2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Sambil berlutut kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang memek Bu Laila yang sudah sangat basah oleh air liurku itu.

Disambut dengan desahan nafas wanita yang sudah sangat berjasa bagi kehidupanku itu, “Aaaaahhhhh… udah berbulan - bulan penismu gak ngentot memekku ya… rasanya udah kangen sekali… aaaaaaah…”

Lalu sambil berpegangan ke ujung sandaran sofa, aku pun mulai mengayun kontolku. Perlahan - lahan dulu.

“Bagaimana rasanya memek bumil?” tanya Bu Laila.

“Lebih enak Beib… lebih lengkap rasanya…” sahutku sambil mempercepat entotanku.

Makin lama makin lancar kontolku mengentot liang memek Bu Laila yang memang lebih sedap daripada sebelum hamil. Tapi aku tidak berani terlalu cepat mengentotnya, mengingat bayi yang ada di dalam perutnya, jangan sampai tergoncang berlebihan.

Walau pun begitu tampak sekali Bu Laila sangat enjoy dengan entotanku ini. Maklum selama berbulan - bulan aku tak pernah “menengok” memeknya.

Cukup lama aku menyetubuhi Bu Laila sambil berlutut di karpet ini. Sehingga keringatku pun mulai berjatuhan ke karpet dan ke selangkangan sang Bidadari. Namun aku malah semakin asyik mengentotnya sambil mengelus - elus kelentitnya yang tampak menonjol dan mengkilap itu.

Desahan dan rintihan Bu Laila pun mulai berlontaran dari mulutnya. “Sayang… ooooh… oooohhhhh… ini nikmat sekali Yaaaang… ooooohhhh… aku memang sudah lama kangen sekali padamu Yaaaang… oooooohhhhhh… Sayaaaaaang… oooooohhhhh… kayaknya aku takkan bisa hidup tanpamu Sayaaaang…

Setelah cukup lama aku menggenjot liang memek bumil cantik itu, akhirnya ia mengejang tegang. Disusul dengan kedutan - kedutan erotis di liang kemaluannya.

“Aaaaaaaaahhhhh… luar biasa nikmatnya Sayaaang… aaaaaaaah…” desah Bu Laila sambil meremas - remas bahuku.

“Tapi Wawan belum ejakulasi ya? Lanjutin dalam posisi doggy aja yok. Tapi di sana aja biar leluasa,” ucap Bu Laila lagi sambil menunjuk ke arah bed.

“Oke, “aku mengangguk sambil mencabut kontolku dari liang memek Bu Laila. Lalu mengangkat tubuhnya dengan hati - hati. Dan membopongnya… lalu meletakkannya di atas bed dengan hati - hati.

“Terima kasih Sayang,” ucap Bu Laila, “Bersamamu aku merasa seperti di kahyangan.“

Kemudian Bu Laila merangkak dan menunggingkan bokongnya, sehingga memek tembemnya tampak full di mataku, meski pun dia sedang menungging.

Lagi - lagi aku harus berlutut sambil membenamkan kontol ngacengku ke dalam liang memek Bu Laila. Tak sulit memasukkan batang kemaluanku kali ini. Karena liang memek Bu Laila masih becek.

Meski dalam posisi doggy, aku tak berani menampar - nampar pantat Bu Laila. Takut berakibat buruk pada anakku yang berada di dalam perutnya. Aku hanya berani meremas - remas sepasang buah pantatnya yang lumayan gede. Tak lebih dari itu.

Namun diperlakukan seperti itu pun Bu Laila tampak enjoy. Enjoy seklali.

Desahan dan rintihan histerisnya berkumandang lagi di dalam kamar hotel bintang lima ini. “Aaaaah… Saayaaang… aaaaaaah… aaaaaah Sayaaaang… aaaaaaaah… aku smeakin cinta padamu Sayaaaaaang…”

Memang posisi doggy ini cukup aman bagi bayi di dalam perut Bu Laila. Karena ia menungging, sementara perutnya tidak menyentuh kasur.

Tapi tak lama kemudian ia mengerang, “Yaaaang… aku mau orga lagiiii…”

Mendengar erangannya itu aku pun mempercepat entotanku. Dengan tujuan agar ejakulasi secepat mungkin. Karena aku merasa kasihan kepada Bu Laila kalau terlalu lama menyetubuhinya.

Maka ketika Bu Laila mengejang tegang sambil menahan nafasnya, kontolku pun mengejut - ngejut sambil memancarkan lendir kenikmatanku.

Crooootttt… croottt… croooottttt… crooooooootttttt… croooooooottttt… crottttt… crooootttt…!

Bu Laila pun rebah miring, sehingga kontolku terlepas dari jepitan liang memeknya.

Aku pun rebah miring di belakang Bu Laila, sambil mendekap pinggangnya yang basah oleh keringat.

“Spermamu banyak sekali Honey… sampai meluap gini nih dari memekku,” kata Bu Laila sambil mengusap - usap memeknya yang berlepotan spermaku.

“Kan selama ini puasa,” sahutku, “jadi sekalinya buka puasa, dimuntahin deh semua.”

Bu Laila tersenyum. Lalu turun dari bed dan melangkah ke kamar mandi. Mungkin mau bersih - bersih.

Sementara aku cukup dengan menyeka alat vitalku dengan kertas tissue basah yang tersedia di meja kecil dekat bed.

Tak lama kamudia Bu Lidia pun muncul dari kamarf mandi dan meraih gaun hamil putih itu dari kapstok, lalu mengenakannya.

Lalu menghampiriku yang sedang duduk bersila di atas bed, dengan hanya mengenakan celana dalam.

“Ada sesuatu yang ingin kusampaikan,” ucapku, “Tadinya aku tetap akan merahasiakan hal ini. Tapi rasanya rahasia ini seolah mau meledak di dadaku.”

“Rahasia apa Sayang?” Bu Laila membelai rambutku. Lalu mengecup pipiku.

“Ternyata aku harus manggil Tante padamu Beib.”

“Lho kenapa? Karena aku sudah tua menurutmu?”

“Bukan. Masalahnya dirimu ini adik ayah kandungku. Seibu tapi berlainan bapak.”

“Haaa? Memangnya siapa nama ayahmu?”

“Nama ayahku Zaelani bin Mahmud. Sedangkan ayah beib bernama Yahya bin Syahroni kan?”

“Haaa?! Jadi Wawanku tersayang ini anak Kang Zaelani?”

“Iya. Semoga Beib tidak marah padaku, karena aku pun baru - baru ini aja mengetahuinya. Bahwa ibu kandung Beib adalah nenekku. Berarti aku harus memanggil Tante padamu Beib.”

“Kalau di depan umum sih boleh aja manggil tante padaku. Tapi kalau sedang berduaan begini… aku ini sudah sepenuhnya menjadi milikmu Sayangku… !”

“Jadi Cinta tidak marah padaku setelah tau bahwa aku ini anak almarhum Zaelani?”

“Kok marah?! Aku malah jadi bertambah sayang padamu.”

“Soalnya kata ibuku, Laila itu sudah lebih dari duapuluh tahun tak mau menginjak rumah peninggalan ayahmu ini. Mungkin Laila itu benci karena ayahmu menikahi perempuan buta.”

“Astagaaa… bukan begitu masalahnya. Pada waktu masih ada, ayahmu mau minjam duit padaku. Tapi aku tau duit itu untuk kawin lagi. Karena itu aku gak mau ngasih pinjaman serupiah pun. Karena itu ayahmu marah sekali. Bahkan menyumpahiku… melarangku menginjak rumahnya lagi. Meski sedih, kuturuti aja larangan itu.

“Benar begitu permasalahannya?”

“Iya. Disumpah apa juga aku mau. Aku tak pernah membenci siapa pun di dunia ini.”

“Tapi ibuku mengira Cinta membencinya, karena kebutaannya itu.”

“Ya Tuhaaan… aku tidak sejahat itu Sayang. Nanti kalau sudah melahirkan aku akan mengunjungi rumahmu. Akan menjelaskan semuanya kepada ibumu. Mmm… ibumu bernama Hayati kan?”

“Betul.”

“Kalau sekarang gak sedang hamil begini sih aku akan menjumpai ibumu hari ini juga. Tapi karena sedang buncit begini, aku takut banyak pertanyaan nanti. Ohya… ibumu sudah diupayakan berobat ke dokter mata?”

“Sudah. Bahkan sempat dirawat di rumah sakit bersama kakakku yang juga tunanetra. Tapi hanya kakakku yang bisa dinormalkan matanya. Ibu sih tidak bisa diapa - apain lagi, kata dokter.”

“Kasihan ya. Padahal ibumu itu cantik Honey. Kulitnya juga putih cemerlang.”

“Jadi setelah tau asal - usulku, hubungan kita bisa berlanjuut terus?”

“Ya iyalah. Lagian kalau kita orang Tapanuli misalnya, marga kita sudah berbeda Honey. Jadi kalau aku bermarga Yahya, dirimu bermarga Mahmud.”

Kulingkarkan lenganku di leher Tante Laila sambil berbisik, “Aku tak rela kehilangan dirimu Cinta.”

“Apalagi aku,” sahutnya, “dirimu segalanya bagiku. Kalau kehilanganmu, sama aja dengan kehilangan nyawaku.”

Rasanya aku bisa bernafas lega lagi. Karena pengakuan tentang asal - usulku tidak mengubah pendirian Bu Laila sebenarnya tanteku sendiri itu. Dan yang paling melegakan, Bu Laila tak pernah membenci Ibu. Ia tidak mau datang ke rumah peninggalan Ayah hanya karena pernah dimarahi oleh Ayah dan dilarang menginjak rumah kami lagi.

Maka dengan penjelasan Bu alias Tante Laila itu, dadaku terasa plong. Berarti tidak ada masalah dalam hubungan rahasiaku dengannya. Bahkan menurut pengakuannya, dia malah tambah sayang padaku setelah tahu bahwa aku ini anak abangnya.

Ia bahkan berjanji untuk menjumpai Ibu kalau sudah melahirkan kelak. Kalau dalam keadaan hamil tua begitu, takut banyak pertanyaan yang ia tidak bisa menjawabnya secara jelas. Maklum bayi dalam kandungannya itu bukan berasal dari benih suaminya.

Akhirnya aku pun berterus terang, bahwa aku menjalankan dana investasi dari gadis yang lebih muda dariku itu. Karena kalau dimasukkan sebagai saham di perusahaan Bu Laila, takut jadi kusut di belakang hari.

Lagi - lagi aku mendengar jawaban yang melegakan. Bu Laila menganggap semuanya itu sebagai kemajuan bagi diriku. Yang penting perusahaan punyanya jangan sampai ditinggalkan.

Katakanlah masalah dengan Tante Laila itu sudah selesai dengan kesimpulan yang positif.

Namun yang membuat batinku limbung adalah Anneke itu.

Aku selalu bersikap sopan padanya. Karena biar bagaimana pun dia itu bossku. Dana yang ditanam di perusahaannya pun malah lebih besar daripada dana Tante Laila…!

Tapi sikap dan perilakunya sering memancing - mancing. Bahkan aku menarik kesimpulan bahwa Anneke itu ingin “ditembak” olehku. Tapi aku berusaha untuk tetap bersikap dengan fokus ke arah bisnis. Bukan karena dia tidak cantik. Dia memang cantik sekali, tapi aku takut salah fokus dan salah sasaran.

Karena itu, seandainya dia naksir pun padaku, biarlah dia yang nembak duluan. Baru kemudian aku akan menanggapinya.

Sampai pada suatu hari, dia menghubungi ponselku. Dia meminta agar aku datang ke rumahnya, karena ada masalah penting yang harus disampaikan padaku, katanya.

“Siap Non,” jawabku lewat handphone.

Lalu setelah jam kerjaku selesai, aku pun mandi dulu di kantor. Kemudian mengganti pakaian resmiku dengan pakaian casual. Hanya mengenakan celana jeans dan baju kaus hitam.

Aku memang belum pernah menginjak rumah Non Anneke (demikian selalu kuucapkan jika sedang berhadapan dengannya). Jadi sore ini akan menjadi kunjungan pertamaku ke rumahnya.

Beberapa saat kemudian aku sudah menggerakkan sedan hitamku, menuju alamat rumah Non Anneke.

Tadinya kupikir bakal mendatangi sebuah rumah megah dan mewah, karena meski usia Non Anneke baru 20an, dia itu tajir melintir. Bahkan aku yakin kalau dia mau, beli pesawat jet pribadi pun mampu.

Tapi ternyata dugaanku meleset. Rumah Non Anneke ada di dalam kompleks perumahan biasa - biasa saja. Rumahnya pun bukan rumah besar. Mungkin rumah type 70an.

Seorang wanita tua yang menurut taksiranku seorang pembokat, menghampiriku ketika aku sudah memasuki pekarangan rumah berpotongan minimalis dan tampak tertata dengan rapi itu.

“Non Anneke ada Bu?” tanyaku.

“Oh… ada. Tunggu sebentar ya,” sahut wanita itu yang lalu bergegas masuk ke dalam rumah.

Tak lama kemudian Non Anneke muncul di ambang pintu depan sambil berkata, “Ayo masuk Bang.”

Aku mengangguk sambil melangkah masuk ke ruang tamu. Ternyata meski dilihat dari luar rumah ini kelihatan sederhana, tapi setelah berada di ruang tamu, kulihat segala barang yang tampak di mataku barang impor semua. Termasuk hiasan dindingnya, semua berasal dari luar negeri.

“Begini kan keadaan rumahku. Bukan rumah besar dan megah.”

“Mmm… mungkin Non Anneke menerapkan pola hidup sederhana.”

“Iya. Mobilku aja harganya lebih murah daripada mobil Bang Wawan. Aku ingat terus pesan almarhum Papie sih. Bahwa kita jangan senang pamer harta, pamer barang - barang mahal dan sebagainya. Karena pajak sedang mengintai kita. Kalau kita terlalu lugu, kita takkan kebagian apa - apa. Makanya aku selalu berusaha untuk hidup sederhana.

“Tapi… Non kan masih punya ibu?!”

“Masih. Mamie tinggal di Jakarta dijagain oleh dua orang suster. Karena Mamie harus menjalani therapi dua kali seminggu.”

“Oh… ibunya sakit apa?”

“Mamie lumpuh sejak Papie masih ada. Karena itu surat wasiat yang ditulis oleh Papie berbunyi begitu. Bahwa semua harta Papie diwariskan padaku. Tapi aku berkewajiban untuk mengurus Mamie seumur hidup. Tentu aja aku akan mengurus Mamie. Meski Papie tidak meninggalkan harta pun aku wajib mengurus ibuku sendiri.

“Non Anneke punya saudara?” tanyaku.

“Nggak, “dia menggeleng, “aku ini anak tunggal Bang. Makanya Papie mewariskan seluruh hartanya padaku. Sedangkan aku masih anak ingusan dalam soal bisnis sih. “Ohya, Bang Wawan mau minum apa?”

“Gak usah ngerepotin Non. Tapi kalau ada sih minta kopi pahit aja.”

“Gak pakai gula sama sekali?”

“Iya Non.”

Lalu Non Anneke menoleh ke dalam sambil berseru, “Biii… bikinin kopi pahit… jangan pakai gula yaaa… !”

“Iya Non,” sahut pembokat dari dalam.

Kemudian Non Anneke menatapku lagi dengan senyum yang lain dari biasanya. “Bang… tau kenapa kuundang ke sini?”

“Maaf… belum tau Non.”

“Aku ingin bicara masalah pribadi kita berdua. Antara Anneke dengan Wawan. Bukan antara komisaris utama dengan direktur utama.”

“Siap Non,” sahutku dengan benak penuh tanda tanya.

“Aku ingin Abang bicara sejujur mungkin. Perasaan Abang padaku gimana?”

“Non Anneke seorang boss muda belia yang selalu bersikap apa adanya. Membuatku kerasan punya boss seperti Non ini.”

“Maksudku, bagaimana perasaan Abang padaku secara pribadi. Tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis kita.“

Aku jadi linglung. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Karena kalau salah ucap, bisa fatal akibatnya nanti.

Pembokat pun datang menghidangkan secangkir kopi panas dan sepiring croissant besar.

Setelah pembokat itu masuk lagi ke dalam, Non Anneke pindah duduknya ke sofa yang sedang kududuki. Duduk merapat padaku di samping kiriku.

“Harusnya cewek gak boleh nembak duluan. Tapi aku sudah tak kuat memendamnya terus di dalam hati. Mmmm… sejak pertama kali jumpa dengan Abang… aku… aku jatuh hati sama Abang,” ucapnya sambil memegang tangan kiriku dan meremasnya perlahan.

Aku menoleh ke arah Non Anneke. Menatap matanya yang indah, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis merekah. Lalu kupegang tangan yang sedang meremas tangan kiriku ini, dengan kedua tanganku.

“Non… sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama. Tapi aku tidak berani mengatakannya duluan. Karena biar bagaimana pun Non ini bossku.”

“Jadi Abang juga suka padaku?” tanyanya setengah berbisik.

“Iya Non…”

“Oooh Bang… aku bahagia sekali mendengarnya. Mulai saat ini jangan anggap aku boss Abang lagi. Aku ini… si Anneke ini… jatuh cinta kepada Abang… dan kalau Abang percaya, inilah cinta pertamaku Bang…”

Aku menatapnya terus… menatap bibirnya juga yang bergerak perlahan… mendekat ke arah bibirku. Maka spontan kutanggapi tanpa berbasa - basi lagi. Memagut bibirnya sambil melingkarkan lenganku di lehernya.

Ketika aku melumat bibir sensualnya, ia menyambutku dengan lumatan juga.

Lalu… lama kami saling lumat di atas sofa ini.

Sampai akhirnya terlepas. Disusul dengan ucapan Non Anneke perlahan.. “Terima kasih Bang. Aku bahagia sekali, karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi… Abang belum punya pacar?”

“Sudah,” sahutku, “Pacarku cantik sekali. Dan sekarang dia duduk di sebelah kiriku.”

“Hihihihiii… ternyata Bang Wawan suka bercanda juga ya. ‘

“Terus… keinginan Non selanjutnya bagaimana?”

“Kita jadian Bang. Aku tidak menuntut apa - apa dari Abang. Aku hanya ingin disayang dan dicintai oleh Abang.”

Aku cuma mengangguk perlahan.

Aku punya banyak perempuan yang bisa kuperlakukan seperti kepada istriku sendiri. Tapi semuanya lebih tua dariku. Sedangkan Anneke ini lebih muda 3 tahun dariku. Mungkin dialah yang paling tepat untuk kujadikan calon istriku. Sementara yang lain - lain tetap akan kujadikan kekasih gelapku.

“Bang… aku sudah berjanji bahwa aku akan menyerahkan semuanya kepada lelaki yang kucintai. Karena itu aku mohon, malam ini nginap di sini aja ya Bang. Si Bibi sebentar lagi juga pulang. Jadi hanya akan ada kita berdua di rumah ini.”

“Jadi kalau malam Non sendirian aja di rumah ini?”

“Iya Bang.”

“Waaah… Non ini bukan golongan menengah ke bawah. Apa gak takut tidur sendirian terus? Bagaimana kalau ketahuan sama orang jahat?”

“Perumahan ini sangat aman Bang. Tiap malam para petugas keamanan selalu patroli ke setiap pelosok perumahan ini. Lagian aku punya pistol legal dan ada izinnya kok Bang. Tapi mudah - mudahan pistol itu takkan pernah kugunakan. Asalkan aman terus seperti sekarang ini.”

“Nanti sebaiknya dipikirkan juga untuk menggaji security yang bisa menjaga rumah ini siang malam.”

“Kan sudah kubilang Bang. Aku tak mau kelihatan sebagai orang kaya di sini. Kalau menggaji security atau bodyguard segala, bisa jadi sorotan orang - orang nanti.”

“Nanti aku akan carikan rumah di kompleks yang ngepas dengan level Non ya.”

“Silakan aja. Tapi jangan yang terlalu megah. Yang seperti air tenang tapi menghanyutkan. Ohya… tadi Abang belum jawab… malam ini nginep di sini aja ya.”

“Tidur seranjang sama Non?” tanyaku yang niatnya cuma bercanda saja.

Tapi Anneke memegang tanganku sambil berbisik, “Iya. Aku ingin tau semuanya. Sudah waktunya juga kan? Usiaku sudah duapuluh tahun sekarang.”

“Maksudnya sampai hubungan sex segala?” tanyaku ingin kepastian darinya.

“Iya Abang Sayang. Aku sudah berjanji di dalam hati, bahwa keperawananku akan kuberikan kepada orang yang benar - benar kucintai.”

“Wah… ini benar - benar surprise buatku Non.”

“Tapi ingat ya Bang… aku ingin Abang jadi suamiku kelak.”

“Bisa. Tapi jangan buru - buru ya Non.”

“Iyalah. Aku juga gak ingin buru - buru. Nikah sih setahun dua tahun lagi juga gak apa - apa. Tapi aku sudah gak sabar… ingin merasakan hubungan seperti suami istri malam ini juga.”

“Non benar - benar masih perawan?”

“Cailaaaa… masa Abang gak percaya padaku? Nanti kan ABang bisa buktikan sendiri. Kalau aku tidak perawan lagi, ludahi deh mukaku nanti.”

Tak lama kemudian si bibi pembokat itu muncul sambil membawa rantang entah berisi apa. “Bibi mau pulang ya Non.”

“Iya Bi. Udah bawa nasi dan lauk pauknya?”

“Sudah Non… ini…” sahut si Bibi sambil membuka tutup rantangnya dan memperlihatkan isinya kepada Anneke.

“Iya, iya. Besok datengnya agak pagian ya Bi. Mau nyuruh ke pasar dulu.”

“Baik Non.”

Kemudian pembokat itu berlalu.

Anneke pun bangkit dari sofa. Melangkah ke pintu depan untuk menguncinya.

“Nah sekarang aman sudah. Kita mau melakukan apa pun bisa,” ucap Anneke sambil menghampiriku. Dan memegang pergelangan tanganku, “Di kamarku aja yok. Biar lebih nyaman.”

Aku mengikutinya saja. Sambil ingin tahu apa yang akan dilakukannya nanti.

Ternyata… setibanya di dalam kamar, Anneke melepaskan kancing - kancing gaun rumahnya yang berwarna biru muda itu. Ternyata di balik gaun yang kancingnya berderet di depan itu, ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam. Sehingga aku langsung bisa menyaksikan keindahan sepasang toketnya yang lumayan gede dan keindahan memeknya yang bersih dari jembut…

Tentu saja nafsu birahiku langsung bangkit dan bergejolak.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu