2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Aku jadi teringat ibuku dan Wati yang masih dirawat di rumah sakit. Lalu terbayang olehku, seandainya mereka sudah bisa melihat kelak, mereka tidak kalah seksinya dengan Mbak Erma ini. Terutama Wati yang belakangan ini tubuhnya semakin montok saja.

Tapi aku harus melupakan mereka dahulu. Biarkan mereka tetap tenang menjalani pemeriksaan dalam rangka persiapan untuk dilakukan operasi pada mata mereka.

Dan kini wajahku sudah berhadapan dengan kemaluan Mbak Erma, ingin membuktikan benar tidaknya pengakuan dia tadi. Bahwa meski pun tubuhnya montok gempal, tapi liang memeknya kecil.

Seperti tahu apa yang akan kulakukan, Mbak Erma merenggangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.

Ternyata benar. Setelah bibir luar memeknya (labia mayora) kungangakan, tampak jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu. Memang kelihatannya liang memek Mbak Erma kecil. Itu terbukti setelah jari tengahku diselusupkan ke dalamnya… betul pengakuannya itu. Bahwa liang memeknya sempit.

Maka dengan lahap kujilati bagian yang berwarna pink itu, membuat Mbak Erma menggeliat sambil meremas - remas kain seprai. Terlebih lagi setelah aku memfokuskan jilatanku ke clitorisnya, terasa Mbak Erma mengejang - ngejang dibuatnya.

Cukup lama aku menjilati labia minora (bibir dalam) dan clitoris Mbak Erma.

Sampai akhirnya aku merasa sudah saatnya untuk melakukan penetrasi.

Mbak Erma cuma terpejam ketika aku mulai meletakkan moncong kontolku di mulut memeknya yang empuk hangat dan basah.

Lalu kudorong kontol ngacengku tanpa tenaga, asalkan kepalanya masuk saja dulu. Duuuh… terasa “pulen”nya memek Mbak Erma ini ketika kepala kontolku sudah membenam ke dalam liang memeknya yang memang sempit tapi sudah basah dengan air liurku.

Lalu kukerahkan tenagaku untuk membenamkan kontolku semakin dalam. Uuuuugh… memang sempit sekali liang memek Mbak Erma ini. Tapi sedikit demi sedikit akhirnya kontolku membenam juga, sampai lebih dari separohnya.

“Ooooooh… penis Boss luar biasa gedenya… sampai seret gini masuknya… ooooooh… kok ada ya penis segede punya Boss ini… ooooh… dorong terus Boss… ooooh …“rintih Mbak Erma sambil mendekap pinggangku.

Empuk, hangat, licin tapi sempit liang kewanitaan Mbak Erma ini. Hal itu kurasakan setelah mengayun kontolku perlahan - lahan dulu. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal.

Mbak Erma pun merintih dan merengek manja, yang malah terdengar erotis di telingaku. “Dudududuuuuhhhh… Bosss… ini… ini luar biasa enaknya Boss… oooooh… Boooosssss… penis Boss ini… terasa sekali gesekannya… lu… luar biasa enaknya Boss… oooooohhhhh… entot terus Boss…

Aku pun menanggapi rintihannya tanpa menghentikan entotanku, “Liang memek Mbak juga luar biasa legitnya… aku suka sekali… aku pasti ketagihan nanti…”

“Sama Boss… saya juga pasti ketagihan… dudududuuuuuh… sampai merinding - rinding gini saking enaknya Boss… ooooohhhhh… ooooooh… entot lebih keras lagi Boss… iyaaaa… iyaaaaa… entot terus Boss… entot teruuuuussss… oooooohhhh… nikmat sekali Boss… oooooh… ooooohhhhhhh…

Aku tak cuma mengentot liang memeknya. Mulutku pun mulai beraksi, untuk menjilati leher Mbak Erma yang mulai lembab oleh keringat. Sementara tanganku pun tak kubiarkan nganggur. Karena masih bisa meremas toket gedenya, sambil sesekali mengelus - eluskan ujung jariku ke pentil toketnya.

Karuan saja Mbak Erma semakin meraung - raung hsiteris. “Bossss… ooooohhhhh ini semakin nikmat Boss… kayaknya saya takkan lama lagi juga orgasme Boss… entot terus yang kencang Boss… saya mau lepas… mau lepassss…”

Tubuh sintal itu pun berkelojotan. Lalu mengejang tegang, dengan perut terangkat sedikit. Dan… liang memek legit itu pun mengedut - ngeduit kencang, disusul dengan gerakan seperti ular melilit kontolku.

“Aaaaaaaaaahhhhh… “Mbak Erma melepaskan nafasnya yang barusan tertahan selama beberapa detik.

Kubiarkan kontolku terendam beberapa saat di dalam liang memek yang luar biasa enaknya itu.

Setelah wajah Mbak Erma kemerahan lagi, barulah aku mengayun kembali kontolku sambil mencium dan melumat bibir tebal yang sensual itu.

Maka rintihan dan rengekan Mbak Erma pun berkumandang lagi di dalam kamar hotel ini.

Bahkan pada suatu saat Mbak Erma menatapku sambil bertanya, “Boss mau nyobain posisi lain?”

Kuhentikan entotanku sambil menyahut, “Boleh. Posisi doggy yok.”

“Iya,” sahut Mbak Erma sambil menarik kontolku sampai terlepas dari liang memek legitnya. Kemudian ia merangkak dan menunggingkan bokong gedenya, sehingga memeknya mudah dicapai oleh moncong kontolku.

Sambil berlutut kudorong batang kemaluanku dan langsung terbenam ke dalam liang surgawi Mbak Erma… blesssssss…

Lalu dalam posisi berlutut ini aku mulai mengentotnya lagi sambil berpegangan ke buah pantat Mbak Erma yang gede tapi masih sangat kencang ini.

Sambil mengayhun penisku, kucoba menepuk kedua buah pantat Mbak Erma. Plaaaak… plooook…!

“Iya Boss… tamparin bokong saya sepuas Boss. Malah enak rasanya.”

Kuikuti permintaan Mbak Erma itu. Mengentot liang memek legitnya sambil menampar - nampar sepasang buah pantat gedenya.

Plaaaak… plaaaaakkkk… plaaaaakkkkk… plaaaaaakkkk… plaaaaaakkkkk… plaaaaaakkkkk… plaaaaaakkkkkkkk… plaaaakkkkk… plaaaaaaakkkk… plaaaaaaakkkkk…

Hampir setengah jam aku melakukan semuanya ini. Sehingga keringatku semakin membanjir. Begitu juga dengan keringat Mbak Erma.

Sampai pada suatu saat, terdengar suara Mbak Erma yang sedang menungging itu, “Bosss… dudududuuuuuh… bossss… sa… saya mau orgasme lagi Boooossssss…”

Lalu wanita setengah baya itu ambruk. Kontolku pun terlepas dari liang memeknya.

Padahal aku sedang menikmati detik - detik di ambang pintu ejakulasiku. Karena itu, setelah Mbak Erma celentang lagi, aku langsung membenamkan kembali kontolku yang masih ngaceng berat ini ke dalam liang memek legit itu.

Sesaat kemudian aku sudah mulai mengentot Mbak Erma lagi, dalam posisi missionary kembali.

Dengan gencar kugenjot kontolku untuk “memompa” liang memek legit itu.

Mbak Erma cuma mendesah dan merintih dan membiarkanku meremas sepasang toket gedenya, mencium dan melumat bibir sensualnya, menjilati lehernya yang sudah basah oleh keringat dan bahkan menjilati ketiaknya yang basah oleh keringat dan harum dedodorant.

“Mbak… lepasin di mana nih?” tanyaku pada suatu saat, karena detik - detik puncak kenikmatanku sudah di ambang pintu.

“Mau di dalam memek boleh. Mau di dalam mulut saya juga boleh. Nanti saya telan air mani Boss, takkan disisakan setetes pun,” sahut Mbak Erma.

Maka dengan penuh gairah kugenjot kontolku segencar mujngkin. Lalu kucabut dan bergerak cepat menuju dada Mbak Erma. Kuletakkan kontolku di antara sepasang buah dada Mbak Erma. Dan langsung ditanggapi oleh Mbak Erma… ia menjepit kontolku dengan sepasang toketnya. Aku pun melanjutkannya, mengayun kontolku yang berada di dalam jepitan sepasang toket gede itu.

Dan ketika terasa sudah hampir ejakulasi, kutarik kontolku dari jepitan toket gede itu. Lalu cepat-cepat kumasukkan kontolku ke dalam mulut Mbak Erma.

Hanya sebentar Mbak Erfma menyedot - nyedot kontolku. Lalu lendir kenikmatanku pun berlompatan di dalam mulut Mbak Erma.

Crooottttt… croooooottttt… crotcrotttt… croooooootttttttt… croooottttttttt…!

Mbak Erma membuktikan kata - katanya. Air maniku ditelannya semua sampai tak tersisa setetes pun… glek.. glekkkk…!

Aku pun terkapar lunglai di samping Mbak Erma.

Beberapa saat kemudian…

“Mbak Erma masih punya orang tua?” tanyaku yang masih rebah di samping Mbak Erma.

“Tinggal ibu yang masih ada Boss. Sudah tua. Sudah enampuluh tahunan,” sahutnya.

“Ayah Mbak sudah meninggal?”

“Iya. Tapi ayah saya meninggalnya di rumah istri barunya. Bukan di rumah ibu saya. Karena ibu saya diceraikan, gara - gara tergoda oleh gadis tunanetra.”

Mendengar kata “tunanetra” itu aku agak kaget. Lalu bertanya, “Boleh aku tau siapa nama ayah Mbak itu?”

“Zaelani Boss.”

Kembali aku tersentak. Lalu bertanya lagi, “Mbak tau siapa nama wanita tunanetra yang dinikahi oleh ayah Mbak itu?”

Mbak Erma tampak seperti mengingat - ingat sesuatu. Lalu menyahut, “Mmmm… kalau tidak salah, nama wanita tunanetra itu Hayati. Kalau masih hidup, mungkin wanita itu sebaya dengan saya.”

Aku kaget lagi. Karena Hayati itu nama ibuku.

Lalu kuambil handphone dan kutampilkan foto almarhum ayah di layar handphoneku. “Mbak kenal dengan lelaki tua ini?” tanyaku sambil memperlihatkan layar hanphoneku padanya.

“Iii… ini foto ayah Boss,” sahut Mbak Erma sambil memegang handphoneku, “Kenapa foto almarhum ayah saya bisa ada sama Boss?”

“Karena beliau itu ayahku,” sahutku dengan batin melemah, “Dan wanita tunanetra itu adalah ibuku.”

“O my God! Jadi kalau begitu Boss ini adik saya…”

“Iya. Adik seayah berbeda ibu. Mmm… jangan dendam kepada ibuku ya Mbak.”

Mbak Erma malah memelukku. Menciumi pipiku sambil berkata dengan suara sendu, “Tidak Boss. Karena seorang gadis tunanetra takkan mungkin menggoda ayah. Pasti semua itu atas keinginan almarhum ayah sendiri. Aku malah merasa bahagia, karena ternyata saya punya adik… yang sekarang menjadi atasan saya pula di kantor.

“Masih ada dua orang lagi adik Mbak. Yang satu tunanetra juga seperti Ibu. Yang satulagi belum kutemukan, karena sejak kecil diadopsi oleh seorang pengusaha. Ohya, almarhum Ayah pernah curhat padaku. Bahwa beliau menikahi Ibu atas dasar perasaan kasihan kepada Ibu yang tidak bisa melihat.”

“Te… terus sekarang ibunya masih ada?”

“Masih. Sekarang Ibu sedang dirawat di rumah sakit mata. Masih menunggu saat yang tepat untuk menjalani operasi matanya. Kakakku juga sama, tidak bisa melihat seperti Ibu. Dia juga sama - sama sedang dirawat di rumnah sakit mata. Jadi anak - anak Ibu yang bisa melihat hanya aku dan adikku yang belum kutemukan itu.

“Terus… bagaimana dengan kita Boss?”

“Panggil namaku aja. Sekarang kan udah jelas bahwa aku ini adikmu Mbak.”

“Tapi biar bagaimana kan Boss ini atasanku. Karena di dalam kedudukan eksekutif, Boss ini orang nomor satu di perusahaan.”

“Kalau di kantor, boleh manggil boss. Seolah - olah kita ini bukan saudara. Lagian peraturan di kantor kita kanb sudah jelas. Tidak boleh ada dua orang yang punyha hubungan darah bekerja sebagai karyawan. Salah seorang harus resign. Jadi sebaiknya jangan ada yang tau kalau kita ini kakak beradik seayah berlainan ibu.

“Iya… tapi kita sudah melakukannya… padahal kita ini saudara,” kata Mbak Erma.

“Biar aja. Aku bahkan semakin bernafsu setelah tau masalah ini,” sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut vagina Mbak Erma.

Lalu kudorong sekuatnya. Dan melesak masuk lagi ke dalam liang memek legit itu… blessss…

Lalu rintihan rintihan Mbak Erma pun terdengar lagi. Bahkan kali ini kami merasa lebih bebas melakukannya…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu