2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 06

Baru beberapa bulan setelah Bu Laila mengangkatku sebagai direktur utama, perusahaan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mujngkin karena tenaga dan pikiranku dipusatkan pada perkembangan perusahaan. Atau mungkin juga karena faktor keberuntungan berpihak padaku.

Namun aku berpegang kepada prinsip managemen modern. Bahwa mandeg itu berarti mundur.

Jadi buatku perusahaan tidak boleh hari ini tetap sama seperti kemaren. Bagiku, hari ini harus lebih baik daripada kemarin. Dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini.

Pokoknya aku benar - benar all out di perusahaan yang sudah menjadi milik Bu Laila ini.

Namun meski pun aku sibuk dengan urusan perusahaan, aku tak lupa pada tekad semulaku. Yakni untuk membawa Ibu dan Wati ke dokter spesialis mata. Sekaligus ingin tahu berapa biayanya jika mata Ibu dan Wati bisa disembuhkan.

Hal itu kuungkapkan kepada Ibu pada suatu malam, ketika aku baru pulang kerja, selesai mandi malam dan mengenakan kimono yang terbuat dari bahan handuk putih bersih.

Saat itu kulihat Wati sudah tidur, tapi Ibu masih duduk di sofa depan televisi. Aku terharu melihat ibuku yang senang sekali mendengarkan suara televisi, tanpa melihat gambarnya.

Saat itu Ibu mengenakan kimono hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

Sejak ditempatkan di kamar barunya, Ibu jadi kelihatan lebih cantik. Wajahnya pun seperti memancarkan sinar saking cantiknya. Mungkin karena Ibu jadi lebih rajin mandi dengan air hangat. Sehingga sekujur tubuhnya jadi bersih sekali. Wajahnya pun tampak lebih cemerlang, meski tanpa polesan make up. Semuanya natural.

Seandainya Ibu bisa melihat, mungkin akan lebih cantik lagi. Karena bisa memoles wajahnya di depan cermin rias.

Meski pun tidak bisa melihat, Ibu menyadari kehadiranku di dalam kamarnya. “Baru pulang Wan?” tanyanya.

“Iya Bu. Di kantor sibuk sekali,” sahutku disusul dengan kecupan di pipinya. Lalu duduk di sampingnya.

Begitu aku duduk di sampingnya, Ibu langsung meraba - raba kimonoku. Lalu menyelinap ke baliknya dan langsung memegang batang kemaluanku, karena aku tidak mengenakan celana dalam.

“Ibu udah kangen sama kontolmu Wan. Udah empat hari kamu gak ngentrot ibu kan?”

“Ibu mau dientot? Ayo di tempat tidur aja, biar leluasa,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Ibu dan menuntunnya ke tempat tidur.

Di atas tempat tidur aku dan ibuku sama - sama melepaskan kimono. Lalu sama - sama telanjang bulat.

Lalu Ibu celkentang sambil merenggangkan kedua paha poutih mulusnya. Aku pun tengkurap di antara sepasang paha Ibu, sambil menepuk - nepuk memeknya yang sudah 4 hari tidak “ditengok” olehku.

“Memek Ibu memang cantik sekali bentuknya. Seperti belum pernah melahirkan.”

“Padahal ibu sudah tiga kali melahirkan Wan.”

“Tiga kali? Bukankah Ibu hanya punya dua orang anak, Wati dan aku?”

“Sebenarnya setahun setelah melahirkan kamu, ibu melahirkan anak lagi. Tapi dia diadopsi oleh orang kaya bernama Hasyim. Ibu kasihkan saja, karena ibu ini buta, tidak bisa mengurus anak banyak - banyak.”

“Jadi aku ini punya adik?!”

“Iya Wan. Adikmu perempuan. Matanya normal seperti kamu.”

“Siapa namanya?”

“Belum dikasih nama. Gak tau Pak Hasyim ngasih nama apa sama adikmu itu.”

“Sekarang Pak Hasyim itu tinggal di mana?”

“Nggak tau. Ibu hanya dengar adikmu itu dibawa ke luar Jawa. Entah ke Sumatra atau Kalimantan atau Sulawesi… entahlah. Bahkan mungkin juga dibawa ke luar negeri, karena kabarnya Pak Hasyim itu punya perusahaan di luar negeri segala.”

“Ya biarlah, kalau dia diadopsi oleh orang tajir, kehidupannya pun tentu bergelimang harta. Tak usah kita pikirkan benar,” kataku sambil mendekatkan mulutku ke memek Ibu. Lalu mulai menjilatinya.

Ibu pun tidak bicara lagi. Karena mungkin mulai menikmati enaknya jilatanku ini.

Terlebih lagi setelah aku mencelucupi kelentitnya, Ibu mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah.

Sampai pada suatu saat, “Aaaaa… aaaaah… Waaaaan… aaaaaaah… aaaaa… aaaaaahh… Wawaaaaan… aaaa… aaaaaaaahhhh… Waaaaan… aaaaaa… aaaaah… sudah Waaaan… masukin aja kontolmu Waaaan…”

Aku memang sudah tau benar bahwa Ibu tak mau terlalu lama dijilatin memeknya. Karena takut liang memeknya jadi becek sebelum dientot katanya.

Tak lama kemudian batang kemaluanku sudah dibenamkan ke dalam liang memek Ibu.

“Ooooh… kontolmu memang luar biasa Wan. Nanti kalau sudah punya istri, pasti bakal ketagihan sama enaknya kontolmu ini…” ucap Ibu sambil mendekap pinggangku.

Sebagai jawaban, kuayun penisku, bermaju mundur di dalam liang memek ibuku. Padahal di dalam hati, aku berkata, “Kalau Ibu bisa melihat dan punya suami lagi, pasti suami Ibu bakal ketagihan pada legitnya memek Ibu ini.”

Lalu kugencarkan entotanku dengan gairah menggebu - gebu. Ibu pun merintih - rintih histeris sambil meremas - remas rambutku, “Aaaaah… Waaaan… kontolmu memang enak sekali Waaan… entooot teruuussss… jangan berenti - berenti… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… aaaaaaah… entoooootttt …

Aku pun menyahut dalam bisikan terengah di dekat telinga Ibu, “Memek Ibu juga enak sekali… uuuugh… ughhhh… legit sekali Buuuu… uuuugggghhhh… ughhhhh…”

Sementara itu entotanku semakin kugencarkan dalam kecepatan standar, sambil menjilati leher Ibu diiringi dengan gigitan - gigitan kecil.

Hal ini berlangsung lama. Lebih dari duapuluh menit aku “berpush-up” di atas perut ibuku, sementara mulutku tetap asyik menjilati dan menggigit - gigit leher Ibu. Tanganku pun ikut asyik meremas - remas toketnya yang tidak sekencang toket Wati namun masih enak untuk diremnas dan diemut pentilnya.

Ibu pun merintih - rintih terus sambil meremas - remas bahuku. Terkadang juga rintihannya disertai dengan meremas - remas rambutku.

“Waaaan… oooo… ooooh… Waaaaaan… oooo… ooooh… entot terus Waaaan… oooo… oooooohhhhh… kontolmu enak sekali Waaaan… entooooottt teruuuussss… Waaan… entooooooootttttttt… entooooooootttttt… oooo… ooooooh Waaaaan…”

Namun sesaat kemudian Ibu mulai berkelojotan sambil memekik - mekik perlahan, “Waaan… ayoooo cepetin entotannya… ibu udah mau lepas Waaaan… Waaaaan… entttooooooottttttttt… entoooot teruuuuusssss… entooootttt… !”

Sampai akhirnya ibuku terkejang - kejang sambil memejamkan matanya, sambil mencengkram sepasang bahuku erat - erat.

Kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Ibu yang sedang mengejut - ngejut erotis. Sambil menunggu gairahnya pulih kembali.

Tak lama kemudian mata ibuku terbuka kembali, dengan sorot sayu. Lalu terdengar suaranya, “Cabut kontolmu Wan… ibu udah kepayahan nih…”

“Tapi aku belkum ngecrot Bu,” sahutku bernada complain.

“Lepasin di memek Wati aja gih. Ibu sudah kekenyangan Wan…” ucap Ibu sambil mendorong dadaku, agar tidak menghimpit toketnya lagi.

Meski agak jengkel, kucabut juga penisku dari dalam liang memek Ibu. Lalu mengambil kimonoku dan melangkah ke luar. Dan membuka pintu kamar Wati.

Aku tersenyum sendiri merlihat kakakku tidurnya celentang dengan kedua kaki mengangkang begitu. Sehingga memeknya yang tidak bercelana dalam itu pun tampak ternganga. Seperti trenggiling yang sedang menunggu semut masuk ke dalam mulutnya.

Kuletakkan kimonoku di samping kanan Wati. Kemudian kusingkapkan daster katun putihnya perlahan - lahan. Dan kudekatkan mulutku ke memeknya.

Aku tahu bahwa Wati kalau sudah tidur susah sekali dibangunkannya. Karena itu aku yakin kalau sekadar dijilatin memeknya takkan membuat dia bangun, kecuali kalau kelentitnya kusedot - sedot. Tapi kali ini aku bukan ingin menjilati memeknya. Aku hanya ingin mengalirkan air liurku ke dalam celah memeknya.

Aku berhasil melakukannya, mengalirkan air liurku ke dalam celah memek Wati tanpa menyentuh memeknya. Karena memeknya memang agak menengadah ke atas.

Setelah cukup basah, dengan hati - hati kuselipkan moncong penisku ke dalam mulut memek kakakku. Kemudian kudorong sekuat tenaga. Blessssss… masuk lebih dari separohnya…!

Pada saat yang sama, Wati memekik tapi cepat kututup mulutnya dengan telapak tanganku sambil berkata, “Ini aku Wat…”

“Wawan?! Aaaah… kamu bikin aku kaget aja. Kirain ada orang jahat. Ternyata kamu… adikku tersayang,” sahut Wati sambil meraih leherku ke dalam pelukannya. Lalu tampak enjoy… menikmati entotanku yang mulai diayunkan.

Saat itu daster masih melekat di tubuh Wati. Hanya bawahnya saja disingkapkan sampai ke perut. Wati pun menyadari hal ini. Lalu dengan susah payah daster itu dilepaskan lewat kepoalanya. Kemudian berkata, “Kalau gak telanjang, terasa kurang sempurna.”

Lalu Wati mulai menggoyang pinggulnya. Membuatku semakin bersemangat menyetubuhinya.

Tapi pada suatu saat Wati menghentikan goyangannya. “Bosen posisi begini terus. Posisi doggy aja yok.”

“Boleh,” sahutku sambil menarik penisku sampai terlepas dari memek kakakku.

Kemudian Wati merangkak dan menungging di atas bed. Aku pun berlutut di dekat pantatnya. Dan kujebloskan batang kemaluanku ke dalam liang memeknya kembali. Dalam posisi doggy kami lanjutkan persetubuhan ini. Aku berlutut mengentot kakakku yang sedang menungging sambil memeluk bantalnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu