2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Bab 15

Posisi doggy yang sedang kulakukan bersama adik kandung Ibu itu membuatku teringat kepada ibunya Euis yang sudah kubiasakan memanggilnya Ema itu.

Masalahnya, belum apa - apa Tante Ros berkata sambil menungging, “Spanking aja nanti ya.”

“Siap Tante… hihihiiii…”

Maka ketika sambil berlutut kuentot liang memek Tante Ros itu, aku tak sekadar berpegangan kepada bokongnya yang indah itu. Aku mulai melakukan spanking pada bokong indahnya. Kukemplangi dengan tamparan - tamparan keras sepasang buah pantat tanteku, sementara kontolku tewtap gencar mengentot liang memeknya…

Bunhyi tamparan - tamparan di sepasang buah pantat Tante Ros itu diiringi dengan bunyi unik yang ditimbulkan oleh gerakan kontolku di liang memeknya yang sudah basah tapi tidak becek itu. “Crekkkk… srttttt… creeeekkkk… stttttt… crokkk… srtttt… craaakkkkkkk… srttttt… creeeekkkkkkkk…

Terkadang aku merayapkan tanganku ke selangkangan Tante Ros. Lalu mencari - cari sesuatu. Mencari - cari itilnya…!

Dan setelah menyentuihnya, aku bisa mengentotnya sambil menggesek - gesekkan ujung jariku di kelentit Tante Ros…!

Karuan saja Tante Ros merengek - rengek keenakan. “Wawaaaaan… ooooohhhh… kamu luar biasa jagonya Waaaan… iyaaaaa… entot terus sambil elusin itilku Waaaaan… ini luar biasa Waaaan… fantastis dan sensasionaaaaallll… iyaaaaaa… iyaaaaaa…”

Namun dalam posisi doggy ini pula Tante Ros ambruk di puncak orgasmernya. Dengan tubuh bermandikan keringat.

Kemudian ia duduk sambil menyeka keringatnya dengan beberapa lembar kertas tissue basah. Lalu ia celentang lagi sambil berkata, “Kamu luar biasa Wan. Aku ingin hubungan kita tetap berjalan sampai kita sama - sama tua ya.”

Tante Ros celentang sambil merentangkan sepasang paha putih mulusnya lebar - lebar. “Iya Tante… aku pun akan selalu membutuhkan Tante…” sahutku sambil membenamkan lagi kontolku ke dalam liang memek Tante Ros yang sudah siap untuk melanjutkan persetubuhan ini sampai selesai.

“Diapain sih kontolmu Wan? Kok bisa kuat sekali…” ucap Tante Ros ketika aku sudah berhasil membenamkan kontolku sampai menyentuh dasar liang memeknya.

“Gak diapa - apain Tante. Udah dari sononya begini.”

“Aku langsung puas waktu orgasme pertama tadi. Orgasme kedua lebih puas lagi. Berarti ada kemungkinan mau orgasme lagi nih… berarti pertama kalinya dalam hidupku bisa orgasme dua kali. Apalagi kalau tiga kali… pasti lebih edan lagiiii… aaaah… edaaaaan… kontolmu iniiiiiii…

Ini semua membuat gairahku bangkit sejadi - jadinya. Bahkan gesekan antara kontolku dengan dinding liang memeknya, berkali - kali membuatku terpejam saking nikmatnya.

Tapi aku berusaha mengulur durasi ejakulasiku dengan membayangkan yang buruk - buruk dan menjengkelkan.

Tapi baru belasan menit aku mengentot Tante Ros dalam posisi missionary ini, tiba - tiba dia berkelojotan lagi. Sehingga konsentrasiku terpaksa dipusatkan lagi, agar bisa ejakulasi berbarengan dengan orgasme Tante Ros.

Maka kupercepat entotanku dan moncong kontolku terus - terusan menyundul dasar liang memek Tante Ros.

Akibatnya… lagi - lagi terjadi sesuatu yang teramat indah ini. Bahwa kami saling cengkram dengan kuatnya, saling remas dengan habatnya… bahwa ketika liang memek Tante Ros mengejut - ngejut, kontolku pun meronta - ronta sambil memuntahkan lendir pejuhku… croooottttttt… crooootttttt…

Lalu kami sama - sama terkapar dengan tubuh bermandikan keringat.

Tapi masih sempat kudengar suara Tante Ros membisiki telingaku, “Terima kasih Wan… kamu telah berhasil membangkitkan kembali semangat hidupku… dan aku jadi sayang sekali padamu…”

Sebagai jawaban, kupagut bibir Tante Ros. Lalu kami saling lumat selama beberapa detik.

“Punya kontol seperti gitu sih harus punya istri banyak. Pasti semuanya terpuasi,” kata Tante sambil menyeka memeknya dengan kertas tissue basah.

“Nggak Tante. Aku sih punya istri cukup satu orang saja. Tapi kalau kekasih rahasia kan bisa aja banyak - banyak.”

“Terus aku mau dijadikan kekasih rahasia yang keberapa?”

“Nomor satu Tante,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di pipi Tante Ros, “Karena Tante kan adik kandung Ibu.”

“Terima kasih ya Sayang. Dijadikan kekasih rahasiamu saja aku sudah senang rasanya.”

Setelah mandi bersama di kamar mandi hotel yang menyediakan bathtub segala itu, kami berpakaian kembali dan mengobrol di sofa yang agak jauh dari bed.

Di situlah Tante Ros menyerahkan selembar cek sambil berkata, “Ini untuk membayar pembelian rumahmu.”

“Nanti aja dibayarnya di depan notaris. Jual beli rumah kan harus ada akte jual belinya Tante.”

“Pegang dan cairkan aja dulu ceknya. Soalo akte dan sebagainya bisa diurus belakangan. Kita kan saudara dekat, bukan orang luar.”

Akhirnya kuterima cek itu setelah membaca nominal yang tertera di cek bank internasional itu. Dan kaget membacanya. “Tante… nominalnya kok lebih banyak dari harga rumah itu? Gak salah nih? kelebihannya sekitar duapuluh persen.”

“Kelebihannya sebagai tanda sayangnya aku padamu Wan. Udah… jangan sok menolak rejeki. Meski pun kamu sudah kaya raya, apa salahnya aku ngasih tanda sayang padamu?”

Esoknya, pagi - pagi sekali aku dan Tante Ros sudah berangkat menuju dealer mobil. Dealer yang menjual mobil SUVku itu.

Tidak sampai sejam Tante Ros sudah bisa membawa pulang sebuah sedan Jepang tapi cukup tinggi powernya. Sedan yang cukup gede silindernya, 3000 cc.

Tapi karena Tante Ros belum punya SIM Indonesia, dia tidak berani membawa mobil itu. Maka kutelepon Ramto, sopir perusahaan Tante Laila, untuk membawa mobil itu ke rumah baru Tante Ros. Sambil kuberi kunci rumah, teruitama untuk membuka pintu garasinya. Tentu saja kuberikan juga alamat lengkap rumah baru yang sudah dibayar oleh Tante Ros itu.

Tidak sampai sejam kami berada di dealer itu. Lalu kami lanjutkan menuju toko yang paling terkenal sangat lengkap menyediakan segala perabotan rumah, dari furniture, peralatan dapur dan apa pun yang biasa dipakai di rumah, ada di situ.

Toko besar yang menjual segala keperluan rumah tangga itu ada cabangnya di seluruh dunia. Bahkan di Nederland pun ada, kata Tante Ros.

Kebutuhan untuk sebuah rumah baru yang masih kosong memang banyak unak - aniknya. Sehingga Tante Ros membutuhkan waktu lebih dari tiga jam di toko itu. Karena dari mesin cuci, kulkas, microwave, kompor gas dan peralatan dapur lainnya, smeua dibeli dari situ. Sampai ke piring, cangkir, gelas, penggorengan, panci - panci dan sebagainya dibeli dari situ juga.

Lalu kami meninggalkan toko luas dan serba lengkap itu menuju hotel. Hanya untuk check out, karena Tante Ros ingin segera menempati rumah barunya.

Dari hotel bintang lima itu barulah kami menuju rumah baru Tante Ros. Sementara barang - barang yang dibeli dari toiko hardware itu akan segera dikirimkan ke rumah barfu Tante Ros.

Tapi kami sempatkan makan siang dulu di sebuah restoran, karena hotel hanya menyediakan breakfast tadi pagi, yang tidak mengenyangkan.

Setelah perut kami kenyang, barulah kami menuju rumah baru Tante Ros.

Ternyata sebuah truk berisi segala perabotan rumah yang baru dibeli tadi, sudah menunggu di depan rumah baru Tante Ros.

Setelah kami datang, pesuruh dari toko perabotan rumah itu dengan cekatan memasangkan semua barang yang kami beli. Jadi aku sudah bisa duduk di sofa putih yang masih 100% baru itu di ruang tamu. Sedangkan Tante Ros sibuk mengatur barang yang harus ditempatkan di posisinya masing - masing.

Aku tidak mau ikut campur mengatur letak barang - barang itu semua. Biarlah Tante Ros sendiri yang mengaturnya, karena semuanya harus nyaman untuk dirinya.

Setelah semuanya terpasang secara benar menurut Tante Ros, truk yang sudah kosong itu pun meninggalkan depan rumah baru ini.

“Aduuuh… capek sekali yaaa…” ucap Tante Ros sambil merebahkan diri di sofa yang berada di depanku.

“Perlu dipijitin nggak?”

“Hihihiiii… dipijitin sama kamu sih ujung - ujungnya pasti ke sini,” sahut Tante Ros sambil menepuk - nepuk ke bawah perutnya.

“Hahahahaaaaa… kirain mau lagi,” ucapku.

“Besok lagi aja. Hari ini aku ingin istirahat dulu. Sambil mikirin bisnis kita itu.”

Tiga hari kemudian, aku berangkat ke pabrik. Karena ada yang ingin kudiskusikan dengan sang Dirut, mengenai rencana pembelian saham oleh Tante Ros itu. Aku ingin mengorek pendapat direktur utama bernama Vita itu.

Ini kunjungan kedua kalinya ke pabrik yang sudah menjadi milikku ini. Tapi aku belum mengamati seluk beluk ruang kerjaku.

Dalam kunjungan kali ini aku mulai memperhatikan ruang kerjaku. Ruang kerja komisaris utama ini tampak serba antik furniturenya. Bahkan lukisan dan patung - patung yang dipajang di dinding dan di atas meja - meja kecilnya pun barang - barang seni rupa yang antik semua.

Pasti ini semua diatur oleh Tante Martini, sesuai dengan bentuk rumah besarnya yang di Jakarta itu pun berbentuk antik dan kokoh. Tidak terbawa arus minimalis.

Setibanya di ruang kerja, kupanggil Bu Vita agar menghadap padaku, lewat interphone yang ada di meja kerjaku. Meja yang terbuat dari kayu jati zaman kolonial dahulu.

Tadinya aku tak punya perhatian sedikit pun kepada Bu Vita yang menjabat dirut di pabrik ini. Bahkan sepintas lalu kupikir dia itu wanita setengah baya yang biasa - biasa saja. Tapi pada waktu dia menghadap ke ruang kerjaku sebagai komisaris utama perusahaan hibah dari Tante Martini ini, aku mulai serius memperhatikan bentuk dirutku itu.

“Barangkali lebih enak kupanggil Bu Vita dengan panggilan Mbak aja ya. Karena panggilan Ibu terkesan tua, sedangkan Mbak kan masih muda,” kataku membuka pembicaraan.

“Saya memang sudah tua Boss. Setahun lagi juga usia saya empatpuluh tahun,” sahutnya sambil menunduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku.

“Berarti usia Mbak sekarang baru tigapuluhsembilan kan?”

“Betul Boss.”

“Tigapuluh sembilan sih masih muda Mbak. Masih bisa hamil dan melahirkan.”

“Iii… iya Boss,” sahutnya sambil tersenyum. Hmmm… senyum itu… membangkitkan gairahku. Gairah nakal seorang lelaki muda yang ingin memanfaatkan masa mudanya dengan bertualang terus dari atas perut yang satu ke atas perut yang lain. Terutama dengan wanita setengah baya seperti dia itu…!

“Jadi gak apa kalau aku panggil Mbak kan? Biar hubungan kita lebih cair, jangan terlalu kaku.”

“Iya silakan mau panggil saya apa. Manggil nama langsung juga silakan.”

“Nggak. Aku merasa lebih nyaman dengan memanggil Mbak. Walau pun aku tau bahwa kita sama - sama bukan orang Jawa.”

“Hehehe… iya Boss.”

“Begini… sebenarnya ada dua hal penting yang mau kusampaikan kepada Mbak. Yang pertama, ada familiku yang akan bergabung dengan kita. Dia siap untuk melepas dananya yang jumlahnya hampir limapuluh persen dari nilai asset pabrik ini secara keseluruhan. Aku ingin minta pendapat Mbak, mana yang lebih baik…

Mbak Vita menatapku sekilas. Lalu tertunduk, sepertinya sedang berpikir. Lalu berkata, “Mungkin lebih positif dana itu dimasukkan saja sebagai penambahan modal, Boss.”

“Apa alasannya?” tanyaku.

“Kita masih kekurangan ruang produksi Boss. Kalau modalnya ditambahin, bisa bangun ruang produksi yang baru. Sehingga dengan sendirinya produksi kita semakin besar Boss. Tapi itu hanya usul saya aja. Boss tentu lebih tau mana yang terbaik untuk kemajuan perusahaan.”

“Seandainya usul itu kusetujui, mau bangun berapa ruang produksi baru nanti?” tanyaku.

“Di belakang kan ada tanah yang masih kosong seluas satu setengah hektar. Itu cukup untuk dibangun lima ruang produksi baru Boss. Sangat sesuai dengan kebutuhan pasar.”

Kemudian Mbak Vita menjelaskan beberapa jenis barang yang dibutuhkan oleh market, tapi belum bisa diproduksi di pabrik ini. Dengan ada tambahan 5 ruang produksi, kebutuhan market itu akan tersedia.

Setelah memikirkan semuanya itu sejenak, akhirnya aku menyetujui usul Mbak Vita itu. Maka aku pindah ke sofa yang sedang diduduki oleh Mbak Vita. Duduk di samping kanannya. Dan menjabat tangannya sebagai tanda sepakat. “Oke… kita laksanakan usul Mbak itu. Mudah - mudahan sesuai dengan harapan kita semua nantinya,” kataku.

Tapi tangan yang kujabat itu tidak cepat - cepat kulepaskan. “Ada satu point lagi yang belum kusampaikan Mbak.”

“Siap Boss, saya akan mendengarkannya dengan seksama.”

“Pointnya simple sekali kedengarannya. Bahwa aku ingin agar kita melakukan sesuatu, agar hubungan kita semakin akrab.”

“Melakukan apa Boss?” tanyanya seperti bingung, sementara tangan halus dan hangatnya belum juga kulepaskan.

“Aku ingin dekat dengan Mbak. Karena itu, bagaimana kalau kita refreshing nanti malam di villa yang tidak terlalu jauh dari kota ini?”

Mbak Vita membetulkan letak kacamata dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya masih kugenggam. “Saya punya suami Boss. Saya tidak bisa keluar malam - malam begitu saja. Harus ada alasan yang tepat.”

“Yah… aku hanya usul. Supaya hubungan kita semakin dekat dan kompak. Kalau Mbak keberatan, aku juga takkan maksa.”

“Mmm… Boss mau itu kan?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Itu apa?”

“Yang biasa dilakukan oleh suami - istri,” sahutnya.

“Jujur aja… iya. Tapi aku belum punya istri Mbak.”

Mbak Vita terdiam sesaat. Dan tetap membiarkan tangan kanannya berada dalam genggamanku. “Boss… saya akan permudah aja. Nggak usah jauh - jauh. Kalau Boss benar - benar mau sama saya yang sudah tua ini, lakukan di sini aja sekarang. Mumpung saya lagi gak banyak kerjaan.“

Aku terkejut girang mendengar ucapannya itu. Maka kulingkarkan lenganku di pinggangnya sambil membisikinya, “Aku ini penggila wanita setengah baya Mbak.”

Sambil tersenyum ia menyahut, “Saya tidak pernah menyeleweng dari suami Boss. Tapi kali ini saya akan pasrah kepada Boss.”

“Kenapa denganku bisa mau?”

“Pertama, karena Boss atasan saya. Kedua, karena Boss terlalu ganteng dan sangat muda belia… sehingga saya pun jadi penasaran juga… seperti apa rasanya jika saya berselingkuh dengan Boss…” sahutnya sambil membetulkan letak kacamatanya. Saat ini dia masuk ke dalam ruang kerjaku tidak mengenakan blazer merah lagi.

Hanya kemeja abu - abu pastel dan rok mini merah yang dikenakannya. Rok yang warna dan bahannya disamakan dengan blazernya. Last but not least, ia mengenakan stocking putih. “Tapi yang terutama, saya ingin agar hubungan saya dengan boss sebagai komisaris utama, ingin berjalan secara profesional tapi akrab…

Mbak Vita berbicara seperti itu pada saat tanganku sudah merayap ke balik rok mini merahnya. Untuk merayapi pahanya yang putih mulus dan licin sekali… sampai ke pangkalnya. Tapi setelah menyentuh celana dalamnya, aku berkata, “Mbak… semua ini membuatku kaget. Karena Mbak begitu cepat menanggapi hasratku.

“Action di ruang kerja Boss ini?” tanyanya sambil berdiri dan tersenyum.

“Iya. Beraksilah seperti seorang stripteaser yang sedang beraksi di atas panggung. Bebas aja… tak usah sungkan - sungkan.”

“Maaf pintunya akan saya kunci dulu Boss,” ucapnya sambil melangkah ke pintu keluar dari ruang kerjaku.

Ketika kembali lagi ke depan mataku, Mbak Vita menggantungkan sesuatu di telunjuknya. Menggantungkan… celana dalamnya! Ternyata barusan waktu menguncikan pintu, ia menyempatkan diri untuk melepaskan celana dalamnya.

Hal itu membuatku tercengang. Bukan cuma tercengang, si johni pun mulai bangun. Karena membayangkan sesuatu yang tadinya ditutupi celana dalam itu…!

Lalu tanpa ragu Mbak Vita meletakkan kakinya di atas meja tulis jati antik itu, sehingga aku bisa menyaksikan kemaluannya…! Tak cuma iktu. Ia pun duduk di pinggiran meja sambil mengangkat rok merahnya, sehingga bentuk memeknya semakin jelas di mataku. Sebentuk memek yang bersih dari jembut…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu