2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

“Silakan masuk Pak. Ada apa nih malam begini bapak- bapak polisi datang ke sini?” tanyaku.

“Nanti kami masuk kalau sudah jelas. Apakah benar di sini rumah Ibu Hayati?” tanya salah seorang polisi yang belum mau masuk ke dalam rumah.

“Betul. Bu BHayati itu ibu saya.”

“Ooo… jadi Anda yang bernama Wawan Darmawan ya?”

“Betul Pak. Ada apa ya?”

“Anda punya saudara yang tunanetra bernama Wati?”

“Betul Pak. Dia itu kakak kandung saya. Ada apa dengan dia Pak?”

“Nggak ada apa - apa. Kami hanya melanjutkan tugas dari kepolisian Kalimantan Timur, untuk mengantarkannya pulang,” sahut salah seorang polisi itu yang lalu menoleh ke arah temannya sambil berkata, “Kalau begitu turunkan saja dia dari mobil. Alamatnya sudah kita temukan.”

“Siap komandan,” sahut polisi yang berpangkat lebih rendah, yang lalu bergegas menuju mobil polisi yang terparkir di seberang jalan.

“Jadi… kakak saya ada di dalam mobil itu Pak?”

“Iya. Dia baru saja datang ke kantor kami, diantarkan oleh rekan polri dari Kaltim. Untuk jelasnya nanti saja tanyakan langsung kepada kakak Anda.”

Dengan gugup aku bergegas menuju kamar Ibu. “Bu…! Kak Wati pulang… !” seruku.

“Masa?! “Ibu tampak kaget, lalu kutuntun ke ruang tamu sambil dibisiki, “Jangan tanya apa - apa ya Bu. Dia diantarkan oleh polisi yang merasa kasihan, takut nyasar di jalan mungkin.”

“Iya… iyaaa…”

Sementara di depan tampak kedua anggota polri itu membimbing Kak Wati yang tampak jadi lebih montok, memasuki ruang tamu. Aku pun langsung memeluk Kak Wati, “Kak Wati… ke mana aja selama ini Kak?” tanyaku sambil menciumi pipi kakakku.

“Ini… Wawan ya?”

“Iya Kak…”

“Panjang ceritanya Wan. Mana Ibu?”

“Ini Ibu,” sahutku sambil menarik Ibu agar bersentuhan dengan anak sulungnya.

Mereka lalu berpelukan sambil menangis.

Sementara aku mempersilakan kedua anggota polri itu untuk duduk di ruang tamu.

Ibu dan Kak Wati masih berpelukan sambil berdiri di ruang tamu. Lalu kubimbing mereka agar duduk bersamaku di atas sofa tua ruang tamu.

Setelah mengucapkan terima kasih pada kedua anggota polri itu, aku menyerahkan amplop berisi uang sebagai tanda terima kasih. Tapi dengan simpatik mereka menolak dan berkata, “Kami hanya terdorong oleh rasa kemanusiaan saja. Makanya kami langsung antarkan Mbak Wati itu ke sini, karena kalau disuruh nginep dulu di kantor polisi kan kasihan.

Kemudian kedua anggota polri yang baik hati itu berpamitan pulang. Sementara amplop berisi uang itu kumasukkan lagi ke dalam saku celanaku.

“Aku mau mandi dulu Wan. Sejak dari Kalimantan sampai detik ini aku belum mandi,” kata Kak Wati sambil berdiri, “Letak kamar mandinya masih tetap seperti dahulu?”

“Masih Kak,” sahutku, “Perlu kuantar?”

“Gak usah,” sahut Kak Wati, “Aku masih hafal letak kamar mandi itu kalau belum dirubah sih… mudah - mudahan aja masih ingat. Ohya, tolong handuk, sabun, sikat gigi dan odolnya keluarin dari tasku Wan. Minta tolong nih, bukan nyuruh.”

“Iya Kak,” sahutku sambil berdiri dan me;langkah ke arah tas pakaian Kak Wati yang masih tergeletak di lantai ruang tamu.

“Hihihi… tumben kamu mangil aku Kak segala. Dulu kita kan saling panggil nama aja Wan,” kata kakakku yang mulai melangkah ke kamar mandi sambil meraba - raba ke depannya.

“Kamu kan memang juga kakakku,” sahutku.

“Tapi beda umur kita cuma setahun Wan. Panggil namaku aja, gak usah pakai kak kik kuk kek kok. Hihihiii…”

Memang benar, sejak kecil aku dan kakakku itu saling panggil nama saja. Tanpa istilah Kak, meski pun dia kakakku.

Aku sengaja melambatkan diri mencari peralatan mandi kakakku dari tasnya, karena ketika Wati sudah dekat kamar mandi, aku berbisik ke telinga Ibu, “Barang - barang yang tadi itu umpetin dulu Bu. Jangan sampai ketahuan sama Wati.”

“Iya. Nanti suruh dia tidur di kamarmu aja Wan. Ibu mau kunci pintu kamar ibu. Takut ada rahasia kita yang terbongkar sama dia.”

“Iya. Dia memang harus tidur di kamarku, karena aku mau mengorek pengakuannya, ke mana saja selama lima tahun menghilang itu.”

Lalu Ibu masuk ke dalam kamarnya. Dan langsung menutup serta menguncikan pintu kamarnya.

Sementara aku pun bergegas menuju pintu kamar mandi, untuk menyerahkan peralatan mandi kakakku yang sudah duluan masuk ke dalam kamar mandi.

Begitu masuk ke dalam kamar mandi, aku terlongong melihat kakakku sudah telanjang bulat… yang anehnya menggetarkan batinku tidak seperti biasanya.

Ya… sejak kecil aku dan Wati sering mandi bareng. Sambil mengawalnya di kamar mandi, karena takut salah injak atau terpeleset dan sebagainya.

Tapi saat - saat seperti itu tak pernah membuatku ada yang istimewa. Karena waktu masih kecil Wati itu kurus.

Aku bahkan sjudah hafal seperti apa bentuk kemaluan kakakku itu. Dia pun sudah hapal bentuk penisku saat itu, meski hanya lewat sentuhan belaka.

Setelah kemaluan kami sama - sama berjembut, kami tidak pernah mandi bareng lagi.

Tapi setelah lima tahun tidak berjumpa, ternyata banyak perubahan yang terjadi pada diri kakakku itu. Kini tubuhnya tidak kurus lagi, bahkan sebaliknya… jadi montok dan seksi…!

Dan terus terang saja, desir birahi mulai timbul di dalam batinku setelah memperhatikan bentuk sekujur tubuh Wati (yang tidak mau disebut Kak itu) dalam keadaan telanjang bulat begitu.

Maka setelah memutar otak, aku pun berkata, “Aku juga mau mandi ah. Hitung - hitung bernostalgia pada masa kecil kita dahulu.”

“Iya,” sahutnya, “Sekalian sabunin punggungku ya Wan.”

“Iya,” sahutku yang sedang melepaskan seluruh busana yang melekat di tubuhku. Kemudian kusirami tubuh Wati dari bahu ke bawah, membuatnya menggigil kedinginan karena hari memang sudah malam. Maka secepatnya kusabuni punggungnya sambil berkata setengah berbisik, “Dulu waktu aku berumur limabelas, Wati pernah ngajak bersetubuh kan sama aku…

“Iya. Tapi kamu gak mau. Malah bilang takut aku hamil dan sebagainya.”

“Waktu itu aku kan masih belum mikirin yang gitu - gituan. Cuma mikir nyari duit buat sekolah dan buat makan kita sehari - hari. Kalau sekarang sih aku mau… soalnya kamu jadi seksi begini Wat.”

“Tapi… sekarang aku gak perawan lagi Wan.”

“Gak masalah. Memangnya siapa yang ngambil keperawananmu.”

“Yang menculik aku ke Kalimantan itu.”

“Emangnya kamu diculik Wat?”

“Iya… tapi menculiknya secara halus. Ngajak aku makan - makan di restoran. Lalu dibawa masuk ke mobilnya. Aku gak tau dibawa ke mana saat itu. Eee… makan - makannya sudah jauh di luar kota. Ternyata saat itu aku mau dibawa ke Jakarta dengan janji akan dikasih pekerjaan di Kalimantan.”

“Terus?”

“Bujukannya memang halus sekali. Sedangkan aku ingin merasakan seperti apa naik pesawat terbang itu. Ah… panjang ceritanya. Nanti aja kuceritain setelah mandi. Ini aku kedinginan Wan. Cepetan mandinya ya.”

Setelah selesai menyabuni punggung Wati, aku pun buru - buru menyelesaikan mandiku. Memang terasa dingin sekali airnya. Tapi dalam tempo singkat aku sudah siap untuk membuat tiga kamar yang lengkap dengan mandi masing - masing. Kamar mandi yang dilengkapi dengan shower dan water heater, tanpa menggunakan gayung plastik lagi.

Ketika Wati sudah membalut badannya dengan handuk, aku pun sudah selesai mandi. Dan membelitkan handuk juga di badanku.

Kemudian kutuntun kakakku menuju kamarku.

“Ibu sudah tidur ya?” tanyanya waktu sedang melewati pintu kamar Ibu.

“Iya. Wati mau tidur di kamarku kan?”

“Iya. Biar bisa ngobrol dulu sebelum tidur. Lagian tidur sama Ibu suka ngorok, suka bikin aku terbangun karena berisik oleh suara ngoroknya.”

Setibanya di dalam kamar aku berbisik ke telinga kakakku. “Aku mau ngentot memekmu ya.”

“Hihihi… kayak yang iya aja.”

“Serius, aku pengen nyobain memekmu Wat,” kataku sambil menutup dan menguncikan pintu kamarku. Lalu mengajak kakakku duduk di sofa hitam yang tak jauh dari ranjangku.

“Beneran kamu mau menyetubuhiku?” tanya Wati sambil memegang tanganku.

“Iya… ingin merasakan enaknya memekmu.”

“Harusnya dari dulu - dulu kamu menerima ajakanku,” kata Wati sambil memegang pahaku, lalu menyelinapkannya ke balik handuk yang belum kulepaskan dari tubuhku, “Segede apa sih kontolmu?”

“Pegang aja sendiri,” sahutku sambil melakukan hal yang sama. Menyelinapkan tanganku ke balik handuk yang masih membeliti tubuh kakakku.

“Anjriiiittt… kontolmu panjang gede gini Wan…! Sudah ngaceng pula… !” seru Wati tertahan.

“Sttt… jangan keras - keras ngomongnya. Nanti kedengaran sama Ibu,” kataku sambil menempelkan telapak tanganku di mulut kakakku.

Tapi aku tidak takut kedengaran oleh Ibu. Karena di antara kamarku dengan kamar Ibu, ada ruangan kecil yang kami pakai untuk ruang makan. Lagian bunyi radio di kamar Ibu terdengar agak nyaring. Biasa dia suka nyetelin radio kalau sudah mau tidur. Tapi… mungkin juga Ibu sedang menggunakan dildo yang kukasih tadi dengan leluasa.

Tanpa kusuruh, Wati melepaskan belitan handuknya, sehingga menjadi telanjang bulat di depan mataku. Maka aku pun melepaskan belitan handukku, sehingga jadi sama - sama telanjang seperti kakakku.

Yang menggiurkan pada diri kakakku itu adalah toketnya itu, pentilnya gede - gede. Wajahnya pun keindia - indiaan. Hmmm… seandainya dia bisa melihat seperti aku, pasti sudah banyak cowok yang naksir sama kakakku satu - satunya itu.

Dan kini, dalam keadaan telanjang, kakakku merebahkan diri di sofa, dengan kaki dikangkangkan.

Aku menyambutnya dengan pelukan seorang lelaki kepada seorang perempuan. Bukan pelukan adik kepada kakaknya.

Tentu saja pusat perhatianku ke arah kemaluannya, yang lalu kusentuh dengan tanganku. Kuperhatikan dari dekat… dekat sekali. Memang kelihatan kalau kemaluan kakakku sepoerti sering “dipakai” oleh lelaki, Tapi aku tak peduli hal itu. Aku bahkan sudah sangat terangsang ketika bagian dalam kemaluannya yang kemerahan itu sudah ternganga di depan mataku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu