2 November 2020
Penulis —  Neena

Ibuku Tuna Netra

**Bab 13

Akhirnya Tante Martini berkata, “Sebenarnya tante ini sudah sembilanpuluh persen sembuh. Mungkin tiga bulan lagi juga tante udah bisa berjalan lagi secara normal. Sekarang tinggal menormalkan jaringan syaraf di seputar lutut aja.”

“Iya Tante. Lalu nanti Tante bisa menjalani kehidupan secara sehat seperti wanita - wanita normal, “tanggapku.

“Iya Wan. Tapi ada sesuatu yang menuntut terus dari dalam batin tante. Makanya tante mau minta tolong sama Wawan…”

“Minta tolong apa Tante? Sampaikan aja. Jangan ragu - ragu. Kalau aku bisa menolongnya, pasti kutolong Tante.”

Tante Martini termenung sejenak. Lalu bertanya, “Wawan punya teman di Jakarta?”

“Banyak Tante. Teman kuliahku kebanyakan kerjanya di Jakarta.”

“Carikan seorang aja buat tante. Tapi yang seganteng Wawan.”

“Haaa?! Buat apa Tante?”

“Untuk memuasi hasrat batinku Wan. Sejak dua tahun yang lalu tante tidak merasakannya sama sekali.”

“Ja.. jadi Tante membutuhkan teman bobo gitu?”

“Iya Wan. Tante mau bicara terbuka aja. Tante ingin mendapatkan cowok yang bisa memuasi hasrat seks tante yang selama ini dipendam terus. Pokoknya cari cowok yang bisa memegang rahasia. Yang bisa secara rutin menggauli tante. Tapi jangan bawa cowok yang jelek. Tante maunya seinilai sama kegantengan Wawan.

Sebenarnya aku sangat terkejut mendengar “permintaan tolong” mamienya Anneke itu. Tapi dengan cepat aku memutar otak. Dan akhirnya berkata, “Cari cowok sih gampang Tante. Tapi yang sulit, apakah dia bisa memegang rahasia nggak? Ini masalahnya.”

“Terus saran Wawan bagaimana?”

“Satu - satunya orang yang bisa memegang rahasia adalah diriku Tante. Dan aku sanggup untuk memuasi Tante kapan pun diinginkan. Bahkan sekarang pun aku siap untuk melakukannya.”

“Kamu mau Wan? Serius kamu mau sama perempuan yang sudah berumur seperti tante ini? Memangnya tante ini masih menarik bagimu?” tanya Tante Martini sambil menatapku dengan sorot ragu, seperti kurang percaya pada kesediaanku.

Sebagai jawaban, kupegang tangan Tante Martini yang hangat itu. Sambil berkata, “Tante cantik sekaligus manis. Sementara aku… penggila wanita setengah baya sejak lama. Jadi… aku siap memuasi Tante sekaligus berjanji untuk tetap merahasiakannya kepada siapa pun, termasuk kepada Non Anneke.”

Tante Martini meremas tanganku dengan lembut. Menatapku dengan senyum manis di bibir sensualnya, ya… betapa sensualnya bibir wanita setengah baya itu. “Tante setuju usulmu,” ucapnya setengah berbisik, “Tapi awas jangan sampai Anneke tau ya.”

“Tentu aja Tante. Aku juga pasti kena marah abis - abisan kalau Non Anne sampai tau,” sahutku sambil berdiri di depan kursi rodanya.

Lalu, tanpa ragu kuulurkan kedua tanganku untuk memeluk dan mengangkat tubuh Tante Martini dari atas kursi rodanya. Lalu membopongnya ke arah bed yang agak jauh dari kursi roda itu.

Pada saat aku membopongnya itu, Tante Martini melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku merasakan sensasi yang luar biasa indahnya. Karena aku merasakan kehangatan lengannya di leherku. Menyaksikan manisnya wajah wanita setengah baya itu.

Lalu kuletakkan tubuh berkimono sutera putih itu di atas bed.

Kulihat ada tongkat panjang di atas bed. “Ini tongkat apa Tante?” tanyaku sambil memegang tongkat yang mengingatkanku kepada ikbuku.

“Itu hanya untuk latihan turun dari bed ke kursi roda,” sahutnya.

“Kan ada tongkat yang pakai pegangan sekalian untuk latihan jalan kaki Tan.”

“Ada. Tante juga punya. Tapi tongkat begituan ribet. Kurang praktis. Sekarang tanpa tongkat pun sudah bisa berdiri, meski belum bisa lama - lama. Dengan tongkat itu lebih praktis,” sahut Tante Martini sambil duduk bersila di samping kiriku.

Aku pun tidak canggung - canggung lagi untuk mendekap pinggangnya, sambil menciumi pipi kanannya yang terasa hangat. Harum p[arfum mahal [pun mulai tersiar ke penciumanku.

Tante Martini tidak tinggal diam. Ia melingkarkan lengannya di leherku. Lalu memagut bibirku, yang kusambut dengan lumatan lembut. Ia balas dengan lumatan hangat pula.

Hawa nafsu birahi pun mulai bergejolak di dalam batinku. Terlebih setelah Tante Martini membisiki telingaku, “Lepasin dulu dong semua pakaianmu. Aku ingin melihat bentuk tubuhmu tanpa pakaian.”

Aku mengangguk sambil melepaskan pakaian casualku. Hanya celana dalam yang kubiarkan tetap melekat di tubuhku.

Lalu aku menelentang di samping Tante Marini yang sudah celentang juga.

“Badannya atletis begini. Bagus. Sering olahraga ya?” ucap Tante Martini sambil mengusap - usap dada dan perutku.

“Iya,” sahutku sambil balas mengusap - usap pahanya yang tersembul dari belahan kimononya. Terasa licin sekali paha mulus ini. Namun tentu saja aku tak sekadar mengelus pahanya. Tangan nakalku naik terus sampai ke pangkal pahanya. Dan… aku langsung menyentuh memek plontos dan agak tembem… berarti sejak tadi ia tidak mengenakan celana dalam…

Tante Martini pun menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku. Dan langsung memegang batang kemaluanku yang memang sudah tegang sekali ini…

“Wooow… penisnya gagah begini Wan…! “serunya tertahan, “Luar biasa panjang gedenya… !”

Sementara aku sudah tak sabar lagi. Ingin menyaksikan seperti apa tubuh Tante Martini kalau sudah telanjang. Maka dengan nafsu yang semakin menggoda, kulepaskan ikatan tali komononya. Lalu kulepaskan kimono sutera putih itu.

Lalu tampaklah sekujur tubuh tinggi langsingnya Tante Martini itu… tubuh yang begitu mulus, tampak jauh lebih muda daripada usianya. Dengan sepasang toket berukuran sedang, yang tidak sekencang toket Anneke, tapi masih “on fire”. Tidak lembek.

Dan memeknya itu… tercukur bersih… menimbulkan hasratku untuk menjilatinya…!

Agar adil, aku pun melepaskan celana dalamku. Lalu merayap ke atas perut wanita setengah baya yang hangat dan harum itu.

“Tante masih penuh pesona,” bisikku setelah menghimpitnya, “semuanya masih perfect. Aku siap untuk memuasi hasrat Tante secara rutin. Kebetulan aku ada acara ke Jakarta seminggu dua kali. Tiap Senin dan Kamis. Berarti minimal aku bisa datang ke sini dua kali seminggu.”

“Iya Wan… terima kasih… sekarang lakukanlah apa yang Wawan anggap harus dilakukan. Hatiku sudah menjadi milikmu kini.”

Mendengar ucapan Tante Martini itu, spontan aku melorot turun. Karena sudah tak sabar lagi, ingin menjilati memeknya.

Tante Martini pun bersikap tanggap. Ketika wajahkuj sudah berhadapan dengan memeknya, sepasang pahanya pun merenggang loebar. Sehingga aku bisa memperhatikan memeknya yang bersih dari jembut itu.

Lalu kuciumi memek plontos itu, sementara kedua tanganku mengangakannya. Sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu mulai tampak di mataku.

Ujung lidahku pun mulai menyapu - nyapu bagian dalam memeknya yang berwarna pink itu.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu