2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Ketika aku mulai gencar mengentot Bu Laila, diam - diam kucari di mana lekuk yang sangat sensitif di tubuhnya. Ternyata daun telinganya sensitif sekali. Ketika aku menjilatrinya, terasa pelukannya jadi makin erat. Maka semakin lama juga kujilati telinganya, yang membuat Bu Laila semakin klepek - klepek dalam entotanku.

Namun ternyata bukan cuma daun telinganya yang sensitif itu. Lehernya pun sensitif sekali. Terutama di bagian bawah telinganya itu. Maka kujilati pula lehernya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil seperti yang sering kubaca dari sebuah media internasional tentang titik - titik peka di tubuh wanita.

“Waaaaan… duuuuuuuh Waaaan… kamu pandai sekali membuatku enak Waaaan… ooooooh Waaaan… kontolmu luar biasa enaknya Waaaan… belum pernah aku merasakan kontol seenak ini Waaaan… “rintih Bu Laila sambil memejamkan matanya, sementara lehernya mulai basah oleh keringat bercampur dengan air liurku.

Aku pun ingin melengkapinya dengan meremas - remas toketnya secara lembut. Membuat pinggul Bu Laila mulai menghempas - hempas ke kasur, sementara tangannya meremas - remas rambutku. Terkadang dia menjambak rambutku, bukan sekadar meremasnya. Namun aku bahkan semakin bergairah untuk menggencarkan entotanku.

Entah kenapa, aku ingin sekali jadi lelaki yang sangat memuaskan di hati wanita yang 11 tahun lebih tua dariku itu. Maka bukan hanya leher dan telinga Bu Laila yang kujadikan sasaran jilatanku. Ketika tangan wanita muda itu sedang meremas - remas rambutku, ketiaknya terbuka. Dan dengan sigap kujilati juga ketiak Bu Laila yang tercium harum parfum mahal itu.

Bu Laila pun menggelepar sambil melontarkan suara, “Hihihiiiii… geli Wan… tapi… ooooohh… geli - geli enak Waaan… iyaaaaaa… jilatin terus ketiakku Waaan… ooooh… aaaaaa… aku mau lepas Waaaan… entot terus Waaaan… entooot teruuuusssss… entoooootttthhhhh…”

Suaranya terputus sampai di situ. Tubuhnya pun mengejang tegang… tegang sekali. Sementara mulutnya ternganga dan matanya terpejam erat - erat. Nafasnya tertahan beberapa detik… lalu terdengar desahan, “Aaaaaaaaahhhhh… nikmat sekali Waaaaan…”

Aku pun menghentikan entotanku, karena ingin menghayati indahnya detik - detik orgasmenya wanita yang sedang kusetubuhi ini.

Memang benar kata para lelaki yang sudah berpengalaman, bahwa aura kecantikan seorang wanita akan terbit setelah mencapai orgasmenya. Bu Laila pun jadi tampak seperti bersinar… kecantikannya jadi semakin cemerlang… sehingga aku tak bisa menahan diri lagi. Kucium bibir sensual dan hangatnya, lalu berkata setengah berbisik, “Bu Laila semakin cantik di mata saya.

Bu Boss membuka kelopak matanya. Bibir sensualnya pun menyunggingkan senyum manis. Manis sekali. Lalu ia berkata perlahan, “Terima kasih Wan. Aku merasakan getaran baru di dalam batinku sekarang. Getaran cintaku padamu, Sayang…”

Kubiarkan Bu Laila mengelus rambutku dengan lembut.

Lalu aku mengecup sepasang pipinya yang kemerahan, disusul dengan bisikan, “Saya pun merasakan hal yang sama Bu…”

Bu Laila mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangan hangatnya. Lalu mencium bibirku, yang kjusambut dengan lumatan, dibalas lagi dengan lumatannya. Bahkan ketika lidahku dijulurkan sedikit, ia menyedot lidahku dan menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Aku pun melakukan hal yang sama. Ketika lidahnya terjulur, kusedot ke dalam mulutku.

Dalam keadaan seperti itulah aku mulai menggerakkan penisku kembali, bermaju mundur kembali di dalam liang kewanitaan Bu Laila. Awalnya ayunan penisku perlahan - lahan dulu. Makin lama makin kupercepat, sampai pada kecepatan normal.

Bu Laila pun tampak bergairah kembali, untuk meladeni entotanku yang mulai gencar lagi ini. Ia mulai menggeol - geolkan pantatnya, memutar - mutar… meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Dengan sendirinya liang memek Bu Laila terasa membesot - besot batang kemaluanku, yang membuat nafasku mendengus - dengus kembali.

Tapi Bu Laila justru tampak senang menjilati keringat yang membasahi leherku ini. Tanpa mempedulikan lagi statusnya sebagai bossku dan aku sebagai anak buahnya. Hal ini membuatku yakin bahwa Bu Laila sudah benar - benar mencintaiku. Dan kalau harus bicara sejujurnya, aku pun mulai mencintainya.

Kata para tokoh terkenal, hubungan seks yang dilakukan berdasarkan cinta, akan jauh lebih nikmat rasanya.

Itu kuakui sekarang, ketika aku sedang mengayun penisku di dalam liang kemaluan Bu Laila ini. Sekujur tubuhku laksana dialiri arus dari ujung kaki sampai ke ubun - ubunku. Arus birahi yang indah tiada tara.

Lalu bagaimana dengan perasaanku terhadap Ibu? Itu lain jalannya. Sampai kapan pun aku akan tetap menyayangi Ibu. Karena beliau yang mengandungku selama sekian bulan, beliau pula yang melahirkanku ke dunia ini. Dan yang pasti, kalau tidak ada Ibu takkan ada aku sampai kapan pun. Itulah bedanya perasaan sayangku kepada Ibu dan perasaan cintaku kepada Bu Laila ini.

Aku tidak tahu persis seperti apa perasaan Bu Laila padaku saat penisku mulai gencar mengentot liang memeknya yang agak becek karena habis orgasme ini. Namun yang jelas rintihan demi rintihan berlontaran terus dari mulutnya.

“Waaaaan… aaaaaah Waaaaan… ini luar biasa enaknya Waaaan… entot terus Waaaan… iyaaaa… iyaaaaaaa… iyaaaaaaaaa… entot teruuuussss… entoooootttttt… entoooooootttt… gila… kontolmu luar biasa enaknya Waaaaan… aku benar - benar merasa telah menjadi milikmu Waaaan…

Rintihan itu baru berhenti kalau aku sudah menyumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan hangatku. Dan Bu Laila semakin bergairah untuk menyambutnya dengan lumatan yang begitu hangatnya.

Bahkan pada suatu saat, ia berkata terengah, “Waaaan… aku mau lepas lagi… ayo entot terus yang kencang Waaan… usahakan agar kita lepasin bareng - bareng… biar nikmaaaat…”

Sebenarnya aku masih bisa mengulur detik - detik klimaks (ejakulasi). Tapi aku berusaha untuk mengikuti keinginan Bu Laila. Karena itu aku konsen ke arah kenikmatan yang sedang kurasakan, sehingga akhirnya aku bisa menancapkan batang kemaluanku tepat pada saat Bu Laila sedang terkejang - kejang di puncak orgasmenya.

Lalu kami seperti sepasang manusia yang sedang kerasukan. Saling cengkram dan saling lumat. Sementara penisku seolah tengah dililit oleh seekor ular kecil, oleh dinding liang memek Bu Laila yang bergerak seperti spiral… disusul dengan kedutan - kedutan kencangnya… dibalas oleh kejutan - kejutan penisku yang tengan memuntahkan lendir kenikmatanku…

“Ooooh… aku lupa… harusnya spermamu dilepaskan di dalam mulutku Wan… karena aku ingin menelan sperma bujangmu sampai habis… “keluh Bu Laila sambil menepuk - nepuk pantatku yang sedang dicengkramnya.

“Maaf… Ibu gak ngingetin tadi…” sahutku sambil menciumi pipi Bu Laila yang sudah basah oleh keringat.

“Gak apa - apa deh. Kita kan bakal dua hari dua malam berada di villa ini. Nanti kalau aku lupa lagi tolong ingetin ya Wan…”

“Iya Bu Laila Sayaaaang…”

“Emang beneran kamu sayang sama aku?” tanya Bu Laila sambil mengelus rambutku.

“Sangat… sangat sayang Bu.”

“Tapi kalau kita sudah punya anak nanti, aku juga harus manggil Ayah padamu Wan…”

“Sekarang juga dipanggil Ayah gak apa - apa.”

“Hihihi… ayah masih muda banget… harusnya sekarang sih aku manggil Dong aja padamu.”

“Kenapa harus manggil Dong?”

“Karena kamu jauh lebih muda dariku. Jadi kamu laksana brondong bagiku.”

“O.. Dong itu dari brondong?! Hehehehe… terserah Bu Laila aja deh.”

“Nggak. Aku akan manggil kamu Honey. Dan kamu harus manggil Cinta padaku ya. Jangan pakai ibu - ibuan lagi. Kamu pun jangan saya - sayaan lagi. Karena kitasejajar sekarang. Kamu sudah menjadi milikku dan aku pun sudah menjadi milikmu Honey.”

“Iya Cinta…” sahutku sambil menarik batang kemaluanku yang sudah lemas ini dari liang memek Cinta alias Bu Laila. Terdengar bunyi unik waktu penisku dicabut dari liang memek Cinta… plokkkh… membuat Bu Laila tersenyum dan berkata, “Kayak tutup botol gabus yang dicabut dari botolnya ya… hihihiiii…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu