2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 14

Setelah hubungan seluler ditutup, aku bergegas menyambar tas kerjaku dan melangkah ke tempat parkiran.

Sesaat kemudian aku sudah berada di belakang setir sedan hitamku, yang kularikan menuju rumahku.

Setengah jam kemudian aku sudah tiba di rumahku.

Seorang wanita separoh baya berdiri di ambang pintu rumahku. Wanita yang tinggi langsing, mirip Tante Martini. Tapi yang ini lebih putih. Ia menyambut kedatanganku dengan senyum ceria di bibirnya.

“Ini Wawan?!” sapanya waktu aku sudah berada di teras depan.

“Betul, “aku mengangguk sopan, “Ini Tante Ros?”

“Iya. Kamu pasti sudah lupa, karena waktu aku meninggalkan Indonesia, kamu masih sangat kecil.”

“Iya Tante,” sahutku yang lalu berjabatan tangan dengannya, disusul dengan mencium tangan yang kujabat itu.

Tante Rosida pun memeluk dan mencium sepasang pipiku. “Wawan… Wawan… kamu setelah dewasa jadi ganteng gini sih?!”

“Heheehee… Tante juga cantik sekali,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam, mengikuti langkah adik Ibu itu.

Setelah duduk di ruang tamu yang sudah diupgrade jadi l;umayan mewah ini, aku bertanya, “Suami Tante mana?”

“Suamiku sudah meninggal enam bulan yang lalu. Makanya aku pulang ke tanah air. Dan takkan kembali ke Belanda lagi.”

“Wah, turut berduka cita, Tante. Suami Tante sakit apa yang menyebabkannya meninggal?”

“Menderita kanker otak Wan. Sudah dibawa ke Jerman segala, tapi sia - sia aja. Penyakitnya tidak bisa disembuhkan. Karena telanjur sudah stadium akhir.”

Tak lama kemudian Ibu pun muncul di ruang tamu. Meraba - raba dan duduk di sampingku.

“Wati mana Bu?” tanyaku.

“Lagi ke salon sama temannya. Dari tadi pagi belum pulang - pulang. Mungkin terus ke kota, lihat - lihat pakaian dan sebagainya,” sahut Ibu.

“Jelaskan aja apa yang kamu katakan tadi Ros,” kata Ibu kepada adiknya, “Siapa tau Wawan bisa membantumu.”

Tante Ros mengangguk. Lalu menoleh padaku, “Banyak sih yang butuh bantuanmu Wan. Pertama, aku minta dicarikan rumah yang bagus dan mau dijual. Kedua, minta diantar ke dealer mobil, karena akuj pasti kepayahan kalau gak punya mobil. Ketiga, aku minta dibikinkan SIM. Karena SIM Belandaku gak berlaku di sini.

“Tante gak punya SIM internasional?”

“Nggak. Tapi di Belanda sih SIMnya berlaku untuk di negara - negara tetangga. Tapi kayaknya gak berlaku di Indonesia sih. Mmm… bagaimana? Bisa bantu aku gak?”

“Bisa Tante. Kebetulan ada rumah bagus di kompleks perumahan elit yang maui dijual. Kalau Tante berkenan, sekarang juga rumahnya bisa dilihat,” ucapku.

“Ayo kalau begitu sih. Lebih cepat lebih baik. Nanti ngobrolnya lanjutin di jalan aja,” ucap Tante Ros sambil bangkit dari sofa.

Beberapa saat kemudian Tante Ros sudah duduk di dalam sedan hitamku.

“Kamu sudah jadi orang sukses ya Wan. Mobil ini di Eropa juga mahal sekali,” ucap Tante Ros ketika sedan hitamku mulai kujalankan.

Aku tidak menanggapinya. Bahkan bertanya, “Tante sudah punya anak berapa?”

“Belum punya Wan,” sahutnya, “Suamiku kan sudah tua. Waktu menikah denganku aja bedanya sampai tigapuluh tahun. Waktu aku nikah, usiaku baru tujuhbelas. Suamiku sudah empatpuluhtujuh tahun.”

“Wah waktu meninggal umurnya sudah mencapai enampuluhan kali ya?”

“Umurku sekarang sudah tigapuluhtujuh. Berarti waktu dia meninggal, umurnya sudah hampir enampuluhtujuh.”

“Pasti meninggalkan warisan yang sangat banyak ya Tante?”

“Banyak sekali sih nggak. Cuma ada laaah… untuk kebutuhanku setelah tinggal sendirian begini. Makanya aku ingin berbisnis di sini. Kira - kira bisnis apa ya Wan?”

“Dana yang mau dikeluarkan untuk bisnisnya berapa Tante?”

Tante Ros membisikkan nominal dana yang dimilikinya.

“Cukup nggak untuk berbisnis di Indonesia?”

“Cukup Tante. Tapi harus memproduksi sesuatu yang bagus prospeknya.”

“Terus yang megang perusahaannya siapa?”

“Tante sendiri pasti bisa. Aku bisa membimbing dari belakang layar.”

“Nggak mau ah. Aku gak ada pengalaman dalam berbisnis, apalagi di Indonesia yang sudah duapuluh tahun kutinggalkan. Kamu aja yang pegang. Mau kan?”

Aku berpikir keras. Jumlah dana yang akan dikeluarkan oleh Tante Ros bukan dana yang sedikit. Tapi bisakah aku menanganinya? Bukankah aku sudah memegang dua perusahaan besar?

“Mau ya Wan. Kamu aja yang mengendalikannya. Aku mau duduk manis aja. Mau dong… mau…! “desak Tante Ros.

“Mmm… aku sudah memegang dua perusahaan. Kalau memegang perusahaan Tante pula, berarti aku akan memegang tiga perusahaan. Bakalan kepegang nggak ya?”

“Kamu kan bukan harus mengerjakan dari A sampai Z. Kamu cukup duduk sambil memonitor perusahaan aja. Mungkin dari tempat lain pun bisa memonitornya Wan.”

“Teorinya sih memang begitu. Seorang leader harfus bisa main golf atau jalan - jalan ke luar negeri, tapi perusahaan berjalan terus secara positif. Tapi dalam prakteknya tetap aja harus sering turun ke lapangan Tante.”

“Terus gimana dong? Tolonglah tantemu ini Wan. Kalau dana itu tidak diputar, lama kelamaan bisa habis. Itu yang paling kutakutkan.”

“Iya deh. Demi tanteku yang cantik ini, kuterima keinginan Tante itu,” ucapku di belakang setir.

“Nah gitu dong. Baru namanya keponakan tersayangku. Emwuaaaah…” ucap Tante Ros yang diakhiri dengan kecupan hangat di pipi kiriku. Membuatku kaget juga, karena tak menyangka akan mendapat kecupan hangat itu.

“Ini sudah sore banget Tante. Ke dealer sih besok pagi aja ya,” kataku.

“Iya gak apa - apa. Tapi sepulangnya lihat rumah, antewrin aku ke hotel nanti ya.”

“Oke Tante. Memangnya Tante udah cek in?”

“Udah. Aku kan datang kemaren sore. Langsung cek in di hotel itu. Tadi pagi baru mencari rumahmu. Sambil takut udah pindah pula. Setelah nyasar - nyasar, akhirnya ketemu juga. Kota ini sudah banyak perubahannya ya.”

“Iya dong. Semua kota di negara kita sudah banyak perubahannya selama duapuluh tahun belakangan ini Tante. Masa mau tetap seperti dahulu aja.”

Tanpa terasa aku sudah berada di kompleks perumahan elit yang letaknya agak di luar kota. Memang ada rumah yang sudah kubayar lunas. Niatku memang untuk dijual lagi. Kebetulan sekarang ada calon buyernya, yang duduk di sebelah kiriku ini. Hahahaaa… mudah - mudahan aja aku dapat keuntungan. Meski tak perlu banyak - banyak, karena calon pembelinya tanteku sendiri.

Karena ngobrol dengan Tante Ros di dalam mobil, sehingga tak terasa sudah tiba di kompleks perumahan elit ini.

“Ini kompleks perumahan?” tanya Tante Ros setelah mobilku melewati gerbang paling depan.

“Betul Tante. Di sini aman dan nyaman suasananya,” sahutku sambil membelokkan mobilku ke kiri, menuju kelompok rumah yang salah satunya mau ditawarkan kepada Tante Ros itu.

“Bagus - bagus rumahnya ya.”

“Iya Tante. Nah… ini rumahnya,” kataku sambil menghentikan mobilku tepat di depan rumah yang akan kutawarkan kepada Tante Ros itu.

Aku pun mengeluarkan serangkai kunci - kunci rumah itu.

Tante Ros terbengong - bengong setelah menyaksikan keadaan di dalam rumah itu. Terlebih setelah melihat di bagian belakangnya ada kolam renang segala.

“Tante suka rumah ini. Mau dijual berapa?” tanyanya.

Aku menyebutkan harga rumah ini, setelah dilebihkan “sedikit” dari harga pembeliannya.

Tante Ros berpikir sejenak. Lalu bertanya, “Harga itu bisa ditawar nggak?”

“Nggak bisa Tante. Sudah harga mati,” sahutku.

“Memang tidak kemahalan juga sih harganya. Lalu kapan bisa diketemukan dengan pemiliknya?”

“Sekarang Tante sedang bersama pemiliknya,” sahutku.

“Haaa? Rumah ini punyamu?”

“Betul Tante. Tadinya rumah ini mau kupakai sendiri. Tapi karena Tante membutuhkannya, mau kujual aja sama Tante. Aku sih gampang, bisa nyari lagi yang lain.”

“Begitu ya? Ya udah. Tante bayar pakai cek ya. Tapi rumah ini masih kosong melompong. Besok setelah ke dealer lanjutkan antar aku ke toko furniture dan perabotan rumah yang bagus tapi jangan yang terlalu mahal harganya ya.”

“Siap Tante. Sekarang mau terus ke mana?”

“Cari rumah makan yang khas Indonesia aja. Aku udah rindu sama masakan Indonesia.”

“Mau rumah makan Padang, Sunda atau Jawa?”

“Sunda aja deh. Biar bisa makan lalapan dan sambel dadakan.”

“Oke, “aku mengangguk. Lalu kami tinggalkan rumah yang sudah dibeli oleh Tante Ros itu. Tinggal pembayarannya saja yang belum.

Meski agak jauh, sengaja kubawa Tante Ros ke rumah makan yang benar - benar khas Sunda, yang letaknya di luar kota. Di rumah makan itu konsumen dimanjakan dengan musik dan bangunan tradisional Sunda. Gubuk - gubuk kayunya pun berada di atas kolam ikan. Sehingga konsumen bisa melemparkan sisa makanan ke kolam, yang pasti disambut oleh ikan - ikan itu.

Di rumah makan itu kami memesan bakar gurame besar, beberapa potong goreng ayam kampung dan sayur lodeh. Dan yang sangat disukai oleh Tante Ros adalah sambel dadakan itu, berikut lalapannya yang bermacam - macam.

“Di Eropa kalau mau makan seperti ini harganya bisa mahal sekali,” ucap Tante Ros setelah selesai menyantap makanan yang dirindukannya.

Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum. Padahal aku tidak sedang membayangkan makanan. Yang kubayangkan adalah seksinya adik Ibu itu.

Ya putih mulus ya seksi pula.

Apakah jiwa incestku sudah hadir lagi?

Entahlah. Yang jelas ketika aku sudah mengemudikan mobilku menuju hotel yang terletak di pusat kota itu, terawanganku terus - terusan membayangkan betapa menggiurkannya tubuh Tante Ros itu kalau sudah telanjang…!

Lalu batinku bergulat… Gila lu Wan! Masa adik kandung ibu lu juga mau diembat? Jangankan adik ibu, sedangkan ibu kandung juga gue embat! Iya gila Lu Wan! Kakak kandung lu juga diembat! Belum lagi yang lainnya! Sebodo amat! Gue kan gak maksa siapa pun! Apa yang telah terjadi selalu berdasarkan suka sama suka!

Tiba - tiba aku teringat sesuatu yang bukan masalah seksual. Aku teringat pabrik hadiah dahsyat dari Tante Martini itu. Lalu kenapa aku susah - susah nyariin bisnis untuk Tante Ros? Kenapa tidak kutawarkan saja untuk menanamkan investasinya di pabrikku saja? Kalau nggak, aku bisa menjual saham pabrik itu padanya…

Nanti saja di hotel aku akan membahas masalah itu sebelum pulang.

Sementara itu hari mulai gelap. Sudah hampir jam tujuh malam.

“Wan… kan besok mau ke dealer, mau beli furniture, barang - barang elektronik dan perabotan rumah. Supaya gak ribet, udah aja nginep di hotel malam ini. Besok pagi kan mau ke dealer dan belanja peralatan rumah.”

Aku sok jual mahal. Seperti memikirkannya dulu. Padahal hatiku sudah bilang mau… sangat mau.

“Mau kan?”

Aku masih berlagak memikirkannya.

“Nanti aku kasih sesuatu yang enak sekali.”

“Apaan tuh yang enak? Makanan Belanda?”

Tiba - tiba Tante Ros mendekatkan mulutnya ke telingaku. Lalu berbisik, “Memekku… mau nggak?”

“Mauuuu… !” seruku serasa meledak dari mulutku.

“Hihihihiii… serius?”

“Serius Tante.”

“Gak risih karena aku ini adik ibumu?”

“Nggak. Aku melihat Tante secara jelas kan baru hari ini. Makanya aku akan menganggap Tante orang luar aja.”

“Sama, aku juga mikir begitu sejak tadi. Kamu memang keponakanku. Tapi menyaksikanmu setelah dewasa baru hari ini,” ucap Tante Ros sambil merapatkan pipinya ke pipiku, “Sudah setahun lebih memekku gak pernah disentuh kontol Wan.”

“Iya. Nanti digasak abis - abisan sama kontolku deh.”

“Hihihiiii… untung aku punya keponakan yang ganteng dan mau nakal juga. Kalau kamu terlalu alim, mati kutu aku.”

“Justru dari tadi aku sedang membayangkan Tante terus…”

“Membayangkan apa?”

“Membayangkan Tante telanjang…” sahutku sambil menurunkan zipper celana denimku, “Makanya diem - diem kontolku ngaceng terus Tante. Nih pegang kalau gak percaya sih…” kataku sambil menarik tangan kanan Tante Ros dan kutempelkan di kontolku yang sudah kusembulkan di kegelapan malam.

“Waaaaw! Kontolmu segede dan sepanjang ini Wan?!” seru Tante Ros sambil menggenggam kontolku yang memang sudah ngaceng ini.

“Almarhum suami Tante kan orang bule. Tentu kontolnya lebih gede daripada kontolku ini.”

“Nggak Wan. Punya almarhum sih tergolong kecil. Lagian lelaki yang sudah tua, kontolnya suka mengecil, kata orang. Kontolmu ini jauh lebih panjang dan jauh lebih gede Wan. Gak nyangka aku bakal ketemu keponakan yang kontolnya gagah perkasa gini. Jadi pengen ngemut…” ucap Tante Ros sambil mendekatkan mulutnya ke kontolku.

Tapi cepat kuhalangi mulut Tante Rossambil berkata, “Jangan Tante… aku kan laqgi nyetir nih. Bisa celaka kita nanti. Entar aja di hotel, mau diapain juga silakan.”

“Hihihiiii… gemes soalnya. Aku ini spermania Wan.”

“Maksudnya?”

“Seneng nelan air mani. Makanya suamiku sangat sayang padaku, karena aku sering minum spermanya. Buat menghaluskan kulit muka.”

“Pantesan wajah Tante mulus gitu. Mmm… sebentar lagi juga kita nyampe Tante,” ucapku sambil memasukkan kembali kontolku ke balik celana dalam. Lalu menarik zippernya lagi.

Tak lama kemudian aku sudah menghentikan mobilku di pelataran parkir sebuah hotel bintang lima.

Kujinjing tas kerja dan tas pakaianku sambil berjalan di belakang Tante Ros.

Ternyata kamar yang dibooking Tante Ros berada di lantai tertinggi hotel itu, di lantai lima.

Setibanya di dalam kamar itu, aku duduk di sofa sambil berkata, “Kita bicara soal bisnis dulu ya Tante. Biar birahi kita semakin mateng.”

“Iya tapi sebentar, mau ganti pakaian dulu Wan,” sahut Tante Ros sambil mengeluarkan sehelai kimono berwarna orange dari tas pakaiannya yang diletakkan di atas meja makan. Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.

Tak lama kemudian Tante Ros muncul dari kamar mandi, sudah mengenakan kimono berbahan wetlook orange polos itu.

“Jadi mau bahas bisnis yhang gimana nih?” tanya Tante Ros sambil duduk merapat di samping kiriku.

“Tiga hari yang lalu aku baru membeli sebuah pabrik yang sudah berjalan bagus. Karena suaminya meninggal, pabrik itu dijual padaku.”

“Terus?”

“Bagaimana kalau Tante menginvestasikan dananya di pabrik itu? Atau bisa juga beli sahamku. Kalau perlu sahamku dibeli seratus persen juga gak apa - apa.”

Kemudian kujelaskan pabrik itu memproduksi apa saja. Dan pemasarannya tetap mengandalkan pasaran lokal.

“Kalau aku beli sajhamnya aja gimana?”

“Boleh,” sahutku sambil mengeluarkan berkas mengenai seluk beluk pabrik itu, berikut laporan kleuangannya secara tertib dan rutin. Dan ketika membaca bagian company capital, dia tertegun dan berkata, “Wooow… besar sekali company capitalnya Wan. Paling mampu juga aku hanya bisa beli saham di bawah limapuluh persen.

“Boleh Tante. Mau berapa juga Tante membeli sahamnya, terserah Tante. Bahkan mau beli satu persen juga boleh. Tapi hasilnya, tentu sedikit.”

“Satu persen sih sama juga bohong. Aku beli sahamnya empatpuluhlima persen deh. Tapi aku ingin lihat dulu pabriknya. Gimana?”

“Tentu aja boleh. Supaya jangan seperti jual kucing di dalam karung. Tapi kalau besok mungkin belum bisa. Kan Tante mau beli mobil dan perabotan rumah. Beli mobil sih gampang, Dalam setengah jam aja bisa selesai. Tapi perabotan rumah itu yang bertele - tele nanti. Jenisnya kan banyak. Belum tentu pula tersedia lengkap di satu toko.

“Perabotan rumah sih utamakan furniturenya aja dulu. Yang penting dahulukan beli tempat tidur, lemari - lemari dan sofa. Biar aku jangan nginep di hotel terus gini.”

“Siap Tante Cantik,” sahutku sambil merayapkan tanganku ke paha putih mulus yang tersembul lewat belahan kimononya.

Tante Ros cuma tersenyum. Bahkan ketika tanganku merayapi kehangatan pahanya sampai pangkalnya, dia masih tersenyum. Justru aku yang agak kaget, karena menyentuh jembut yang lebat di balik kimono orange itu.

“Banyak jembutnya ya…” ucap Tante Ros dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipiku, “seneng memek berjembut apa seneng yang gundul?”

“Sama aja Tante,” sahutku, “Yang gondrong dan yang gundul, punya kelebihan masing - masing.”

“Almarhum suamiku tidak suka sama memek yang dicukur gundul. Dia ingin agar aku memelihara jembut, hanya perlu dirapikan saja. Karena menurut almarhum, memek berjembut itu seolah mengandung misteri. Seperti lukjisan wanita telanjang pelukis -pelukis terkenal di dunia, selalu menggambarkan wanita dengan kemaluan berjembut.

Kalau tanpa jembut, memek itu jadi jelek bentuknya dia bilang. Jadi kayak padang pasir gersang tanpa tumbuh - tumbuhan. Bahkan dia bilang kayak tofu kebanting dan pecah berantakan di lantai. Hihihiiii,” ucap Tante Ros sambil berdiri di lantai dan menanggalkan kimono orangenya. Dia memang tidak mengenakan bra mau pun celana dalam di balik kimono itu.

Sehingga ketika kimono itu dilepaskan, dia langsung menjadi telanjang bulat. Telanjang yang membuatku terlongong. Karena aku menyaksikan tubuh yang putih mulus tanpa cela setitik pun. Semua serba proporsional bagiku. Kurus tidak.. montok pun tidak. Mungkin bentuk tubuh seperti inilah yang dikehendaki untuk seorang wanita model.

“Kenapa bengong?” tanya Tante Ros sambil tersenyum manis.

“Tante laksana patung Dewi Venus yang bernyawa… dan seolah diciptakan untukku. Untuk kunikmati,” sahutku sambil menciumi pentil toketnya, pusar perutnya dan bahkan juga jembutnya yang tercukur rapi.

Tante Ros tersenyum. Lalu menanggalkan pakaianku sehel;ai demi sehelai, sampai telanjang seperti dia. Kemudian dia meraihku ke arah bed.

Dan ketika aku sudah celentang di atas bed berseprai putih bersih itu, Tante Ros melakukan apa yang diinginkannya di dalam mobil tadi. Mulutnya menyergap batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini. Lalu ia mengoralnya dengan trampil sekali.

Mungkin semasa suaminya masih hidup, ia harus selalu melakukan hal ini. Karena suaminya sudah tua, sehingga harus selalu dibangkitkan gairahnya, agar penisnya ereksi.

Dan tampaknya orang bule harus selalu main oral secara bergantian sebelum penetrasi. Konon lelaki bule tidak selalu sempurna ereksinya. Sehingga pada saat bersetubuh pun harus diselingi dengan permainan oral lagi, agar penisnya yang melemas itu ngaceng lagi. Dan sekalinya ngaceng pun tidak keras seperti bangsa kita.

Dan lucunya, mereka begitu banyak melakukan foreplay. Tapi setelah eksekusi, hanya sebentar… lalu crooooottttt… seperti ayam. Hihihihiiii…!

Mulut dan tangan Tante Ros sudah sangat terlatih. Bibir dan lidahnya begitu trampil menggeluti puncak dan leher kontolku, sementara jemarinya pun sangat trampil untuk mengurut - urut badan kontolku yang sudah berlepotan air liurnya. Padahal aku tidak membutuhkan ini semua. Kontolku sudah ereksi total sejak tadi.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu