2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Anneke turun dari bed dan bergegas membuka salah satu lemarinya.

Tadinya kupikir ia akan mengeluarkan kain seprai baru, untuk mengganti kain seprai yang sudah terciprati darah perawannya. Tapi ternyata bukan. Ia mengeluakan kotak obat - obatan. Lalu dikeluarkannya se-strip pil kontrasepsi…!

Diperlihatkannya pil - pil itu pdaku sambil berkata, “Aku harus menelan pil anti hamil ini biar jangan hamil dulu, ya Bang.”

“Iya. Itu lebih baik,” sahutku sambil tersenyum. Padahal aku merasa kecewa atas kesiagaannya itu.

“Jadi kita bebas bersetubuh sesering apa pun, tanpa takut hamil,” ucapnya sambil mengajakku mandi sore.

Di dalam kamar mandi yang peralatannya serba mutakhir itu, Anneke berkata, “Kalau Abang merasa di rumah ini kurang nyaman, silakan aja cari rumah yang dianggap aman dan nyaman. Nanti kalau sudah ada yang cocok, tinggal call aku aja sekalian kirim nomor rekening penjual rumah itu. Aku akan transfer dananya saat itu juga.

Tapi Non kan harus hadir pada saat transaksi, untuk menandatangani akte jual beli …”

“AJBnya atas nama Abang aja.”

“Iya Beib…”

“Abang… aku suka dipanggil beib… sekarang jangan formal - formalan lagi. Kita kan sudah jadian.”

Alamku jadi indah. Segalanya terasa indah. Membuatku semakin bersemangat untuk menjalani kehidupan ini. Bersemangat untuk melaksanakan tugas - tugasku, bersemangat pula untuk memainkan peranku sebagai seorang lelaki jantan. Baik untuk Ibu, untuk Wati, untuk Tante Laila, untuk Ema Mimin, untuk Euis dan terutama untuk Anneke Tercinta.

Hampir tiap hari aku “berjuang” untuk memuasi hasrat birahi Anneke. Karena dia sudah ketagihan untuk merasakan nikmatnya hubungan sex denganku.

Rumah pilihanku pun sudah dibayar lunas atas namaku sendiri, meski dananya ditransfer oleh Anneke langsung ke pihak developer. Karena rumah itu terletak di kompleks perumahan paling elit di kotaku.

Rumah itu pun sering dijadikan ajang pergumulan birahiku dengan Anneke.

Demikian seringnya aku menggauli Anneke, seolah seorang suami menunaikan kewajibannya untuk memberi nafkah batin kepada istrinya.

Anneke memang semakin mesra sikapnya. Bahkan terkadang seperti tidak rela berjauhan denganku.

Bahkan pada suatu hari Anneke mengajakku untuk menemui ibunya di Jakarta.

“Mau ngapain Beib? Mau pinton aku sebagai calon suami?” tanyaku.

“Jangan dulu. Untuk sementara aku hanya akan memperkenalkan Abang sebagai direktur utama perusahaanku. Lantas kalau aku pulang sendirian ke Jakarta lagi, aku akan nanya sama Mamie. Apakah Mamie setuju kalau Abang dijadikan calon suamiku? Kalau Mamie setuju kan aku tinggal mendengarkan petunjuknya saja.

“Kalau mamienya gak setuju gimana?”

“Aku akan berusaha merayunya tiap hari lewat telepon.”

“Lalu kalau maminya tetap gak setuju?”

Anneke memegang sepasang bahuku. Menatapku dengan senyum di bibir sensualnya. Lalu berkata, “Biar bumi terbelah dua, cintaku padamu takkan bisa padam Bang. Kalau Mamie tetap tidak setuju, kita kawin aja diam - diam. Oke? Jadi jangan gentar Bang. Lagian Mamie sangat sayang padaku. Aku yakin Mamie bakal setuju juga nanti.

“Oke. Terus mau berangkat sekarang juga?”

“Iya Abang Sayang. Sekarang kan malam Sabtu. Kita weekend di rumah Mamie aja yaaa…”

“Mau pakai mobil mana? Mobil Non apa mobilku?”

“Mobil Abang aja. Mobilku kan cuma mobil Jepang Bang. Harganya juga kurang dari separoh mobil Abang. Pasti mobil Abang lebih nyaman didudukinnya.”

“Kalau Non mau, beli pesawat jet pribadi juga bisa. Tapi Non kan gak mau pamer harta. Aku juga punya mobil itu bukan dapet beli. Ada yang ngasih Non.”

“Siapa yang ngasih?”

“Owner perusahaan lama Non.”

“Kok bisa ngasih hadiah semahal itu?”

“Kebetulan waktu itu perusahaan mendapatkan profit yang cukup besar. Dan itu hasil kerjaku. Makanya aku dikasih reward mobil itu.”

“Aku malah belum ngasih hadiah apa - apa sama Abang.”

“Sudah. Masa lupa Beib?”

“Apa?”

“Sesuatu yang jauh lebih mahal daripada mobilku itu.”

“Hihihiii… memekku maksud Abang?”

“Iya. Itu tak ternilai harganya Non. Dan aku bangga bisa memiliki dirimu Beib.”

“Aku juga bangga punya Abang, emwuaaaaah…” ucapnya diakhiri dengan kecupan mesra di pipiku.

“Ohya… rumah mau dikunci aja?”

“Nggak. Si Bibi sudah disuruh tidur di sini sampai kita pulang dari Jakarta nanti.”

“Owh… ya udah.”

“Udah titip juga sama security perumahan.”

Beberapa saat kemudian Anneke sudah duduk di dalam mobilku yang kukemudikan sendiri.

“Di rumah Mamie sih gak bisa ML Bang. Soalnya aku pasti bobo sama Mamie.”

“Nggak apa. Puasa dua tiga hari aja sih gakpapa.”

Lalu sedan hitamku meluncur terus di jalan aspal.

Kebetulan jalan sedang sepi, karena aku sengaja memilih jalan tikus untuk mencapai pintu tol.

“Kuperkirakan kita tiba di Jakarta tengah malam. Gak apa - apa?”

“Gak apa - apa. Mamie sih suka tidur setelah lewat jam duabelas malam. Sebelum ngantuk benar sih nancep aja di depan tivi.”

“Beliau pakai kursi roda?”

“Iya. Tapi kursi rodanya sudah pakai remote control. Jadi gak terlalu merepotkan kedua suster yang merawatnya. Cuma waktu mau naik atau turun dari kursi roda, harus dibantu oleh suster.”

“Usianya sudah tua?”

“Belum tua - tua banget Bang. Mamie melahirkan aku waktu usianya baru delapanbelas.”

“Jadi sekarang baru tigapuluhdelapan tahun usianya?”

“Ya, kira - kira segitulah. Abang kan sudah tau umurku. Jadi umur Mamie tinggal nambahin delapanbelas aja kan?”

“Ayahmu meninggal karena apa Beib?”

“Serangan jantung Bang. Papie meninggal ketika usianya sudah limapuluh lebih Bang. Perbedaan usia Papie dengan Mamie jauh sih. Maklum Papie sudah kaya raya sejak masih bujangan. Maka dengan mudah aja almarhum bisa mendapatkan Mamie yang saat itu baru berumur tujuhbelas.”

Aku cuma tersenyum.

Sedan hitamku meluncur terus di jalan tol yang kebetulan tidak padat menuju Jakarta sih. Tapi yang dari Jakarta menuju Padaleunyi kelihatan padat sekali. Maklum malam weekend.

Dua jam kemudian mobilku sudah memasuki pekarangan rumah besar dan antik, tapi tetap tidak menunjukkan rumah orang kaya raya. Mungkin karena almarhum ayah Anneke telah melaksanakan pola hidup sederhana. Padahal menurut penuturan Anneke sendiri, sewaktu ayahnya masih hidup, perusahaannya bukan hanya ada di Indonesia.

Seorang petugas security menghampiri mobilku. Pada saat yang sama Anneke turun dari depan kiri mobilku. Orang security itu kaget, “Ooooh… Selamat malam Non Boss. Kirain siapa.”

Anneke hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengajakku masuk ke dalam rumah bergaya Italia tempo doeloe itu.

Seorang wanita setengah baya tampak duduk di kursi roda yang menghadap ke arah pesawat televisi. Dua orang suster duduk di sofa yang berdampingan dengan kursi roda itu.

“Mamie… !” seru Anneke dengan gaya manja menghampiri wanita yang mamienya itu. Lalu ia memnbungkuk dan cipika - cipiki dengan mamienya.

“Kok tengah malam gini datangnya?” tanya wanita itu.

“Kan sekalian mau weekend di sini, “Anneke berdiri di belakang kursi roda itu sambil memegang sepasang bahu mamienya.

“Sama siapa itu?” tanya sang Mamie.

“Bang Darmawan. Direktur utama di perusahaan kita Mam,” sahut Anneke, “Kenalin dulu mamieku Bang.”

Aku mengangguk dan berlutut di depan kursi roda itu, untuk mencium tangan wanita setengah baya itu.

“Waduuuh… dirutnya kok masih sangat muda dan ganteng gini Anne. Apa dia bukannya pacar kamu?” tanya wanita itu sambil tengadah, menatap putrinya yang sedang berdiri di belakang kursi rodanya.

“Hush sembarangan Mamie ni,” sahut Anneke, “Bang Darmawan ini sebelum direkrut ke perusahaan kita pun sudah jadi dirut di perusahaan lain. Perusahaan punya tantenya. Jadi sekarang jabatannya rangkap dua. Jadi dirut di perusahaan tantenya sekaligus jadi dirut di perusahaan kita.”

Aku pun berdiri dan duduk di sofa yang berhadapan dengan kursi roda mamienya Anneke itu.

“Mam… aku mau ke toilet dulu ya…” ucap Anneke sambil menoleh padaku, “Mau ke toilet dulu ya Bang.”

Aku dan mamienya Anneke mengangguk. Lalu wanita setengah baya itu menoleh ke arah dua suster yang duduk di sofa samping kursi roda itu. “Kalian kalau udah ngantuk pada tidur aja gih. Biar aku diurus sama anakku aja.”

Kedua suster itu langsung berdiri, kemudian mengangguk sopan padaku dan melangkah ke belakang.

“Eh, siapa namanya tadi? Darmawan ya?” tanya wanita setengah baya itu sambil memandangku.

“Mmm… panggil Wawan aja Tante.”

“Sini sebentar,” ucapnya sambil menggapai - gapaikan tangannya, “Ada yang mau tante omongin.”

Aku pun segera mendekati mamienya Anneke itu. Dia pun berkata setengah berbisik, “Lima harian lagi ke sini ya. Jangan sama Anneke. Ada yang mau tante sampaikan.”

“Siap Tante.”

Lalu ia mengeluarkan handphone dari saku baju piyama putihnya, “Masukkin nomor handphone Wawan ke hape tante. Biar nanti bisa ngomong leluasa lewat hape.”

Aku menurut saja. Kupijat nomorku dari handphone punya mamienya Anneke. Hapeku yang disilent pun bergetar. Jadi aku bisa memasukkan nomor mamienya Anneke juga. Kemudian kusaving nama dan nomor hapeku di handphone mamienya Anneke.

Setelah memasukkan kembali hape ke dalam saku baju piyamanya, wanita itu menyimpan telunjuk di bibirnya sambil berkata setengah berbisik, “Jangan bilang apa - apa sama Anneke ya.”

“Siap Tante.”

Tak lama kemudian Anneke muncul lagi di ruang keluarga itu. Dan langsung menghampiriku, “Tasnya bawa ke sini Bang. Aku mau nunjukin kamar Abang nanti di mana.”

“Iya,” sahutku, “sebentar mau diambil dari mobil dulu. Sekalian sama tas Non juga ambil?”

“Oh iya Bang. Maaf ya…”

Setelah mengambil tas pakaianku dan tas pakaian Anneke, aku tidak langsung tidur. Aku ikut mendengarkan obrolan Anneke dan ibunya. Belakangan aku mendengar nama mamienya Anneke itu Martini (seperti merk minuman beralkohol ya?).

“Bagaimana hasil therapi yang Mamie ikuti selama ini? Ada perkembangannya?” tanya Anneke pada suatu saat.

“Ada Sayang,” sahut Tante Martini, “Kaki mamie jadi bisa digerakkan. Lutut pun kalau dipegang jadi ada rasanya. Tidak mati rasa seperti dahulu lagi. Bahkan berdiri pun mamie sudah bisa. Tapi masih lemes lututnya. Mamie tak mau memaksakannya. Kata therapis dari Amerika itu, mamie harus sabar. Katanya sih lama - kelamaan juga mamie bakal bisa jalan lagi.

”Iya, Mamie harus sabar. Penyembuhannya harus step by step,” ucap Anneke. Kemudian ia menoleh padaku, “Eh Bang… kalau mau istirahat, silakan aja istirahat duluan.”

Aku mengangguk lalu bangkit dan agak membungkuk ke arah Tante Martini, “Mohon izin mau istirahat dulu Tante.”

Lalu aku masuk ke dalam kamar yang sudah diberikan oleh Anneke. Dan tidur nyanyak tanpa mimpi.

Tiada hal penting selama dua malam menginap di rumah mamienya Anneke itu.

Minggu sore pun kami pulang ke kota kami.

Dalam perjalanan pulang dari Jakarta itu Anneke berkata, “Kayaknya Mamie bakal setuju kalau kita jadi pasangan suami - istri kelak.”

”Emangnya udah terus terang sama beliau bahwa kita sudah saling jatuh cinta?” tanyaku.

“Belum. Mamie sih jangan dibawa buru - buru Honey. Segalanya harus santai dan matang. Nanti aja kalau kita udah matang dan siap untuk menikah, barulah aku akan mengatakannya.”

“Iya terserah bidadariku aja. Aku pun tidak ingin terburu - buru.”

“Nah cowok seperti Abang ini yang kucita - citakan sejak dahulu. Cowok yang tak pernah memaksakan kehendak… emwuaaaaahhh… !” ucap Anneke yang diakhiri dengan kecupan mesranya di pipi kiriku.

Anneke tidak tahu bahwa handphoneku yang sedang disilent ini bergetar vibratornya. Cuma satu kali bergetar. Dan ketika kami membelok ke rest area, untuk istirahat dan mengisi perut, aku langsung ke toilet dulu untuk membuka isi WA yang ditandai dengan satu kali getaran itu tadi.

Di toilet kubuka WA itu yang ternyata dari Tante Laila. Isinya :-Sayangku… anak kita sudah lahir. Cantik sekali. Suamiku juga tampak senang, meski dia tau bahwa anak itu bukan anaknya. Untuk menyenangkan hatinya kuminta agar dia memberi nama. Maka anak itu pun diberinya nama Winiarti. Gak apa - apa kan?-

Aku merasa senang campur haru. Lalu membalasnya :-Aku bahagia sekali Sayang. Soal nama, itu sudah cukup bagus. Lalu kapan aku harus menengok anak kita itu?-

Tante Laila :-Santai dulu ya Sayang. Jangan terburu - buru. Percayakanlah aku akan merawat anakmu dengan penuh kasih sayang. Aku juga sangat bahagia dan merasa sudah menjadi wanita yang lengkap. Nanti kalau anak kita sudah bisa dibawa ke luar, aku akan ngajak ketemuan lagi di hotel yang sering kita pakai itu. -

Setelah memasukkan kembali hape ke saku celana jeansku, aku pun keluar dari toilet. menghampiri Anneke yang sudah duduk di resto dalam kompleks rest area jalan tol itu.

Seusai mengisi perut, kami lanjutkan lagi perjalanan pulang itu.

Setelah tiba di kota kami, kuantarkan dulu Anneke ke rumahnya, kemudian aku pun pulang.

Di rumah, di dalam kamarku, terawanganku melayang - layang tak menentu. Teringat pada Tante Laila yang sudah melahirkan anakku, teringat pula permintaan Tante Martini yang memintaku untuk datang lagi ke rumahnya. Waktu itu hari Jumat malam, Tante Martini meminta agar empat hari lagi aku datang ke rumahnya tanpa Anneke.

Masalahnya, apa tujuan Tante Martini yang memintaku datang lagi ke rumahnya tanta anaknya? Apakah ada rahasia tentang Anneke yang akan disampaikannya padaku, sehingga Anneke sendiri tidak boleh tahu?

Entahlah.

Yang jelas, di hari Selasa sore, sepulangnya dari kantor aku langsung berangkat ke Jakarta. Tanpa ngomong apa pun kepada Anneke.

Aku tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh mamienya Anneke itu nanti. Tapi kelihatannya penting sekali, sehingga aku harus mengabulkan permintaannya.

Ketika sedan hitamku sudah memasuki Jakarta, handphoneku berdering. Ternyata dari Tante Martini…!

Lalu :

Aku: “Hallo Tante…”

Tante Martini: “Kapan mau ke rumah tante? Besok?”

Aku: “Sekarang Tante. Ini sudah masuk Jakarta. Mungkin setengah jam lagi juga tiba di rumah Tante.”

Tante Martini: “Owh… syukurlah. Tante tunggu ya.”

Aku: “Siap Tante.”

Dan memang setengah jam kemucian aku sudah tiba di pekarangan rumah Tante Martini. Seorang petugas security bergegas membuka pintu garasi, lalu menghampiriku, “Selamat malam Boss. Tadi Bu Martini minta agar mobil Boss langsung dimasukkan ke garasi,” ucapnya.

“Owh… iya iyaaa…” sahutku sambil memasukkan mobilku ke dalam garasi.

Ketika aku masuk ke dalam rumah, salah seorang suster yang tempo hari sudah kukenal, menyambutku, “Silakan masuk aja ke kamar Ibu. Beliau sudah menunggu Boss.”

Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kamar mamienya Anneke. Begitu masuk ke dalamnya, aku mengagumi kamar ini. Selain luas dan ada taman mininya segala, segala peralatan di dalam kamar ini serba mahal sekali. Mungkin harga perabotannya bisa lebih mahal daripada harga rumahnya…!

Tante Martini tampak sedang berada di pinggir kolam ikan koi. Dan tersenyum ceria setelah melihat kedatanganku.

“Wawan orang yang tepat janji ya. Tante suka itu,” ucapnya setelah aku berjongkok di depan kursi rodanya dan mencium tangannya yang terasa halus serta hangat.

“Tante kelihatan seger sekali sekarang,” ucapku.

“Kan baru selesai mandi sore Wan,” sahut Tante Martini sambil menggerakkan kursi rodanya menuju sofa - sofa putih yang berderet di sepanjang dinding dari taman menuju ruang peraduannya.

“Wan bisa minta tolong… kuncikan dulu pintunya. Soalnya tante mau membahas sesuatu yang sangat rahasia. Jangan sampai suster - suster itu ikut nguping,” kata Tante Martini sambil menunjuk ke arah pintu keluar yang sudah tertutup tapi belum dikunci.

Kuikuti permintaan Tante Martini itu, mengunci pintu yang ditunjuk itu, kemudian duduk di sofa yang berdampingan dengan kursi roda mamienya Anneke.

Lalu Tante Martini berkata perlahan, “Sebenarnya kedua kakiku ini sudah hampor normal. Mungkin tiga bulan lagi juga tente bisa berjalan lagi.”

“Tapi berdiri sudah bisa Tante?”

“Sudah. Tapi belum bisa lama - lama. Karena lutut tante masih lemas.”

Aku menyimak dan memperhatikan bentuk Tante Martini yang saat itu mengenakan kimono putih. Dia seorang wanita yang berkulit lebih gelap daripada Anneke. Katakanlah dia seorang wanita yang hitam manis, meski kulitnya tidak hitam juga.

Dan aku semakin penasaran, apa sebenarnya yang mau disampaikan padaku sehingga memintaku datang tanpa Anneke?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu