2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 10

Wanita setengah baya itu memegang tangan anaknya sambil berkata, “Maafkan ema ya Euis. Ema sudah mencuri kepunyaanmu. Karena ema juga masih sangat butuh, untuk penyemangat hidup ema.”

Euis seperti terharu, lalu mencium pipi ibunya yang sedang berada di bawah himpitanku itu, “Gak apa - apa Ma. Den Wawan kan bukan suamiku. Lagian Ema masih berhak untuk menikmatinya… menikmati hukum alam bahwa seorang wanita membutuhkan pria.”

Kutepuk bokong Euis yang berada di dekat tanganku, lalu berkata, “Pokoknya kita bertiga kompak aja ya Is. Aku memiliki kalian berdua dan kalian berdua memilikiku. Bahkan mulai saat ini setiap kali kita melakukannya pasti lebih sewru daripada biasanya.”

“Iya Den. Saya malah senang kalau Aden berkenan menggauli ema saya. Kasihan Ema… sudah bertahun - tahun tidak merasakan sentuhan lelaki.”

“Berarti kamu bijaksana Is,” ucapku sambil menarik lehernya ke dekatku. Lalu kucium bibirnya. Kemudian kulanjutkan aksiku “memompa” liang memek tembem Bu Mimin di depan mata anak semata wayangnya.

Bu Mimin pun mulai lupa daratan lagi. Ia tak peduli lagi dengan kehadiran anaknya. Lalu merintih - rintih histeris lagi, “Dudududuuuuh… Deeeen… eeeenaaaak sekaliiii… duuuuh… punya Den Wawan memang luar biasa enaknyaaaa… entot terus Den… entot terussss… sampai saya lepas… nanti giliran Euis setelah saya lepas…

Sambil meremas sepasang toket Bu Mimin, kugenjot liang memeknya segencar mungkin. Agar dia cepat orgasme.

“Aaaaah… Deeeeen… aaaaaaah… Deeeeen… ini luar biasa enaknya Deeeen… entot terus Deeeeeen… enaaaaaak… sangat enaaaaaak… aaaahhhhh… enaaaak Deeeen… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… ooooooohhhhh… punya Den Wawan luar biasa enaknyaaaaaa… “rintih Bu Mimin sambil menggoyang pinggulnya dengan gerakan menukik - nukik.

Akibatnya… beberapa saat kemudian Bu Mimin berkelojotan. Kemudian mengejang tegang sambil menahan nafasnya, sementara perutnya sedikit terangkat ke atas.

Aku mengerti apa yang sedang terjadi dengan Bu Mimin. Lalu kutancapkan kontolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang memek Bu Mimin.

Pada saat itulah liang memek Bu Mimin terasa berkedut - kedut kencang, disusul dengan gerakan seperti spiral yang membelit batang kemaluanku. seolah ingin memuntahkan kontolku dari dalam liang memeknya.

Ini adalah detik - detikm yang sangat indah. Bahwa aku ikut menikmati denyhut - denyut orgasme memek Bu Mimin, sambil memasukkan jari tengahku ke liang memek Euis yang sudah basah (karena dari tadi aku mengentot Bu Mimin sambil memainkan memek Euis).

Setelah Bu Mimin terkulai lemas, cepat kucabut kontolku dari liang memeknya. Kemudian pindah ke atas perut Euis yang sejak tadi kelihatan terangsang menyaksikan persetubuhanku dengan ibunya.

Karena liang memek Euis sudah cukup basah, aku tak sulit untuk membenamkan kontolku ke dalamnya… blesssss… melesak amblas sampai menyundul dasar liang memek Euis…!

Sebenarnya ini merupakan persetubuhanku yang ketiga. Karena tadi jam 19.00 aku menyetubuhi Wati. Memang aku belum ngecrot dalam persetubuhanku dengan Bu Mimin barusan. Tapi aku menganggap persetubuhan dengan ibu dan anaknya ini merupakan “ronde kedua”, karena ronde pertamanya bersama Wati.

Dengan sendirinya durasi entotanku pasti akan lama nanti.

Dan kini aku sudah mulai mengayun kontolku di dalam liang memek Euis yang cantik ini.

Tentu saja liang memek Euis lebih sempit dibandingkan dengan liang memek ibunya. Karena Euis belum pernah melahirkan. Tapi kalau aku harus menilainya secara jujur, memek Bu Mimin sedikit lebih enak daripada memek Euis.

Tapi memek Euis tetap enak. Hanya saja memek ibunya lebih merangsang birahiku. Terlebih kalau mengingat ketrampilan Bu Mimin dalam menggoyang pinggulnya, yang seolah ingin memuaskan nafsu birahiku, sekaligus mereguk kepuasan untuk dirinya sendiri.

Maka untuk mencari kepuasan bagiku sekaligus buat Euis juga, aku menarik sepasang kaki Euis dan kuletakkan di bahuku. Sementara aku mengentotnya sambil berlutut dan membungkuk. Sehingga dadaku tidak bisa bertempelan dengan dada Euis, karena terhalang oleh sepasang pahanya yang terangkat dan sepasang lututnya berada di kanan kiri sepasang toketnya.

Kelebihannya dalah, kontolku bisa jauh sekali jangkauannya. Sehingga tiap kali kudorong, moncongnya terasa menyundul dan mendesak dasar liang memek Euis.

Begitulah… kini aku mengentot Euis dalam posisi missionary hardcore.

Kelebihan lain, aku bisa mengentot Euis sambil menggesek - gesekkan ujung jariku ke kelentitnya. Memek Euis pun jadi menengadah ke atas dalam posisi ini.

Tentu saja Euis merem melek dibuatnya. Karena Gspot di kelentit dan Gspot di mulut rahimnya yang terletak di dasar liang memeknya tersentuh dan tergesek terus menerus.

Desahan dan rintihannya pun mulai terlontar dari mulutnya, “Aaaaaaaah… aaaaaah… Deeeen… dududuuuuh Deeeeen… dibeginiin sih saya bisa cepat lepas Deeen… ini… ini terlalu enak Deeen… luar biasa enaknyaaaa… enak sekali Deeeen… aaaaah… Deeen… aaaaaah… Deeeen… terlalu enaaaaaak Deeen …

Aku tidak mempedulikan rintihan Euis itu. Malah melirik ke arah Bu Mimin yang menyaksikan semuanya ini sambil mengusap - usap memek tembemnya. Mungkin dia jadi horny lagi menyaksikannya.

Dugaan Euis benar. Beberapa saat kemudian Euis klepek - klepek dan… orgasme!

Setelah Euis terkulai lemas, aku pun pindah ke atas perut Bu Mimin lagi.

Dengan mudah kontolku bisa amblas ke dalam liang memek Bu Mimin… blessssss…!

Bu Mimin menyambutku dengan dekapan di kedua pangkal lenganku. “Den Wawan kok kuat sekali ya. Saya dan Euis sudah sama - sama lepas. Tapi Den Wawan belum apa - apa,” ucap Bu Mimin sambil menciumi pipi dan bibirku.

Aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu alasan sebenarnya. Bahwa tadi aku menyetubuhi Wati dulu sebagai “pemanasan”. Dan kini ngentot yang sebenarnya.

Tapi Bu Mimin pun tampak sudah siap dan sigap lagi untuk meladeni kejantananku.

Maka terjadilah pertarungan dahsyat di antara kontolku dengan liang memek wanita setengah baya itu.

Kami melakukannya dengan berganti - ganti posisi. Sekalian mengajari Euis agar semakin trampil pada saat sedang meladeni kejantananku. Cukup lama kami melakukan semuanya ini.

Setelah posisi missionary, kami lanjutkan dalam posisi WOT. Dalam posisi itulah Bu Mimin orgasme lagi untuk kedua kalinya. Tapi fisiknya masih tangguh. Lalu kami lanjutkan dalam posisi doggy. Ternyata Bu Mimin sangat pandai melakukannya. Dia tak cuma menungging pada waktu kuentot sambil berlutut, tapi juga mampu mengoyang - goyangkan bokong gedenya.

Dalam posisi ini Bu Mimin orgasme lagi. Padahal aku juga sudah kritis. Sudah hampir ngecrot. Maka setelah mencabut kontolku dari liang memek Bu Mimin, kuangsurkan kontolku ke dekat mulut Euis.

Euis mengerti keinginanku. Dan mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia menyelomoti kontolku sambil menyedot - nyedot dan mengurut - urut dengan tangannya.

Maka tak kuasa lagi aku menahan ejakulasiku.

Lendir kenikmatanku pun melompat - lompat dari moncong kontolku ke dalam mulut Euis.

Croooottttt… crooootttt… crottt… croooottttt… croootttttt… crotttttttt… crooootttt…!

Dan… tanpa ragu Euis menelan spermaku semuanya, tak disisakan setetes pun.

Glek… glekkkkkk… glek …!

Lalu kami bertiga turun dari bed dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar Bu Mimin.

Kami bertiga mandi dengan air hangat dari shower. Saling menyabuni sambil bercanda.

Pada saat itu pula kami menyatakan untuk tetap kompak menjalin hubungan rahasia ini.

Setelah mandi badanku terasa segar kembali.

Bu Mimin dan Euis mau membuatkan pisang goreng untukku. Aku dipersilakan duduk di ruang keluarga.

Ketika mereka berada di dapur, sementara aku duduk sendirian di sofa ruang keluarga, pandanganku tertumbuk ke sebuah album foto yang berada di bawah daun meja kaca di depan sofa yang tengah kududuki.

Iseng kuambil buku album foto itu. Mungkin ada foto - foto Bu Mimin semasa mudanya atau foto - foto Euis di masa kecilnya.

Maka kubuka dan kuteliti isi album foto itu. Banyak juga foto Bu Mimin di masa mudanya. Memang cantik ibunya Euis itu di masa mudanya. Foto - foto Euis di masa kecil dan masa remajanya juga ada.

Tapi pandanganku lalu terpusat pada beberapa foto yang memperlihatkan Bu Mimin sedang melaksanakan akad nikah dengan seorang lelaki ganteng. Yang membuatku kaget adalah lelaki ganteng di foto itu. Jelas dia itu… ayahku…!

Ciri khas ayahku adalah tahi lalat di dahinya itu. Dan aku tak mungkin salah lihat, dia memang ayahku di masa mudanya.

Ketika aku sedang mengamati foto - foto itu, Bu Mimin dan Euis muncul di ruang keluarga, sambil membawa baki sebagai wadah sepiring pisang goreng yang masih mengepul panas dan secangkir kopi hitam. “Nih pisang gorengnya sudah siap Den. Ayo disantap mumpung masih panas,” kata Bu Mimin sambil meletakkan pisang goreng dan kopi panas itu di meja kecil depanku.

Aku malah langsung bertanya sambil memperlihatkan foto - foto akad nikah itu kepada Bu Mimin, sambil bertanya, “Bu Mimin… ini foto Ibu waktu nikah ya?”

“Iya Den. Tapi cuma nikah siri. Karena almarhum sudah punya istri saat itu,” sahut Bu Mimin.

“Boleh aku tau nama suami ibu ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah lelaki yang sedang akad nikah dengan Bu Mimin itu.

“Namanya Zaelani Den. Tapi dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.”

“Nama lengkapnya Zaelani Purnama kan?” tanyaku.

“Kok Aden bisa tau nama lengkapnya? Apakah Den Wawan mengenal almarhum?”

“Dia ayahku Bu. Yang ibu sebut istri almarhum itu ibuku. Apakah Bu Mimin pernah mendengar nama ibuku?”

“Tidak pernah mendengar namanya Den. Waktru itu almarhum hanya bilang sudah punya istri. Jadi pernikahan dengan saya cuma bisa dilaksanakan secara siri. Dari pernikahan dengan almarhum itulah saya punya anak yang duduk di sebelah kiri Den Wawan itu.”

Batinku benar - benar limbung saat itu. Lalu kukeluarkan handphoneku. Dan kuperlihatkan foto - foto ayahku semasa masih hidup dahulu. “Supaya Bu Mimin lebih yakin, ini foto - foto ayahku semasa masih ada dahulu. Tahi lalat di dahi sebelah kanan itu sebagai tanda yang paling meyakinkan Bu.”

Bu Mimin memperhatikan foto - foto di hapeku itu. Lalu berseru dengan suara sendu, “Duuuh Deeeen… ini memang foto - foto suami saya almarhum…! Ja… jadi berarti Den Wawan ini anak tiri saya?”

“Masalah Bu Mimin tidak kupikirkan. Toh sejak zaman dahulu sering terjadi hubungan antara seorang wanita dengan anak tirinya. Tapi Euis ini… kalau dia memang anak dari ayahku, berarti Euis ini kakakku… kakak seayah berlainan ibu. Jadi kalau aku Wawan Darmawan Bin Zaelani, maka Euis pun binti Zaelani…

Aku lalu teringat pada Mbak Erma, yang kisahnya mirip dengan kisahku dengan Euis ini.

O my God! Apakah aku ini ditakdirkan menjadi seorang incest sejati? Kenapa semua ini harus terjadi?

Aku termenung cukup lama. Memikirkan semuanya ini.

Sampai terdengar suara Euis dari samping kiriku, “Jadi Den Wawan ini adik saya?”

Aku mengangguk lesu. Tapi lalu kukuatkan batinku, kemudian berkata, “Semuanya sudah terjadi. Kita tak mungkin bisa menghapusnya.”

“Lalu kita harus bagaimana setelah mengetahui semua ini Den?” tanya Bu Mimin dengan sikap tetap sopan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu