2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 17

Setelah mengganti pakaianku dengan baju dan celana piyama, aku merebahkan diri di atas bed. Nova pun naik ke atas bedku dan merebahkan diri di sampingku.

“Sebenarnya ada kamar kosong yang tadinya dipakai oleh Kak Wati. Tapi setelah dia menikah, kamar itu kosong. Apakah kamu mau tidur di kamar yang kosong itu?” tanyaku.

“Nggak mau. Aku mau tidur sama Abang aja ya… please…” sahutnya dengan suara memohon.

“Kenapa? Kamu takut tidur sendirian?”

“Nggak. Tapi aku teriungat Papa almarhum. Semasa beliau masih ada, aku sering tidur di kamar Papa Mama. Dan aku selalu merasa nyaman kalau tidur dalam pelukan Papa,” ucap Nova sambil meletakkan lengannya di dadaku, “Setelah berjumpa dengan Abang, aku punya perasaan Abang ini laksana pengganti Papa yang sudah tiada.

Kutatap wajah adikku yang cantik dan bermata sayu itu. Perasaan iba pun timbul. Lalu kupeluk pinggangnya sambil berkata, “Ya udah… sekarang tidurlah Sayang.”

“Bang…”

“Hmm?”

“Apakah Abang benar - benar sayang padaku?”

“Tentu aja,” sahutku sambil membelai rambutnya, “Kalau gak sayang, ngapain kamu dibawa ke sini? Kita ini saudara kandung. Sedarah sedaging.”

“Iya Bang. Aku juga sayang sama Abang. Sayang sekali,” ucapnya sambil menumpangkan pahanya di atas pahaku, sehingga belahan kimononya terbuka lebar. Dan… aku melihat kemaluannya yang tak bercelana dalam. Membuatku tergetar dalam perasaan aneh. Bukan lagi sebagai perasaan kakak pada adiknya.

Batinku bergulat dahsyat. Antara nafsu dan kesadaran bahwa Nova ini adik kandungku yang harus kulindungi kehormatannya.

Sampai akhirnya kuusap - usap memek adikku yang cantik ini. Dan… Nova diam saja. Bahkan semakin mempererat dekapannya.

“Kenapa kamu gak pakai celana dalam?” tanyaku perlahan.

“Aku udah terbiasa kalau mau tidur gak pakai beha dan celana dalam. Supaya pernafasanku lebih lapang.”

“Dan gampang kjalau mau mainin dildo juga kan?”

“Iya Bang. Hehehee…”

“Kamu belum pernah merasakan kontol yang sebenarnya?”

“Belum pernah Bang.”

“Sekarang mau ngerasain?”

“Kontol siapa? Gak mau ah kalau dikasih kontol sembarang cowok sih. Kalau… kalau kontol Abang aku mau…” sahutnya dengan nada lugu.

Mendengar jawaban itu, aku tidak cuma mengusap - usap memeknya lagi. Melainkan mulai menyelinapkan jari tengahku ke dalam liang memeknya yang sempit tapi sudah agak basah dan licin. Lalu kugerak - gerakkan jari tengahku ke dalam dan ke luar ke dalam lagi ke luar lagi…

Tapi aku tidak berani memasukkan jariku terlalu jauh. Hanya berani seruas jari saja.

“Baaaang… duuuuh Baaaang… ini… enak sekali Bang…”

“Beneran kamu mau nyobain kontolku?” tanyaku dengan jari yang masih tetap kuentotkan di liang memek Nova, tapi tetap hanya sebatas 1 ruas saja…

“Mau… tapi bagaimana kalau aku hamil nanti?”

“Soal itu sih gampang,” kataku sambil turun dari bed dan mengeluarkan tiga strip pil kontrasepsi. Lalu kuberikan ketiga strip pil kontrasepsi itu pada Nova sambil berkata, “Ini pil anti hamil. Baca aja petunjuknya nanti.”

Nova menyambut ketiga strip pil kontrasepsi itu. Lalu membaca petunjuk yang tertera di bagian belakang stripnya. “Ini pil kabe ya Bang.”

“Iya,” sahutku sambil naik lagi ke atas bed.

“Ayo kalau gitu sih. Abang mau kan melakukannya sekarang?”

Aku mengangguk sambil melepaskan baju piyamaku. “Tapi harus merahasiakannya ya. Ini rahasia untuk kita berdua aja ya.”

“Iya Bang. Aku janji,” ucap Nova sambil mengangkat dua jari tangan ke dekat telinganya.

Setelah melepaskan celana piyamaku, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, kulepaskan ikatan tali kimono Nova, kemudian Nova sendiri yang melepaskan kimononya. Sehingga tubuh Nova terbuka sepenuhnya alias telanjang bulat. Karena sejak tadi ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam.

Aku terpukau menyaksikan betapa putih mulusnya tubuh adik kandungku itu. Tiada cela setitik pun di mataku.

Lalu kena;pa dia harus merusak keperawanannya sendiri dengan dildo yang sudah dibuang itu?

Entahlah, aku belum menanyakan masalah itu.

Lagian usia Nova sudah 20 tahun. Sudah dewasa. Wajar saja kalau dia sering dilanda kepenasaranan, ingin tahu seperti apa rasanya hubungan sex yang sering dijuluki Surga Dunia itu. Lalu dia mendapatkan kenikmatan dari alat bantu itu. Padahal kalau dia sudah merasakan alat kejantanan yang asli, mungkin dia akan merasakan sesuatu yang lain.

Nova pasrah saja ketika kuberitahu bahwa hubungan sex itu harus didahului dengan foreplay dulu. Supaya dia benar - benar siap untuk dipenetrasi.

Kemudian aku menelungkupi tubuhnya sambil mencium dan melumat bibirnya.

Jujur, perasaanku sat ini bukan seperti sedang mencumbu adik kandungku. Maklum aku melihatnya setelah dewasa begitu, sehingga aku merasa seperti berhubungan dengan orang luar yang bukan saudara kandungku.

Ternyata Nova juga merasakan hal yang sama. Belakangan dia mengaku bahwa setiap berdekatan denganku, seperti berdekatan dengan kekasihnya. Bukan seperti berdekatan dengan abang kandungnya. Jadi pada intinya, batin kami sama - sama dialiri arus birahi.

Terutama ketikia aku mulai mencium bibirnya sanmemainkan pentil toketnya yang mulai menegang. Lalu suhu badan Nova pun mulai menghangat.

Bahkan Nova menatapku sambil bertanya perlahan, “Bang… kalau nanti aku jatuh cinta sama Abang gimana?”

“Gak apa - apa Sayang. Aku juga bisa aja jatuh cinta padamu. Tapi kita harus pandai merahasiakannya. Jangan sampai ada orang tau. Karena kita ini kakak beradik kandung.”

“Tapi… sebenarnya sejak melihat Abang di Jakarta tadi… rasanya aku sudah jhatuh hati sama Abang.”

“Aku pun sama. Begitu melihatmu tadi, aku langsung merasa sayang padamu. Karena kamu ini sangat cantik Sayang,” ucapku yang kulanjutkan dengan kecupan mesra di bibir tipis sensualnya.

“Ooooh Bang… kalau begitu kita jadi sepasang kekasih gelap aja ya. Aku yakin akan bahagia kalau menjadi kekasih Abang.”

“Iya… nanti kita pikirkan matang - matang, jalan mana yang harus kita tempuh. Yang jelas aku sangat sayang padamu Nov.”

“Aku juga sayang sama Abang.”

“Baguslah kalau begitu. Sekarang aku akan menjilati memekmu ya. Biar pada waktunya kontolku dimasukkan, jangan membuatmu sakit.”

“Iya Bang… aku pasrah aja sama Abang. Karena aku yakin Abang pasti tau apa yang terbaik untukku.”

Lalu kungangakan memek Nova yang bersih dari jembut itu, sampai terlihat bagian dalamnya yang berwarna pink dan mengkilap karena agak basah.

Ketika aku mencermati bagian dalam memek adikku itu, ada keheranan di benakku. Karena smeuanya masih terkatup rapat. Terutama mulut liang sanggamanya. Tapi keheranan itu segera kulupakan. Lalu aku mulai menjilati bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu.

Nova pun mulai menggelinjang sambil meremas - remas kain seprai.

Terlebih setelah aku fokus menjilati clitorisnya yang muncul dan mengkilap itu. Nova pun menggeliat - geliat terus sambil menahan - nahan nafasnya.

Terkadang kusedot clitorisnya yang terasa sudah mengeras ini (pertanda horny). Tentu saja semua ini kulakukan sambil mengalirkan air liurku ke dalam memeknya. Agar “pelumasnya” cukup banyak.

Setelah cukup lama menjilati memek dan clitorisnya, aku pun merasa sudah tiba waktunya untuk melakukan penetrasi.

Maka kurenggangkan jarak sepasang paha putih mulus Nova, sambil siap - siap meletakkan moncong kontolku tepat di ambang “pintu surgawi”nya.

Dengan sekuat tenaga kudorong kontolku yang sudah ngaceng berat ini.

Ciaaaaah… meleset ke bawah…!

Kubetulkan lagi letak moncong kontolku dan kudorong lagi dengan tenaga full.

Gila… meleset lagi. Kali ini melesetnya ke atas. Malah kontolku jadi melengkung karena tidak tepat sasaran.

Selanjutnya aku mencolek - colekkan dulu moncong kontolku di seputar mulut liang sanggama Nova. Bahkan setelah merasa tak salah lagi, kudesakkan kontolku sampai masuk kepalanya sedikit.

Aku mengumpulkan tenaga dan konsentrasiku, sambil memegang batang kemaluanku yang moncongnya sudah diselipkan ke mulut liang sanggama Nova. Lalu kudorong sekuat tenaga… melesak sedikit… dorong lagi lebih kuat… masuk lagi sampai lehernya.

Sementara Nova hanya memejamkan matanya dengan sikap pasrah.

Aku pun menghempaskan dadaku ke atas dada Nova sambil berkata, “Memekmu seperti masih perawan Sayang. Apakah kamu yakin kalau kamu tidak perawan lagi?”

Nova menatapku sambil berkata lirih, “Gak taqu juga Bang… aku hanya mikir kalau sering mengalami orgasme, pastilah aku gak perawan lagi.”

“Cara menggunakan dildo bagaimana? Dimasukkan semuanya ke dalam liang memekmu?”

“Gak Bang. Hanya ditekankan ke clitorisku sambil diaktifkan vibratornya.”

“Sama sekali tidak pernah dimasukkan ke dalam liangnya?”

“Pernah. Tapi hanya sekitar satu sentimeter aja. Gak berani masukin dalam - dalam.”

“Ya udah… nanti juga akan terbukti masih perawan atau tidaknya sekarang ini,” ucapku sambil mendorong lagi kontolku sedikit demi sedikit, sampai masuk lebih dari setengahnya.

Setelah masuk lebih dari separohnya, aku pun mulai mengayun kontolku sambil memperhatikan wajah Nova yang sudah mulai membuka matanya.

Mata Nova itu sayu. Dan secara objektif harus kuakui, bahwa Nova sedikit lebih cantik daripada Anneke. Ini penilaian yang objektif, bukan lantaran dia itu adik kandungku.

“Bang…” ucapnya lirih.

“Hmmm?” aku masih perlahan mengayun kontolku.

“Aku yakin… aku sudah cinta pada Abang. Bukan sekadar sayang lagi…” ucapnya tersendat - sendat, karena aku mulai mengentotnya, meski belum dipercepat entotannya.

“Tapi kita takkan bisa jadi suami istri Sayang. Kamu kan adik kandungku.”

“Biar aja Bang. Yang penting kita bisa saling mencintai… tanpa harus diketahui orang lain… oooooo… oooooooohhhhh… Baaang… ini mulai enak sekali Baaaang…”

Aku masih pelan - pelan mengentotnya. Sehingga diam - diam aku mengangkat badanku sambil mengamati kontolku yang sedang memompa liang memek adikku. Ternyata kecurigaanku benar. Kontolku seolah diselimuti oleh lapisan tipis kemerahan. diselimuti oleh darah perawan Nova…!

Maka sambil melanjutkan entotanku, bibir sensual Nova kupagut. Kuciumi dan kulumat bibirnya, disusul dengan bisikan, “Benarkah kamu mencintaiku Sayang?”

“Iya Bang. Kalau gak cinta, gak mungkin aku menyerahkan memekku pada Abang…”

Terharu aku mendengar ucapan Nova itu.

“Aku juga mulai mencintaimu Sayang…” ucapku sambil menciumi kelopak mata, ujung hidung dan bibirnya.

“Terima kasih Bang…” ucap Nova sambil mendekap pinggangku.

Aku mulai mempercepat entotanku.

Nova pun mulai mendesah - desah dan merintih - rintih perlahan, “Aaaaaah… Baaaang… aaaaah… ini luar biasa enaknya Bang… aaaaaaah… Baaaaang… aku cinta padamu Baaaaang… cinta sekali Baaaaang… aaaaaaah… aaaaaah…”

Karena melihat darah perawan tadi, aku jadi sadar bahwa aku sedang mengentot memek yang masih perawan. Karena itu, pasti ada luka di dalam memek Nova nanti.

Itulah sebabnya aku takkan terlalu lama menyetubuhi Nova, karena takut membuatnya tersiksa nanti.

Maka aku pun mengintip gejala - gejala Nova akan mencapai orgasmenya.

Dan itu tidak lama. Baru saja seperempat jam aku menyetubuhinya, Nova mulai berkelojotan. Pada saat itu pula kugencarkan entotanku, sambil berkonsentrasi agar secepatnya ejakulasi.

Lalu… pada waktu Nova sedang mengejang tegang, aku pun menancapkan kontolku sedalam mungkin… sampai terasa moncong kontolku mentok di dasar liang memek Nova.

Lalu terasa liang memek Nova berkedut - kedut perlahan, disusul dengan kejutan - kejutan kontolku yang sedang memuntahkan lendir kenikmatanku.

Croootttt… croootttt… croooottttt… crotttttt… croooottttttt… crottttt… crooootttt…!

Nova terkulai dalam pelukanku. Namun masih sempat ia berkata lirih, “Terima kasih Bang… yang barusan, luar biasa indahnya… karena diiringi perasaan cintaku pada Abang…”

“Kamu sudah ikhlas memberikan keperawananmu padaku?”

“Keperawanan? Aku kan memang gak perawan lagi Bang.”

“Siapa yang bilang kamu tidak perawan lagi? Sebelum kontolku dimasukkan ke dalam memekmu, kamu masih perawan Sayang,” ucapku sambil mencabut kontolku dari liang memek adikku.

“Tuh… lihatlah… darah perawanmu jadi saksi, bahwa sebelum kusetubuhi barusan, kamu masih perawan… !” kataku sambil menunjuk ke darah yang tergenang kira - kira sebanyak 1 sendok teh di bawah memek Nova.

Nova duduk sambil memandang ke arah genangan darah perawannya di kain seprai putihku.

“Jadi aku tadi masih perawan Bang? Pantasan tadi terasa ada yang perih - perih,” ucap Nova tampak bingung.

“Perih karena hymen-mu sobek tadi. Begitulah kenyataannya. Dildo itu tidak merusak keperawananmu, karena kamu tidak pernah memasukkannya ke dalam memekmu kan?”

“Iya Bang. Aku hanya suka menempelkan dildo itu di clitoris dan di labia mayoraku. Belum pernah dimasukkan sampai ke dalam liangnya. Tapi sekarang aku benar - benar gak perawan lagi kan?”

“Iya. Kamu ikhlas memberikannya padaku?”

“Ikhlas Bang. Malah aku senang karena telah memberikannya kepada cowok yang aku sayangi sekaligus kucintai. Tapi Abang jangan mencampakkan aku nanti ya Bang.”

“Aku bukan manusia sejahat itu, Nova Sayang. Tapi di depan orang lain, kamu jangan memperlihatkan sikap mesra padaku ya.”

“Iya Bang. Tapi kalau bersikap manja sebagai seorang adik kepada abangnya, boleh kan?”

“Boleh. Yang gak boleh itu mencium bibirku di depan orang lain, misalnya. Kalau cium pipi malah gak apa - apa.”

Nova menganguk - angguk sambil tersenyum. Lalu kuminta Nova turun dulu dari bed. Kemudian kutarik kain seprai itu, untuk diganti dengan kain seprai baru. Kuipilih kain seprai berdasar coklat muda dengan corak kotak - kotak berwarna coklat muda.

Ketika aku sedang memasangkan kain seprai yang masih bersih itu, Nova menggulung kain seprai yang sudah terciprati darah perawannya.

“Seprai yang ini mau dikemanain Bang?”

“Masukkan aja ke dalam mesin cuci di dalam kamar mandi itu. Besok pagi akan kucuci, agar bekas darahnya jangan kelihatan orang.”

“Iya Bang.”

Esok paginya kubawa Nova ke dalam kamar Ibu.

Kulihat Ibu sedang duduk di sofa kamarnya.

“Anak bungsu Ibu sudah bersama kita Bu.”

“Anak bungsu?” Ibu tampak kaget, “anak yang diadopsi oleh Pak Hasyim itu?”

“Iya Bu. Saat diadopsi oleh Pak Hasyim, adikku itu belum diberi nama kan? Nah… sama Bap hasyim dan istrinya diberi nama Nova.”

“Nova, “gumam Ibu sambil mengangguk - angguk.

“Ini si bungsu sudah bersama kita Bu,” ucapku sambil menoleh kepada Nova dan memberi isyarat agar mencium tangan dan memeluk Ibu.

“Mana anakku yang namanya Nova itu…?” Ibu merentangkan kedua tangannya.

Nova pun mencium kedua kaki ibu, kemudian mencium tangannya. Dan menghambur ke dalam pelukan Ibu.

Ibu menangis terisak - isak, sementara Nova pun tampak bercucuran air mata.

“Anakku… gak kusangka ibu bakal ketemu lagi denganmu Sayang… hiiiks… hiksssss… waktu kamu diberikan kepada Pak Hasyim, Ibu tidak tau sama sekali. Baru tau ketika mau menyusuimu, almarhum Ayah bilang bahwa kamu sudah diberikan kepada Pak Hasyim untuk diadopsi oleh beliau… hikkssss… hikkssss…

“Pak Hasyim sudah meninggal Bu. Setelah perusahaannya gulung tikar, seluruh harta bendanya disita oleh bank. Lalu Pak Hasyim kena stroke berat dan akhirnya meninggal.”

“Lalu Nova ini bagaimana nasibnya?”

“Istri Pak Hasyim sudah ikhlas mengembalikan Nova kepada kita.”

“Ya Allah… terima kasih Allah… terima kasih karena anak hambamu ini sudah boleh bersamaku lagi…” ucap Ibu sambil menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas.

Kelihatannya Nova senang juga bisa bersama ibu kandung kami.

Pada suatu saat Ibu berkata padaku, “Kamar Wati itu kan kosong Wan. Tempatkan aja adikmu ini di situ.”

“Nova gak mau Bu,” sahutku, “Nova ingin tidur di kamarku. Karena sejak Pak Hasyim meninggal, dia sangat kehilangan. Lalu setelah dekat denganku, dia merasa seperti menemukan pengganti Pak Hasyim. Kerena itu dia mau tidur di kamarku seterusnya Bu.”

“Oooh, ya udah. Di kamarmu kan ada dua bed ya Wan?” tanya Ibu.

“Iya Bu.”

“Wati sudah dikasihtau?” tanya Ibu lagi.

“Belum. Biar kuhubungi dia sekarang, “katyaku sambil mengeluarkan handphone dan memijit nomor Wati. Sengaja kukeluarkan suaranya lewat speaker ponselku. Supaya Ibu dan Nova bisa ikut mendengarkan.

Lalu :

“Hallo Wan…”

“Ada kabar gembira nih Wat.”

“Kabar apa?”

“Adik kita yang dahulu diadopsi oleh Pak Hasyim itu, sekarang sudah ada di rumah.”

“Wah… kok bisa? Baguslah, jadi kita bertiga terkumpul lagi.”

“Panjang ceritanya. Bisa datang ke rumah?”

“Wah… aku sedang di bandara Wan. Sejam lagi juga mau terbang ke Jepang.”

“Ohya?! Ada urusan apa di Jepang?”

“Urusan bisnis suami, sekalian ngajak aku jalan - jalan. Nanti deh sepulanbgnya dari Tokyo aku datang ke rumah. Pengen lihat adik bungsu kita itu.”

“Iya, iya. Semoga penerbangannya selamat dan lancar. Titip salam aja sama suamimu.”

“Oke Wan. Salam baktos aja buat Ibu. Dan salam buat adik bungsu kita… siapa namanya?”

“Nova.”

“Ya, bilangin sama Nova, kita semua sayang sama dia.”

“Oke,” sahutku sambil menutup hubunganku dengan Wati.

Ketika aku menoleh ke arah Nova, ia tersenyum - senyum. Mungkin senang mendengarkan percakapanku dengan Wati tadi.

Hatiku pun jadi senang, karena merasa telah berhasil mengumpulkan kembali anak - anak Ibu.

Tapi tiga hari kemudian… ketika aku pulang dari kantor, hari masih siang. Baru jam setengah satu.

Dan ketika aku masuk ke dalam kamar, kulihat Nova sedang duduk di sofa.

Yang membuatku tertegun, kulihat matanya basah, bahkan masih banyak air mata yang membasahi pipinya.

“Kamu menangis? Kenapa Sayang?” tanyaku sambil membelai rambutnya.

“Nggak kenapa - kenapa Bang… hiks…” sahutnya sambil menunduk.

“Apakah kamu menyesali pada perbuatan kita berdua?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.

“Nggak Bang. Masalah itu sih justru membahagiakan diriku,” sahutnya sambil merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku.

“Lantas kenapa kamu menangis? Ngomong dong terus terang. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri.”

“Aku… hiks… aku kangen sama Mama Bang… hiks…” ucapnya sambil terisak - isak.

“Nah begitu dong ngomong. Kebetulan besok aku mau ke Jakarta. Jadi bisa sekalian mengajak mamamu ke sini ya.”

“Iya Bang… hiks… terima kasih…”

“Udah… jangan nangis lagi ya Sayang. Lain kali kalau ada apa - apa, ngomong aja sama aku. Jangan dipendam sendiri, apalagi pake nangis segala begitu.”

“Iya Bang…”

“Biar otakmu segar lagi, kita refreshing ke villa yok.”

Nova bangkit dengan sikap mendadak jadi ceria lagi, “Mau.. mau Bang, “sambutnya.

“Kalau mau, ganti baju dulu gih.”

“Sekalian mau mandi dulu ya Bang.”

“Iya. Aku juga mau mandi.”

“Ya udah… bareng aja mandinya, yuk Bang, “ajak Nova sambil tersenyum.

“Tar dulu… kamu duluan ke kamar mandi gih. Nanti aku nyusul. Aku kan masih pakaian lengkap gini,” kataku sambil melepaskan jas dan dasiku, kemudian juga sepatu dan celana panjangku. Setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku, barulah aku melangkah ke kamar mandi.

Ternyata Nova sudah telanjang di dalam kamar mandi. Membuatku tertegun lagi. Memang tubuh adik bungsuku itu indah sekali. Kulitnya pun sangat putih dan mulus sekali. Rasanya tak rela juga kalau pada suatu saat dia dipersunting lelaki lain. Tapi bijaksanakah kalau punya keinginan untuk memilikinya terus?

Entahlah. Yang jelas sejak persetubuhanku yang pertama dengannya itu, aku belum pernah menyetubuhinya lagi. Karena aku ingin agar luka akibat robeknya selaput dara (hymen) itu benar - benar sembuh dulu.

“Nanti di villa aku akan menggaulimu lagi untuk kedua kalinya. Sekarang pasti luka di dalam memekmu itu sudah sembuh,” kataku sambil memeluknya dari belakang, dalam keadaan sama - sama telanjang di bawah pancaran air hangat shower dari atas kepala kami.

Yang yang sangat Nova senangi adalah ketika aku menyabuni tubuhnya dari ujung kaki sampai ke lehernya. Dia merasa sangat dimanjakan dengan perlakuanku yang satu ini.

Hal lain yang membuatnya sangat nyaman adalah tidur dalam pelukanku. Bahkan menurut pengakuannya, tidur dalam pelukanku lebih nyaman daripada tidur dalam pelukan papa angkatnya.

Aku sendiri memang sangat sayang pada Nova. Karena dia sangat penurut. Apa pun yang kuperintahkan, dia lakukan tanpa membantah. Seperti waktu kusuruh membuang dildo dalam perjalanan pulang itu, misalnya, dia langsung membuangnya ke luar mobilku.

Beberapa saat kemudian, Nova sudah mengenakan blouse dan rok yang serba putih. Namun rok itu dilapisi rok yang terbuat dari kain jarang (puring) dan bercorak kembang - kembang berwarna hitam. Sehingga rok putihnya tampak, namun dicampur dengan kain puring hitam yang bercorak bunga - bungaan itu.

Sepatunya pun putih bersih. Sehingga adikku yang tubuhnya tinggi semampai itu tampak anggun. Bukan hanya cantik.

Bangga rasanya membawa adikku yang cantik dan anggun itu ke luar kota. Untuk beristirahat di villaku.

Memang aku berhasil membeli beberapa jenis properti dalam setahun belakangan ini. Profit yang kuterima dari perusahaan Tante Laila, perusahaan Anneke dan juga dari pabrikku yang telah berkembang dengan pesat itu, sengaja kujadikan investasi dalam bentuk properti. Beberapa rumah kubeli. Tanah dan sawah pun kubeli.

Aku yakin dalam waktu tidak terlalu lama, semua properti yang telah kumiliki akan mendapatkan keuntungan yang meyakinkan. Aku tidak mau jatuh miskin seperti Pak Hasyim almarhum. Karena itu aku harus selalu mewaspadai segala aktivitas bisnisku. Teoriku sederhana saja, agar jangan sampai jatuh pailit, jangan pernah besar pasak daripada tiang.

Ketika sedan hitamku sudah menginjak aspal, Nova berkata, “Bang… kalau bisa, kasih dong aku kegiatan. Biar jangan cengo mulu di rumah.”

“Ohya,” sahutku, “Kamu kan lulusan akademi sekretaris ya?”

“Iya Bang. Aku lulus SMA di umur enambelas. Lalu masuk akademi sekretaris. Tadinya sih ingin jadi sekretaris di perusahaan Papa. Eeeeh… perusahaannya malah bangkrut. Papa pun kena stroke sampai meninggal. Jadi nganggur deh aku setahun belakangan ini. Kuliah nggak, kerja juga nggak.”

“Nanti kamu akan kuangkat sebagai sekretaris direktur utama di perusahaan Tante Laila.”

“Tante Laila itu siapa Bang?”

“Adik ayah kita. Tapi adik seayah berlainan ibu.”

“Direktuir utamanya siapa?”

“Aku sendiri Sayang.”

“Asyiiiik… aku mau Bang jadi sekretaris Abang. Bisa ketemu terus tiap hari.”

“Tapi jangan sampai ketahuan sama Tante Laila kalau kita ada hubungan rahasia ya. Kamu harus bersikap sebagai sekretaris kepada atasan aja. Pokoknya kalau memang mau kerja, bekerjalah nanti secara profesional ya.”

“Siap Bang. Tapi kalau sedang berduaan begini, boleh kan aku bersikap mesra kepada Abang?” tanya Nova sambil menyandarkan kepalanya ke bahu kiriku.

“Tentu boleh. Bahkan harus… harus mesra kalau sedang berduaan begini sih.”

Tiba - tiba Nova mencium pipi kiriku, “Emwuaaaaah… aku cinta dan sayang sama Abang… !”

Aku tersenyum dan menghela nafas.

“Kamu bisa nyetir kan?” tanyaku.

“Bisa.”

“Di rumah kan ada mobil satu lagi,” kataku, “Nanti kalau sudah bekerja di kantorku, pakai aja mobil itu. Soalnya aku sering ada urusan di tempat - tempat lain. Karena aku memegang tiga perusahaan. Jadi kita gak bisa bareng - bareng terus.”

“Iya Bang. Mobil yang satu lagi kelihatannya keren kok Bang. Tapi mobil ini harganya selangit.”

“Gak tau, mobil ini hadiah kok. Gak tau harganya.”

“Hadiah dari mana?”

“Dari pabrik kacang asin.”

“Aaaah… masa sih hadiah dari kacang asin?!”

“Hahahaaa… bukan deng. Hadiah dari salah satu bossku, berkat prestasiku yang dianggap bagus. Makanya setelah bekerja nanti, kamu juga harus memperlihatkan prestasi yang bagus dan profesional.”

“Siap Bang Wawan Sayang…”

Sebelum mencapai villa, aku dan Nova turun dulu, untuk membeli makanan dan minuman uyang akan dibekal ke villa.

Kemudian kulanjutkan mengemudikan sedan hitamku menuju villa yang sudah dekat. Setibanya di depan villa itu, lewat hape kupanggil Mang Tarna, penjaga dan tukang bersih - bersih villaku.

Tak lama kemudian lelaki tua itu muncul. “Selamat sore Boss,” ucapnya sambil membungkuk sopan.

“Di dalam sudah dibersihkan Mang?” tanyaku.

“Sudah Boss. Baru tadi pagi dibersihkan semua,” sahutnya.

“Syukurlah. Ini buat beli rokok,” ucapku sambil memberikan beberapa lembar uang merah.

“Terimakasih Boss. Kalau ada yang harus dikerjakan, silakan panggil aja saya.”

Aku mengangguk sambil mengeluarkan kunci pintu depan villa. Lalu masuk ke dalamnya bersama Nova.

Setelah menguncikan kembali pintu depan, aku mengajak Nova duduk di sofa ruang tengah. Nova bahkan kududukkan di atas kedua pahaku.

Sambil mendekap pinggang Nova, aku membisikinya, “Kamu sudah kepengen merasakan entotan kontolku lagi kan?”

“Hihihiii… iya Bang. Kangen banget. Malahan sejak kemaren ada gatel - gatel di memekku. Mungkin karena lukanya sudah mau sembuh, jadi aja gatel.”

“Gatelnya pengen digesek kan?” bisikku yang kulanjutkan dengan menjilati daun telinga Nova.

“Baaang… aku sih kalau telingaku kena sentuh… apalagi dijilatin begini… langsung horny Bang,” ucapnya sambil meremas tanganku yang sedang dipegangnya.

“Ya udah… lepasin semua pakaianmu gih,” sahutku.

Nova pun melepaskan sepatu putihnya. Kemudian berdiri di dekat pintu kaca yang menuju ke arah samping villa. Di samping villa itu banyak tanaman hias yang terlindung oleh benteng tembok tinggi.

Di dekat pintu kaca rayban itu Nova melepaskan pakaiannya sehelai demi sehelai …

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu