalanya.

“Jadi besok mamamu gak usah dijemput ke Jakarta?”

“Gak usah. Lain kali aja,” sahut Nova sambil mendekatkan bibirnya ke bibirku.

Kukecup bibir Nova sambil memutar keran shower yang showernya berada di atas kepala kami. Air hangat pun memancar… membasahi kepala dan tubuh kami. Lalu seperti biasa, setelah mematikan dulu pancaran air hangat shower, kusabuni sekujur tubuh adikku sampai benar - benar tersabuni semuanya. Termasuk celah memek dan pantatnya.

Lalu kuputar lagi keran, sambil menjauh dari pancaran air shower, karena aku mau menyabuni tubuhku dulu sampai penuh dengan air sabun.

“Kalau gak jadi jemput mamamu ke Jakarta, besok mendingan ke kantorku aja ya. Supaya tau letak kantorku, di mana kamu akan bekerja nanti.”

“Hihihiii… iya Bang, iyaaaa…”

“Besok kamu pakai mobil SUV itu, ikuti aja mobilku. Supaya kamu langsung hafal jalan dari rumah ke kantor.”

“Ohya… mobil itu buatmu aja. Makanya rawat dengan baik ya Nov.”

“Iya Bang, iyaaa… terima kasih.”

Esok paginya semua janji kupenuhi. Nova kutempatkan di kantor perusahaan Tante Laila, sebagai sekretaris pribadiku. Mobil SUV itu pun sudah menjadi milik Nova, agar semangat kerjanya tinggi.

Meski pun Nova bilang tidak terlalu kangen lagi sama mama angkatnya, apalagi setelah mendapat hadiah mobil dan direkrut sebagai sekretaris pribadiku, namun aku tetap ingin menyenangkan hatinya.

Maka beberapa hari kemudian aku menelepon Tante Haya.

Lalu :

“Hallo… ini Wawan ya?”

“Iya. Apa kabar Tante?”

“Ya gitu deh. Masih jalan di tempat. Bagaimana keadaan Nova? Sehat - sehat aja?”

“Sehat Tante. Tapi kalau sedang ingat Tante dia suka melamun sambil bercucuran air mata.”

“Oh gitu ya.”

“Iya Tante. Maksudku menelepon Tante ini untuk ngasih kejutan pada Nova. Tahu - tahu Tante muncul di depan matanya. Pasti dia bahagia sekali Tante.”

“Ya udah, hari ini juga saya akan ke sana.”

“Tante mau dijemput ke Jakarta?”

“Gak usah. Tante mau pakai kereta api aja, biar gak macet di jalan. Kalau Wawan mau sih jemput aja tante di stasiun.”

“Siap Tante. Nanti kabarin aja jam berapa Tante tiba, aku akan jemput ke stasiun.”

“Kalau gitu tante mau beli tiketnya dulu ya. Nanti tante kabarin jam berapa tibanya di sana.”

“Iya Tante.”

Hubungan seluler pun kututup. Tapi sejam kemudian Tante Haya meneleponku. Dan melaporkan bahwa dia akan tiba di kotaku sekitar jam tujuh malam. Aku pun mengiyakan dan berjanji akan menjemputnya pada jam tersebut.

Sebelum jam tujuh malam, aku sudah nongkrong di stasiun kereta api.

Baru beberapa menit aku nongkrong di stasiun, kereta api dari Jakarta sudah datang.

Cepat aku mendekati gerbang kedatangan, sambil memperhatikan para penumpang yang sedang keluar di pintu kedatangan.

Kulihat mama angkatnya Nova datang dengan mengenakan gaun terusan putih polos. Hmmm… menurut keterangan Tante Martini, usia Tante Haya itu lima tahun lebih muda daripada Tante Martini. Tapi kelihatannya Tante Haya jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Dan mantan istri Pak Hasyim itu memang sangat cantik.

Setelah Tante Haya keluar dari pintu kedatangan, aku langsung menghampirinya sambil berkata, “Keretanya tepat waktu ya Tante.”

Ia menoleh dan menghentikan langkahnya di depanku. Aku pun mencium tangannya, mengingat bahwa dia itu ibu angkat Nova. Tapi dia tak cukup dengan cium tangan. Dia mencium sepasang pipiku di depan umum. Membuat batinku terhenyak. Terawanganku pun mewlayang - layang tak karuan. “Sudah lama menunggu?” tanyanya.

“Baru lima menitan Tante,” sahutku sambil menjinjing tas pakaiannya dan mengajaknya ke tempat parkir mobil.

Setelah meletakkan tas pakaian Tanter Haya di bagasi, bergegas aku menuju pintu depan kiri sampai Tante Haya masuk ke dalam mobilku. Setelah menutupkan kembali pintu depan kiri, barulah aku masuk ke belakang setir.

“Tante masih tinggal di pavilyun rumah Tante Martini?”

“Nggak lagi Wan. Sekarang tante tinggal di kamar kontrakan aja, berbaur dengan buruh pabrik.”

“Almarhum Pak Hasyim sama sekali tidak meninggalkan asset yang tidak terjangkau oleh penyelidikan bank?”

“Kalau ada yang tersisa sih, tak mungkin Nova tante kembalikan ke ibu kandungnya. Karena Tante sudah merasa Nova itu laksana anak kandung tante sendiri.”

“Nova juga begitu Tante. Pernah kelihatan menyendiri dan bercucuran air mata. Setelah ditanya, dia mengaku kangen berat sama Tante. Pada hari itu juga aku sudah berniat menjemput Tante ke Jakarta. Tapi setelah dikasih mobil dan kedudukan sebagai sekretaris di salah satu perusahaan yang kupimpin, dia jadi tampak terhibur dan ceria lagi.

“Iya. Nova pernah cerita masalah itu waktu menelepon tante. Dia bilang Wawan sangat baik padanya. Segala kebutuhannya diberikan oleh Wawan. ““

“Walau pun begitu, aku punya rencana lain untuk Tante,” ucapku sambil membelokkan mobilku ke gerbang kompleks perumahan.

“Rencana apa Wan?”

“Aku akan menempatkan Tante di sebuah rumah yang bisa Tante miliki, tanpa mengeluarkan biaya serupiah pun. Rumahnya berada di kompleks perumahan ini. Tapi di rumah itu baru ada meja makan berikut kursi - kursinya, mesin cuci dan alat - alat dapur. Yang lain - lainnya bisa mendadak dibeli setelah Tante bersedia ditempatkan di rumah itu.

“Yang penting ada tempat tidur aja Wan.”

“Bed belum dibeli. Sofa juga belum ada. Di kamar tidur hanya ada sebuah kasur tipis berikut kain seprainya Tante. Besok kubelikan deh tempat tidur, sofa, lemari - lemari dan segala prabotan yang dibutuhkan. Pokoknya kalau Tante bersedia tinggal di rumah itu, besok siang juga akan lengkap semua furniture dan perabotannya.

“Iya. Nanti biar gampang kalau kangen sama Nova, naik angkot juga bisa kan?”

“Bisa Tante. Kompleks perumahan itu tidak terlalu jauh dari rumahku,” ucapku sambil menghentikan mobilku di depan rumah itu. Rumah yang sudah direncanakan untuk dihadiahkan kepada Tante Haya. Supaya kalau Nova kangen, bisa dengan mudah Tante Haya mendatangi rumahku. Atau Nova sendiri yang datang ke rumah ini.

“Inilah rumah untuk Tante,” kataku setelah membuka pintu rumah itu.

“Maksud Wawan, Tante bisa menempati rumah ini secara gratis?” tanya Tante Haya.

“Aku hadiahkan kepada Tante sebagai tanda terima kasih karena telah merawat adikku dari bayi merah sampai dewasa. Selain daripada itu, aku juga ikut prihatin atas nasib Tante sekarang ini. Istri seorang pengusaha mapan harus tinggal di rumah kontrakan segala. Meski rumah ini tidak besar, tapi kumohon Tante menerimanya dengan hati terbuka.

“Rumah ini sudah cukup besar Wan. Kamarnya juga ada tiga kan? Tante jadi speechless, harus bagaimana mengatakannya. Pokoknya beribu - ribu terimakasih atas kebaikan Wawan ini… mmm… boleh tante cium Wawan sebagai tanda terima kasih?” Aku tersenyum sambil merentangkan kedua belah tanganku.

Tante Haya pun menghambur ke dalam pelukanku. Lalu mencium bibirku dengan hangatnya.

Ini adalah detik - detik yang sangat menggembirakan. Karena tadi waktu Tante Haya mencium sepasang pipiku di stasiun, pikiranku sudah melayang ke mana - mana. Sedangkan kini… dia mencium bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat penuh nafsu birahi. Maka ketika kami jadi saling lumat bibir, kedua tanganku menggerayang ke bawah, untuk meremas - remas bokongnya yang masih tertutup gaun putihnya.

Setelah ciuman dan lumatan kami terlepas, Tante Haya kubawa ke dalam kamar paling depan. “Nah untuk malam ini Tante harus bisa tidur di situ, ‘ kataku sambil menunjuk ke kasur tipis berseprai putih bersihyang tergelar di lantai.

“Mau tidur di situ tapi malam ini temani tante ya, ‘ sahut Tante Haya.

“Wah… mau sih mau… tapi takut terjadi sesuatu yang diinginkan eeeeh… sesuatu yang tidak diinginkan… heheheee…” ucapku sambil meremas tangan Tante Haya yang sedang berada di dalam peganganku.

“Kenapa diralat? Tante justru ingin sesuatu yang diinginkan itu…”

“Serius Tante?” tanyaku sambil memegang kedua tangannya. Sambil saling tatap yang masih misterius bagiku.

“Serius. Mau sekali,” sahutnya sambil melayangkan tatapan dan senyum menggoda.

“Tante… aku ingin yang jelas… beneran tante mau disetubuhi olehku?”

“Iya Wan. Tante ini sudah lama… lama sekali tidak merasakannya. Makanya Tante merasa ada suatu kesempatan sekarang ini. Wawan mau ya menyetubuhi tante?”

“Tentu mau Tante,” sahutku sambil duduk di atas kasur tipis yang digelar di lantai ini, sambil meraih tangan Tante Haya agar duduk di kasur tipis ini juga.

“Sebentar, tante mau pipis dulu ya. Itu kamar mandi kan?” tanyanya sambil menunjuk ke pintu kamar mandi.

“Betul Tante. Ketiga kamar di rumah ini ada kamar mandinya masing - masing,” sahutku.

Tante Lalu bergegas menuju kamar mandi setelah mengeluarkan beberapa helai pakaian dari tasnya.

Agak lama Tante Haya berada di kamar mandi.

Sementara aku tercenung sendiri sambil bersandar ke dinding dan menyelonjorkan kakiku di atas kasur tipis ini.

Sungguh, sebelum berjumpa dengan Tante Haya tadi, sedikit pun aku tak menduga akan mengalami semua ini. Aku menjemputnya di stasiun hanya dengan spirit kemanusiaan. Untuk menyenangkan hati Nova, sekaligus ingin membantu mama angkatnya adikku itu dari kesulitannya. Tapi begitu Tante Haya mencium sepoasang pipiku (bukan sekadar merapatkan pipinya dengan pipiku), spiritnya spontan berubah menjadi hasrat birahi.

Tak lama kemudian Tante Haya muncul lagi. Dalam pakaian yang sudah diganti dengan kemeja putih tangan panjang dan rok mini berwarna pink. Dengan senyum manis di bibir tipis merekahnya.

Lalu wanita bertubuh tinggi langsing itu pun merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku yang sedang kuselonjorkan. Sambil menatapku dengan sorot hangat dan senyum yang mengundang.

SIkapnya itu membuatku tidak sungkan - sungkan lagi untuk menyelinapkan tangan kiriku ke balik kemeja putih tangan panjangnya, karena tiga kancing di atasnya sudah terbuka sejak ia muncul dari kamar mandi. Lalu kuselinapkan tangan kiriku ke balik behanya yang belum ditanggalkan. Kutemukan toket berikuran sedang tapi masih terasa cukup kencang…

Entah kenapa belakangan ini kalau menyentuh dan melihat memek berjembut, nafsuku spontan bergejolak. Karena benar seperti yang dikatakan oleh Tante Ros, memek berjembut itu seolah mengandung misteri, tidak langsung menyentuh permukaan memeknya.

Dan memang aku tidak kesulitan untuk menyentuh celah memek di antara rimbunnya jembut. Sehingga jemariku mulai menggerayangi kehangatan daging hangat yang mulai licin oleh lendir libidonya.

Nafsuku pun semakin memanas. Namun semua itu tak berlangsung lama. Karena Tante Haya lalu bergerak untuk melepaskan pakaiannya sehelai demi sehelai. Sehingga keindahan payudara dan memek berjembutnya pun tampak jelas di mataku.

“Memek tante gondrong ya… soalnya almarhum Pak Hasyim senang memek berjembut. Nanti kalau Wawan suka memek yang tercukur bersih, akan tante cukur,” kata Tante Haya sambil merebahkan diri di atas kasur tipis berseprai putih bersih itu.

Aku pun spontan melepaskan busanaku sehelai demi sehelai. Hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di badanku.

Lalu aku merayap ke atas tubuh Tante Haya yang sedang berkata, “Tante memang senang memakai stocking. Hanya sekadar ingin agar nyamuk tidak terlalu mudah menggigit kaki tante.”

“Tante luar biasa menggiurkan di mataku. Tampak masih sangat muda. Seperti gadis yang belum mencapai tigapuluh tahun,” ucapku sambil mempermainkan pentil toket kirinya.

“Padahal usia tante udah tigapuluhtujuh tahun lho. Menghitung usia tante gampang kok. Pada saat mengadopsi Nova, usia tante baru tujuhbelas tahun. Tapi saat itu usia almarhum Pak Hasyim sudah kepala empat. Tante dinikahi oleh Pak Hasyim pada waktu usia tante baru limabelas,” sahutnya.

“Berarti sekarang usia Tante tigapuluhtujuh?”

“Iya.”

“Tapi sungguh… Tante tampak seperti cewek yang baru berusia duapuluhlima tahun.”

“Terima kasih,” ucapnya yang disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kubalas dengan lumatan sambil meremas toketnya dengan lembut.

Kemudian ia bertanya, “Wawan calon mantu Bu Martini ya?”

“Iya Tante.”

“Wah… nanti kalau sudah menikah dengan putri Bu Martini, pasti Wawan lupa sama tante.”

“Tante… aku ini sudah lama jadi penggila wanita setengah baya. Pacaran dengan Anneke hanya untuk simbol status aja. Tapi aku tetap sering tergiur oleh wanita setengah baya. Jadi… hubungan kita bisa dilanjutkan terus sampai kapan pun Tante.”

“Syukurlah. Berarti tante akan punya brondong ganteng secara rahasia nanti ya.”

“Hihihihiii… aku gak merasa jadi brondong kok.”

Lalu kami tidak berbicara lagi, karena aku mulai asyik mengemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya dengan lembut. Setelah tubuh Tante Haya mulai menghangat, aku langsung melorot turun, hingga wajahku berhadapan dengan memeknya yang berjembut lebat itu.

Sebenarnya jembut tidak menyulitkan untuk melakukan jilmek. Karena setelah jembut itu disibakkan, maka nongollah “wajah” memek Tante Haya yang sebenarnya. Spontan aku menciumi dan menjilati bagian dalam memek yang dingangakan oleh kedua tangan Tante Haya sendiri, sementara kedua pahanya sudah mengangkang lebar.

Dalam keasyikkanku menjilati memek berjembut itu, aku menyempatkan diri untuk berkomentar, “Memek Tante ini luar biasa… seperti memek gadis…”

“Kan tante belum pernah melahirkan Wan…” sahutnya.

Lalu kulanjutkan untuk menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu (pink lagi pink lagi?! Bahkan ketika aku sudah menemukan kelentitnya, maka bagian yang besarnya sedikit lebih gede dari biji kacang hijau itu pun kujilati habis - habisan. Pada saat itulah Tante Haya menarik kedua tanganku, lalu menempelkannya di sepasang toketnya.

Dan ketika hal itu kulakukan, menjilati kelentitnya sambil meremas sepasang toketnya, Tante Haya mulai mengggeliat dan mengejang tegang, sambil meremas - remas kain seprai.

Aku pun jadi asyik sendiri. Menjilat dan mengisap - isap kelentit Tante Haya sambil meremas- remas sepasang toketnya yang masih sangat sedap untuk kuremas - remas.

Tentu saja aku tak lupa untuk mengalirkan air liurku ke dalam liang memek Tante Haya. Dan setelah liang memeknya terasa sudah cukup basah, aku pun melepaskan celana dalamku, sehingga kontolku yang sudah ngaceng berat itu langsung mengacung ke depan.

“Woooow !” seru Tante Haya sambil menatap kontolku yang sudah siap dimasukkan ke dalam memeknya, “Penis Wawan… luar biasa panjang gedenya… untung barusan memek tante dijil;atin dulu. Kalau nggak… bisa kesakitan tante nanti… iiiihhhh… Wawan… bikin tante makin horny nih…”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu