3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 36

Pada hari Rabu siang menuju sore, Tante Rahmi datang dengan sedan mahalnya yang berwarna hitam metalic itu. Sedan mahal itu diparkir di area parkir hotelku dan kutitipkan pada security untuk menjaga mobil itu. Kemudian Tante Rahmi kupersilakan naik ke dalam sedan yang jauh lebih mahal daripada sedan tanteku.

Sebelum masuk ke dalam mobilku, Tante Rahmi tertegun memperhatikan mobil mewahku. Mungkin dia merasa mobilnya sangat dibanggakan, tapi kalah jauh kalau dibandingkan dengan mobilku. Mungkin hal itu pula yang membuatku menerima tawaran Mamie untuk mengambil mobil lamanya tapi masih sangat muda usianya itu.

Tante Rahmi mengenakan celana leging tipis transparant berwarna hitam, dengan gaun span mini berwarna pink polos.

Sejujurnya kuakui Tante Rahmi sangat seksi dalam pakaian yang dikenakannya itu.

Memang kuakui bahwa keluarga dari Ibu lebih maju dalam segala hal jika dibandingkan dengan keluarga dari Papa.

Setelah sedan merah maroonku menginjak jalan aspal, aku membuka pembicaraan, “Banyak yang bilang yang sangat mirip dengan almarhumah Ibu itu Tante Rahmi katanya ya.”

“Iya, katanya sih begitu,” sahut Tante Rahmi.

“Kalau begitu, almarhumah Ibu itu cantik ya. Soalnya Tante Rahmi juga cantik gini.”

“Memang benar. Ibumu sangat cantik Sam. Sayang usianya pendek. Tapi… apakah aku ini cantik di matamu?”

“Sangat,” sahutku, “Tante kan adik bungsu almarhumah ya?”

“Iya.”

“Maaf… usia Tante sekarang berapa? Belum tigapuluh kan?”

“Ngaco. Uisaku sekarang udah tigapuluhdua tahun. Sudah tua ya?”

“Belum Tan. Aku malah tadinya mikir Tante ini baru duapuluhenam atau duapuluhtujuh gitu.”

“Ogitu ya. Usiamu sendiri sekarang berapa?”

“Duapuluhlima Tante.”

“Kamu juga tampak lebih muda daripada usiamu Sam. Tapi yang jelas kamu ini tergolong orang sukses. Dalam usia begitu muda sudah punya hotel bintang tiga segala. Mobilnya juga bukan mobil kebanyakan ini sih. Harganya jauh lebih mahal daripada mobilku.”

“Kebetulan aja ada rejeni nomplok Tante.”

“Ohya, kudengar tadinya hotelmu itu hotel melati tiga, tapi dalam tempo singkat berubah menjadi hotel bintang tiga yang begitu mentereng. Kapan - kapan kalau aku tidur di hotelmu, dapat discount nggak?”

“Kalau Tante sendirian sih gratis deh. Bukan cuma dapat discount lagi.”

“Berarti kalau mau gratis harus sendirian aja ya? Terus siapa yang nemani aku nanti? Kan serem tidur sendirian di hotelmu yang segitu gedenya.”

“Kalau perlu teman, biar aku aja yang nemenin Tante.”

“Ciaaaah… punya istri tiga orang masih bisa ngumpet - ngumpet nemenin aku? Memangnya mereka takkan cemburu?”

“Yang aku rasakan, pada waktu istriku baru dua, mereka saling cemburu. Tapi setelah istriku jadi tiga orang, gak ada lagi cemburu - cemburuan. Mereka bahkan kompak Tante. Terkadang tidur bareng. Berkelakar dan ketawa cekikikan.”

“Iya tuh… kelihatannya ketiga istrimu itu rukun - rukun aja ya.”

“Iya.”

“Terus gimana ceritanya kok bisa punya istri bule dua orang sekaligus gitu?”

Sambil nyetir kuceritakan secara singkat riwayat Aleksandra dan Halina yang berasal dari negara yang sama. Bahwa mereka kerasan tinggal di Indonesia, lalu ingin menjadi WNI. Supaya lebih cepat pengurusannya, mereka harus nikah denganku. Dan aku bersedia menikahi mereka, asalkan mereka mau melebur ke dalam agama yang kuanut.

“Suratan takdirmu memang bagus Sam,” kata Tante Rahmi setelah aku selesai menuturkan asal - usul perkawinanku dnegan Aleksandra, “Mereka bukan bule asal - asalan. Keduanya benar - benar cantik. Bersedia menjadi mualaf pula. Pahalamu gede sekali kelak Sam.”

“Amiiin… !” sahutku, “Ohya… satu -satunya keluarga kita yang datang tanpa suami di reuni itu Tante sendiri. Apakah Tante belum punya suami?”

“Pernah punya suami. Bahkan punya anak seorang. Tapi suamiku meninggal dua tahun yang lalu.”

“Ogitu yaaa… berarti Tante sekarang janda muda yang cantik dan seksi ya?”

“Memangnya aku ini seksi di matamu Sam?”

“Sangat seksi. Lagian kita ketemu setelah sama - sama dewasa gini, rasanya sekarang juga seperti sedang bersama teman dekat… bukan seperti dengan tanteku sendiri.”

“Betul,” sahut Tante Rahmi, “aku juga begitu. Sekarang merasa seperti sedang bersama seorang kekasih yang usianya lebih muda dariku. Hihihihiii…”

“Siap Tante… !“

“Siap apanya?”

“Siap untuk menjadi kekasih Tante.”

“Sudah punya istri tiga masih mikirin punya kekasih?”

“Tergantung kualitas wanitanya Tante. Kalau bukan wanita secantik dan seseksi Tante sih aku juga takkan mikir punya kekasih lagi.”

Tiba - tiba Tante Rahmi merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku, sambil bergumam, “Deal deh… kita jadi sepasang kekasih gelap ya… !”

“Yesssss… !“sahutku dengan penuh semangat, “Kekasih yang dirahasiakan. Bukan kekasih gelap. Biar kesannya tidak negatif.”

“Yang jelas pintu hatiku terbuka bagimu Sam. Untuk mengisi kesepianku selama ini,” ucap Tante Rahmi sambil meremas - remas tangan kiriku.

Lalu aku bertanya tentang kisah perkawinan Tante Rahmi dengan suaminya yang sudah meninggal itu. Tante Rahmi pun menghela nafas panjang. Kemudian menceritakan kisah masa lalunya.

Bahwa Tante Rahmi pernah patah hati, karena pacarnya memutuskan hubungan dengannya, karena cowok itu mau menikah dengan cewek pilihan orang tuanya.

Lebih dari setahun Tante Rahmi bermurung - murung terus. Dunia ini terasa gelap gulita baginya. Sampai akhirnya dia bekerja di sebuah perusahaan property. Boss perusahaan itu seorang duda limapuluh tahunan.

Boss perusahaan itu makin lama makin memperlihatkan rasa suka pada Tante Rahmi yang usianya setengah dari usia sang Boss.

Pada saat itulah Tante Rahmi berusaha untuk melenyapkan kepiluannya, dengan menerima sang Boss untuk menjadi suaminya.

Awalnya Tante Rahmi merasa bahagia karena hidupnya berkecukupan. Apa pun yang diinginkannya pasti dibelikan oleh suaminya. Sementara sikap dan perilaku sang Suami begitu lembut dan sangat memanjakannya.

Tante Rahmi sudah berhasil melupakan mantan pacarnya yang sudah menikah dengan cewek lain itu. Bahkan Tante Rahmi merasa berada di atas angin. Karena kekayaannya jauh melebihi mantan pacarnya yang masih melingkar - lingkar di tempat alias masih hidup pas - pasan.

Namun hanya dua tahun Tante Rahmi mengecap kebahagiaannya. Karena ketika putranya baru berumur setahun, suami Tante Rahmi meninggal dunia.

Untungnya harta yang ditinggalkan oleh suaminya itu sangat banyak, berupa tanah di sana - sini, rumah di sana - sini, simpanan di bank yang sangat banyak dan lain - lain.

Dan harta peninggalan suaminya itu tak mau dihabiskan begitu saja. Tante Rahmi justru ingin mengembangkannya sebisa mungkin. Termasuk keinginan untuk membangun hotel di tanahnya yang berada di dekat pantai itu.

“Begitulah ceritanya,” ucap Tante Rahmi setelah selesai menuturkan riwayat perkawinan dan harta yang ditinggalkan oleh suaminya itu. “Aku takut kalau peninggalan suamiku itu tidak dikembangkan, lama - kelamaan harta peninggalannya bisa habis.”

“Iya… orang bilang harta warisan itu kalau dijual sedikit saja, bisa menular ke harta lainnya. Lalu habis begitu saja. Tapi apakah tanah peninggala suami Tante itu gak ada yang di dalam kota?”

“Ada tapi tidak ada yang luas. Paling banyak juga cuma limaribu meter persegi.”

“Posisinya bagus - bagus nggak?”

“Semuanya di pinggir jalan besar. Mendiang suamiku tidak pernah membeli tanah yang terletak di dalam gang - gang sempit.”

“Kalau dijumlahkan semuanya tentu luas ya Tan?”

“Ya iyalah. Tapi letaknya kan berpencaran.”

“Ada berapa bidang tanahnya? Ada limapuluh bidang?”

“Lebih…! Semuanya ada enampuluh tujuh bidang.”

“Kalau gitu semuanya bisa kerjasama denganku, Tante.”

“Kerjasama dalam bentuk gimana?”

“Kita bangun rumah - rumah di atas tanah kosong yang letaknya di pinggir jalan itu. Kalau luasnya ribuan meter, bangun ruko - ruko aja. Tante cukup duduk manis, aku yang akan membiayai semua pembangunannya.”

“Pakai duit bank?”

“Nggak. Hotelku itu aja kubangun dengan duitku sendiri. Tak ada duit bank serupiah pun.”

“Tapi kalau semua tanahku dibangun rumah dan ruko, biayanya bisa trilyunan lho.”

“Siap Tante.”

“Siap gimana?”

“Siap membiayainya tanpa duit bank serupiah pun… !”

“Serius Sam?”

“Sangat serius. Masa aku harus bersumpah?”

“Wah… wah… waaaah…! Berarti kamu sudah menjadi orang hebat Sam.”

Saat itu mobilku sudah berada di luar kota. Di tempat yang sunyi dan hanya diapit oleh rumpun bambu di kanan kiriuku, tiba - tiba mobilku dipinggirkan. Lalu dihentikan tanpa mematikan mesinnya. “Tante juga hebat,” ucapku, “karena Tante sangat seksi di mataku.”

“Ohya? Terus aku mau diapain sama kamu nanti?”

“Mau dicium aja dulu… boleh?” tanyaku sambil mendekatkan bibirku ke bibir Tante Rahmi.

Tante Rahmi tersenyum. Lalu dipagutnya bibirku ke dalam ciuman hangatnya. Tanpa mempedulikan keadaan di luar mobilku, karena terlindungi oleh kaca gelap di sekelilingnya.

Agak lama kami berciuman dan saling lumat.

Setelah bibir kami berjauhan, kupindahkan lagi tongkat persneling mobil matic-ku ke gigi D. Sambil berkata, “Bibir atasnya sudah kucium dan kulumat. Tinggal bibir bawah yang belum, ya Tan.”

“Iiiih… Sam…! Kamu bikin aku merinding nih…”

“Merinding serem apa merinding horny?”

“Merinding horny,” sahut Tante Rahmi sambil mencubit lengan kiriku, “Soalnya udah kebayang kalau bibir bawahku diciumi dan di.. di…”

“Dijilati?”

“Iya…”

“Heheheee… nanti akan kujilatin deh memek Tante.”

“Di mana? Di mobil ini?”

“Jangan di mobil dong. Kita kan bisa cek in di hotel. Tapi perutku sudah keruyukan nih. Kayaknya kita harus makan dulu nih.”

“Iya. Aku juga lapar Sam.”

Ketika hari mulai sore, mobilku mulai memasuki kota Cianjur. Kupilih sebuah Rumah Makan Sunda, sesuai dengan permintaan Tante Rahmi. Memang ada restoran berkelas internasional, tapi jaraknya masih jauh menuju Puncak sana.

Waktu mau makan di rumah makan itu, Tante Rahmi duduk di sebelahku. Tidak mau duduk berhadapan terbatas oleh meja makan.

Pada waktu makan bersama itulah Tante Rahmi berkata, “Sekarang sudah hampir malam. Gimana kalau kita cek in di kota ini aja. Besok pagi baru kita survey ke lokasi tanah yang ingin kubangun hotel itu?”

“Boleh juga, “aku mengangguk dan melanjutkan dengan bisikan, “udah gak sabar ya… udah ingin diemut bibir bawahnya?”

Tante Rahmi menahan tawanya. Mencubit lenganku sambil menyahut, “Abisnya omongan Sam tadi sangat memancing.”

“Kalau Tante terpancing, berarti Tante normal. Bukan wanita frigid,” sahutku sambil menepuk - nepuk punggung tangan Tante Rahmi yang tergeletak di atas meja makan, “Santai aja… hanya puluhan meter dari rumah makan ini ada hotel yang lumayan bagus.”

Tante Rahmi menatapku sambil tersenyum. Dan berkata, “Kamu memang ganteng Sam. Makanya kedua cewek bule itu mau dimadu, mau jadi mualaf pula… !”

Setelah selesai makan, kami menuju sebuah hotel bintang dua yang letaknya tidak jauh dari rumah makan itu. Seingatku hotel ini servicenya bagus. Pagi - pagi dapat breakfast all you can eat, tanpa ditarik bayaran lagi. Kamar - kamarnya bersih. Suasananya pun tenang dan nyaman.

Setelah berada di dalam kamar yang kami booking, Tante Rahmi menatapku dengan senyu senyum yang menggoda. Tapi aku berkata, “Lepasin dulu celana leggingnya Tante. Biar aku bisa langsung merasakan padat mulusnya kulit kaki Tante…”

“Iya… iya… hihihihiii… mungkin sejak berangkat dari hotelmu tadi, kamu udah gemes ya?” sahut Tante Rahmi sambil menepuk bahuku.

“Iya sih. Kalau gak pake legging sejak di mobil tadi tanganku udah meluncur ke lembah surgawi ini,” ucapku sambil menepuk bagian di bawah perut Tante Rahmi.

Tante Rahmi ketawa cekikikan. Lalu melepaskan celana leggingnya. Dan tampaklah sepasang kaki yang putih mulus itu, tanpa tertutupi legging lagi.

Aku pun spontan berjongkok di depan Tante Rahmi yang masih berdiri. Mengelus - elus betisnya yang bentuknya sangat indah itu. Terasa padat pula. Namun tujuanku bukan hanya ingin mengelu betis dan paha putih mulusnya. Tanganku langsung menuju lingkaran elastis celana dalamnya. Lalu menariknya sampai terlepas dari sepasang kakinya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu