2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Setelah menenangkan diri sejenak, aku berkata, “Kita sudah telanjur jauh melangkah. Aku sendiri sudah telanjur suka kepada Euis dan Bu Mimin. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk menghentikan semuanya. Tapi Euis sebaiknya jangan bekerja di rumahku lagi. Biarlah nanti kucarikan pemecahannya. Yang jelas Euis itu kakakku.

Bu Mimin dan Euis terdiam. Seperti tidak mendengar kata - kataku yang sebenarnya cukup penting itu.

Maka aku pun berkata lagi, “Atau begini… Euis bekerja aja di kantorku. Tapi di kantorku ada peraturan tidak boleh ada dua orang karyawan yang ada hubungan darah. Jadi nanti di kantor Euis harus merahasiakan hubungan darah kita.”

“Itu lebih baik Den,” kata Bu Mimin.

“Bu Mimin dan Euis jangan manggil Den lagi padaku. Panggil namaku aja,” sahutku.

Lalu Euis berkata, “Boleh saya usulkan sesuatu?”

Aku menoleh ke arah Euis. Tampak sikapnya jadi rikuh sekali. Dan anehnya setelah mengetahui asal - usul mereka, aku bahkan semakin sayang kepada mereka.

Tanpa ragu kucium bibir Euis di depan ibunya, lalu bertanya, “Mau usul apa?”

Euis berkata canggung, “Begini mmm… Dek Wawan… ijazah saya kan cuma SMP. Bekerja di kantor Adek juga pasti sulit menyesuaikan diri. Bagaimana kalau saya usaha sendiri aja kecil - kecilan?”

“Mau usaha apa?” tanyaku.

“Usaha apa aja. Misalnya jualan kebutuhan sehari - hari.”

“Mau buka warung? Zaman sekarang usaha seperti itu tergerus oleh minimart yang sudah menjamur di mana - mana. Bagaimana kalau buka warung nasi aja di sini? Euis kan pinter masak. Bakat itu bisa dikembangkan. Siapa tau kelak bisa punya rumah makan besar.“

“Iya… itu jauh lebih baik Den… eh… Nak,” kata Bu Mimin.

Aku mengangguk - angguk kecil. Laluj memegang tangan Euis sambil berkata, “Untuk mencari resep masakan di zaman sekarang tidak sulit. Tinggal cari aja di internet, pakai handphone. mnanti kubelikan handphone yang bagus, supaya bisa browsing ya.”

“Iya Dek.”

“Sekarang aku mau tidur di sini ya. Tapi aku mau tidur sama Ceu Euis, ya Bu.”

“Iya silakan Den,” sahut Bu Mimin, “Itu pisang gorengnya kok gak disentuh sama sekali.”

“Kubawa aja ke kamar Euis ya,” sahutku sambil mengangkat piring pisang goreng dan kopinya yang sudah dingin.”

“Mau diganti kopinya sama yang panas Dek?” tanya Euis.

“Boleh.”

Euis bangkit dari sofa lalu melangkah ke dapur.

“Jadi ternyata Bu Mimin ini ibu tiriku ya?” ucapku sambil mengusap - usap lutut Bu Mimin.

“Iya. Bagusnya jangan manggil Bu Mimin lagi sama saya. Panggil ema aja Den. Biar sama seperti Euis,” sahut Bu Mimin.

Aku tersenyum. Lalu berbisik di dekat telinga wanita setengah baya itu, “Memek Ema sangat enak. Aku gak rela kalau hubungan kita diputuskan begitu aja.”

“Iya Nak… ema juga udah telanjur ketagihan sama punya Nak Wawan.”

“Tapi malam ini udah kenyang kan?”

“Udah Nak. Mungkin Euis yang belum kenyang sih. Kasihan dia… jatahnya diganggu sama ema.”

“Tapi malam ini sih gak mungkin. Aku cuma ingin nyobain aja tidur bersama Euis.”

Tak lama kemudian Euis muncul di ruang keluarga, dengan secangkir kopi panas. “Mau langsung dibawa ke kamar saya?” tanyanya.

“Iya Ceu Euis,” sahutku.

“Hihiiihiii… awalnya manggil Bibi, kemudian manggil nama… sekarang ditambah dengan Ceu…” ucap Euis sambil melangkah menuju kamarnya.

Aku pun bangkit dari sofa. Mencium bibir Ema disusul bisikanku, “Aku mau istirahat dulu ya Ema Sayang.”

“Iya silakan,” sahut Ema sambil tersenyum.

Kemudian aku melangkah ke arah kamar Euis.

Ketika aku masuk ke kamar Euis, kulihat dia sedang mengenakan daster weetlook kuning mudanya.

Sambil menutupkan kembali pintu kamar Euis sekaligus menguncinya, aku berkata, “Ngapain pakai daster? Kalau kita mau tidur bareng, mendingan sama - sama telanjang.”

“Kalau Dek Wawan perlu kan tinggal singkapin aja daster ini,” sahutnya sambil menyingkapkan dasternya. Ternyata ia tidak mengenakan celana dalam, sehingga memeknya langsung “nyengir” di depan mataku.

Aku ketawa kecil. Lalu duduk di atas satu - satunya sofa yang ada di dalam kamar Euis.

“Udah ngantuk?” tanyaku.

“Belum lagi. Tadi kan waktu Dek Wawan datang, saya lagi tidur. Lalu terbangun karena mendengar rintihan Ema. Kirain Ema lagi sakit. Gak taunya… hihihihiii…”

Kutarik pergelangan tangan Euis sampai terduduk di atas sepasang pahaku.

“Meski pun ternyata kita ini saudara seayah, aku tak rela kehilangan Ceu Euis dan Ema.”

“Sama… saya juga begitu.”

“Pakai aku aja deh, jangan pakai istilah saya lagi,” ucapku sambil merayapkan tangan ke balik daster Euis.

“Kok megang - megang memek lagi? Emangnya belum kenyang tadi?”

“Sama Ema udah kenyang. Sama Ceu Euis belum.”

“Di sana aja yuk,” ucap Euis sambil menunjuk ke bednya.

Aku melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sampai telanjang bulat.

Lalu aku naik ke atas bed. Menerkam Ceu Euis yang baru saja melepaskan dasternya, sehingga kami jadi sama - sama telanjang bulat.

“Dek Chepi kuat banget. Tadi kan udah habis - habisan sama Ema dan aku. Tapi sekarang udah tegang lagi nih penisnya,” kata Ceu Euis sambil memegang kontolku yang memang sudah ngaceng lagi ini.

“Aku kan masih muda. Duapuluhlima juga belum. Makanya masih kuat maen semalam dua atau tiga kali aja sih. Nanti kalau umurku sudah di atas empatpuluh, pasti staminaku akan menurun,” sahutku sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Ceu Euis.

Sesaat kemudian kontolku sudah membenam sepenuhnya di dalam liang memek Ceu Euis.

Lalu permainan surgawi ini pun dimulai.

Kontolku mulai maju mundur di dalam cengkraman liang memek Ceu Euis. Maju mundur maju mundur… blesssss… sssssretttttttt… blessss… ssssretttttt… blessssss… sretttt… blesssss… sretttt… blesssssssss… srettttttttt… blessss… sretttt…

Entah kenapa. Kali ini aku ingin habis - habisan menyetubuhi Ceu Euis, karena aku tidak rela kalau sampai kehilangan dia. Meski pun aku sudah tahu bahwa sebenarnya Ceu Euis itu kakak seayah berlainan ibu, aku akan tetap melanjutkan hubunganku dengannya. Begitu juga Ema Mimin yang memeknya gurih dan legit itu, harus tetap menjadi milikku…

Ceu Euis p[un mulai mendesah - desah disertai rintihannya yang seakan curhat padaku. “Aaaaaah… Deeeek… aaaaaaah… aaaaah… walau pun Dek Wawan ini adekku, aku tak mau kehilangan Dek Wawan… aaaah… aaaaah… aku… aku bahkan ingin mengandung anak Dek Wawan… hamili aku ya Deeek…

Mendengar ocehan Ceu Euis itu, aku jadi ragu. Kuatir juga kalau ia benar - benar hamil nanti.

Karena itu aku diam - diam mengintai… kalau Euis sudah orgasme, aku akan pura - pura ejakulasi, kemudian persetubuhan ini akan kuhentikan.

Cukup lama gejala akan orgasme itu terjadi. Lebih dari duapuluh menit aku mengentot Ceu Euis. Tapi dia malah asyik menggoyang pinggulnya mengikuti goyangan ibunya tadi.

Mungkin tadi Ceu Euis diam - diam menyimak cara - cara Ema meladeni entotanku. Dan kini Ceu Euis mempraktekkannya denganku. Pinggulnya meliuk - liuk dan memutar - mutar dengan lincahnya. Tapi memang Ceu Euis belum setrampil ibunya dalam hal goyang pinggul waktu sedang bersetubuh.

Bahkan akhirnya Ceu Euis ngos - ngosan melontarkan suara, “Dek Wawaaaan… aku mau lepas… ayo barengin Deeek… biar jadi anak… ayo Deeek… barengiiiin… !”

Lalu Ceu Euis berkelojotan. Pada saat yang sama kugenjot kontolku seedan mungkin. Dan ketika Ceu Euis mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin. Lalu aku mengejut - ngejutkan kontolku seolah - olah sedang ejakulasi.

Liang memek Ceu Euis pun berkedut - kedut kencang. Lalu ia terkapar lunglai. Ketika kucabut kontolku dari l, iang memek yang sudah becek itu, Ceu Euis membuka matanya.

“Barusan dibarfengin ya?” tanyanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan kepala doang. Lalu mengambil celana dalam dan celana pamnjangku. Dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi pribadi Ceu Euis.

Sebenarnya batang kemaluanku masih ngaceng berat, karena barusan aku hanya pura - pura ngecrot. Karena takut Ceu Euis benar - benar hamil nanti.

Di kamar mandi aku hanya membersihkan alat vitalku yang berlepotan lendir libido Ceu Euis. Kemudian kukenakan kembali celana dalam dan celana panjangku.

Agak lama aku berada di kamar mandi.

Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Ceu Euis sepertinya sudah tidur nyenyak. Tanpa mengenakan sehelai benang pun. Mungkin dia mengira aku ejakulasi di dalam memeknya tadi. Sehingga ia sengaja tidak bergerak - gerak, agar “sperma”ku terserap oleh rahimnya.

Aku malah mengambil baju kausku, kemudian keluar dari kamar Ceu Euis. Menuju pintu kamar Ema. Ternyata pintunya tidak dikunci. sehingga dengan mudah aku masuk ke dalam kamar ibunya Ceu Euis itu.

Apa lagi urusanku dengan Ema alias Bu Mimin itu?

Ini kontolku masih ngaceng, karena tadi cuma berpura - pura ejakulasi di dalam liang memek Ceu Euis. Inspirasi pun muncul di benakku.

Entot Ema lagi aja. Nanti spermaku akan kumuntahkan di dalam liang memek Ema…!

Kebetulan Ema sudah tertidur, dengan mengenakan kimono lagi.

Ketika kusingkapkan kimono itu, ternyata Ema tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Maka dengan hati - hati kuselundupkan jariku ke dalam liang memek Ema. Dan setelah tahu bahwa liang memeknya masih basah, aku pun menyelundupkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Ema…!

Ema terkaget - kaget setelah sadar bahwa aku sudah membenamkan kontolku ke liang memeknya lagi.

“Deeen… aiiih… Nak Wawaaan… kok balik lagi ke sini?” tanyanya setengah berbisik. Namun sorot wajahnya kelihatan ceria, pertanda hatinya senang.

“Iya… setelah tau Ema ini ibu tiriku, nafsuku malah semakin menjadi - jadi. Pengen ngentot Ema lagi, “kilahku.

“Begitu ya? Hihihihiii… ayo deh. Biar sampai pagi Nak Wawan akan ema ladeni.”

Maka begitulah… dengan gencar aku mulai mengentot Ema Mimin lagi.

Tapi ketika ia merintih - rintih lagi, cepat kusumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan. Karena takut suaranya bisa membangunkan Ceu Euis lagi…

Esok siangnya aku pulang ke rumahku. hari ini adalah hari Sabtu. Jadi aku tidak ngantor.

Setibanya di rumah, ketika aku mau memasukkan mobilku ke dalam garasi, kulihat ibuku sedang mengelus - elus sedan baruku, hadiah dari Bu Laila itu.

Aku pun menghampiri Ibu. Mencium tangan dan sepasang pipinya.

“Ini mobil barumu Wan?” tanya Ibu sambil mengusap - usap sedan hitamku.

“Iya Bu. Hadiah dari bossku,” sahutku.

“Kata Wati, ini mobil mahal sekali harganya. Kenapa bossmu ngasih hadiah mobil semahal ini?”

“Mungkin karena prestasi kerjaku bagus aja Bu.”

“Baik hati bossmu itu ya. Bossmu itu laki - laki apa perempuan?”

“Perempuan.”

“Owh… siapa namanya?”

“Laila Bu.”

“Laila? “Ibu mengerutkan dahinya, “Nama lengkapnya apa?”

“Kenapa nanya nama lengkapnya? Mau didoain sama Ibu agar dia makin baik padaku?”

“Nggak. Mau tau aja.”

“Nama lengkapnya Laila Qodrati Bu.”

“Haaa?! “Ibu tampak kaget, “Ayahmu juga punya adik seibu berlainan ayah, yang namanya Laila Qodrati. Tapi sudah lebih dari duapuluh tahun tak pernah datang ke sini lagi. Entah marah atau kenapa.”

“O, begitu? Ibu tau nama ayahnya Laila yang adik berlainan ayah dengan ayahku itu? Nanti akan kuperiksa dalam data di kantorku.”

“Nama ayahnya itu Yahya bin Syahroni. Kalau bapaknya ayah namanya Mahmud bin Syamsuddin.”

“Waduh… Ibu sampai hafal nama binnya segala ya.”

“Orang buta sih kalau udah inget sesuatu, akan inget selamanya.”

“Iya. Hari Senin lusa akan kucek di data yang ada di kantorku.”

“Iya Wan. Orang yang bernama Laila Qodrati mungkin banyak. Tapi siapa tau dia itu bibimu sendiri.”

“Iya Bu.”

“Seandainya pun bossmu itu memang adik ayah, diem - diem aja. Gak usah membukanya.”

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Takut mengganggu kariermu. Soalnya Laila itu gak mkau lagi nginjek rumah ini, entah kenapa. Mungkin dia marah atau malu punya saudara nikah sama perempuan buta.”

“Nanti aku periksa dulu datanya di kantor. Siapa tau Bu Laila bossku bukan adik almarhum Ayah.”

Biar bagaimana pembicaraan dengan Ibu itu membuat batinku tersentak kaget. Karena seandainya Bu Laila itu adi almarhum Ayah… bagaimana dengan kandungan yang berada di dalam perutnya itu?

Mungkin Ibu ada benarnya. Andai pun Bu Laila itu adik almarhum Ayah berlainan ayah, sebaiknya aku tidak membuka apa - apa di depan Bu Laila. Minimal aku harus menunggu sampai anakku yang berada di dalam perut Bu Laila itu lahir.

Tapi aku jadi tak sabaran. Aku harus mengetahuinya hari ini juga. Dan setelah melihat data di komputer kantor, seandainya pun Bu Laila memang adik almarhum Ayah… aku mau diam - diam saja.

Aku hanya masuk ke dalam rumah sebentar. Lalu cuci muka di washtafel kamar mandiku. Dan mengeluarkan lagi mobil lamaku.

Beberapa saat kemudian mobilku sudah kularikan menuju kantorku.

Dua orang satpam membuka pintu gerbang yang tertutup, karena hari Sabtu Minggu kantorku tutup.

Setelah turun dari mobilku, aku bergegas menuju lantai 5 dengan lift.

Kemudian aku masuk ke dalam ruang kerjaku dan langsung mengaktiokan PC yang meyimpan data - data semua orang yang memimpin dan bekerja di perusahaan ini.

Tentu saja nama Bu Laila ada di urutan paling atas.

Aku hanya membutuhkan nama ayahnya.

Setelah mengamati layar monitor, ada tulisan yang baru sekali ini kuperhatikan baik - baik. Bahwa nama lengkap boss sekaligus kekasihku itu adalah Laila Qodrati Yahya.

Berarti yang ibu katakan itu memang benar.

Bahwa Bu Laila itu adik almarhum Ayah…!

Lalu apa yang akan terjadi seandainya Bu Laila tahu siapa aku ini sebenarnya? Apakah dia akan membenciku. Karena seperti kata Ibu tadi, Bu Laila tak pernah lagi menginjak rumahku lebih dari duapuluh tahun?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu