2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

Rumah Mbak Ninies lumayan jauh dari rumahku. Mbak Ninies di ujung timur, sementara aku di ujung utara. Namun tak sampai sejam aku pun tiba di depan rumah Mbak Ninies ketika jam tanganku baru menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

Mbak Ninies membuka pintu depan dengan mengenakan daster putih bersih, dengan rambut yang diurai lepas pula.

“Motornya masukin aja ke dalam, biar aman, “katanya sambil membuka pintunya lebar - lebar.

Aku ikuti saja petunjuk teman sekantorku yang berperawakan tinggi montok dan berkulit putih mulus itu. Kumasukkan motorku ke dalam rumahnya yang lebih kecil dari rumahku, tapi penataannya rapi dan serba masa kini.

Setelah menutup dan menguncikan pintu depan, Mbak Ninies langsung mengajakku masuk ke dalam kamarnya yang rapi dan harum penyegar ruangan.

Setelah aku berada di dalam kamarnya, Mbak Ninies menutup dan menguncikan pintu kamarnya yang serba bersih dan mengikuti trend bedroom masa kini itu. Sebagai pemula dalam masalah perempuan, aku mulai degdegan. Dan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Tapi Mbak Nies tahu apa yang harus dilakukannya.

Lalu ia berkata setengah berbisik, “Sekarang nginap di sini aja ya. Besok kan kita libur.”

“Iya Mbak…” sahutku sambil mengamati Mbak Ninies yang sedang menanggalkan daster putihnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam serba pink yang masih melekat di tubuhnya.

Dalam keadaan nyaris telanjang kitulah Mbak Ninies meraihku ke dalam pelukannya. “Kita gak usah munafik,” bisiknya, “Saat ini kita saling membutuhkan Wan. Aku kesepian, kamu juga ingin merasakan enaknya memek kan?”

“Iya Mbak…” sahutku yang lalu terputus, karena bibirku dipagutnya. Lalu dicium dan dilumatnya, sementara aku semakin jauh tenggelam di dalam arus nafsu.

“Tanggalkan dulu dong pakaianmu, biar lebih leluasa,” ucap Mbak Ninies setelah ciumannya dilepaskan.

Aku pun melepaskan baju kaus dan celana jeansku. Tinggal celana pendek yang masih melekat di tubuhku.

“Coba liat kontolmu… tadi baru liat fotonya. Sekarang ingin liat aslinya,” kata Mbak Ninies sambil melepaskan kancing celana pendekku. Lalu menyelinapkan tangannya ke balik celana pendekku. Dan menyembulkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini.

“Wow… kontolmu ini istimewa Wan. Bukan cuma gede tapi juga panjang sekali… hihihihiiii… seneng aku liatnya,” ucap Mbak Ninies sambil menciumi puncak penisku.

Pada saat itulah aku pun tak sabar lagi. Ingin menjamah kemaluan Mbak Ninies yang masih tertutup celana dalam berwarna pink itu.

“Kamu ingin jilatin memekku kan?”

“Iya Mbak.”

“Ya udah, jilatin deh, “kayta Mbak Ninies sambil merenggangkan kedua belah pahanya. Aku agak kebingungan awalnya, karena Mbak Ninies masih mengenakan celana dalam. Tapi lalu aku membungkuk dan menelungkup di antara sepasang paha putih mulusnya.

Lalu kutarik celana dalamnya ke arah kiri, sehingge kemaluannya terbuka. Yang berwarna pinknya pun kelihatan sudah menganga, seolah menantangku untuk segera menjilatinya. “Aku belum punya pengalaman. Kalau salah, tolong betulin ya Mbak,” kataku yang diiyakan oleh Mbak Ninies sambil tersenyum - senyum.

Aku pun menjilati kemaluan Mbak Ninies yang jembutnya hanya di bagian atas, juga pendek - pendek, kayak kumis Hitler.

Lalu Mbak Ninies memberi pengarahan tentang kemaluan bagian mana saja yang harus dijilati itu. Bagian dalamnya yang berwarna pink, bibir kecil (labia minora) dan terutama clitorisnya.

Setelah diberi petunjuk, aku pun mulai mengerti. Dalam tempo singkat aku sudah bisa menjilati memek Mbak Ninies, tanpa harus dibimbing lagi. Namun nafsuku sudah bergejolak, ingin segera melakukan persetubuhan yang sebenarnya.

Ya… aku masih ingat benar semuanya itu. Bahwa untuk pertama kalinya aku merasakan nikmatnya menyetubuhi perempuan, adalah dengan Mbak Ninies itu.

Bahkan Mbak Ninies pula yang mengajariku tentang posisi - posisi sex yang bermacam - macam itu. Sehingga malam itu aku sampai tiga kali ngecrot di dalam liang memek Mbak Ninies.

Sebelum berpisah, kami janjian untuk ketemuan lagi tiga malam berikutnya.

Tapi apa yang terjadi?

Keesokan harinya Mbak Ninies mengirim WA ketika aku sedang sibuk di ruang kerjaku.

Isinya :Wan… aku dimutasikan ke Medan dan harus berangkat sekarang juga. Selamat tinggal ya Wan. Semoga kita bisa berjumpa lagi di lain waktu. Peluk cium untukmu seorang.

Aku ingin sekali turun ke bawah, ke ruang kerja Mbak Ninies yang berada di lantai satu (sementara tempatku bekerja di lantai tiga). Tapi aku teringat ucapan Mbak Ninies tempo hari, agar hubunganku dengannya dirahasiakan. Jangan sampai ada orang kantor yang tahu.

Karena itu aku hanya bisa membalas lewat WA lagi. Yang isinya panjang lebar. Mengungkapkan perasaan kagetku, karena harus berpisah dengan wanita yang sudah membuatku dewasa itu.

Tentu saja aku merasa kehilangan juga setelah Mbak Ninies dimutasikan ke Medan. Tapi mau diapain lagi? Aku tak punya hak dan wewenang untuk menahannya agar tetap bertugas di kantor ini.

Padahal baru saja aku merasakan nikmatnya hubungan sex dengan wanita yang lebih tua dariku itu. Tadinya aku bertekad untuk sering - sering “menengok” ke rumah Mbak Ninies itu. Tapi apa daya… takdir berkata lain.

Ya… semuanya itu akan tetap kuingat sebagai pengalaman awalku tentang nikmatnya menyetubuhi lawan jenisku.

Tentu saja aku merasa kecewa dan sedih karena harus berpisah dengan Mbak Ninies yang tadinya kuanggap bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.

Begitulah… aku masih ingat semuanya itu. Semua yang telah terjadi dengan Mbak Ninies beberapa bulan yang lalu itu. Peristiwa indah di rumah Mbak Ninies itu, akhirnya hanya bisa kukenang, karena aku tak mungkin jauh - jauh ke Medan hanya untuk menjumpai wanita yang telah mengambil keperjakaanku itu.

Beberapa bulan aku dibuat kehilangan, sampai akhirnya aku menemukan sosok yang bisa dijadikan tempat untuk penyaluran nafsu birahiku. Sosok itu adalah ibu kandungku sendiri.

Dan ternyata bersetubuh dengan Ibu tak kalah nikmatnya dengan menyetubuhi Mbak Ninies. Bahkan dalam beberapa hal aku merasa bahwa liang kewanitaan Ibu lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.

Padahal ibuku sudah dua kali melahirkan. Sementara Mbak Ninies belum pernah melahirkan. Logikanya, kemaluan Mbak Ninies harus lebih enak daripada kemaluan Ibu. Tapi ternyata sebaliknya, liang kewanitaan Ibu jauh lebih enak daripada liang kewanitaan Mbak Ninies.

Dan yang sangat menyenangkan, ibuku siap meladeniku kapan saja aku mau.

Bahkan dua malam setelah peristiwa pertama itu, Ibu mendatangi kamarku. Ibu memang sudah hafal liku - liku rumah ini. Sehingga tanpa tongkat pun beliau bisa mencapai tempat yang ingin dicapainya.

Pada saat itu aku sedang duduk di atas sofa tua dalam kamarku. Maka kujemput Ibu dan kutuntun ke arah sofa, lalu kududukkan di atas pangkuanku.

“Kamu gak kepengen lagi Wan?” tanya Ibu sambil merapatkan pipinya ke pipiku.

“Tentu aja kepengen Bu,” sahutku, “kemaren kan gak begituan sama Ibu. Tapi aku mau mandi dulu, lalu makan malam dulu. Setelah isi perut kita turun, barulah aku mau tidur di kamar Ibu… setelah puas meniduri Ibu. Heheheee…”

“Iya… ibu juga lagi horny Wan.”

“Cailaaa… Ibu tau horny segala ya…”

“Kan ibu suka baca di buku - buku berhurup braille Wan.”

“Iya, aku lupa itu. Mmm… nanti kucarikan deh buku - buku pengetahuan berhurup braille, biar Ibu tidak ketinggalan zaman. Aku mau mandi dulu ya Bu,” kataku sambil mendudukkan Ibu di atas sofa.

“Iya,” sahut Ibu, “ibu sih waktu kamu baru pulang tadi pas lagi mandi.”

“Setelah mandi, nanti aku beli nasi bungkus. Ibu mau nasi campur apa?”

“Nasinya baru matang di magicom Wan. Beli lauk pauknya aja.”

“Oke,” sahutku sambil melangkah ke luar, meninggalkan ibu di dalam kamarku.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu