2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 09

K

**

“Ya udah Mbak ke hotel aja langsung. Jalan kaki juga bisa kan?”

“Iya Boss. Ini juga sambil jalan kaki menuju hotel. Memang deket banget kok.”

Tak lama kemudian Mbak Erma sudah muncul di ambang pintu kamar bernomor 505 ini.

“Sekarang mau pulang Boss?” tanyanya.

“Ziaaaah… boss lagi boss lagi.”

“Mmm… manggil Dek Wawan boleh gitu?”

“Iya. Manggil nama langsung juga boleh.”

“Jangan ah. Dek Wawan kan manggil Mbak sama aku. Jadi aku manggil Dek, sebagai tanda saling menghormati, meski pun kita kakak beradik.”

“Iya, iya. Terus kita mau ngapain sekarang?” tanyaku sambil melingkarkan lenganku di leher Mbak Erma.

“Nggak tau ya. Terserah Dek Wawan aja.”

“Kalau aku sih inginnya nginep semalam lagi aja. Rasanya aku belum kenyang menggauli Mbak.”

“Iya, aku juga punya perasaan masih ingin berdekatan dengan Dek Wawan. Rasanya seperti baru menemukan sesuatu yang hilang dari diriku selama ini.”

“Mbak… jujur aja ya… memek Mbak luar biasa enaknya. Makanya aku ingin habis - habisan dulu di sini sebelum pulang.”

Mbak Erma pun mendekap pinggangku. Mencium dan melumat bibirku. Lalu berkata perlahan, “Sama Dek. Perasaanku juga seperti itu. Pokoknya selama aku berumahtangga, aku tak pernah merasakan senikmat disetubuhi seperti dengan Dek Wawan. Bahkan setelah tau bahwa Dek Wawan ini adekku, birahiku malah tambah bergejolak.

“Iya… sama aku juga begitu. Setelah tau Mbak ini kakakku, aku malah merasa Mbak semakin bernilai bagi kebutuhan perasaan dan birahiku. Ohya, Mbak udah makan siang?”

“Udah. Tadi di kantor cabang disuguhi makan sama direktur cabang.”

“Aku juga udah makan siang di resto hotel tadi. Sekarang kita ena-ena lagi aja ya, ya, ya?”

“Tadi malem udah dua kali ngecrot. Sekarang masih bisa maen lagi?”

Kugeluti bibir sensual dan lidahnya yang terjulur ke luar dengan mulutku.“Bisa lah. ini udah ngaceng lagi Mbak.”

“Ayo deh… nafsuku memang gede Dek. Makanya di rumah sih gak pernah bisa puas. Tapi dengan Dek Wawan… puas sekali,” ucap Mbak Erma sambil melepaskan segala yang melekat di tuibuhnya, sampai telanjang bulat lagi seperti tadi malam.

Entah kenapa, begitu menyaksikan tubuh sintal yang sudah telanjang itu, nafsu birahiku langsung meronta dan menggejolak.

Maka kugumuli tubuh sintal tapi padat itu dengan segenap gairahku. Kucium dan kulumat bibir sensualnya dengan penuh nafsu.

Sementara tanganku mulai bermain di permukaan memek tembemnya. Bahkan sesekali jemariku menyelusup ke dalam celah memeknya yang terasa sudah basah, sehingga aku tak perlu main jilat lagi rasanya.

Maka dengan cekatan kuletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek tembem Mbak Erma. Rasanya aku suidah mulai hafal bentuk memek kakak seayah berbeda ibu itu. Maka dengan sekali dorong kontolku mulai melesak ke dalam liang memek Mbak Erma. Lalu kudorong sedikit demi sedikit sampai masuk separohnya.

“Ooooooh… sudah masuk Dek… memang kontol Dek Wawan ini lain rasanya… terasa sekali gede dan panjangnya… “sambut Mbak Erma sambil melingkarkan lengannya di leherku. Lalu mencium dan melumat bibirku dengan lahapnya, sementara aku sudah mulai mengayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang memek Mbak Erma yang sempit tapi licin dan legit ini.

Mbak Erma pun mulai merintih - rintih histeris lagi, “Deeeek… duuuuuh… penis Dek Wawan ini… oooooh… memang terasa sekali… luar biasa enaknya Deeeek… oooooohhhhh… ooooohhhhh… ooooohhhhhhh entot terus Deeeek… entot teruuuusssss… aku sudah tergila - gila padamu Deeeek…

biarlah dosanya kita tanggung berdua ya Deeek… soalnya aku sudah telanjur merasakan enaknya dientot sama Dek Wawan… iyaaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuss… entoooot… entoooottttttttt… enaaaak Deeek… enak sekaliiiii… entot terus… jangan mandeg - mandeg Deeeek… entot terussssss…

Aku memang sudah mulai melakukan hardcore. Mengentot memek Mbak Erma dengan sangat massive, sementara mulutku menancap di lehernya yang sudah mulai keringatan. Terkadang mulutku terbenam di ketiaknya yang juga sudah keringatanb. Di situlah lidahku menjilat - jilat disertai dengan sedotan sedotan kuat.

Tak cukup dengan itu. Pada suatu saat Mbak Erfma ingin main di atas. Kukabulkan saja. Lalu kami bertukar posisi. Mbak Erma seperti penunggang kuda jadinya. Bokongnya naik turun dengan cepatnya. Sehingga selangkangannya terus - terusan bertabrakan dengan selangkanganku. Menimbulkan bunyi unik… plokkk…

Sambil celentang begini, aku jadi bisa melihat jelas kontolku terkadang “lenyap ditelan” memek Mbak Erma. Terkadang “dimuntahkan” lagi. Lalu ditelan lagi dan dimuntahkan lagi.

Sepasang toket gedenya yang bergelantungan dsi atas dadaku pun tak kubiarkan nganggur. Kedua tanganku meremasnya dengan lembut, tapi terkadang meremasnya dengan kuat juga.

Dalam posisi WOT inilah Mbak Erma mencapai orgasme pertamanya.

Lalu kami kembali ke posisi missionary. Memang posisi klasik ini paling sempurna di antara posisi - posisi seksual yang ada. Karena dalam posisi missionary ini aku bisa mencium bibir Mbak Erma sepuasnya. Biusa mengemut pentil toketnya, bisa menjilati lehernya, bisa menjilati telinganya dan bahkan bisa juga menjilati ketiaknya.

Memang aku senantiasa berprinsip bahwa aku harus “take and give” dengan pasangan seksualku. Aku ingin agar jangan aku sendiri yang merasa puas, tapi pasangan seksualku pun harus merasa puas.

Dalam posisi missionary ini aku bisa menyentuh titik - titik sensitif di tubuh Mbak Erma. Sehingga rintihan dan rengakjan manjanya terdengar terus di kamar hotel ini.

Dan… ketika terasa aku mau ejakulasi, ternyata Mbak Erma pun mau orgasme untuk kedua kalinya.

Aku berhasil menciptakan sesuatu yang paling indah di dalam hubungan seks. Bahwa ketika liang memek Mbak Erma mengejut - ngejut di puncak orgasmenya, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memuncratkan lendir kenikmatanku.

Crotttt… croooottttt… crolttt… crooootttt… crooootttttttt… croooottt… crooootttt…!

Lalu kami sama - sama terkapar di pantai kepuasan kami.

Kami habis - habisan melampiaskan nafsu birahi kami yang seolah tiada kenyangnya di hotel itu. Malamnya kami ulangi lagi persetubuhan kami. Bahkan menje;lang fajar menyingsing pun kami ulangi lagi saling melampiaskan nafsu birahi kami.

Bahkan setelah kami pulang ke kota kami dan sama - sama bekerja kembali di kantor kami, keindahan itu kureguk kembali.

Mbak Erma kupanggil ke ruang kerjaku. Lalu kusetubuhi dia di ruang rehat yang biasanya dipakai untuk istirahat olehku.

Mbak Erma selalu mengiyakan setiap kali kuajak bersetubuh. Karena pada dasarnya dia seorang wanita yang haus sex. Laksana kafilah dahaga di tengah padang pasir. Lalu diriku seolah oase baginya. Lalu direguklah kenikmatan dariku dengan lahapnya.

Aku laksana berada di surga… maksudku surga dunia. Karena kebutuhan material tercukupi, kebutuhan batin pun terpuasi.

Terlebih ketika pada suatu hari aku diajak ketemuan oleh Bu Laila di sebuah restoran paling bergengsi di kotaku.

Pada saat itulah Bu Laila berkata setengah berbisik padaku, “Aku mulai hamil Sayang. Sudah empat minggu hamilnya.”

“Ohya?! “aku terkejut bercampur girang, “Mengandung benihku kan?”

“Tentu saja. Memangnya siapa lagi kalau bukan dirimu Cinta.”

“Bahagia sekali mendengarnya langsung dari mulut bidadariku. Lantas apa yang bisa kulakukan untuk menyambut berita gembira ini?”

“Aku ingin merawat kandujnganku sebaik mungkin. Jadi… kamu harus puasa dulu sampai aku hamil tua. Setelah kandunganku berumur tujuh bulan sih, kamu bisa gauli aku lagi sepuasnya. Sekarang puasa dulu, bisa kan?”

“Iya Cinta. Demi kesehatan anak kita, aku akan berpuasa sampai bisa melakukannya lagi.”

“Syukurlah kalau pangeranku bisa mengerti,” ucap Bu Laila sambil meremas tanganku yang terletak di atas meja restgoran.

“Suami Cinta gimana reaksinya setelah tahu Cinta sudah hamil?”

“Nggak kenapa - kenapa. Dia malah kelihatan senang. Tapi pada waktu dia bertanya siapa yang menghamiliku, aku tidak menjawabnya. Pokoknya adalah seseorang, jawabku saat itu.”

“Jadi sampai sekarang dia tidak tau kalau aku yang menghamili Cinta?”

“Sampai kapan pun dia tak boleh tau. Karena aku ingin agar hubungan kita terjalin terus sampai kapan pun.”

“Iya… “aku mengangguk - angguk.

“Ohya… ini ada hadiah dariku, sebagai ungkapan rasa bahagiaku saat ini,” ucap Bu Laila sambil mengeluarkan amplop dari dalam tas kecilnya.

“Apa ini?” tanyaku heran sambil membuka amlop itu.

“Baca aja sendiri,” sahut Bu Laila sambil tersenyum.

Ternyata isi amplop itu tanda pembelian sebuah mobil mahal built up Jerman (bukan bulit up Thailand yang tekniknya tidak lebih baik dari negaraku). Dan aku tahu harfga mobil itu mahal sekali.

“Besok mobil itu sudah bisa kamu ambil Honey. Ini remote controlnya, karena sedan itu sudah berteknologi keyless,” ucap Bu Laila sambil menyerahkan dua buah remote control. Berarti salah satunya untuk cadangan.

“Aku jadi speechless Cinta. Sedikit pun aku tak pernah membayangkan bakal memiliki mobil semahal itu.”

“Sudah saatnya dirimu memakai sedan yang keren, karena jabatanmu sekarang sudah menjadi direktur utama kan?”

“Iya Cinta. Terima kasih yaaa,” ucapku disusul dengan kecupan di pipinya. Tanpa peduli kalau ada yang melihat di dalam restoran ini.

Bu Laila menyahutku dengan bisikan, “Kembali kasih. Tapi nanti setelah kandunganku berumur tujuh bulan, kamu harus sering menggauliku ya Honey.”

“Siap Cinta. Mau tiap hari juga siap !”

“Tiap hari sih jangan. Kasihan babynya.”

Begitulah. Akhirnya malam itu kami berpisah, tanpa hubungan sex. Karena Bu Laila ingin agar kandungannya jangan tergoncang - goncang dulu. Maklum masih hamil muda.

Esok paginya aku memakai taksi untuk mendatangi dealer sedan mahal itu. Sengaja aku pakai taksi, karena akan membawa mobil yang sudah dibayar lunas berikut asuransinya oleh Bu Laila. Surat - suratnya atas namaku. Seolah - olah aku yang membeli mobil mahal itu.

Sebuah sedan hitam yang sangat keren di mataku.

Setelah pihak dealer menerangkan beberapa hal tentang cara penggunaan sedan mahal itu, aku pun mengemudikan sedan hitam itu. Meninggalkan kantor dan showroom dealer dengan hati berbunga - bunga.

Aku seolah sudah menggenggam salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dan aku sjudah membayangkan betapa tambah kerennya diriku pada waktu mengemudikan mobil mewah ini.

Namun kehidupan di dunia ini selalu ada pasangannya. Ada siang ada malam. Ada pria ada wanita. Ada keuntungan ada kerugian. Ada kemanisan ada kepahitan. Ada kemenangan ada kekalahan.

Aku sudah memperoileh salah satu kemenangan di dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan mendengar berita menggembirakan bahwa Bu Laila mulai hamil, lalu menerima hadiah yang sangat mahal ini darinya.

Tapi kemenangan itu disusul dengan suatu kekalahan. Bahwa dokter hanya mampu membuat Wati bisa melihat, tapi tidak mampu membuat Ibu bisa melihat seperti manusia bermata normal.

Banyak alasan yang dokter kemukakan. Sehingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa ibuku takkan mungkin bisa melihat, karena jaringan syaraf yang menunjang untuknya agar bisa melihat, sudah tidak berfungsi semua.

Wati tampak bahagia sekali karena ia tidak buta lagi. Tapi bagaimana dengan ibuku?

Sedih hatiku mnenerima kenyataan pahit ini. Tapi sepulangnya dari rumah sakit, Ibu berkata, “Biar sajalah, ibu sih jangan terlalu dipikirkan Wan. Karena kalau dipikir - pikir, ibu ini sudah tua. Bisa melihat pun untuk apa? Toh ibu sudah terbiasa dalam keadaan tunanetra begini. Yang penting Wati itu.

“Iya Bu. Ternyata tidak semua orang buta bisa ditolong dokter agar bisa melihat. Aku sudah berusaha untuk menormalkan mata Ibu. Tapi apa daya… para dokter pun tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini.”

“Iya sudah. Jangan bahas lagi masalah itu. Sekarang pusatkan saja pikiranmu untuk membahagiakan Wati. Bahkan kalau bisa, carilah jodoh untuknya. Supaya dia juga merasakan berumahtangga seperti perempuan lain.”

Kemudian aku keluar dari kamar Ibu dan membuka pintu kamar Wati, lalu masuk ke dalamnya. Kamar ini sudah dibangun dengan cara semodern mungkin. Pasti Wati senang sekali melihat bentuk kamarnya yang tidak kalah dengan kamar - kamar mandi orang kaya di sekitar rumah peninggalan almarhum ayahku ini.

Ternyata Wati sedang mandi. Aku pun langsung membuka pintu kamar mandi.

Tampak kakakku itu sedang berendam di dalam bathtub. Memang pada saat Ibu dan Wati sedang berada di rumah sakit, kutambahkan bathtub ke kamar mandi mereka.

“Enak kan pakai bathtub gitu?” tanyaku.

Wati agak kaget karena baru sadar ada orang lain di dalam kamar mandi ini.

“Enak Wan. Makasih yaaa… akhirnya aku bisa merasakan juga enaknya berendam di dalam bathtub.”

Mata jalangku memperhatikan bentuk kakakku dalam keadaan telanjang bulat itu. Kelihatannya toket Wati jadi ngegedin sedikit. Bokongnya juga ngegedein. Maka bisalah aku menilai kakakku itu manis dan seksi.

“Kamu masih butuh kontolku gak?” tanyaku sambil menjawil toket gedenya.

“Ya maulah. Selama dirawat di rumah sakit, tak sekali pun aku bisa melihat yang namanya kontol. Apalagi menyentuhnya. Hihihiiii… !”

“Jadi sekarang mau kuentot gak?”

“Mauuuu… tapi sebentar kuselesaikan dulu mandinya ya Wan.”

“Kirain setelah bisa melihat, kamu gak butuh kontolku lagi. Ayo cepetan dong mandinya.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu