3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 19

Catatan Pribadi Mama

Tadinya aku mengizinkan Bang Darda menikahi bossnya sendiri, karena menurut pengakuan suamiku usia wanita itu lebih tua dariku. Dan suamiku mau menikahinya semata-mata atas dasar posisi suamiku di perusahaan milik wanita itu. Bahkan suamiku berjanji untuk membelikanku sebuah mobil, sementara kedua anak kandungku dan kedua anak tiriku akan dibelikan motor baru semua.

Karena itu aku pun mengizinkan suamiku untuk menikahi wanita itu secara sah, baik menurut agama mau pun menurut undang-undang perkawinan.

Lalu sejak aku dimadu, aku merasakan hampir semua janji Bang Darda diwujudkan dalam kenyataan. Kecuali satu… bahwa dia semakin lama semakin jarang pulang, sehingga aku sering merana dalam kesendirianku.

Dalam suasana hati yang merana karena kesepian ini, aku mulai berusaha melipurnya dengan caraku sendiri. Dengan merenggut kejantanan Sam, dengan merenggut kejantanan Rendi dan bahkan juga Yoga.

Tadinya aku merasa semuanya itu cukup untuk membuatku tidak merana lagi. Namun setelah mengetahui bahwa ternyata istri muda Bang Darda itu jauh lebih muda dariku, keresahanku bangkit lagi. Rasanya aku ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya lelaki muda untuk mengobati perasaan cemburu yang mulai menggila ini.

Mungkin atas dasar “revenge” itulah aku mengunjungi rumah Mbak Marini pada suatu hari, meski rumahnya lumayan jauh dari kotaku. 65 kilometer.

Aku mendatangi rumah Mbak Mar bukan karena kangenku pada kakak sulungku itu. Tapi karena aku ingin berjumpa dengan Mahendra, anak bungsu Mbak Mar itu. Kalau dia sudah pisah rumah dengan Mbak Mar, minimal aku ingin tahu alamat rumahnya.

Memang selama ini aku tak pernah berkomunikasi lagi dengan Mahendra yang dahulu termasuk keponakan yang tidak kubutuhkan. Tapi sekarang aku merasa butuh kehadirannya di dalam kehidupanku.

Dari Mbak Mar aku mendapatkan berita bahwa Mahendra sudah bekerja di sebuah perusahaan yang letaknya di luar kota. Mbak Mar memberikan alamat mess Mahendra, berikut nomor hapenya yang baru. Senang sekali aku mendapatkan info dari kakak sulungku itu. Dan yang menyenangkan ketika aku mendapatkan info bahwa Mahendra belum menikah.

“Apakah kamu mau menjodohkan Hendra dengan salah satu anakmu Mien?” tanya Mbak Mar.

“Susah juga Mbak. Anak zaman sekarang gak bisa dijodoh-jodohkan seperti zaman dahulu. Lagian mereka terlalu dekat pertalian darahnya,” sahutku.

Setelah kenyang ngobrol ke barat - ke timur, aku pamitan kepada Mbak Mar.

Aku meninggalkan rumah Mbak Mar. Tapi aku mengarahkan mobilku bukan menuju rumahku, melainkan menuju kota yang letaknya agak jauh dari kotaku. Sekitar limapuluh kilometer jaraknya dari kotaku.

Hitung-hitung refreshing saja lah. Apa salahnya kalau sekali-sekali aku menyegarkan otakku dengan cara mengunjungi kota-kota lain?

Kebetulan hari itu suasana lalu lintas sedang lancar sekali. Sehingga dalam waktu sejam lebih aku sudah tiba di kota tujuanku. Kota di mana Mahendra bermukim sekarang.

Tanpa ragu aku pun cek in di sebuah hotel yang lumayan bagus di kota itu.

Setelah berada di dalam kamar hotel itu, kukeluarkan hapeku dan kupijat nomor Mahendra yang tadi kuterima dari ibunya (Mbak Mar).

Lalu terdengar suara Mahendra, “Hallo… dengan siapa ini ya?”

“Ini Tante Mien, Hen. Lagi ngapain?”

“Oooh Tante Mien? Aku baru pulang kerja Tante.”

“Tante lagi di kotamu Hen. Ini tante berada di Hotel XXXXX.”

“Ohya?! Ada urusan apa Tante? Lagi bisnis ya?”

“Iya. Ke sini dong. Tante kangen sama kamu Hen.”

“Iya Tante. Aku mau mandi dulu ya.”

“Mandinya di hotel aja. Biar secepatnya kamu bisa merapat ke hotel ini.”

“Iya Tante. Dalam setengah jam juga aku akan merapat ke hotel.”

Setelah hubungan seluler ditutup, aku malah buru-buru mandi, karena ingin menyuguhkan sesuatu kepada keponakanku itu, sekaligus untuk meredakan stress-ku.

Setelah mandi sebersih mungkin dan menghanduki tubuhku sampai kering kembali, kusemprotkan parfum ke leher, ketiak, payudara dan selangkanganku. Kemudian kukenakan kimono sutra putih dengan corak bunga sakura kecil-kecil di setiap pinggirannya. Hanya kimono itu yang kukenakan, tanpa pakaian dalam lagi di baliknya.

Kemudian bermake-up sebentar di depan cermin meja rias sambil merapikan rambutku yang tadi tidak kusirami air.

Lalu aku duduk di sofa sambil menerawang masa laluku.

Aku masih ingat benar, dahulu aku dan Mbak Mar pernah tinggal serumah, ketika kami sama-sama menjanda. Setelah menikah dengan Bang Darda pun aku sering menginap di rumah Mbak Mar.

Pada masa itulah Mahendra pernah kumarahi, karena ketahuan sedang mengintipku lagi mandi. Mahendra itu kira-kira seumuran dengan Sam. Pada saat ketahuan mengintipku itu, Mahendra masih di SMA kelas dua. Sama dengan Sam yang saat itu baru kelas dua SMA juga.

Setelah kumarahi itu Mahendra jadi takut-takut kalau berhadapan muka denganku. Tapi sekarang dia sudah dewasa. Pasti dia takkan takut lagi menghadapiku.

Beberapa saat kemudian terdengar pintu diketuk dari luar. Kubuka pintu itu, ternyata Mahendra sudah datang. Dalam keadaan berpakaian rapi pula.

“Kamu sudah mandi dulu tadi?” tanyaku sambil membiarkan tanganku dicium olehnya di ambang pintu.

“Iya Tante. Mandi kilat, lima menit selesai,” sahut Mahendra yang biasa kupanggil Hen saja itu.

“Ayo masuk,” kataku sambil mencubit pipi Hen dan menuntunnya masuk ke dalam. Setelah menutup dan menguncikan pintu, aku duduk di sofa, sementara Hen masih berdiri sambil memandang ke arah lukisan abstrak yang menghiasi dinding kamar hotel itu.

“Kamu sekarang udah kerja ya Hen,” ucapku sambil menepuk sofa yang sedang kududuki, agar Hen duduk di samping kananku.

“Iya Tante,” sahut Hen sambil duduk di sebelah kananku.

“Emangnya kuliahmu sudah selesai?”

“Sudah. Tapi cuma D3, Tante.”

“Udah punya pacar?”

“Belum Tante. Tabungannya juga masih tipis sekali. Gak berani pacaran dulu.”

“Tapi kamu tinggal di mess segala, berarti posisimu bagus dong. Buruh biasa takkan ditempatkan di mess.”

“Belum bagus-bagus benar. Cuma staf bagian produksi.”

“Jadi kamu kerja di pabrik?”

“Iya Tante. Pabrik obat-obatan.”

“Ooo… baguslah. Besok libur nggak?”

“Libur Tante. Kan besok tanggal merah.”

“Kalau gitu, sekarang tidur di sini aja ya. Tante takut tidur sendirian nanti malam.”

“Tapi… tempat tidurnya cuma satu Tante,” sahut Hen sambil memandang ke sekeliling kamar hotel.

“Ya tidur di sana aja berdua, biar hangat,” kataku sambil menunjuk ke arah tempat tidur.

Hen menatapku dengan sorot ragu.

“Kenapa kayak yang bingung? Nggak mau tidur sama tante?”

“Iii… iya… mau Tante… mau…” jawabnya tergagap.

“Dulu kamu sering ngintip tante mandi ya?”

“Iii… iya Tante… waktu itu aku nakal sekali ya…”

“Tante marah karena waktu itu kamu belum dewasa. Sekarang sih boleh lihat tante telanjang. Karena sekarang kamu sudah dewasa.”

“Kalau sekarang aku malah takut melihatnya…” sahut Hen hampir tak terdengar.

“Kenapa takut?”

“Takut gak kuat menahan nafsu…” sahutnya terdengar lugu.

“Kalau nafsu ya masukin aja tititnya ke memek tante.”

“Eee… emang boleh?”

Sebagai jawaban, kutarik tangan kiri Hen dan kuselinapkan ke balik kimonoku lewat belahannya. Lalu telapak tangannya kutempelkan di permukaan kemaluanku yang belakangan ini selalu kucukur plontos, untuk mengikuti selera anak muda zaman sekarang.

Terasa tangan Hen gemetaran setelah menyadari apa yang sedang disentuhnya.

“Ayo terus terang… dulu kamu sering bayangin memek tante kan?”

“Iii… iya Tante. Tapi waktu itu aku gak sempat melihat memek Tante. Karena Tante selalu membelakangi pintu yang ada bolongnya dan sering kulihat buat ngintip Tante mandi,” sahut Hen dengan tangan mulai mengusap-usap permukaan kemaluanku.

“Masa sih?!” ucapku sambil melepaskan ikatan tali kimonoku. Lalu kedua sisi kimono putih ini kubuka selebar mungkin sambil berkata, “Sekarang lihatlah sepuasmu.”

“Tan… Tante… “Hen melotot ke arah kemaluan dan sepasang payudaraku yang sudah terbuka penuh.

“Kamu duduk di situ,” ucapku sambil menunjuk ke lantai. di antara kedua belah kakiku yang kurenggangkan, “Lihat deh memek tante dari jarak yang sangat dekat. Tapi ingat… segala yang terjadi di sini harus dirahasiakan ya. Jangan sampai mamamu tahu.”

“Iiii… iya Tante,” sahut Hen sambil berdiri, lalu bersila di lantai bertilamkan karpet merah itu. Menghadap ke arah kemaluanku yang sengaja kumajukan agar Hen bisa melihatnya secara lebih teliti.

Hen memusatkan pandangannya ke arah kemaluanku, dengan mata hampir tak berkedip.

“Kalau kamu mau jilatin memek tante… jilatin aja deh…” kataku.

“Iii… iya Tante. Aku sering nonton di bokep, tapi belum pernah me… melakukannya,” sahut Hen tergagap.

“Ya lakukanlah sepuasmu, seperti yang sering kamu lihat di bokep itu,” ucapku sambil memajukan lagi bokongku, agar Hen lebih leluasa beraksi pada kemaluanku…!

Hen seperti ragu pada mulanya. Cuma mengusap-usap kemaluanku yang sudah agak ternganga, karena kedua kakiku sudah sangat kurentangkan. Maka kutarik kepala Hen agar mulutnya menyentuh kemaluanku.

Dan… Hen benar-benar menciumi kemaluanku yang pasti harum di penciumannya, karena selangkanganku sudah kusemproti parfum impor tadi. Kemudian Hen mulai menjilati belahan kemaluanku dengan lahapnya.

Nafasku pun mulai tertahan-tahan sambil menikmati enaknya jilatan Hen di bagian yang terpeka di tubuhku ini. Sementara tangan kiriku mulai mengusap-usap rambut Hen yang berada di bawah perutku.

“Itil tante jangan terlewat.. jilatin juga… yang ini nih,” ucapku sambil menyentuhkan telunjukk ke clitorisku.

Hen tidak menyahut dengan lisan. Namun ia mulai menjilati kelentitku juga dengan lahapnya.

Ini membuatku semakin horny. Tapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Agar Hen “kenyang” menjilati kemaluanku yang sudah membasah ini.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu