2 November 2020
Penulis —  Neena

Fantasi Liar Bumil

Kisah ini adalah true story, yang sudah mendapat ijin untuk diungkapkan sedetail mungkin. Tapi nama pelaku dan nama tempat sudah disamarkan, demi menjaga nama baik semua pihak. Semoga berkenan dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

Part 01

Namaku Lussy (nama samaran). Pada awal kisah ini terjadi, usiaku 25 tahun dan sudah menikah dengan seorang duda yang usianya hampir dua kali lipat umurku. Ya ketika Mas Trisno menikahiku, usianya sudah 45 tahun. Ia ditinggal mati oleh istrinya yang menderita penyakit gagal ginjal.

Dari mendiang istri pertamanya, Mas Tris mempunyai dua orang anak laki-laki, yang pada waktu aku baru menikah usia anak tiriku itu baru 18 tahun dan 19 tahun. Yang sulung bernama Yanu. Adiknya bernama Kendo. Tapi mereka tidak tinggal bersamaku, karena yang sulung kuliah di Jakarta, sementara Kendo tinggal bersama tantenya (adik ibunya almarhumah).

Perkawinanku dengan Mas Trisno berjalan mulus dan berselimutkan kebahagiaan. Kehidupan kami lumayan berkecukupan, karena Mas Tris seorang manager marketing di sebuah perusahaan swasta yang cukup besar. Dengan sendirinya gaji dan penghasilan tambahan Mas Tris cukup besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan banyak lebihnya.

Yang membuatku bahagia adalah perilaku Mas Tris kepadaku. Katakanlah ia sangat memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu saja dikabulkannya. Namun tentu saja permintaan-permintaanku selalu yang masuk di akal.

Tadinya Mas Tris dan aku dijodohkan oleh tanteku (adik Papa). Aku pun manut saja kepada Tante Eka, demikian nama adik Papa itu. Karena usiaku sudah 24 tahun, dalam keadaan menganggur pula. Kerja gak, kuliah pun gak.

Katakanlah perkawinanku dengan Mas Tris bukan berdasarkan cinta. Tapi lama kelamaan perasaan sayangku padanya mulai tumbuh. Terutama karena aku sudah merasakan betapa baiknya suamiku itu.

Cinta kami pun berbunga dan berbuah. Aku mulai telat menstruasi. Dan setelah memeriksakan diri ke dokter, aku dinyatakan positif hamil.

Mas Tris tampak senang sekali mendengar berita kehamilanku. Ia menciumi pipiku sambil membelai rambutku dengan lembut.

Sejak hari itu Mas Tris semakin memanjakanku. Setiap pulang dari kantor, selalu ada saja makanan kegemaranku yang dibelinya, lalu diberikannya padaku.

Tapi tahukah suamiku bahwa dalam masa ngidam ini aku terus-terusan digoda oleh mimpi aneh ini? Apakah hal ini pernah terjadi juga pada wanita lain di masa ngidamnya? Lalu… apakah aku harus berterus terang kepada suamiku tentang mimpi-mimpi gila yang lalu menjadi obsesiku ini?

Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Aku ingin menceritakan hal itu kepada suamiku, tapi aku takut… takut suamiku marah dan lalu membuatnya tidak menyayangiku lagi. Tapi kenapa aku terus-terusan digoda oleh bayangan tentang adegan di dalam mimpi itu?

Sampai pada suatu sore, suamiku pulang dari kantor sambil membawa makanan kegemaranku. Namun sejak aku digoda oleh khayalan aneh itu, makanan apa pun tiada yang menerbitkan seleraku.

“Dalam beberapa hari ini makanan kegemaran Adek gak pernah disentuh. Kenapa sayang?” tanya suamiku sambil mengusap-usap rambutku (dia biasa memanggil “Adek” padaku).

Aku tak menjawabnya. Cuma tersenyum lirih.

“Biasanya kalau hamil muda kan suka ngidam. Apakah Adek ada yang diinginkan?” tanyanya lagi.

“Ada,” aku mengangguk sambil tersenyum manja, “tapi bukan makanan.”

“Ohya?! Pengen apa? Ngomong aja terus terang.”

“Gak ah. Takut Mas marah.”

“Kenapa harus marah?”

“Soalnya keinginanku ini gak wajar Mas.”

“Iya gakpapa. Istri yang lagi ngidam memang suka ada yang aneh-aneh keinginannya. Ada yang minta makan bubuk genteng, ada yang pengen disuapin seperti bayi, ada yang pengen mainin cacing dan banyak lagi. Lantas Adek pengen apa?”

“Aaah… takut Mas marah.”

“Gak… aku janji takkan marah.”

“Beneran Mas takkan marah?”

“Iya.”

“Janji dulu Mas takkan marah.”

“Barusan aku kan udah janji takkan marah. Katakan aja apa yang Adek idamkan?”

“Malu nyebutinnya Mas,” sahutku sambil menyandarkan kepalaku di bahu suamiku.

“Lho… kok malu? Sebutin aja, sayang. Kan aku udah janji takkan marah, apa pun permintaan Adek akan kukabulkan.”

“Mas… aku… aku ingin…” ucapanku tersendat di tenggorokan, karena aku tahu bahwa apa yang kuinginkan ini bukan hal yang biasa.

“Lho… kok ngomongnya sepotong-sepotong?”

“Mmm… mulanya aku mimpi aneh Mas… mimpi… mimpiin megang titit Dimas.”

“Ohya?! Terus?”

“Gak tau kenapa aku harus mimpi seperti itu. Dan… sejak mimpi itu aku jadi… jadi ngebayangin terus… ngebayangin megang titit Dimas… tapi Mas jangan marah ya…”

Mas Tris tampak seperti heran. Tapi sesaat kemudian ia menepuk bahuku sambil berkata, “Gampang itu sih. Nanti Dimas kupanggil dan apa yang Adek idamkan pasti tercapai. Tenang aja.”

“Bener Mas? Jadi… jadi Mas gak marah?”

“Gak…” Mas Tris menggeleng, “Kan udah kubilang, perempuan yang sedang ngidam suka punya keinginan yang aneh-aneh.”

Aku tertunduk. Ada perasaan malu bercampur haru, karena sikap suamiku tampak biasa-biasa saja. Padahal keinginanku ini lain dari yang lain. Seharusnya suamiku geram, kesal, cemburu dan sebagainya. Tapi dia tampak santai saja. Bahkan tanpa kuduga-duga ia mengeluarkan hapenya. Dan… alangkah mengejutkannya ketika kudengar suara suamiku di dekat hapenya: “Dimas!

Setelah suamiku meletakkan hapenya di atas meja riasku, aku memegang pergelangan tangannya. “Mas… secepat itu memanggil Dimas ke sini?”

“Keinginan istri ngidam harus segera dilaksanakan, supaya anaknya gak ngeces kelak,” sahutnya sambil mengecup dahiku.

“Terus… apa yang harus kulakukan nanti Mas?”

“Lho… kok nanya sama aku? Lakukan aja apa yang Adek mau.”

“Aku cuma pengen lihat dan megang penisnya.”

“Megang penisnya sampai ereksi kan?”

“Mmm… iya Mas,” sahutku jujur. Memang aku takkan suka kalau penis anak buah suamiku itu tidak ereksi. Apa enaknya megangin penis yang terkulai lemas?

“Kalau penisnya gak tegang, remas-remas aja seperti kalau Adek sedang merangsangku.”

Aku termangu. Ucapan-ucapan suamiku dilontarkan begitu santainya, seolah tiada sesuatu yang luar biasa baginya.

“Mas,” kataku sesaat kemudian, “aku mau mandi dulu, boleh gak?”

“Iya, mandilah sebersih mungkin. Adek harus kelihatan secantik dan semenarik mungkin. Kalau Adek kelihatan kusut, bisa lemes titit si Dimas nanti. Hahahaa…”

Aku tersipu. Lalu melangkah ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi aku tercenung di depan cermin besar yang menempel di dinding keramik. Lalu kutanggalkan segala yang melekat di tubuhku sampai telanjang. Kehamilanku baru enam minggu, jadi perutku biasa-biasa saja, belum buncit.

Kupandang bayangan sekujur tubuh telanjangku di depan cermin. Tubuh yang mulus, tanpa noda setitik pun, dengan kulit yang putih kekuning-kuningan. Sementara mataku juga agak sipit, sehingga pantaslah kalau orang-orang mengiraku amoy.

Ya, aku ingat benar, teman sekelasku dulu suka menjulukiku “amoy”, karena wajah dan kulitku mirip orang Tionghoa. Padahal aku asli Indonesia.

Tubuhku tinggi tegap, dengan sepasang payudara yang berukuran sedang-sedang saja, namun masih padat sekali. Dahulu aku pernah bercita-cita ingin menjadi seorang polwan. Tapi banyak temanku yang bilang, bahwa aku terlalu cantik untuk menjadi seorang polwan. Lagian sikap dan perilakuku terlalu lemah gemulai, sehingga Santi (teman sekelasku) pernah berkata, “Kamu lebih cocok daftar jadi pramugari atau gadis model Lus.

Tapi seringnya terjadi kecelakaan pesawat terbang membuatku takut, tak berani mendaftarkan diri jadi pramugari. Jadi gadis model pun aku tak mau, karena sering tersiar berita negatif tentang para gadis model, yang ujung-ujungnya terjerumus ke jurang prostitusi terselubung.

Setelah mandi sebersih mungkin, tadinya aku mau berdandan seperti mau bepergian. Tapi setelah dipikir-pikir, aku tak mau terlalu kentara ingin menarik perhatian. Karena itu kukenakan kimono sutra putih polosku. Lalu bermake-up tipis, menyisir rambutku dan menyemprotkan parfum di beberapa bagian “penting”.

Baru saja aku selesai merapikan rambutku, Mas Tris masuk lagi ke dalam kamar. Dan berkata, “Dimas udah di jalan menuju ke sini.”

Aku degdegan juga mendengar laporan suamiku itu. Lalu bertanya, “Nanti sebatas apa yang boleh kulakukan Mas?”

“Apa pun boleh Adek lakukan. Bahkan kalau perlu… mengoralnya juga boleh. Asal jangan penetrasi aja,” sahut suamiku sambil tersenyum.

“Haaa?! Mengoralnya juga boleh?” cetusku sambil memegang pergelangan tangan suamiku.

“Boleh,” sahut suamiku bernada lembut, “Kan di depan mataku, mungkin Dimas takut-takut, sehingga penisnya sulit dibangkitkan. Langkah terakhir yang boleh Adek lakukan ya mengoralnya…”

“Tapi… kalau dia jadi nafsu gimana Mas?”

“Oral aja terus sampai ngecrot. Hehehee… terus terang, acara sebentar lagi ini membuatku jadi terangsang, Dek. Orang lain kan ada yang sengaja sharing wife atau swinger… sedangkan aku belum pernah melakukannya.”

“Jadi…?”

“Jadi sebenarnya aku juga merasa bersemangat saat ini. Makanya jangan canggung-canggung nanti ya. Lakukan aja semua yang Adek mau, yang penting jangan sampai penetrasi. Kan Adek sudah berpengalaman membuatku puas pada saat Adek lagi haid.”

Aku cuma mengangguk - angguk dengan perasaan tak menentu. Memang aku sering mengoral suamiku sampai ejakulasi pada saat aku sedang menstruasi. Tapi mungkinkah aku tega melakukannya kepada anak muda yang ganteng bernama Dimas itu… di depan suamiku pula?

Ketika aku masih termangu memikirkan semuanya itu, tiba-tiba terdengar bunyi bel berdentang-denting.

“Nah itu Dimas datang,” suamiku bangkit dari sofa di kamarku, “Adek tunggu aja di sini ya. Nanti kalau sudah ada kesepakatan, Dimas akan kuajak masuk ke sini. Santai aja ya sayang. Keinginanmu pasti terwujud.”

Aku mengangguk perlahan, dengan jantung memukul lebih kencang daripada biasanya.

Lalu suamiku keluar dari kamar. Dan aku duduk di sofa yang agak jauh dari bed. Lalu menyalakan tiviku, meski ingatanku ke arah Dimas terus.

Masa ngidamku memang aneh. Wanita lain di masa ngidamnya menginginkan makanan ini - itu. Tapi aku malah… ah… aku malu mengatakannya berulang-ulang. Untungnya aku punya suami yang bisa mengikuti jalan pikiran istrinya yang sedang ngidam ini. Kalau tidak, pasti bertengkar jadinya.

Agak lama suamiku berbincang-bincang dengan Dimas di ruang tamu. Mungkin suamiku sedang mengatur apa yang harus Dimas lakukan di dalam kamar ini nanti.

Sedangkan aku benar-benar degdegan menunggu mereka. Tapi tetap dengan harapan ingin agar fantasi ngidamku terwujud.

Dan ketika pintu kamarku dibuka oleh suamiku, aku semakin degdegan. Terlebih setelah tampak Dimas yang tampan itu melangkah masuk di belakang suamiku. Ada perasaan malu juga ketika bertemu pandang dengan Dimas yang muda rupawan itu. Namun kulihat ia pun tersipu-sipu, seperti malu juga.

Dan suamiku berkata, “Nah… semuanya sudah clear ya Dim. Seperti yang sudah diceritakan tadi, istriku sedang ngidam. Dan ngidamnya itu pengen megang penismu dalam keadaan ereksi.”

Dimas mengangguk-angguk kecil, tapi tampak seperti belum berani melihat mukaku.

“Nah.” suamiku melanjutkan,” aku sendiri malah bersemangat untuk mengabulkan keinginan ngidamnya istriku. Jadi sekarang apa pun boleh dilakukan, asalkan jangan penetrasi saja.”

“Ma… maksudnya gimana Mas?” tanya Dimas tampak bingung.

“Setelah penismu dipegang oleh istriku, segala kemungkinan kan bisa terjadi. Nah… dalam suasana seperti itu, apa pun boleh kalian lakukan. Yang gak boleh cuma penetrasi saja. Faham kan?”

“I… iya Mas …” Dimas mengangguk dengan sikap yang masih tampak bingung.

Aku terduduk rikuh di sofa yang agak jauh dari bed. Sementara Dimas tampak sedang menurunkan ritsleting celana jeansnya. Dan aku mulai degdegan. Tapi rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, ingin secepatnya menyaksikan dan memegang penis anak muda 25 tahunan itu.

Aku tak tahu kenapa ngidamku seperti ini. Malu sendiri aku menceritakannya. Tapi seandainya Mas Tris tidak meluluskan keinginanku, aku pun takkan memaksanya.

Dan Mas Tris seolah mengerti bahwa pada saat itu aku sedang canggung sekali. Karena Dimas sudah melepaskan celana jeansnya. Mas Tris malah membisiki telingaku, “Nanti kalau penisnya lemas terus, sebaiknya Adek lepasin kimononya. Kalau perlu, telanjang bulat juga boleh. Pokoknya apa pun boleh, kecuali penetrasi aja yang gak boleh.

“Lalu… kalau dia megang ke sana-sini gimana?” tanyaku perlahan, sementara Dimas sedang melepaskan baju kausnya.

“Gak apa-apa. Megang apa pun boleh. Bahkan Adek boleh ngemut penisnya, kalau perlu sampai ngecrot, asalkan penisnya jangan dimasukin ke tempik Adek aja,” sahut Mas Tris setengah berbisik.

Buat orang lain, mungkin “ijin” dari suamiku itu termasuk aneh bin ajaib. Tapi jiwaku sendiri sedang dibelenggu oleh hasrat yang aneh. Sehingga aku menanggapi bisikan suamiku itu dengan anggukan kepala… dengan desir-desir aneh yang semakin melanda batinku.

“Mas… apakah Mas benar-benar mengijinkan semuanya ini?” tanyaku perlahan.

“Iya sayang,” sahut suamiku sambil mengelus rambutku.

“Mas gak marah?”

“Gak,” suamiku menggeleng, lalu menoleh ke arah Dimas, “Nah… seperti yang sudah kukatakan tadi, kalian bebas melakukan apa saja, kecuali penetrasi. Oke?”

Dimas sudah bertelanjang dada. Celana jeansnya memang belum dilepaskan, tapi ritsletingnya sudah diturunkan sampai habis, sehingga celana jeans itu melorot sampai pahanya, sehingga celana dalam putihnya sudah tampak. Tapi apa yang ingin kulihat dan kupegang itu masih tertutup oleh celana dalamnya.

Dan aku semakin degdegan ketika Dimas sudah berdiri di depanku, dengan celana jeans yang sudah ditanggalkan, sehingga ia tinggal bercelana dalam saja. “Silakan Mbak…” kata Dimas sambil meletakkan kedua tangannya di belakang tubuhnya.

“Lepasin dulu celana dalamnya dong …” sahutku canggung, tanpa berani memandang ke arah Dimas maupun suamiku.

“Iya, gak usah sungkan-sungkan… buka aja celana dalammu Dim,” kata suamiku memperkuat permintaanku.

Dimas menatapku dengan sorot ragu. Tapi lalu ia menanggalkan celana dalamnya.

Dan aku mulai degdegan setelah melihat penis Dimas itu. Masih terkulai, tapi tampak panjang sekali, jauh lebih panjang daripada punya suamiku. Seperti apa kalau sudah ngaceng?

Aku mendekatkan tanganku ke arah penis yang masih terkulai lemas itu, sambil menoleh pada suamiku, sebagai sikap untuk meminta ijin karena aku ingin memegang penis yang masih lemas itu.

Suamiku mengangguk sambil tersenyum. Pertanda mempersilakanku untuk melakukan apa yang kuinginkan.

Meski masih merasa canggung, tanganku mulai menggenggam penis Dimas yang lemas itu. Lalu… sedikit demi sedikit penis Dimas membesar dan menegang. Tapi sesaat kemudian melemah lagi.

Tiba-tiba suamiku berkata padaku, “Aku jadi horny Dek. Gimana kalau kita main dalam posisi doggy, supaya tetap bisa mainkan titit Dimas?”

Aku menoleh pada suamiku sambil menyahut, “Terserah …”

Lalu suamiku mengaturnya. Mula-mula ia melepaskan kimono sutra putihku, sehingga aku jadi telanjang bulat di depan mata Dimas dan suamiku. Dimas terlongong menyaksikanku sudah telanjang begini. Tapi suamiku menyuruh Dimas terlentang di atas tempat tidurku. Lalu aku disuruh menungging sambil “ngerjain” penis Dimas sesukaku.

Dalam keadaan horny berat kuikuti semua petunjuk suamiku. Bahwa sambil menungging di antara kedua kaki Dimas, aku memberanikan diri mengulum penis anak muda yang masih lemas itu. Sementara suamiku terasa mulai menjilati kemaluanku dari belakang. Kadang terasa anusku pun dijilatinya. Sehingga aku semakin horny.

Dimas tampak keenakan dengan selomotanku. Penisnya mulai menegang dan menegang terus sampai dalam keadaan “siap tempur”. Sementara itu, diam-diam suamiku mulai membenamkan penisnya ke dalam kemaluanku dari belakang. Hmmm… ini memang asyik… ketika Mas Tris mulai mengentotku dalam posisi doggy ini, aku pun semakin bersemangat untuk menyelomoti batang kemaluan Dimas yang sudah benar-benar ngaceng ini.

Dimas pun mulai berdengus-dengus. Sementara suamiku masih sempat berkata, “Toketnya remas, Dim. Tapi jangan terlalu keras.”

“Iii… iya Mas …” sahut Dimas sambil menjulurkan tangannya ke arah payudaraku. Dan mulai melakukan apa yang diminta oleh suamiku. Meremas sepasang payudaraku dengan lembut dari arah samping.

Gila… ini fantastis sekali. Bahwa ketika suamiku semakin gencar mengentotku dari belakang, aku pun semakin binal menyelomoti penis Dimas, terkadang menjilati puncaknya, terkadang menyedotnya… wow… baru sekali ini aku merasakan nikmatnya bersetubuh. Bahkan aku mulai berfantasi. Seolah-olah penis yang tengah mengentotku dari belakang itu penis Dimas.

Tapi sayang… suamiku tak bisa bertahan lama. Baru belasan menit ia mengentotku, terasa penisnya didesakkan kuat-kuat… lalu air maninya menyemprot-nyemprot ke dalam liang kemaluanku.

Aku kecewa berat. Padahal aku masih ingin lama merasakan kenikmatan yang lebih daripada biasanya ini.

Namun tiba-tiba suamiku berkata, “Dimas… keputusanku berubah. Kamu boleh menyetubuhi istriku, tapi jangan dilepaskan di dalam.”

Aku pun mengeluarkan penis Dimas dari dalam mulutku. Dan menoleh ke arah suamiku, “Gak salah Mas? Katanya gak boleh penetrasi …”

Mas Tris mengelus rambutku sambil menjawab, “Adek pasti belum puas. Sementara aku juga merasa kasihan pada Dimas. Pasti dia sangat tersiksa, karena hasratnya tidak disalurkan sampai tuntas. Jadi kuijinkan Dimas menggaulimu secara normal.”

Sebenarnya aku gembira pada keputusan suamiku itu. Tapi aku masih mencoba untuk meyakinkan bahwa keputusan suamiku benar-benar sudah bulat. “Aku kan sedang hamil Mas. Gimana anaknya nanti… punya ayah dua orang?”

“Anakku tetap anakku,” sahut suamiku, “Dia kan sudah terbentuk dengan DNAku. Meski Dimas lepasin di dalam, DNA janin itu takkan berubah. Ayolah… aku ingin menyaksikan Adek main sama Dimas.”

“Ntar… aku mau pipis dulu,” ucapku sambil turun dari tempat tidur, lalu melangkah ke kamar mandi.

Sebenarnya aku bukan sekadar mau pipis, tapi sekaligus ingin mencuci dan mengelap kemaluanku sampai kering. Tak enak rasanya “menyerahkan” kemaluanku pada Dimas dalam keadaan basah kuyup oleh air mani suamiku ini.

Entah kenapa, meski bersikap canggung, di dalam hatiku ada perasaan ingin membuat kemaluanku prima dan jangan ada kesan buruk di hati Dimas nanti.

Aku pun berjongkok dan pipis. Lalu kubersihkan kemaluanku dengan sabun. Setelah kubilas, kuseka kemaluanku dengan handuk sampai benar-benar kering dan bersih.

Ketika mau keluar, aku berpapasan dengan suamiku yang masih dalam keadaan telanjang, sementara aku sudah membelitkan handuk dari payudaraku sampai pangkal pahaku.

“Lakukanlah dengan baik ya,” bisik suamiku, “Kalau perlu, bersikap centil juga gak apa-apa. Kalau Dimas masih ragu-ragu, usir keraguannya itu. Pokoknya bikinlah supaya Dimas ketagihan.”

“Kenapa harus gitu Mas?” tanyaku heran, meski sebenarnya isi hatiku sama dengan ucapan suamiku itu.

“Sudah lama aku sering membayangkan istriku digauli lelaki lain. Pasti ada effek bagus pada batinku nanti. Aku akan cemburu melihatmu digauli oleh Dimas, lalu dari cemburu itu akan muncul gairah yang luar biasa. Nanti saja kujelaskan semua. Dimas sudah menunggu tuh. Pasti dengan tak sabaran,” kata suamiku sambil menepuk bahuku.

“Tapi Mas janji dulu… janji akan tetap mencintaiku…”

Mas Tris tersenyum dan mengecup pipiku sambil berkata setengah berbisik, “Cintaku bahkan akan semakin besar nanti Dek. Itu janjiku !”

Aku tersenyum senang. Karena aku percaya bahwa suamiku selalu menepati janjinya.

Lalu aku menghampiri Dimas yang masih telanjang dan duduk di pinggiran tempat tidurku. Dengan sikap canggung.

Dan seperti yang diminta oleh suamiku, aku “berkewajiban” untuk mengusir kecanggungan Dimas itu. Maka aku pun menanggalkan handuk yang membelitku, berdiri di depan Dimas, dengan senyum di bibirfku. Lalu duduk merapat ke samping Dimas, sambil merayapkan tanganku ke arah penisnya yang masih ngaceng sambil berkata setengah berbisik, “Penisnya mau dimainkan di dalam vegiku?

Sambil membuang muka Dimas menyahut, “Mas Tris kan sudah ngijinin. Jadi… tergantung Mbak sekarang. Kalau saya sih sangat mau Mbak …”

“Aku juga tergantung Mas Tris. Karena dia sudah menyuruh… ya aku mau disetubuhi olehmu, Dim. Tapi aku sedang hamil. Usahakan jangan terlalu menghimpit perutku ya.”

“Baik Mbak …”

Aku berpikir sejenak. Lalu bergerak ke pinggiran bed. Pantatku jadi di pinggiran bed, sementara kedua kakiku terjuntai ke lantai. Dan berkata, “Kamu main sambil berdiri kan bisa Dim.”

“Iya Mbak,” sahut Dimas yang langsung berdiri di antara kedua belah kakiku.

Sudut mataku mencari-cari suamiku yang belum muncul-muncul. Mungkin dia sekalian mandi atau mungkin juga sedang boker. Soalnya lama juga ia di kamar mandi. Sementara Dimas sudah meletakkan moncong penisnya di mulut kemaluanku.

“Ayo… dorong Dim …”ucapku tak sabar. Ingin agar Dimas segera membenamkan penisnya pada saat suamiku belum muncul. Soalnya diam-diam Dimas telah membangkitkan rasa penasaran dan birahi yang sangat hangat di dalam batinku. Lalu… apakah aku akan disalahkan oleh suamiku kelak?

Entahlah. Yang jelas, ketika batang kemaluan Dimas yang panjang gede itu mulai melesak masuk ke dalam liang kewanitaanku, oh… rasanya syur sekali… karena birahiku memang sudah menggila…!

Terlebih lagi setelah Dimas mengayun tongkat kejantanannya di dalam liang kemaluanku yang sudah basah ini… aku mulai melayang-layang di alam birahi yang sangat indah, yang demikian indahnya sehingga sulit kulukiskan dalam kata-kata.

Dan terdengar suara suamiku, “Gak usah sambil berdiri gitu Dim. Telungkup juga gak apa-apa. Asalkan perutku jangan terlalu digencet aja. Sambil tahan badanmu agar tidak terlalu menggencet perutku.”

Mendengar suara Mas Tris, aku pun menoleh padanya, dengan senyum malu-malu. Tapi Mas Tris cuma tersenyum sambil mengacungkan jempol. Sementara Dimas sudah berada di atas perutku, sambil mendesakkan batang kemaluan, dengan kedua lengan menahan badannya agar tidak menghimpit perutku.

Dalam perasaan canggung ini kupejamkan mataku sambil merentangkan kedua pahaku selebar mungkin. Dan… aaaah… batang kemaluan panjang gede itu mulai melesak ke dalam liang kewanitaanku. Membuatku semakin terpejam karena malu pada suamiku. Terlebih ketika penis Dimas mulai mengentot liang senggamaku…

Terdengar suamiku yang ditujukan kepada Dimas, “Nah begitu kan lebih santai Dim. Gimana rasanya? Enak kan memek istriku?”

“Iiii… iyaa… ee… enak sekali Mas …” sahut Dimas terengah.

Mungkin inilah persetubuhan paling edan bagiku selama ini. Bagaimana tidak. Aku sedang disetubuhi oleh Dimas, suamiku malah bertanya enak gaknya memekku. Yang dijawab oleh Dimas, enak sekali Mas. Adakah istri lain pernah mengalami hal yang seperti sedang kualami ini?

Dan ketika suamiku duduk di pinggiran tempat tidur sambil mengelus-elus rambutku, rasanya aku jadi serba salah. Kucoba menatapnya dengan perasaan kasihan. Tapi lalu kudengar suaranya, “Enjoy aja Sayang. Sebenarnya aku sudah sering mengkhayalkan kejadian yang seperti ini. Sekarang kebetulan ada Dimas yang bisa membantu untuk mewujudkan khayalanku.

Dalam keadaan yang sudah lupa daratan, aku pun menyahutnya, “Kalau Mas ingin aku enjoy, Masnya ke luar dulu gih… jangan diam di kamar dulu… supaya aku lebih leluasa menikmatinya …”

Mas Tris tersenyum. Mengecup pipiku. Berbisik, “Iya… aku akan menunggu di luar kamar. Nikmati aja semuanya, ya Sayang.”

Kuremas tangan suamiku, lalu kubiarkan ia mengenakan kain sarung dan melangkah keluar dari kamar tidur ini.

Setelah suamiku berlalu, aku membisiki telinga Dimas, “Punyamu luar biasa enaknya, Dim. Makanya aku ingin menikmatinya tanpa disaksikan oleh Mas Tris yang membuatku canggung.”

“Iya Mbak… saya juga jadi rikuh disaksikan oleh Mas Tris tadi…”

“Nah… sekarang lakukan lah sebaik mungkin… anggap aja aku ini kekasihmu, ya Dim.”

“Baik Mbak …” sahut Dimas sambil mulai menggeser-geserkan batang kemaluannya di dalam liang kewanitaanku.

“Dim… ooooh… ini luar biasa enaknya Dim… ooooh …” rintihku histeris ketika penis Dimas mulai lancar bermaju mundur di dalam liang senggamaku.

Dimas itu selain jauh lebih muda daripada suamikku, ukuran penisnya pun berbeda, lebih panjang dan lebih gede daripada punya suamiku. Maka ketika penisnya mulai lancar mengentot liang kemaluanku, terasa benar sreset… sreset… sreset… nikmatnya melejit-lejit dari ujung kaki sampai ke ubun-ubunku…

Terlebih lagi setelah Dimas mulai mencelucupi pentil toketku (atas permintaanku), rasanya lengkaplah segala nikmat yang tercurah dari persetubuhan dengan Dimas ini.

Namun aku masih sempat berbisik lagi ke telinga Dimas, pelan sekali karena takut terdengar oleh suamiku, “Tiga hari lagi Mas Tris akan tugas ke Denpasar. Katanya mau nginap dua malam di sana. Kamu diem-diem ke sini ya …”

“Iya Mbak… malam kan? Siangnya kan saya kerja.”

“Ya iyalah. Aku ingin ditiduri sama kamu semalam suntuk, tanpa gangguan Mas Tris.”

“Ta… tapi… ini saya udah mau ngecrot Mbak …”

“Haaa? Kok cepet banget?”

“Udah terlalu dibayangin sih sejak tadi… tapi kalau ngecrot, paling juga lima menit kemudian bisa ngaceng lagi.”

“Ya udah lepasin aja dulu. Nanti akan kuusahakan agar ngaceng lagi setelah ngecrot.”

“Lepasin di mana Mbak?”

“Di dalem aja… gak apa-apa kata Mas Tris juga.”

Lalu Dimas menggenjot batang kemaluannya dengan gerakan yang lebih cepat. Dan akhirnya dia membenamkan penisnya dalam - dalam, dengan nafas tertahan… lalu terdengar nafasnya berdengus - dengus seiring dengan berkejut - kejutnya batang kemaluannya tang tengah menyemprot - nyemprotkan air maninya di dalam liang kewanitaanku.

Creeeet… cretttttt… croooooottttttt… cretttt… crooootttttt… croooottttttt… croooooooootttttt…!

Dimas seperti kaget. Begitu selesai ejakulasi di dalam liang kewanitaanku, Dimas langsung mencabut batang kemaluannya, lalu bergerak ke pintu arah ke ruang depan, seperti mengintip sesuatu. Lalu kembali lagi padaku sambil berkata setengah berbisik, “Mas Tris ketiduran di atas sofa…”

“Iya… biasa dia sih begitu. Kalau nonton tivi suka ketiduran sampai pagi,” sahutku sambil menyeka kemaluanku dengan kertas tissue basah. Lalu menarik pergelangan tangan Dimas.

Tanpa merasa canggung lagi, kucium bibir anak muda itu. Diikuti dengan bisikan, “Sebenarnya kontolmu enak sekali Dim. Sayang cdepet bangetg ngecrotnya.”

Bisikan itu kulontarkan sambil memegang penis Dimas yang sudah terkulai lemas. Tapi baru sebentar aku memegang dan mengelus - elus kepala penis Dimas, tiba - tiba kurasakan batang kemaluan Dimas mulai membesar dan menegang. Maka kuremas - remas penis Dimas dengan lembut, sampai akhirnya ngaceng lagi…

“Udah ngaceng Dim,” ucapku sambil merangkak dan menunggingkan bokongku, “Masukin dari belakang aja ya.”

“Iya Mbak,” sahut Dimas sambil berlutut di belakangku di atas bed. Lalu sambil memegang bbuah pantatku Dimas memasukkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku yang masih basah ini. Blesssss… terasa batang kemaluannya membenam ke dalam liang sanggamaku.

“Iyaaaaa… udah masuk Dim… rintihku sambil memeluk bantal guling, “ayo entotin lagi… mudah - mudahan jangan cepat ngecrot seperti tadi.”

“Iiii… iyaaaa Mbak… mungkin sekarang sih bakal lama ngecrotnya…” sahut Dimas sambil mengayun penisnya bermaju mundur di dalam liang kemaluanku.

“Aduuuuh… enak Dim… ayo entot terus Diiim… ini enak sekaliii… iyaaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaah… enaaaaak Diiiim… enaaaaaak… “rintihku dengan suara ditahan - tahan, agar jangan sampai terdengar oleh Mas Tris. Supaya dia jangan terbangun mendengar suara rintihanku.

Sambil meremas - remas bokongku, Dimas pun menyahut setengah berbisik, “Iya Mbak… ini tem.. tempik Mbak juga… enak sekali… uuuuughhh… uuuugh…”

“Iyaaaaa… ayo entot terus Dim… makin lama makin enak niiiih… aaaaaah… Diiim… enaaak Diiim… enaaaaak… entot terussss… iyaaaaa… iyaaaaa… ooooh Diiim… oooooh… ohhhhh… Diiiiimaaaas…”

Kali ini Dimas jauh lebih poerkasa daripada yang pertama tadi. Lebih dari setengah jam ia mengentotku, sehingga keringatnya mulai berjatuhan di punggungku. Bahkan dengan lincahnya ia menepuk - nepuk pantatku.

Dan… kali ini aku benar - benar orgasme.

Dengan tubuh mengejang kutahan nafasku. Dan ooooh… puncak orgasme yang teramat indah ini pun kurasakan. Disusul dengan ejakulasi Dimas pula yang crot crot croooooootttttttt…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu