1 November 2020
Penulis —  Neena

My Beloved Cousins

My Beloved Cousins (Saudara Sepupuku Tercinta) Kisah Nyata - Berdasarkan Catatan Pribadi

BAB 1

Angin yang bertiup sore itu membuat beberapa rumpun pohon bambu di belakang rumahku bergoyang-goyang, diiringi bunyi gemerisik dedaunannya.

Langit yang tak berawan masih tampak membiru. Begitu jernih kelihatannya.

Namun batinku masih saja berkemelut. Karena beberapa peristiwa yang telah menggoreskan luka di hatiku ini.

Aku tak habis pikir, kurang apa lagi aku ini? Aku sudah mengangkat Ryan dari lumpur pengangguran, menjadikannya tangan kananku di perusahaan peninggalan ayahku ini. Dengan gaji besar pula. Kemudian dia menyatakan cintanya padaku, yang kuterima dengan kedua tangan terbuka.

Dengan modal dengkul saja dia sudah bisa memperistrikanku. Bahkan membuatku hamil dan melahirkan anakku yang lalu diberi nama Nindi.

Tapi ternyata aku salah pilih!

Setelah Nindi berusia 3 tahun, aku mulai bisa membongkar kelakuan Ryan. Fasilitas perusahaan, seperti mobil, duit dan sebagainya, ternyata cuma dijadikan alat untuk selingkuh di belakangku. Bahkan villa peninggalan ayahku, sering dijadikan untuk menggauli perempuan!

Entah berapa orang cewek yang telah menjadi korbannya. Yang aku tahu saja ada tiga orang cewek yang telah mengakuinya. Bahkan salah seorang di antara mereka sedang hamil. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka semua adalah pegawaiku!

Banyak lagi ulah Ryan yang aku malas menceritakannya satu persatu.

Maka wajar saja kalau aku minta cerai darinya. Dan ketika dia tak mau menjatuhkan talak, aku pun langsung menuntutnya lewat pengadilan agama. Tanpa menghitung berapa juta biaya yang harus kukeluarkan, asalkan aku bisa bercerai dengannya.

Setelah hakim mengetuk palu, bahwa aku sudah bukan istri Ryan lagi, dadaku terasa lega. Meski sakit hatiku takkan gampang terobati.

Hakim juga memutuskan bahwa hak asuh Nindi jatuh ke tanganku. Karena sebelum aku menuntutnya ke pengadilan, Ryan sudah kupecat dari perusahaanku. Berarti Ryan sudah menjadi penganggur lagi seperti sebelum menjadi suamiku.

Memang kalau dipikir-pikir, kelakuan Ryan itu menggeramkan dan memuakkan. Betapa tidak. Dia yang tadinya penganggur, setengah mengemis ingin bekerja di perusahaanku. Lalu kuterima, karena biar bagaimana pun juga Ryan itu bekas teman kuliahku, tapoi hanya di semester ketiga dia DO, karena tidak punya biaya untuk melanjutkan kuliahnya.

Setelah bekerja di perusahaanku, Ryan mulai kelihatan gantengnya. Karena sudah mampu membeli pakaian yang layak, berkat gaji yang diberikan oleh perusahaan padanya.

Dan aku tidak heran kalau makin lama Ryan terasa makin dekat denganku. Bahkan pada suatu hari ia terang-terangan menyatakan cintanya padaku.

Jujur, saat itu aku baru saja ditinggalkan oleh ayahku untuk selama-lamanya. Sementara ibuku sudah tiada sejak aku masih kecil. Sebagai anak tunggal aku jadi merasa hidup sebatangkara di dunia ini. Dan jelas aku membutuhkan seseorang yang bisa melindungi dan bisa diajak bertukar pikiran dalam berbagai hal.

Maka tanpa ragu-ragu lagi kuterima cinta Ryan itu dengan kedua tangan terbuka. Bahkan lalu Ryan menjadi suamiku.

Tapi kebaikanku dibalas dengan kelicikan yang luar biasa menyakitkan hatiku. Uang perusahaan banyak yang ia gelapkan. Sementara aku pun bisa membongkar perselingkuhan-perselingkuhannya. Ternyata uang yang digelapkan itu untuk menggaet cewek-cewek lain.

Maka akhirnya aku mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan agama. Dan hakim pun mengabulkan tuntutanku. Maka resmilah aku menjadi seorang janda dan terbebas dari lintah bernama Ryan itu.

Aku jadi bebas lagi. Tidak terikat perkawinan lagi. Ke mana pun aku mau pergi, tak usah minta izin kepada suami lagi. Dan yang lebih jelas, aku tidak memelihara lintah lagi. Lintah yang menyedot duitku untuk menghamburkannya di atas perut cewek-cewek lain.

Ah… sudahlah. Aku malas membahas Ryan berkepanjangan.

Bahkan ketika Jon datang ke rumahku dan menanyakan masalah perceraianku dengan Ryan, aku menjawabnya dengan ketus, “Gak usah bahas masalah Ryan deh. Males ngomongin namanya juga.”

“Jadi kamu gak mungkin rujuk lagi sama Ryan?” tanya Jon yang saudara sepupuku itu.

“Sangat - sangat tidak mungkin. Kalau aku punya hak talak, Ryan itu sudah kujatuhi talak tiga.”

Jon meringis. Lalu berkata setengah berbisik, “Jadi janda itu gak enak lho. Sering jadi sasaran fitnah.”

“Biar aja. Yang penting hidupku tenang. Bisnisku lancar. Itu aja.”

“Semoga kamu mendapatkan calon suami yang jauh lebih baik daripada Ryan.”

“Gak mikir suami dulu dah. Mendingan konsen ke bisnis aja sekarang sih. Biarin aja semua mengalir apa adanya. Gak usah dikejar - kejar cowok sih.”

“Tapi kamu tinggal sendirian di rumah segede gini, apa gak takut?”

“Kan ada Andi, Soni dan Maxi.”

“Andi anak Tante Salamah, Soni mmm… anak Oom Yuda kan?”

“Iya. Dan Maxi anak Tante Ika.”

“Baguslah kalau begitu.”

“Mereka tinggal di sini secara gratis semua. Yang penting setelah pulang kuliah harus bantu - bantu kegiatanku.”

Jon memang saudara sepupu dari pihak ayahku, sementara ketiga adik sepupuku yang tinggal di rumahku adalah saudara dari pihak ibuku. Karena itu Jon tidak begitu tau seluk beluk keluarga Mama.

Setelah Jon pulang, aku mulai sibuk mengawasi sayur mayur dan buah - buahan yang sedang dimuat ke atas truk - trukku. Sebenarnya usaha di bidang agrobisnis ini lumayan meletihkan. Kalau Andi sudah selesai kuliahnya, mungkin aku akan mengangkatnya sebagai pimpinan di perusahaanku. Entah akan kujadikan direktur atau manager, entahlah.

Memang waktu masih punya suami, aku tidak sesibuk ini. Tapi celakanya income perusahaan banyak yang dilipat oleh Ryan, lalu dihambur - hamburkan untuk cewek - cewek yang gak jelas itu.

Itulah sebabnya yang menyebabkanku minta cerai darinya.

Tapi apakah aku sudah tidak membutuhkan lagi lelaki di dalam kehidupanku?

Inilah masalahnya. Karena lebih dari setahun hidup menjanda, aku sering membayangkan sentuhan lelaki. Tapi aku malas memperlihatkannya di depan publik.

Bahkan aku sempat membeli vibrator yang bisa dimasukkan ke telunjukku, panjangnya pun hanya seruas jari telunjukku. Vibrator mini ini sering kutekankan ke permukaan kemaluanku. Bahkan terkadang kumasukkan ke dalam liang kewanitaanku.

Ini membuatku terpejam - pejam dalam nikmat.

Tapi aku tahu bahwa ini cuma kenikmatan semu. Bahkan setiap selesai menggunakan vibrator super mini itu, aku selalu malu sendiri. Malu karena perbuatanku sendiri.

Aku ingin hubungan sex yang normal. Hubungan sex dengan manusia hidup, bukan dengan alat yang bisa bergetar doang tanpa bisa meludah. Tapi dengan siapa? Bukankah aku selalu membatasi diri untuk tidak sembarangan bergaul dengan lawan jenisku?

Sedangkan yang jelas ada di rumahku sendiri, adalah ketiga adik sepupuku itu. Mungkin aku harus memilih salah seorang di antara mereka.

Dan akhirnya hatiku memilih Andi. Karena Andi paling dewasa di antara ketiga adik sepupuku itu. Andi sudah berusia 20 tahun, sementara Soni dan Maxi sama - sama baru 18 tahun.

Aku memilih Andi, karena selain paling dewasa di antara adik - adik sepupuku itu, Andi paling rajin membantuku. Selain daripada itu, Andi bisa nyetir mobilku dengan halus, sudah punya SIM pula. Bahkan belakangan ini kalau aku punya keperluan di tempat yang agak jauh dari rumahku, selalu Andi yang kuminta nyetirin mobilku.

Tubuh dan tampang Andi juga tidak mengecewakan. Dia lumayan ganteng, tubuhnya pun tinggi tegap.

Menurutku, Andi cukup memenuhi syarat untuk meredakan amukan birahiku yang sering menggalaukan perasaanku belakangan ini.

Maka pada suatu sore, kebetulan Andi sedang libur kuliah, aku memintanya untuk nyetir ke Sukabumi.

Andi mengiyakan dengan sikap bersemangat, karena dia paling senang kalau disuruh nyetir ke luar kota.

Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di seat depan kiri, sementara Andi mulai serius di belakang setirnya.

“Ada tagihan yang macet beberapa bulan ini Di,” kataku ketika Andi sudah melarikan mobilku ke luar kota.

“Iya Teh. Yang minta kopi arabica untuk ekspor itu ya?” sahutnya.

“Iya. Makanya kita harus pergi sore - sore gini. Karena kalau siang gak ada di rumah terus.”

“Iya Teh.”

Mobilku meluncur terus di jalan raya. Terawanganku pun melayang - layang terus. Tentang indah dan nikmatnya surga dunia. Tentang gesekan - gesekan surgawi yang menimbulkan rasa geli - geli enak. Aaah… kenapa aku jadi begini?

Tiba - tiba hujan turun dengan derasnya. Deras sekali. Padahal perjalanan masih jauh. Sementara jalanan tidak kelihatan sama sekali.

“ACnya bermasalah Teh,” kata Andi sambil mengurangi kecepatan dan menyalakan lampu hazard, “Kaca depan belakang berembun gini… gak kelihatan apa - apa.”

“Istirahatkan aja di bahu jalan Di. Bahaya kalau maksain,” ucapku.

Andi menurut saja. Membelokkan mobil ke pinggir, sampai berhenti di bahu jalan, dengan mesin mobil dan lampu hazard tetap dinyalakan.

“ACnya kenapa ya?” tanyaku.

“Mungkin freon-nya habis Teh. Kalau diaktifkan bahaya, suka mengeluarkan CO2 kata orang sih.”

“Ya udah, matiin aja mesinnya sekalian. Tapi jendela kaca belakang buka aja sedikit, biar jangan pengap. Hiiiiiiii… dingin sekali Di… padahal gak nyalain AC ya,” ucapku sambil memeluk leher Andi dan merapatkan pipi kananku ke pipi kirinya.

“”Mau pakai jaketku biar gak kedinginan?” tanya Andi.

“Gak usah,” sahutku, “Kalau megangin ini sih bisa anget. “Tanpa ragu - ragu lagi kuturunkan ritsleting celana jeans Andi, lalu kumasukkan tanganku ke dalam celana jeans itu… bahkan kuselundupkan tanganku ke balik celana dalamnya… sampai menyentuh dan memegang sesuatu yang hangat tapi masih lemas.

Kegelapan udara yang sudah mulai malam membuatku tidak bisa melihat ekspresi Andi saat itu. Sementara “sesuatu” yang kupegang ini mulai membesar dan menegang.

Sengaja kuelus - eluskan jempolku ke “puncak jamurnya” sambil bertanya perlahan, “Kontolmu ini udah pernah dimasukkan ke memek cewek?”

“Bebeb… be… belum pernah Teh,” sahut Andi tergagap.

“Masa sih?! Umurmu sekarang sudah duapuluh kan?”

“Sumpah Teh, belum pernah. Takut bikin hamil lalu disuruh ngawin kan repot.”

Aku semakin lupa diri. Lalu berbisik ke telinga Andi, “Padahal kalau dientotkan ke dalam memek cewek itu enak sekali lho…”

“Iiii… iiiyaaa kata orang sih be… begituuuu,” sahut Andi semakin gagap.

“Sudah pernah megang memek?”

“Be… belum juga… kan Teteh juga tau… aaa… aku gak… punya temen cewek…”

“Tapi kamu bukan gay kan?”

“Amit - amit…! Bukan Teh.”

“Lalu kenapa di usia duapuluh tahun belum nyobain memek? zaman sekarang kan anak tigabelas -empatbelas tahun juga banyak yang udah tau enaknya memek.”

“Teteh kan tau keadaanku, yang lahir dari keluarga pas - pasan. Makanya aku gak berani macem - macem Teh.”

“Kasiaaan… “cetusku sambil diam - diam menurunkan celana dalam sampai lututku.

Kemudian kutarik tangan kiri Andi dalam kegelapan ini sambil bertanya, “Kamu pernah megang memek belum?”

“Be… belum pernah Teh,” sahutnya terdengar lugu.

“Nih peganglah memekku… biar jangan ketinggalan zaman banget,” ucapku sambil meletakkan tangan Andi di permukaan kemaluanku.

Andi gelagapan, “Teteteeteeeeh… aaa… aaaku ja… jadi me… merasa gak ka.. karuan gini Teeeh…”

Tangan Andi mengusap - usap kemaluanku yang celana dalamnya berada di lututku. “Ke Sukabuminya besok pagi aja ya,” kataku dalam godaan birahi yang semakin menjadi - jadi.

“Te… terus sekarang pulang lagi aja?”

“Jangan… kita nginep di hotel aja,” sahutku, “Ini tinggal lurus aja… dua kilometer lagi juga ada hotel. Kita nginep di hotel itu aja. Besok pagi kita lanjutkan ke Sukabumi.”

“Iii… iya Teh. Sekarang sudah reda hujannya. Lanjutkan aja ya,” ucap Andi sambil menjauhkan tangannya dari kemaluanku.

“Iya. Hotelnya ada di sebelah kiri. Pelan - pelan aja, biar jangan kelewat.”

Andi menjalankan kembali mobilku perlahan - lahan.

Beberapa saat kemudian Andi membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah hotel kecil, tapi kelihatannya nyaman.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu