2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Wati juga kunilai seperti Ibu. Seandainya dika bisa melihat secara normal, aku yakin banyak cowok yang bakal naksir dia. Karena kakakku itu bukan hanya cantik, tapi juga punya kulit yang putih mulus, punya bentuk tubuh yang seksi habis.

Ya, Wati punya tubuh tinggi langsing, dengan pinggang yang ramping, tapi baik toket mau pun bokongnya gede banget. Sehingga bentuk tubuhnya mirip biola.

Wajahnya pun cantik. Bahkan sepasang matanya tampak seperti mata normal. Tidak seperti mata tunanetra pada umumnya. Maka kalau dilihat sepintas lalu, orang takkan mengira bahwa Wati itu seorang gadis tunanetra.

Dan kini tubuh seksi abis itu sedang kusetubuhi dalam posisi doggy seperti yang diinginkannya.

Sambil mengentot liang memeknya, aku mulai menepuk - nepuk pantat kakakku yang gede semok ini.

Tampaknya kakakku senang dengan tepukan itu. “Iya Wan… tabokin bokongku lebih keras lagi. Enak tuh.”

Kuikuti keinginan Wati itu dengan menabok - nabok pantat gedenya.

“Iyaaaa… iyaaaa… begitu Wan… kemplangin terus pantatku sekuatmu…”

Berbeda dengan Ibu yang senang dientot dalam irama “nyiur melambai”, kakakku ini seneng dientot dengan gaya banteng ngamuk. Bayangin aja kalau banteng ngamuk, apa pun yang ada di depannya pasti diseruduk.

Aku pun melakukannya dengan gaya banteng ngamuk itu. Tapi bukan mau menghancurkan, melainkan ingin agar entotanku “terasa” oleh kakakku.

Dengan batang kemaluan diayun scepat bdan sekeras mungkin, kutampar - tampar pantat kakakku sekuatnya seperti yang diinginkannya. Maka suara unik pun terdengar dari dua arah. Suara penisku yang sedang maju mundur di dalam liang memek Wati, dan suara tamparan - tamparanku di pantatnya. Crrek srtttt…

Bunyi tamparan - tamparanku di pantat Wati baru berhenti kalau aku sudah mrapatkan dadaku ke punggung kakakku, sambil meremas - remas toket gedenya sepuasku. Wati memang tidak protes kalau aku meremas toket gedenya kuat - kuat. Bahkan kelihatannya dia lebih suka kalau tokletnya diremas kuat - kuat. Berbeda dengan ibuku yang ingin agar payudaranya diremas pelan - pelan, secara lembut.

Kalau diibaratkan musik, mungkin Ibu lebih suka musik yang slow dan mendayu - dayu. Sementara Wati lebih suka musik metal atau deephouse…!

Dalam masalah sex, aku memang tidak mau egois. Aku selalu ingin mengikuti keinginan pasangan seksualku. Karena kalau pasanganku merasa puas, aku pun ikut puas.

Setiap kali kusetubuhi, Wati tak pernah berdiam diri seperti patung. Pantatnya selalu saja bergoyang - goyang diiringi rintihan - rintihan histerisnya.

“Aaaaaah… Waaaan… enak sekali Waaaan… entot terussss… enak Waaaan… aaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaahhhhh… ahhhhhh… Waaaaan… Waaaan… aaaaahhhh… aaaaaa… aaaahhhh… entooooottttttt… entooooooootttttttt… aaaaaaa… aaaaaaaahhhh… aaaaaa… enaaaaaak …

Tapi pada suatu saat goyangan pantat Wati terasa ngawur. Dan akhirnya dia ambruk diiringi pekikan lirihnya, “Aaaaa… aaaaaaaaahhhhh…”

Karena Wati ambruk, dengan sendirinya penisku pun terlepas dari liang memeknya. Namun aku langsung menyadarinya, bahwa dia sudah orgasme.

Ya… Wati lalu menelentang dengan sepasang tangan direntangkan seperti lambang palang merah. Kedua kakinya pun direnggangkan.

Wati seolah mempersilakanku melanjutkan entotanku, tapi dalam posisi missionary saja. Maka tanpa buang - buang waktu aku pun merangkak ke atas perutnya sambil memegangi kontolku yang masih ngaceng berat ini.

Dan dengan sekali dorong, penisku langsung masuk seluruhnya ke dalam liang memek Wati yang sudah becek ini… blesssskkkkkkk …

Wati masih tampak tepar. Tapi aku langsung mengayun batang kemaluanku. Bermaju mundur lagi di dalam liang memek yang sudah becek ini. Sambil meremas - remas toket gedenya, aku pun mulai menjilati leher kakakku, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan.

Wati pun tampak mulai bergairah kembali. Dengan menggeol - geolkan pinggulnya. Bergoyang menyerupai angka 8. Sehingga meski liang memeknya sudah becek, tapi masih mampu membesot - besot dan meremas - remas kontol ngacengku.

“Waaan… ooooh… kontolmu memang gede dan panjang sekali… ini luar biasa enaknya Wan… ooooh… ooooo… ooooooohhhhhhh… entot yang kencang aja Wan… biar lebih tyerasa kepala kontolmu menyodok - nyodok dasar liang memekku. Iyaaaa… iyaaaa… entot terus Waaaan… enak sekaliiii…

Cukup lama batang kemaluanku “memompa” liang memek kakakku. Sehingga keringat mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat kakakku.

“Memekmu juga enak sekali Wat… tadi becek sebentar, tapi sekarang udah legit lagi… geol terus pinggulmu… enak sekali…” ucapku tersendat - sendat karena sedang mewnggencarkan entotanku sambil meremas - remas toket gede dan menjilati lehernya yang sudah keringatan.

Wati tidak menyahut. Tapi pantatnya semakin gila - gilaan bergoyang memutar - mutar dan meliuk - liuk.

Sampai pada suatu saat terdfengar suaranya terengah - engah, “Aaaa… aku udah… mau… mau lepas lagi… barengin yuuuk… aaaaaa… aaaaaaaah…”

Kebetulan aku pun sudah tiba di detik - detik krusial. Tanda - tanda mau ejakulasi sudah kurasakan. Maka entotanku semakin kupercepat.

Maju mundur dan maju mundur dengan cepatnya. Sementara Wati pun mulai berkelojotan sambil meremas - remas rambutku.

Kami berhasil mencapai puncak kenikmatan secara berbarengan. Bahwa ketika Wati terkejang - kejang dengan liang memek berkedut - kedut kencang, moncong kontolku pun sedang mengejut - ngejut sambil menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.

Croooootttttt… crotttt… crooootttttt… crooottt… crottt… crooooootttttttt… crooootttt…!

Lalu kami terkulai lemas. Dalam kepuasan sedalam lautan.

Sepuluh hari kemudian, Ibu dan Wati dirawat di rumah sakit mata, atas rujukan dokter spesialis mata yang sudah memeriksanya secara teliti di tempat prakteknya. Nanti di rumah sakit itu Ibu dan Wati akan diteliti secara intensif, kemudian dicarikan solusinya agar bisa melihat secara normal.

Setelah mengantarkan Ibu dan Wati ke rumah sakit, aku pun pulang dengan badan terasa pegal - pegal. Karena dari pagi sibuk di kantor, dari siang sampai sore mengurus Ibu dan Wati.

Setibanya di rumah, aku langsung mandi. Dengan harapan pegal - pegalku hilang dengan sendirinya. Tapi ternyata pegal - pegalku belum hilang juga. Maka akhirnya kupanggil Bi Euis.

“Ada apa Den?” tanya Bi Euis di ambang pintu kamarku.

“Bisa mijit Bi? Badanku pegel - pegel sekali,” sahutku.

“Bisa sih sedikit - sedikit. Tapi sebentar ya Den. Mau nyisir dulu, baru selesai mandi.”

“Iya, jangan lama - lama ya.”

“Iya Den.”

Setelah Bi Euis berlalu, kulepaskan baju dan celana piyamaku. Lalu dalam keadaan cuma tinggal bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.

Tak lama kemudian terdengar suara Bi Euis, “Mau pakai balsem atau minyak apa Den?”

Sambil tetap menelungkup kusahut, “Gak usah pakai minyak apa - apa Bi. Pakai tangan Bibi aja.”

Lalu terasa bed bergoyang. Bi Euis sudah naik ke atas bedku. Lalu mulai memegangi telapak kakiku. Dan mulai memijatnya.

“Yang lama mijitnya ya Bi. Nanti kukasih bonus.”

“Iya Den.”

Lalu terasa kedua tangan Bi Euis mulai memijat dan mengurut - urut betisku, sambil bertanya, “Ibu dan Neng Wati jadi dirawat di rumah sakit Den?”

“Iya. Cuma usaha aja Bi. Mudah - mudahan mereka bisa melihat sepertti kita.”

“Den… Ibu itu ibu kandung Den Wawan?”

“Iya. Emang kenapa?”

“Heheheh… gak kenapa - kenapa Den. Anu… mmm… anu… Den Wawan tidak tunanetra seperti Ibu dan Neng Wati ya.”

Aku heran. Pertanyaan itu berdasarkan apa?

Aaah… jangan - jangan suara rintihan Ibu waktu kusetubuhi terdengar oleh Bi Euis. Mangkanya Bi Euis seperti kurang percaya kalau Ibu itu ibu kandungku.

Jangan - jangan Bi Euis curiga pada apa yang sering terjadi di rumah ini…!

Aku harus mencegahnya. Siapa tahu dia sudah menyadari apa saja yang terjadi di antara aku dengan Ibu dan Wati. Lalu bisa saja dia menyebar gossip ke tetangga nanti.

Untuk membungkam mulut Bi Euis aku punya caraku sendiri.

Tadinya aku tak pernah punya perhatian berlebih kepada Bi Euis. Tapi setelah mencium gelagat mencurigakan, aku merasa harus melawannya dengan caraku sendiri.

Kalau mau main libas sembarangan, di kantor juga banyak cewek yang kelihatan memancxing - mancing padaku. Tapi aku tak pernah menggoda seorang karyawati pun di kantor. Terlebih kalau mengingat Bu Laila yang begitu dalam mencintaiku. Kalau ketahuan macem - macem di kantor, bisa dipecat aku nanti.

Tapi Bi Euis ini, harus mendapatkan perlakuan khusus dariku. Agar seandainya dia tahu rahasiaku dengan Ibu dan kakakku, dia akan tutup mulut.

Lalu aku menelentang sambil berkata, “Bagian depannya juga Bi.”

“Iya…” sahutnya sambil mengurut - urut tulang keringku sambil menunduk, memandang ke arah yang sedang dipijitnya. Pada saat itulah kjuperhatikan bentuk Bi Euis yang lumayan cantik. Bahkan kulitnya lebih putih daripada kulit ibu dan kakakku.

“Umur Bibi sekarang berapa tahun?” tanyaku.

“Duapuluhenam Den.”

“Wah… cuma beda dua tahun denganku. Terus… sejak kapan hidup menjanda?”

“Sudah setahun Den.”

“Punya anak berapa orang?”

“Belum punya anak seorang pun. Justru mantan suami menceraikan saya juga karena sudah lima tahun berumah tangga, tidak punya anak seorang pun.”

“Memangnya Bibi menikah pada usia berapa?”

“Duapuluh tahun Den.”

“Umur duapuluh kawin, umur duapuluhlima jadi janda ya.”

“Hehehee… iya Den. Sudah takdirnya harus begini,” ucapnya dengan suara lirih.

Pada saat itulah diam - diam kusembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini dari celah celana dalamku. “Gak kangen sama yang begini?” tanyaku sambil menarik tangannya sampai menempel di batang kemaluanku.

“Waaauuu Deeen…! “serunya dengan mata terbeliak dan tangan gemetaran, “Iiii… ininya ha… harus dipijit juga? Iiiih… gede dan panjang sekali… hihihiiii…”

“Iya… pijitnya pake memek aja Bi. Supaya nikmat,” kataku sambil menarik kedua tangannya, sehingga dadanya terhempas ke atas dadaku.

Dengan sigap aku pun mendekap pinggangnya erat - erat. Kurapatkan pipiku ke pipinya sambil berbisik, “Sebenarnya kalau didandani, Bi Euis ini cantik lho…”

“Siapa yang mau dandani saya…” sahutnya nyaris tak terdengar.

“Nanti aku yang dandani. Asalkan bisa nyimpen rahasia aja,” ucapku sambil meremas - remas bokong gedenya. Ya… salah satu daya tarik Bi Euis adalah bokongnya itu. Gede dan menggiurkan.

“Te… terus saya harus gimana Den?” tanyanya yang masih nemplok di atas dadaku.

“Mumpung Bi Euis belum kawin lagi, kita main aja yok. Biar aku jadi sayang sama Bibi.”

“Ma… main apa Den?”

Aku menyahutnya dengan bisikan, “Bersetubuh…”

“Mmm… siapa sih yang gak mau digauli sama cowok seganteng Den Wawan. Tapi saya takut… takut hamil Den.”

“Soal itu sih jangan takut. Aku punya pil anti hamil.”

“Kalau gitu… terserah Aden aja deh…”

“Wanita kalau sudah bilang terserah, berarti mau kan?” cetusku sambil bangkit. Bi Euis pun duduk dengan sikap canggung dan malu - malu.

Dalam keadaan cuma bercelana dalam ini, aku mendekap pinggang Bi Euis dari belakang. Saat itu Bi Euis mengenakan daster batik yang sudah agak lusuh. Tapi aku tak peduli dengan daster lusuhnya. Yang penting tubuh di balik daster lusuh itu.

Dan tanganku mulai menyelinap ke dalam dasternya. Mulai mengusap - usap perutnya yang masih terasa kencang dan ramping.

“Sebenarnya sudah lama aku menunggu kesempatan ini,” bisikku sambil menyelinapkan tangan ke balik celana dalamnya. Tentu saja ini suatu kebohonganku. Karena tadinya aku tak punya perhatian sedikit p;un kepada Bi Euis.

“Mumpung Ibu dan Neng Wati gak ada ya Den. Kalau mereka sudah pulang, gak bisa bebas lagi mungkin,” ucapnya tanpa menepiskan tanganku yang sudah berkeliaran di dalam celana dalamnya. Dan membuatku tahu bahwa memek Bi Euis tidak ada jembutnya, dicukur habis. Ternyata seorang pembokat juga sudah mengikuti zaman, dengan mencukur habis jembutnya.

“Siapa bilang? Coba aja kalau mereka sudah pulang nanti, aku akan tetap bebas ngajak Bibi tidur di kamarku ini.”

“Iya sih. Den Wawan kan yang berkuasa di sini. Aduuuduuuh… Deeen… kalau memek saya sudah dimainin gini, saya suka gak bisa nahan nafsu.”

“Lepasin dong dasternya. Aku seneng memek Bibi dicukur habis gini. Pasti enak jilatinnya.”

“Iiih… merinding saya dengernya juga…” sahut Bi Euis sambil melepaskan daster batik lusuhnya.

Dalam keadaan tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang serba hitam, aku dibuat terlongong menyaksikan betapa iundahnya tubuh Bi Euis itu. Sehingga aku lupa bahwa aku hanya ingin menutup mulutnya agar tidak menyebar gosip dengan caraku sendirti. Dengan mengentotnya dan membuatnya ketagihan…!

Tapi setelah melihat betapa cemerlangnya kulit putih mulus yang dimilikinya itu, aku lupa pada tujuan awalku. Aku ingin menelanjangi dan menyetubuhinya, hanya untuk menyalurkan nafsu syahwatku semata.

Maka dengan sedikit gugup kubuka kancing beha hitam yang terletak di punggungnya itu. Lalu dia sendirti yang melepaskan behanya itu.

Sehingga sepasang payudara yang berukuran sedang terbuka jelas di depabn mataku. Dan setelah kupegang, terasa masih kencang dan padat. “Masih kencang gini toketnya Bi, “komentarku.

“Saya kan belum pernah menyusui Den,” sahutnya sambvil melepaskan celana dalam hitamnya. Sehingga bentuk memek gundulnya tampak jelas di mataku. Memek yang sangat tembem. Sehingga bagian dalamnya disembunyikan oleh ketembeman “sepasang pipinya”.

Maka kutepuk - tepuk memek tembem itu sambil berkata, “Ini yang sangat kusukai. Tembem dan dicukur bersih jembutnya. Pasti enak menjilatinya.”

Wanita yang hanya 2 tahun lebih tua dariku itu mendadak manja. Ia merapatkan pipinya ke pipiku, sementara tangannya menyelinap ke balik celana dalamku. Memegang batang kemaluanku sambil berkata perlahan, “Saya juga ingin ngemut titit Den Wawan…”

“Titit itu sebutan buat anak kecil. Kalau buat orang dewasa sih sebut aja kontol… !”

“Hihihiii… takut dianggap kasar,” sahut Bi Euis sambil mendekatkan wajahnya ke celana dalamku. Lalu kuturunkan celana dalamku, sehingga jadi telanjang bulat seperti Bi Euis juga.

Wanita yang usianya lebih tua dua tahun dariku itu tampak senang bisa memegang batang kemaluanku. Lalu menciumi dan menjilatinya. Bahkan lalu memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya.

Lalu ia menggelutkan lidah dan bibirnya ke penisku. Samnbil mengalirkan air liurnya ke badan kontolku, untuk melicinkan tangannya yang lalu mengurut - urut badan kontolku yang tidak terkulum olehnya.

Sebenarnya aku kurang suka dioral oleh pasangan seksualku. Karena kalau kelamaan dioral, bisa - bisa cepat ngecrot pada waktu ngentot beneran nanti.

Namun kali ini ada keasyikan tersendiri bagiku. Bahwa ketika sedang menyelomoti kontolku, memek Bi Euis ada di dekat tanganku. Sehingga aku bisa mencolek - colek mulut memeknya. Bahkan kuselusupkan jari tengahku ke dalam lubang memeknya yang terasa hangat dan licin.

Hmmm… dioral oleh Bi Euis sambil menggerak - gerakkan jari tengahku di dalam liang memeknya, membuat nafsuku semakin bergejolak. Mungkin Bi Euis pun seperti aku. Mulai horny berat. Karena dalam tempo singkat saja liang memeknya jadi basah.

Bahkan pada suatu saat Bi Euis melepaskan selomotannya, lalu berkata, “Saya sudah horny sekali Den. Langsung masukin aja ya. Gak usah dijilatin dulu. Memek saya udah basah sekali nih.”

Aku mengangguk sambil merangkak ke atas perutnya. Lalu meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Bi Euis.

Bi Euis pun membantuku. Memegang leher kontolku, lalu mendesakkan moncongnya ke mulut memeknya. Setelah terasa ngepas, ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.

Aku pun spontan mendorong batang kemaluanku sekuat tenaga. Dan… blessss… kontolku melesak ke dalam liang memek Bi Euis.

Gila… baru didorong saja sudah terasa enaknya liang memek janda muda ini.

“Ooooooohhhhh… masuk Deeen… gak nyangka punya Den Wawan segede dan sepanjang ini…” ucap Bi Euis sambil merengkuh leherku ke dalam pelukan hangatnya. Lalu merapatkan pipinya ke pipiku, “gak nyangka saya akan merasakan semua ini Den…”

Aku pun mulai mengentotnya perlahan - lahan, sambil menjauhkan pipiku dari pipinya. Karena aku ingin melihat ekspresi wajahnya pada waktu sedang kuentot.

Dan… aku seolah disadarkan pada suatu kenyataan. Bahwa wajah yang sedang kulihat dari jarak dekat ini cantik sekaligus manis.

“Bibi terlalu cantik buat seorang pembantu,” kataku sambil mencolek bibir sensualnya, tanpa menghentikan entotan pelanku.

“Den Wawan juga tampan sekali. Bahkan sampai mirip cewek saking tampannya,” sahut Bi Euis sambil mendekap punggungku.

Aku tersenyum, karena sejak masih kuliah banyak temanku yang berkata seperti itu.

Kemudian kuayun penisku dengan gerakan agak cepat sampai batas normalnya lelaki yang sedang mengentot pasangan seksualnya.

Bi Euis pun mulai merintih - rintih erotis, namun suaranya perlahan sekali, “Den… ooo… oooooh… Deeen… iiii… iini enak sekali Deeeen… ayo Den… entot terus… ini luar biasa enaknya… oooooh… gak nyhangka saya akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa ini…”

Aku pun semakin bergairah untuk mengayun batang kemaluanku di dalam liang memek Bi Euis yang luar biasa nikmatnya ini…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu