2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Entah kenapa aku ingin sekali membahagiakan hati Euis dengan apa pun yang bisa kulakukan.

Karena itu keesokan harinya, setelah menyantap sarapan pagi yang dibuatkan oleh Euis, aku mengajaknya ke toko pakaian yang di kotaku suka disebut FO (factory outlet). Kupilih FO yang harganya tidak murah, tapi mahal pun tidak. Sengaja kuajak Euis ke FO pilihanku itu, agar dia bisa cepat adaptasi dengan pakaian kelas sedang - sedang saja.

Euis menurut saja ketika kupilihkan selusin gaun dan tiga helai daster untuk pakaian sehari - harinya. Bahkan salah satu gaun kuminta dipakai langsung di FO itu.

Kemudian kubawa dia ke toko sepatu. Kupersilakan dia memilih sendirik sepatu yang cocok dengan seleranya, sekalian sandal wanitanya juga untuk keseharian pada waktu sedang bekerja di rumahku.

Kemudian kubawa dia ke sebuah perumahan, tanpa memberitahu dahulu mau dibawa ke mana.

Sebenarnya aku akan membawanya ke sebuah rumah, yang kuterima sebagai bonus (di luar fee) setelah sukses menjual tanah seluas 275 hektar milik sebuah PT, yang lalu dibekli oleh pihak lain (tentu PT juga buyernya, karena kalau perseorangan takkan diijinkan membeli tanah seluas itu). Selain mendapatkan fee yangv sangat banyak menurutku, janji owner lama dipenuhi.

Rumah itu murni hasil jerih payah pribadiku, sama sekali tiada hbubungannya dengan p[erusahaan Bu Laila. Tadinya rumah itu akan kupakai sendiri. Karena aku pun sering punya pikiran ingin menyendiri untuk memusatkan pikiran bisnisku di perusahaan punya Bu Laila itu.

Tapi kini aku punya pikiran lain. Ada yang lebih membutuhkan rumah berikut segala isinya itu, yakni Euis. Dia belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan. Entah kenapa setiap kali mendengar kata rumah kontrakan, aku selalu merasa prihatin. Kalau aku jadi konglomerat, ingin kuhadiahkan ribuan rumah untuk orang - orang yang belum punya rumah dan masih tinggal di rumah kontrakan.

Terlebih lagi kata rumah kontrakan itu terlontar dari mulut wanita muda yang sudah memberiku 1001 nikmat di kamarku tadi malam. Karena itu aku ingin menghadiahkan rumah itu untuk Euis yang sudah dan akan tetap memberiku 1001 nikmat dalam permainan birahi kami.

Setibanya di depan rumah type 54 yang sudah diupgrade dan isinya sudah lengkap itu, Euis tampak heran. “Ini rumah siapa Den?”

Aku menjawabnya sambil melingkarkan lenganku di pinggang rampingnya, “Tadinya rumah ini punyaku. Tapi mulai sekarang, rumah ini menjadi hak milikmu, Sayang.”

“Den… apakah saya gak salah dengar? Rumah secantik dan sekokoh ini akan menjadi milik saya?”

“Sudah menjadiu milikmu. Bukan cuma akan. Nanti sertifikat hak miliknya akan atas namamu, Sayang,” sahutku sambil membuka kunci pintu depan. Kemudian kubawa Euis memasuki rumah yang sudah kuhadiahkan ini padanya.

“Wah… di dalamnya sudah lengkap semua… !” seru Euis sambil memeluk pinggangku dari belakang.

“Tadi malam aku kan menawarkan Euis untuk menjadi simpananku. Nah… di rumah inilah Euis akan kusimpan.”

“Siap Den. Tapi ibu saya boleh dibawa ke sini, agar tidak tinggal di rumah kontrakan lagi?”

“Tentu saja boleh. Asalkan ibumu tidak mengganggu hubungan kita nanti.”

“Nggak akan mengganggu Den. Pada waktu saya masih gadis saja, Ema sih tidak pernah mencampuri urusan pribadi saya. Apalagi sekarang, saya kan sudah janda.”

“Kalau begitu, sekarang aja kita ke rumahmu. Untuk mengajak ibumu ke rumahmu ini. Gimana?”

“Iya Den… iyaaa… hihihihiii… Ema pasti seneng banget.”

(mohon dibedakan antara Ema untuk ibu dalam bahasa Sunda E nya dibaca seperti E di kata “perang”. Sedangkan Ema untuk nama orang E nya dibaca seperti E dalam kata “sore”. Panggilan Ema untuk ibu, tidak pakai hurup K di ujungnya. Jadi kata Emak, pasti bukan berasal dari tatar Pasundan).

Beberapa saat kemudian Euis sudahg berada di dalam mobilku kembali, untuk menjemput ibunya. Euis sudah menelepon ibunya dulu, agar siap - siap akan dijemput olehnya dengan majikannya. Tapi Euis tak mengatakan bahwa ia akan memperlihatkan rumah yang sudah menjadi miliknya itu. Mungkin Euis ingin membuat surprise pada ibunya.

Ternyata rumah kontrakan Euis dan ibunya kecil sekali. Ada di dalam gang kecil pula. Tapi ibunya Euis itu… gede sekali! Ia tampak sudah berdandan, mengenakan celana legging hitam yang sangat ketat (mungkin ukuran XXXL), dengan baju kaus tebal berwarna hitam pula. Sehingga pakaian ibunya Euis itu seolah sudah memamerkan bentuk tubuh yang sebenarnya.

Ia menyambut kedatanganku dengan sangat ramah. Dan ketika berjabatan tangan denganku, terdengar suaranya menyebut nama, “Mimin…”

“Wawan,” kataku memperkenalkan namaku juga.

“Sudah siap Ma?” tanya Euis kepada ibunya.

“Sudah,” sahut ibunya Euis yang chubby habis itu, “Tapi masa Den Wawan gak disuguhi minum - minum acan? Kan pertama kalinya Den Wawan bertamu ke rumah ini.”

“Tak usah bikin minum Bu,” sahutku, “mending langsung berangkat mumpung masih siang.”

Setelah berada di dalam mobilku, ibunya Euis yang bernama Mimin itu bertanya, “Ini mau ke mana Is? Mau ngajak piknik ke luar kota?”

“Nggak Ma. Masih di dalam kota kok,” sahut Euis yang duduk di belakang juga, di samping ibunya.

“Ohhh…”

Lalu Bu Mimin terdiam. Tidak bertanya apa - apa lagi. Mungkin Euis sudah memberi isyarat agar jangan bertanya lagi.

Setibanya di depan rumah yang sudah kuberikan kepada Euis itu, kami bertiga turun dari mobil. Pada saat itulah Euis berkata kepada ibunya, “Ma… Den Wawan itu saeorang majikan yang baik hati. Beliau mengerti keadaan kita yang setiap tahun harus menyediakan uang untuk kontrakan rumah. Karena itu Den Wawan menghadiahkan rumah ini untuk Euis.

“Hadiah untuk Euis? Ema gak salah denger Is?”

Aku yang menjawab. Kutempelkan telapak tanganku di punggung Bu Mimin, “Benar Bu. Rumah ini hadiah untuk Euis. Tinggal surat - suratnya aja yang belum dikasihkan. Rumah ini sudah dibayar lunas. Jadi tidak ada bayar cicilan dan macem - macem lagi. Hanya rekening listrik dan ledeng saja yang harus dibayar tiap bulan.

Bu Mimin merangkul anaknya sambil berkata, “Kamu sangat berunbtung punya majikan yang sedemikian baiknya. Baru bekerja beberapa bulanb sudah dikasih rumah segala Is.”

“Bukan cuma rumah Ma. Perabotannya pun sudah lengkap semua. Yuk kita lihat ke dalam,” ucap Euis sambil mengeluarkan seikat kunci - kunci rumah itu dari dalam tas kecilnya. Kunci - kunci yang tadi sudah kuserahkan padanya, sebagai tanda bahwa rumah itu sudah menjadi miliknya.

Rumah itu memiliki dua kamar tidur yang masing - masing ada kamar mandinya. Di belakang ada kamar yang lebih kecil, berdampingan dengan dapur dan kamar mandi yang bisa dipakai oleh pembantu. Tapi kamar mandinya bisa juga dipakai oleh tamu yang ingin buang air dan sebagainya. Ruang makannya pun lumayan besar, karena bersatu dengan ruanbg keluarga.

Di situ sudah ada televisi LED layar lebar. Di dapour pun sudah ada kulkas dua pintu. Di belakang sudah ada mesin cuci juga. Semua barang - barang elektroinik itu masih 100% baru. Begitu juga semua furniture-nbya masih 100% baru semua, terdiri dari lemari pakaian di kamar masing - masing, lemari makanan di dapur.

Bu Mimin tampak ceria sekali menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku dapat menangkap karakter ibunya Euis itu. Dia sangat ceria, sementara Euis agak pendiam, tidak seperti ibunya yang tiap sebentar ketawa ketiwi.

Mereka merencanakan untuk menempati rumah itu mulai besok.

Maka kataku kepada Euis, “Kalau begitu hari ini dan besok libur aja Is. Kan mungkin banyak barang yang harus diangkut ke sini juga.”

“Iya, terima kasih Den,” sahut Euis.

Kemudian mereka kuajak makan di sebuah rumah makan yang tak jauh letaknya dari perumahan itu. Kemudian kuberikan uang secukupnya kepada Euis, untguk biaya angkutan barang - barang yang akan dipindahkan dari rumah kontrakan ke rumah baru itu.

Zaman sekarang memang zaman serba mungkin. Karena segala kemungkinan bisa terjadi, baik hal - hal yang positif mau pun yang negatif. Orang miskin bisa mendadak kaya, orang kaya pun bisa mendadak jatuh miskin.

Dengan beredarnya handphone sampai ke pelosok - pelosok, membuat tatanan moral berubah dengan cepatnya. Baik di kota - kota besar mau pun di pedesaan. Karena dengan adanya televisi, orang kampung pun mulai “melek mode”.

Di sisi negatifnya, dengan hadirnya handphone sampai ke pelosok - pelosok, seorang istri yang setia bisa berubah, ingin coba - coba berselingkuh, yang lalu menjadi ketagihan. Manakala Sang Suami berangkat ke kantor, Sang Istri pun berangkat ke “pasar”, laporannya pada orang di rumah. Padahal istri itu ketemuan dengan seorang PIL (pria idaman lain) di tempat yang sudah dijanjikan, lalu ena - ena di tempat yang dirahasiakan.

Perselingkuhan antara ibu tiri dengan anak tiri, seolah sudah menjadi trend yang dirahasiakan. Begitu pula ayah tiri dengan anak tirinya. Bahkan skandal mertua dengan menantu pun bisa terjadi di zaman ini. Meski semuanya itu off the record.

Banyak lagi jenis perselingkuhan yang terjadi di zaman ini. Termasuk ibu dengan anak kandung atau ayah dengan anak kandung. Begitu pula adik dengan kakak kandung bukan tidak pernah terjadi di negeriku tercintga ini.

Kuakui bahwa aku salah seorang di antara mereka.

Godaan demi godaan berdatangan ke dalam kehidupanku. Dan godaan itu justru kuanggap sebagai tantangan. Dan sebagai seorang lelaki yang belum p;unya istri, aku pantang menghindari tantangan.

Begitulah… beberapa hari kemudian aku mendatangi rumah yang sudah diberikan kepada Euis itu. Tadinya aku sekadar ingin tahu apa saja yang masih kurang. Dan aku harus menanyakannya kepada ibunya Euis yang bernama Bu Mimin itu.

Saat itu baru jam sepuluh pagi. Tentu saja Euis sedang bekerja di rumahku. Tidak berada di rumah yang sudah menjadi miliknya itu.

Ketika melihat aku datang, Bu Mimin yang cuma mengenakan daster katun berwarna coklat muda, tampak kaget dan memegang kedua pipoinya. “Aduuuuh… Den Wawan datang… kenapa Euis gak ngasih tau kalau Aden mau datang yaaaa…”

“Euis tidak tau aku mau ke sini Bu,” sahutku sambil mencium tangannya, karena aku punya hubungan dengan Euis, jadi aku harus memperlakukannya seperti dengan calon mertua (walau pun aku belum punya niat menikahi Euis).

Lalu aku dipersilakan duduk.

“Maaf saya baru selesai mandi, jadi dasteran gini. Gak apa - apa?” tanyanya yang sudah duduk di sofa berhadapan dengan sofa yang kududuki.

“Nggak apa - apa Bu,” sahutku, “Nggak usah resmi - resmian lah. Aku datang ke sini cuma ingin tau apakah di rumah ini masih ada kekurangan yang Bu Mimin rasakan?”

“Wah… sudah lengkap semua Den. Cuma ada satu hal yang kurang…” sahut Bu Mimin sambil tersenyum - senyum centil.

“Apa yang kurang Bu?”

“Hihihi… malu ah nyebutinnya, “sikap Bu Mimin mendadak centil.

“Lho… sama aku terbuka aja Bu. Katakan aja apa yang masih kurang itu. Gak usah disimpan di dalam hati.”

“Anu yang belum ada teh… calon suami… hihihihiiii…”

Aku tersentak sambilk menahan tawaku. “Bu Mimin masih pengen kawin lagi?” tanyaku sambil memperhatikan sosok wanita STW di depan mataku. Memang kecantikannya kalah oleh kecantikan Euis. Tapi bodynya… maaaak… chubby sekali…!

“Ya masih Den… saya kan belum tua - tua benar. Tapi ingin punya calon yang setampan Den Wawan…”

Mendengar ucapan itu, spontan batinku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya. Ada desir nakal di dalam batinku. Bahkan pikiranku langsung ngeres. Bertanya - tanya seperti apa tubuh wanita setengah baya yang chubby itu kalau sudah telanjang ya? Aku bangkit dari sofa. Melangkah dan duduk di samping Bu Mimin.

“Den Wawan kan punya Euis,” sahutnya sambil mengerlingkan matanya yang masih tampak bening itu.

“Euis kan kerja di rumahku Bu. Hanya seminggu sekali dia bisa pulang ke sini kan? Jadi yang enam hari dalam seminggu, aku bisa sering nemenin Bu Mimin di sini.”

Wanita itu menatapku dengan senyum malu - malu tapi lumayan centil sikapnya itu.

“Den Wawan jangan PHP ah. Memangnya saya yang ndut ini menarik bagi Aden?” tanyanya, tau bahasa gaul segala ini ibunya Euis.

“Aku gak PHP. Bu Mimin sangat seksi di mataku. Cuma soal rasanya sih perlu dibuktikan dulu. Setelah dirasakan, nanti ketahuan enak nggaknya. Hihihihiii…” kataku sambil memperhatikan daster yang dikenakannya. Daster yang membuatku semakin yakin bahwa toket Bu Mimin jauh lebih gede daripada toket Euis.

“Jadi Ibu suka pada cowok seperti aku ini?” tanyaku setengah berbisik di dekat telinga Bu Mimin.

“Peremnpouan mana pun pasti suka sama Den Wawan yang begini tampannya. Saya sampai gemes melihatnya juga. Pengen cium bibirnya. Hihihihiiii… maklum saya sudah duapuluhlima tahun tidak merasakan sentuhan lelaki Den.”

“Duapuluhlima tahun tidak disentuh lelaki?”

“Iya. Kan suami saya meninggal pada saat Euis baru berumur setahun. Sejak saat itu saya tidak mau didekati lelaki secara serius. Tapi sekarang ini, begitu melihat Den Wawan secara seksama tadi, semangat saya jadi bangkit Den.”

“Jadi gemes dan pengen mencium bibirku?” tanyaklu sambil melingkarkan lengan di lehernya, lalu mendekatkan bibirku ke bibirnya.

“Iya… tapi saya tidak berani mencium bibir Aden…”

Aku tersenyum. Lalu merapatkan bibirku ke pipinya. Dan perlahan - lahan bergerak ke arah bibirnya. Dan… ia memagut bibirku duluan. Lalu terasa lumatannya yang sangat agresif. Membuatku terlupa bahwa wanita yang tengah melumat bibirku ini ibunya Euis.

Pada saat Bu Mimin sedang enjoy - enjoynya melumat bibirklu, tanganku pun tak mau berdiam pasif. Mulai memegang lututnya yang terbvuka di bawah dasternya, kemudian langsung nyelonong ke balik daster katun berwarna coklat muda itu. Merayapi paha gempalnya dan menyelinap ke balik celana dalamnya.

Kusentuh memek yang lebih tembem daripada memek Euis. Memek berjembut tapi terasa tipis sekali jembutnya.

Begitu jemariku menyentuh memeknya, Bu Mimin spontan memelukku erat - erat. Lumatannya pun semakin lahap. Sementara tubuhnya terasa mulai menghangat.

Tentu saja jemariku tak sekadar meraba - raba permukaan memek Bu Mimin. Melainkan juga menyelinap ke dalam celah memek tembem itu.

Tiba - tiba Bu Mimin melepaskan lumatannya dan berkata, “Oooooh… saya gak kuat lagi nahan nafsu Den. Kalau memek saya sudah digerayangi gini, gak nahan.”

“Ya ayo kita lanjutkan terus sampai tuntas,” sahutku dengan nafsu birahi yang sudah bergolak dan membutuhkan pelampiasan ini.

“Di dalam kamar saya aja yuk,” ucap Bu Mimin sambil bangkit dari sofa, sambil memegang pergelangan tanganku.

Aku pun mengikuti langkah Bu Mimin masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamarnya itulah BU Mimin melepaskan dasternya, sehingga tinggal beha dan celana dalam serba hitam yang masih melekat di tubuhnya.

Gila… baru melihat tubuh yang masih berbeha dan bercelana dalam saja itu kontolku langsung ngaceng.

Terlebih setelah Bu Mimin melepaskan beha dan celana dalamnya.

Aduhai… dia benar - benar menggiurkan di mataku. Sepasang toket gede dan bokong yang super gede pula. Aku belum pernah mendapatkan pasangan seksual semontok dan semenggiurkan itu. Maka aku ingin merasakannya, tak peduli apa pun akibatnya kelak.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu