2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 16

Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan berputar terus. Tiada yang bisa menghentikannya.

Tanpa terasa setahun telah berlalu. Suasana memang sudah banyak yang berubah.

Pabrikku, hibah dari Tante Martini itu berkembang dengan sangat pesatnya. Karena Mbak Vita memang bisa diandalkan. Dia bisa mencerna konsep - konsep baruku, kemudian dilaksanakannya dengan baik.

Sementara itu, Wati sudah menikah dengan seorang pengusaha yang lumayan mapan, meski usianya sudah 40 tahunan, 15 tahun lebih tua daripada Wati.

Aku ikut bahagia mendengar curhatan Wati. Bahwa lelaki itu mau menerima Wati apa adanya, termasuk tentang keperawanannya yang sudah tiada.

Dengan sendirinya Wati diboyong oleh suaminya, sehingga Ibu jadi sendirian di rumah. Tapi untungnya ada saudara sepupu Ibu yang hidup menjanda dan bersedia tinggal di rumahku. Untuk menemani dan meladeni kebutuhan Ibu sehari - hari. Tentu saja aku memberikan gaji tiap bulan pada Bi Elin, demikian aku memanggilnya karena ia kurang ngepas kalau dipanggil Tante (maklum dia orang kampung, meski statusnya adik sepupu Ibu).

Lalu apakah aku sendiri merasa birahiku sudah mantap dan fokus terhadap Anneke seorang?

Inilah masalahnya. Setiap kali dekat dengan perempuan setengah baya, selalu saja hasrat birahiku datang menggodaku.

Memang aku selalu berusaha untuk menindasnya dengan caraku sendiri.

Tapi pada suatu malam… ketika aku sedang berada di rumahku, tampak galon air mineral di dispenser kamarku sudah habis. Padahal aku haus sekali. Setahuku di dapur ada dispenser juga. Dalam keadaan cuma bercelana training tanpa baju, aku keluar untuk mengambil segelas air mineral untuk pelenyap dahagaku.

Sebelum tiba di dapur, aku melewati ruangan cucian yang sudah bersih dan meja setrikaan. Saat itulah aku melihat sesuatu yang luar biasa. Bahwa Bi Elin sedang menyetrika sambil berdiri menghadap mejatulis lamaku yang sudah dijadikan meja setrikaan, dengan mengenakan gaun rumah yang ke atasnya berwarna pink dengan polka dot putih, sementara ke bawahnya rok mini berwarna pink polos.

Gaun tank top itu menyatu bagian atas dengan rok mininya. Yang membuatku terbengong agak jauh di belakangnya, adalah betapa tipisnya pakaian yang ia kenakan itu, sehingga dari jauh pun kelihatan bentuk bokong indahnya dari balik rok mini transparant itu. Sehingga aku terlongong di belakangnya. Lalu aku mendekati adik sepupu Ibu yang berbadan putih mulus dan berusia 28 tahunan itu.

Bi Elin sedang menyetrika sambil mendengarkan musik lewat ponsel dan earphonenya.

Dan semakin jelas saja bokong indah Bi Elin yang terbayang dari luar rok mini pinknya itu. Tapi dia belum sadar juga bahwa aku sudah berada di belakangnya. Dan ingin meyakinkan, benarkah ia tidak bercelana dalam? Karena itu aku berjongkok sambil menengok ke dalam rok mini itu. Maaak… dia memang tidak mengenakan celana dalam.

Kalau memperturutkan kata hati, ingin langsung kupagut memek yang sedang berada di atas wajahku itu, karena aku jadi menelentang dengan wajah menghadap ke arah sepasang kaki dan yang berada di antara sepasang pangkal paha putih itu.

Tapi aku takut hal seperti itu akan membuatnya terlalu kaget. Karena itu aku berdiri lagi di belakang Bi Elin yang tetap asyik mendengarkan musik lewat handsfree ponselnya.

Setelah berdiri di belakangnya, langsung kusergap pinggangnya sambil menciumi tengkuknya. Hal itu pun membuatnya sangat terkejut. Dicabutnya earphone dari telinganya, lalu menoleh dengan mata terbelalak, “Aduuuh Wawan… kok bikin kaget aku aja sih?”

“Cuma mau nanya kenapa belum tidur Bi?”

“Ini nyelesaikan setrikaan udah numpuk dari kemaren.”

“Terus kenapa Bi Elin nggak pakai celana dalem?” tanyaku perlahan, dengan tangan langsung menyelinap ke balik rok mininya dan langsung memegang memeknya yang berjembut sedikit dan jarang sekali.

“Celana dalamku dicuci semua, gak ada yang bersih satu pun. Waaan… jangan megang - megang memek dong… Waaan…” ucapnya setengah berbisik. Mungkin takut kalau Ibu terbangun mendengar suaranya kalau terlalu keras.

“Bi… aku kan masih bujangan. Wajar kalau aku menganggap memek ini sebagai sesuatu yang sangat menggiurkan…” sahutku sambil menyelinapkan jariku ke celah memeknya.

“Tapi Wan… ooooh… kamu nakal Wan… kalau udah dipegang - pegang memek gini, aku jadi langsung kepengen… ooooh… Waaaaan… oooooh… “rintih Bi Elin dengan suara seperti berbisik terus.

“Ayo kita lakukan di kamarku ya Bi,” ajakku sambil menarik pergelangan tangannya.

“Iii… iyaaa… tapi aku mau pipis dulu ya,” ucapnya.

“Ayolah… di kamarku kan ada kamar mandinya. Di sana aja pipisnya,” ucapku sambil menarik pergelangan tangannya sambil melangkah ke kamarku.

Tak terdengar lagi suara Bi Elin, karena mau melewati pintu kamar Ibu. Kemudian kami membelik ke kanan, menuju pintu kamarku.

Setelah berada di dalam kamarku yang pintunya sudah ditutup dan dikuncikan, barulah Bi Elin berani berbicara, “Ini beneran mau ngemplud Wan?”

“Iya bibiku sayaang… aku udah gak tahan melihat Bibi yang manis dan menggiurkan ini,” sahutku sambil melingkarkan lenganku di pinggangnya. Lalu mengecup bibirnya tanpa keraguan lagi.

Bi Elin memejamkan matanya. Kemudian berkata sambil melepaskan dekapanku, “Mau pipis dulu ya. Takut ngompol di tengah jalan nanti…”

Aku mengangguk. “Cuci memeknya yang bersih pakai sabun ya.”

Bi Elin mengangguk sambil tersenyum manis.

Setelah Bi Elin masuk ke kamar mandi, barulah aku sadar bahwa tadi aku keluar dari kamar karena haus dan mau mengambil air minum dari dispencer dapur. Dan sekarang masih haus. Tapi malas keluar lagi. Karena itu kuambil saja sebotol softdrink dari kulkas. Dan menikmati softdrink itu sambil menunggu Bi Elin di kamar mandi.

Tak lama kemudian Bi Elin muncul kembali dari ambang pintu kamar mandi. Sambil tersenyum - senyum padaku.

“Rasa ngimpi keponakan yang ganteng ini kok mau sama aku,” ucapnya sambil melepaskan gaun tipis transparan itu. Dan jadi langsung telanjang, karena di balik gaun tipis itu tiada apa - apa lagi selain tubuh langsingnya yang putih mulus. Memang keluarga dari pihak Ibu hampir semuanya berkulit putih mulus.

Melihat Bi Elin sudah telanjang, aku pun melepaskan celana trainingku, sebagai satu - satunya benda yang melekat di tubuhku.

Bi Elin terlongong setelah menyaksikan bentuk alat vitalku. “Wan… kontolmu gede banget… panjang pula…” ucapnya sambil memegang batang kemaluanku dengan tangan terasa agak gemetaran.

“Emangnya kontol mantan suami Bi Elin segede apa?” tanyaku.

“Gak inget lagi. Aku cuma satu kali digauli sama dia. Terus kami cerai. Karena kami tidak saling mencintai.”

“Kok bisa?”

“Kami kawin gara - gara digerebek warga. Karena di kampung gak biasa ada cowok bertamu malam - malam. Padahal cowok itu bukan pacarku.”

“Terus?”

“Perkawinan kami hanya berjalan seminggu. Lalu bercerai.”

“Dan Bibi cuma merasakan digauli satu kali aja?”

“Iya. Lalu aku jadi TKW di Hongkong.”

“Di Hongkong sih pasti punya pacar kan?”

“Boro - boro punya pacar. Tugasku cuma ngurusin seorang nenek - nenek. Diem di rumah terus, berdua sama si nenek itu. Makanya cuma setahun aku kerja di Hongkong. Lalu pulang. Pokoknya aku tidak pernah nemu cowok yang cocok. Jadi… sekarang ini bakal jadi pengalaman keduaku Wan.”

Baru sekali ini aku mendengar latar belakang kehidupan Bi Elin. Tadinya aku hanya tahu bahwa dia seorang janda, yang masih lumayan muda. Cuma itu saja yang aku tahu. Ternyata seperti itu latar belakang kehidupannya.

“Sama aku sih santai aja Bi,” ucapku sambil meraihnya ke atas bed.

Bi Elin pun tersenyum - senyum sambil celentang di atas bedku.

Lalu kuhimpit tubuh telanjang yang mulus dan terasa hangat ini. Dengan gairah yang luar biasa bergejolaknya. Maklum sudah lebih dari seminggu aku tidak bersetubuh. Karena tenggelam dalam kesibukan di pabrik.

Dengan sepenuh gairah aku pun mulai dengan mencium bibir Bi Elin yang tipis merekah itu. Kemudian menurun ke toketnya yang tidak besar tapi kecil pun tidak. Kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku meremas toket kanannya.

Tubuh Bi Elin pun mulai menghangat. Lalu aku melorot turun, sampai wajahku berhadapan dengan memeknya yang berbulu jarang sekali. Itu pun hanya tumbuh di atas kemaluannya.

“Jembutnya jarang ya,” ucap Bi Elin.

“Gak apa. Zaman sekarang malah banyak yang mencukur memeknya sampai gundul,” sahutku.

“Aku sih belum pernah nyukur jembut. Seperti ini aja adanya sejak dahulu. Oooh… mau diapain Wan?” tanyanya ketika aku mulai menciumi memeknya.

“Santai aja Bi. Aku mau jilatin memek Bibi. Makanya tadi kuminta dicuci pakai sabun, biar jangan bau.”

“Hihihi… memekku gak bau Wan. Aku sih keputihan aja gak pernah. DIjamin bersih memekku sih. Kan seumur hidup baru dipakai satu kali.”

“Iya,” sahutku memperhatikan memek Bi Eli yang tertutup rapat. Lalu kungangakanj, sampai bagian dalamnya yang berwarna merah jambu itu tampak jelas. Memang tiada bau yang kurang sedap. Bahkan tercium harum sabun mandiku. Pasti tadi dia benar - benar mencuci memeknya dengan sabun.

Aku pun mulai menjilati memeknya, terutama bagian dalamnya yang berwarna pink dan mengkilap itu. Langsung terdengar suara Bi Elin, “Waaan… ooooohhhh… ini pertama kalinya memekku dijilatin Waaan… ooooohhhh… ternyata geli - geli enak gini yaaa… oooooohhhh… Waaaaan…”

Mendengar rintihan Bi Elin itu, aku semakin bersemangat menjilati memeknya. Bahkan kemudian kufokuskan untuk menjilati kelentitnya yang muncul sebesar kacang kedelai, mengkilap dan tegang.

Jilatan dan isapanku di kelentitnya, membuat Bi Elin mulai gedebak - gedebuk dan terkejang - kejang. Rintihan - rintihannya pun semakin menjadi - jadi, tapi terasa ditahan agar suaranya jangan sampai terdengar oleh Ibu.

“Waaaaan… ooooohhhh… Waaaaan… jilatin itilku teruuussss… ini lebih enak lagi Waaaan… sampai merinding - rinding nih aku Waaaaan… jilatin terus itilku… iyaaaa… itilku Waaaan… itiiiillll…”

Dan ketika terasa bahwa bagian dalam memek Bi Elin sudah cukup basah, aku pun membenamkan kotolku ke dalam liang memeknya, sambil menghempaskan dadaku ke sepasang toketnya yang masih lumayan kencang.

Irama birahi pun mulai berkumandang di telinga batinku.

Kontolku sudah mulai “mondar - mandir” di dalam jepitan liang memek Bi Elin yang ternyata luar biasa sempitnya. Sehingga liang sanggamanya itu terasa sekali bergerinjal - gerinjal seperti telur ayam yang masih berada di dalkam perut induknya. Ini sangat terasa nikmatnya.

Aku pun percaya bahwa dia baru kedua kalinya ini disetubuhi oleh lelaki. Karena dengan suaminya hanya satu kali digauli, kemudian bercerai seminggu kemudian. Berarti dia hanya memberikan keperawanannya saja kepada lelaki itu, kemudian bercerai.

Bi Elin makin lama makin mendesah dan merintih, tapi tetap suaranya tertahan - tahan. Pasti dia takut kalau suaranya terdengar oleh Ibu. “Ooooo… ooooo… oooooh… Waaaaan… ternyata dientot sama kontol ini enak sekali rasanya Waaaaan… ini luar biasa nikmatnya Waaaan… oooooh… ooooooohhhhhh…

“Memek Bi Elin juga luar biasa enaknya. Seperti memek gadis belasan tahun, sempit sekali rasanya. Asalkan Bi Elin kerasan di sini, nanti dua atau tiga hari sekali kuentot deh…” sahutku sambil melambatkan entotanku.

“Aku… aku pas.. pasti kerasan di sini Waaan… kontol Wawan yang bikin aku kerasan di sini… oooohhh… enak Wan… enaaaaak… entot terus Waaan… ini luar biasa enaknya… ooooohhhhh… Waaaan…”

Bi Elin seperti sudah lupa segalanya. Apalagi setelah mulutku nyungsep di lehernya, untuk m, enjilati leherjenjangnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil… semakin lupa daratan jugalah adik sepupu Ibu itu dibuatnya.

Bahkan seperti yang pernah kuperlakukan kepada wanita setengah baya lain, pada suatu saat kujilati dan kugigit - gigit ketiaknya yang bersih dari bulu ketek… aroma keringatnya tercium olehku… tapi aku malah semakin bernafsu untuk menjilati ketiaknya itu… sementara kontolku semakin gencar mengentot liang memek sempitnya.

Aku pun melengkapinya. Ketika entotanku makin gencar sementara mulutku sedang nyungsep di ketiaknya, tangan kiriku masih bisa beraksi untuk meremas - remas toket kanan bibiku.

Akibatnya… Bi Elin mulai berkelojotan. Aku pun tak mau terlalu lama menyetubuhinya. Maka kupercepat entotanku, seperti pelari yang sedang sprint di depan garis finish.

Lalu ia menggeliat dan mengejang, dengan perut sedikit terangkat ke atas.

Sesuatu yang terindah pun terjadi. Bahwa kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Kami saling cengkram dan saling remas dengan kuatnya, seolah ingin saling meremukkan tulang. Kami sama - sama menahan nafas. Dan liang memek Bi Elin berkedut - kedut kencang, sementara kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir pejuhku.

Crooootttt… croooottttttt… crotttt… crotttt… croooottttt… croooot… crooootttt…!

Lalu kami terkapar dengan tubuh sama - sama bermandikan keringat. Sesaat kemudian aku menggulingkan badanku ke samping, sehingga jadi celentang di sisi kanan Bi Elin.

“Terimakasih Wan… aku baru nyadar, ternyata disetubuhi itu nikmat sekali ya. Dahulu sih cuman sakit aja yang ada. Makanya aku jadi trauma, takut sakit seperti dahulu lagi. Ohya… nanti kalau aku hamil gimana Wan?” tanyanya.

“Jangan takut,” sahutku sambil turun dari bed. Melangkah ke arah lemari obat. Dan mengeluarkan dua strip pil kontrasepsi. Lalu menyerahkannya kepada Bi Elin. “Ini obat antki hamil. Baca aja aturan pakainya.”

“Iya, terima kasih Wan.”

Maka sejak malam itu Bi Elin jadi sosok untuk dijadikan tempat penyaluran nafsu birahiku. Aku pun jadi sering memberinya uang, agar ia tidak kekurangan untuk menutupi segala kebutuhan pribadinya.

Petualanganku dengan Bi Elin hanya salah satu sudut dari sekian banyak petualangan seksualku.

Aku memang sudah bertekad, istri resmiku cukup seorang saja. Tapi aku ingin punya koleksi sebanyak mungkin.

Karena itu hubunganku dengan perempuan - perempuan yang telah menjadi koleksiku itu tetap terjalin dengan baik.

Tantre Laila, misalnya, tetap kusayangi dan kuhormati. Dia bukan sekadar pelabuhan kapal birahiku. Tapi juga sebagai wanita yang telah menaikkan derajatku. Dia seolah menjadi penyebabku From Zero to Hero. Lebih dari itu semua, dia sudah mengandung dan melahirkan anakku.

Tante Laila pun menepati janjinya. Tiga bulan setelah melahirkan, dia minta agar aku mengantarkannya ke rumah, untuk menjumpai ibuku.

Lalu detik -detik mengharukan itu pun terjadi. Bahwa Tante Laila minta maaf kepada Ibu, karena selama ini seolah menelantarkan Ibu. Lalu dia menceritakan alasan kenapa dia tidak berani menginjak rumahku sekian lamanya itu, karena di telinganya terngiang - ngiang terus ucapan Ayah almarhum, yang melarangnya menginjak lagi rumah Ayah.

Dijelaskan pula oleh Tante Laila, bahwa saat itu ayahku marah, karena meminjam duit pada Tante Laila tidak dikasih. Dijelaskan pula, bahwa saat itu Tante Laila tahu bahwa Ayah akan mengawini seorang gadis muda bernama Atikah. Padahal saat itu Ayah sudah punya istri tiga orang, kata Tante Laila.

Aku sudah mendengar masalah itu dari mulut Tante Laila. Bahwa istri almarhum Ayah ada 4 orang. Itu tidak termasuk Bu Mimin yang belakangan terbiasa kupanggil Ema saja. Yang disebut keempat istri Ayah selain Ibu, adalah wanita - wanita bernama Maryati, Siti Nafsiah dan Atikah.

Tante Laila pernah menganjurkanku untuk menemui istri - istri Ayah itu, karena dari mereka lahir saudara - saudara seayah denganku.

Tapi aku belum memikirkan hal itu. Kalau pun ingin mencari saudara, tentunya saudara seayah dan seibu saja yang harus kucari, yaitu Nova itu.

Sebelum pulang, Tante Laila memberi uang yang banyak sekali buat Ibu. Kemudian Tante Laila menciumi pipi Ibu dan pamitan pulang. Kulihat Ibu pun menangis. Mungkin karena merasa terharu dengan kunjungan Tante Laila yang tidak disangkanya sama sekali.

Sang Waktu pun berputar terus.

Lalu terjadi sesuatu yang sangat menggembirakanku. Bahwa Tante Martini sudah bisa berjalan seperti orang normal. Berkat ketekunannya menjalani therapi sekian lamanya, akhirnya ia bisa berjalan lagi tanpa harus ditopang oleh alat apa pun.

Tante Martini mengaku bahwa semuanya itu berkat semangat hidupnya yang menyala - nyala lagi setelah sering kugauli. Hal yang sama pernah kudengar dari mulut Tante Ros.

Jadi sebegitu pentingkah sosok lelaki bagi seorang wanita yang sudah menjanda?

Entahlah.

Yang jelas pada suatu hari, Tante Martini menghubungiku lewat ponsel. Beliau memintaku agar datang ke Jakarta, karena ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan, katanya.

Aku memang selalu patuh kepada calon mertuaku yang punya hubungan rahasia denganku itu. Terlebih kalau mengingat kebaikannya yang takkan mungkin kulupakan sampai kapan pun.

Setibanya di rumah Tante Martini, di Jakarta, aku langsung menjumpainya di ruang keluarga. Seperti biasa, kedatanganku senantiasa disambut dengan senyum manis dan ciuman hangat di bibirku.

Seperti biasa, setiap kali aku datang, Tante Martini mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Di situlah ia menelanjangi dirinya dan seperti biasa dia memintaku untuk menyetubuhinya.

Tante Martini yang selalu menganggap kontolku sebagai therapi paling manjur bagi batinnya.

Setelah bersetubuh, Tante Martini mengenakan kembali gaun rumahnya yang putih bersih. Lalu mengajakku duduk di sofa yang dekat dengan kolam ikan koi itu.

“Sebenarnya tante mau menyampaikan berita duka sekaligus bisa dijadikan berita gembira bagimu,” kata Tante Martini sebagai awal penuturan yang da anggap sangat penting bagiku.

“Pertama… kabar tentang bangkrutnya usaha Pak Hasyim yang mengadopsi adikmu itu. Semua harta bendanya disita oleh bank tanpa ampun. Termasuk rumah dan semua kendaraan bermotornya, “lanjut Tante Martini.

“Lalu bagaimana dengan nasib Nova Tante?” tanyaku tak sabaran, ingin tahu nasib adikku yang belum pernah kulihat bentuknya itu.

“Sebentar… tante mau lanjutkan dulu beritanya. Pak Hasyim dalam stressnya mendapat serangan jantung dan meninggal dunia sebulan yang lalu. Istrinya sampai nangis - nangis dan minta pertolongan sama tante. Terutama mengenai Nova itu. Lalu tante ceritakan mengenai dirimu yang sudah sukses dan menjadi pengusaha besar.

“Jadi… adikku sudah tau kalau dia bukan anak kandung Pak Hasyim?” tanyaku.

“Sudah. Dia ada di sini sekarang.”

“Haaa? Mana dia sekarang Tante?”

“Sebentar dulu… kejadian yang menimpa Pak Hasyim itu harus dijadikan peringatan bagi kita. Jangan sampai kita mengalami hal seperti itu… ilmunya sih sederhana… dalam mengelola perusahaan, jangan lebih besar pasak daripada tiang. Itu aja.”

“Sampai saat ini semua perusahaan yang kuurus selalu sehat Tante. Aku hanya berurusan dengan bank, hanya untuk menyimpan dana. Bukan untuk berhutang. Karena kata para ahli, bank itu laksana meminjamkan payung di musim kemarau, tapi payung itu akan diambil di musim hujan.”

“Syukurlah kalau Wawan sudah punya prinsip seperti itu. Sepintas lalu bank itu menyenangkan. Padahal kalau kita lepas kontrol, bisa menjadi sumber bencana,” ucap Tante Martini, “Terus hubunganmu dengan Anneke bagaimana? Tetap berjalan mulus kan?”

Tante Martini memang sudah mengetahui bahwa aku punya hubungan cinta dengan Anneke. Kebetulan Tante Martini mendukung, tetapi memintaku dengan sangat, agar hubungan rahasiaku dengannya tetap berjalan sampai kapan pun. Dan aku sudah menyetujuinya, karena (sekali lagi) aku ini penggila wanita setengah baya.

Kemudian Tante Martini mengajakku ke pavilyun. Sebelum keluar dari kamarnya, Tante Martini sempat membisiki telingaku, “Awas… di depan Nova dan ibu adopsinya jangan memperlihatkan sikap yang aneh - aneh. Bersikaplah sebagaimana lazimnya seorang calon menantu kepada calon mertuanya ya.”

“Siap Tante. Jangan takut soal itu sih. Jangankan pada mereka, sedangkan kepada Anneke saja sampai detik ini masih kurahasiakan.”

Kemudian kami keluar dari kamar Tante Martini, menuju pavilyun yang letaknya bersebelahan dengan garasi.

Tante Martini pun berseru dari ambang pintu pavilyun yang sudah dibukanya, “Mbak Haya! Ini abangnya Nova sudah datang… !”

Lalu dari dalam pavilyun muncul wanita setengah baya yang kira - kira seumuran dengan Tante Martini. Dengan ramah ia menyapaku, “Ooooh… ini anaknya Pak Jaelani almarum?”

“Betul Tante,” sahutku sambil menjabat tangannya dengan sopan dan menyebutkan namaku.

Dia juga menyebutkan namanya, “Haya…”

Lalu Tante Haya berseru ke dalam, “Nova Sayang… ini abangmu sudah datang… !”

Lalu muncullah seorang cewek berperawakan tinggi sekali (buat ukuran cewek), berkulit putih bersih sampai mirip cewek bule. Namun wajahnya ada kemiripan dengan wajah Wati. Pasti itulah Nova, adik kandungku. Adik seayah dan seibuku.

“Nova?” tanyaku waktu dia sudah berdiri di depanku.

“Iya, “dia mengangguk dengan pandangan datar, “Ini Bang Wawan?”

“Betgul, kataku sambil membiarkan dia mencium tanganku. Lalu kupeluk pinggangnya sambil mencium sepasang pipinya, “Selamat berjumpa lagi, adikku Sayang…”

Nova menatapku sambil tersenyum dan berkata, “Terima kasih Bang. Senang bisa berjumpa dengan abang kandungku.”

Lalu kami duduk di sofa. Tante Martinio dan Tante Haya pun duduk berdamping di sofa lain.

Kami pun ngobrol ke barat ke timur, namun intinya sudah kutangkap. Bahwa Tante Haya mempersilakanku untuk membawa Nova dan berkumpul dengan keluarga kandungnya kembali. Karena keadaan Tante Haya sedang serba sulit, sehingga merasa kasihan kepada Nova kalau harus hidup tanpa kepastian ke depannya.

Lalu Tante Haya bertanya, “Setelah Nova berkumpul dengan keluarga kandungnya nanti, masih biolehkah tante menengok dia ke rumah Wawan?”

“Tentu saja boleh Tante,” sahutku, “Biar bagaimana Tante kan yang merawat Nova sejak bayi merah. Nova sendiri mungkin bakal sering merasa kangen kepada Tante nanti.”

Tante Haya mengangguk - angguk sambil tersenyum, namun matanya tampak berkaca - kaca.

Kemudian aku dan Tante Haya tukaran nomor ponsel.

Setelah Nova tampak siap dengan menjuinjing tas pakaiannya, aku pun berdiri dan pamitan kepada Tante Haya dan Tante Martini.

Pada saat Nova pamitan kepada Tante Haya, tampak ibu adopsi Nova itu bercucuran air mata. Sambil berkata sendu pula, “Pandai - pandai kamu menitipkan diri nanti ya Sayang. Jangan terlalu manja seperti sedang bersama mama.”

“Iya Mama,” sahut Nova, “Mama jaga kesehatan baik - baik ya. Nanti aku pun akan sering minta diantarkan sama Bang Wawan, untuk bertemu sama Mama.”

Beberapa saat kemudian Nova sudah duduk di sebelah kiriku, dalam mobil yang sedang kuluncurkan di atas jalan aspal.

“Sudah dengar dari mamamu kalau ibu kita itu seorang wanita tunanetra?” tanyaku pada suatu saat.

“Sudah Bang.”

“Di rumah ada adik sepupu Ibu yang ditugaskan untuk melayani Ibu. Nanti setelah ada kamu, bantu juga melayani Ibu ya.”

“Iya Bang. Aku sudah menyadari hal itu sih. Kan beliau yang mengandung dan melahirkanku ke dunia ini.”

“Syukurlah kalau kamu sudah insyaf sih.”

“Maksud Abang insyaf dari apa?”

“Dahulu aku pernah mendengar kamu sangat kolokan pada saat Pak Hasyim masih ada dan perusahaannya belum bangkrut. Bahkan ada yang bilang juga kalau kamu sangat jutek kepada siapa pun. Tapi aku tidak melihat kemanjaan dan kejutekanmu itu sekarang.”

Nova menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku. Sambil berkata, “Aku juga tau diri Bang. Dahulu waktu almarhum Papa sedang jaya - jayanya, aku bisa berbuat seenaknya. Tapi sekarang… tidak jadi gelandangan pun sudah untung. Tentu saja aku tak berani bersikap dan berperilaku seperti anak orang tajir lagi.

Aku terharu juga mendengar ucapan adikku itu. Lalu kubelai rambutnya dengan tangan kiriku, sambil berkata lembut, “Yang penting kamu sendiri harus berusaha untuk mengambil hati orang - orang di sekitarmu nanti. Supaya mereka semua menyayangimu.”

“Iya Bang.”

“Kamu punya pacar di Jakarta?”

“Nggak Bang. Kapok pacaran waktu masih di SMA dahulu.”

“Kenapa kapok?”

“Ngejengkelin. Mau ngatur mulu. Ke sana gak boleh ke sini gak boleh. Putusin aja sekalian.”

“Pacarannya sejauh apa?”

“Maksud Abang?”

“Batasnya sampai di mana? Apakah cuma sampai ciuman atau lebih dari itu?”

“Nggak sejauh itu Bang. Dia hanya kuijinkan cium pipi doang.”

“Sejak saat itu gak pernah pacaran lagi?”

“Nggak pernah Bang.”

“Kalau pacaran cuma sampai cium pipi, berarti kamu masih perawan dong.”

“Aku udah gak perawan Bang. Tapi yang memecahkan selaput daraku bukan manusia.“

“Bukan manusia?! Terus apaan yang ngambil keperawananmu? Hantu atau anjing atau kuda…”

“Bukan… bukan Bang. Dildo yang ngambil keperawananku Bang.”

“Dildo?! Terus kamu diem - diem suka makai dildo terus?” tanyaku dengan perasaan kasihan juga pada adik kandungku itu. Karena dia begitu polos menjawab setiap pertanyaanku.

“Iya Bang. Daripada ngajak cowok yang nyebelin, mendingan pakai dildo kan Bang.”

“Sekarang dibawa dildonya?”

“Dibawa…” sahut Nova nyaris tak terdengar.

“Coba lihat…” kataku.

Nova melepaskan seatbeltnya, lalu melangkah kie seat belakang, di mana tas pakaiannya diletakkan. Lalu ia pindah ke depan lagi sambil menyerahkan dildo itu beserta kotak kartonnya.

Tampaknya Nova sudah pasrah pada apa pun yang kuperintahkan.

Ketika kukeluarkan dildo itu dari kotaknya, ternyata dildo itu hanya berbentuk lonjong seperti kapal selam. Tidak dibentuk seperti kontol. Lagian ukurannya kecil. Jauh lebih kecil daripada batang kemaluanku.

Kuberikan lagi dildo dan kotaknya itu pada Nova. Karena aku sedang nyetir.

“Nova Sayang… sebenarnya tidak baik maen dildo seperti itu. Bisa merusak jiwamu nanti,” ucapku.

“Iya Bang,” sahutnya lirih.

“Pada saatnya menggunakan dildo, pasti kamu mengkhayalkan seorang cowok. Lalu kamu melayang - layang dalam arus halusinasi. Aku takkan memaksamu, tapi kalau kamu sayang pada mentalmu sendiri, buanglah dildo itu sekarang juga.”

“Iya Bang,” sahut Nova sambil menurunkan kaca pintu di sebelahnya, kemudian dibuangnya kotak berisi dildo itu ke jalan.

“Aku sayang sama kamu Nov,” ucapku sambil membelai rambutnya, karena kepalanya tersandar ke bahu kiriku lagi.

“Iya Bang. Aku juga sayang sama Abang.”

Sedan hitam yang kukemudikan meluncur terus di jalan tol menuju kota tercintaku.

Malam pun semakin larut.

Ketika kami tiba di rumah, jam tanganku sudah menjukkan pukul satu pagi.

Aku selalu membekal kunci - kunci cadangan, sehingga dengan mudah bisa membuka pintu garasi. Setelah menyimpan mobil di garasi, kututup dan kukuncikan kembali pintunya. Kemudian mengajak Nova masuk ke dalam rumah.

Ibu sudah tidur nyenyak. Bi Elin juga sama. Sehingga Nova kuajak tidur di kamarku saja.

“Kalau mau bersih - bersih dulu, itu pintu kamar mandinya,” kataku ketika Nova sudah meletakkan tas pakaiannya di atas meja kecil dekat televisi.

“Iya Bang,” sahut Nova sambil mengeluarkan kimono putih dari tas pakaiannya. Kemudian masuk ke kamar mandi.

Seharusnya aku langsung membawa Nova ke kamar Ibu, untuk memberitahu bahwa aku sudah berhasil membawa adikku kembali ke rumah peninggalan Ayah almarhum ini. Tapi aku selalu tidak tega mengganggu Ibu kalau sudah tertidur nyenyak begitu. Tadi sampai terdengar suara ngoroknya ke luar, membuatku yakin bahwa Ibu sedang enak - enaknya tidur.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu