3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 12

Hari Minggu yang menegangkan itu pun tiba. Menegangkan, karena aku akan dipertemukan dengan putri Tante Ken yang bernama Frida yang akan dijadikan calon istriku itu.

Sehari sebelumnya, Papa memberikan sebentuk cincin permata berlian padaku sambil berkata, “Sebenarnya di dalam agama kita tidak mengenal tukar cincin. Tapi kalau sudah jelas Frida bersedia dijadikan calon istrimu, pasangkanlah cincin ini di jari manis kirinya, sebagai tanda keseriusanmu saja padanya.

Menurut rencana, jam 10.00 pagi Frida akan tiba di rumah Mamie. Dan aku disarankan untuk datang pada jam 11.00. Mungkin karena Mamie dan Tante Ken akan merundingkan segala sesuatunya dulu dengan Frida.

Dan jam 11.00 tepat aku sudah tiba di rumah utama Mamie.

Mamie sendiri yang menyongsong kedatanganku di pintu depan rumah megahnya.

“Sudah datang Mam?” tanyaku.

“Sudah, “Mamie mangangguk dengan senyum yang selalu saja meluluhkan hatiku, “Jam setengah sepuluh juga dia sudah datang.”

Lalu aku diajak masuk ke ruang keluarga, di mana Papa dan Tante Ken sudah menunggu. Kemudian muncullah seorang gadis berkulit putih bersih dan berperawakan tinggi semampai, mengenakan gaun terusan berwarna orange. Aduh maaak… memang benar kata Mamie. Cewek itu pasti Frida. Dan Frida itu… sangat cantik!

Aku disuruh berkenalan dulu dengan anak Tante Ken itu, sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Sammy…”

“Frida…”

Kemudian aku diminta untuk duduk berdampingan di sofa.

Dan Papa mulai bicara, “Kita singkatkan saja acaranya ya. Mmm… Frida… Sammy itu anakku yang bermaksud menjadikanmu sebagai calon istrinya. Apakah Frida bersedia menerima keinginannya?”

Frida menoleh padaku dengan senyum. Lalu menjawab jelas, “Bersedia, Oom…”

Papa, Mamie dan Tante Ken spontan bertepuk tangan.

Aku dan Frida pun ikut bertepuk tangan.

Lalu Papa berkata padaku, “Sekarang perlihatkanlah keseriusanmu Sam.”

Aku mengangguk dan berdiri menghadap ke arah Frida yang masih duduk di sofa. Kemudian aku berlutut di depan Frida sambil mengeluarkan kotak cincin permata berlian itu. Memegang tangan kiri Frida dan memasangkan cincin permata berlian itu di jari manisnya, sambil berkata, “Ini sebagai tanda keseriusanku untuk menjadikan Frida sebagai calon istriku.

Frida cuma mengangguk sambil tersenyum manis.

Papa, Mamie dan Tante Ken bertepuk tangan lagi.

Kemudian kami semua makan bersama di ruang makan. Memang tidak ada orang luar yang hadir, karena acaranya juga cuma saling meyakinkan saja buat pihak Frida danb pihakku.

Selesai makan bersama Mamie berkata kepadaku, “Kalau mau saling mengakrabkan, kalian ke lantai dua aja gih. Atau kalau mau, ajak Frida jalan-jalan sana Sam. Biar lebih akrab.”

“Iya Mam. Aku mau ngajak Frida jalan aja. Mumpung masih siang,” sahutku.

“Tapi aku mau ganti pakaian dulu ya. Mau pakai celana panjang aja, biar gak ribet,” kata Frida setengah berbisik padaku.

Aku pun mengangguk. Lalu duduk kembali di sofa ruang keluarga, sambil menunggu Frida ganti pakaian.

Tak lama kemudian Frida muncul kembali. Dengan mengenakan celana corduroy dan baju kaus youcansee yang sama-sama berwarna biru tua. Batinku berdecak kagum lagi. Dalam pakaian casual begitu pun Frida tetap tampak cantik sekali. Tak salah Mamie menjodohkanku dengan keponakannya itu.

Namun diam-diam aku berpikir bahwa Mamie memasang strategi, agar tetap bisa memilikiku. Dengan menyimpanku di Rumah Cinta itu, agar ada yang mengawasiku, yakni Tante Ken. Mamie pun mengizinkanku untuk menggauli Tante Ken, agar kakak Mamie itu lebih ketat mengawasiku. Dan sekarang Mamie menjodohkanku dengan keponakannya sendiri, agar aku tidak “jatuh ke tangan orang luar”.

Tapi aku tidak keberatan untuk “dsiikat” oleh Mamie dengan segala strateginya. Karena aku sudah merasakan effek positif dari strateginya itu, terutama dalam menata masa depanku.

Beberapa saat kemudian Frida sudah duduk di samping kiriku, di dalam mobil yang sedang kukemudikan.

“Aku harus manggil apa ya sama Sam?” tanya Frida pada suatu saat.

“Saling panggil nama aja. Umur kita kan cuma beda setahun. Umurku sekarang hampir duapuluh,” sahutku.

“Umurku menjelang sembilanbelas tahun.”

“Dekat sekali perbedaannya kan? Saling panggil nama aja.”

“Gak enak ah. Nanti kalau kita sudah menikah, masa manggil nama sama suami? Aku akan manggil Bang aja ya.”

“Ya terserah. Terus aku manggil Dek gitu?”

“Nggak usah. Panggil namaku aja.”

“Ohya… tadi Frida langsung menerima sebagai calon istriku. Apa dasarnya?”

“Tadinya aku hanya ingin patuh kepada Tante Yun aja. Soalnya sejak kecil biaya pendidikanku ditanggung oleh beliau. Belum lagi uang jajan yang ditransfernya tiap bulan. Jadi aku merasa berhutang budi padanya.”

“Hanya karena ingin mengikuti keinginan tantemu aja?”

“Jangan potong dulu dong. Aku kan belum selesai ngomong. Barusan aku memulai ucapanku dengan kata TADINYA. Berarti itu awalnya. Mmm… Tante Yun juga pernah mengirimi foto-foto Bang Sam lewat WA. Jujur pada saat itu aku sudah punya ketertarikan setelah melihat foto-foto Abang. Dan setelah berjumpa, ternyata Bang Sam lebih ganteng daripada di foto-foto itu.

“Jadi?”

“Ya gitu deh. Mungkin ini yang orang bilang… fall in love at first sight.”

“Syukurlah kalau gitu. Berarti aku gak salah pilih,” kataku sambil memegang tangan kanan Frida yang berada di sebelah kiriku, “Jadi aku layak manggil beib padamu ya?”

“Iya… seneng dengarnya juga. Percaya nggak? Aku baru sekali ini loh jatuh cinta.”

“Masa sih?!”

“Sumpah. Aku sering dinasehati sama Mama dan Tante Yun. Jangan begini, jangan begitu. Makanya aku bertekad takkan pacaran sebelum pendidikanku tuntas.”

“Wow…! Berarti Frida masih virgin dong.”

“Pasti… dijamin soal itu sih. Boro-boro ngelepasin virgin. Ciuman bibir aja belum pernah. Waktu di SMA ada cowok nyolong-nyolong cium pipi, wah… kukejar dia… kugebukin pake penggaris!”

“Tapi kalau aku sih boleh kan cium bibirmu?”

“Bang Sam tentu beda lah. Tadi kita kan sudah ikrar bakal menjadi suami istri.”

“Jadi aku boleh mencium bibirmu yang sensual itu?” tanyaku pas berhenti di depan lampu merah.

Frida menatapku. Lalu mengangguk perlahan.

“Terima kasih Beib. Nanti akan kucium bibirmu kalau kita sudah berada di dalam suasana yang tepat.”

“Kita kok langsung dekat gini ya?”

“Kan memang sebenarnya kita ini keluarga dekat. Ibumu dan ibu sambungku kan kakak-adik kandung. Jadi gak ada yang aneh kalau kita langsung dekat gini.

“Iya, “Frida mengangguk.

Beberapa saat kemudian mobilku tiba di pelataran parkir hotel yang Mamie hadiahkan untukku.

“Ini hotel? Kok kelihatan sepi sekali?” tanya Frida yang mau turun dari mobilku.

“Tentu saja sepi, karena baru akan dibuka enam bulan lagi.”

“Ooo… pantesan sepi sekali.”

Sesaat kemudian seorang satpam menghampiriku, satpam yang tempo hari menyambut kedatangan Mamie dan aku.

“Oooh… selamat siang Boss. Maaf… kirain bukan Boss yang datang.”

Aku cuma mengangguk dan tersenyum ramah. Lalu melangkah ke arah lobby.

“Kok dia manggil boss ke Bang Sam?”

“Ya wajar aja. Hotel ini kan punyaku.”

“Ohya?! Hebat sekali. Masih kuliah sudah punya hotel segala.”

“Sttt… hadiah dari Mamie, sebagai ungkapan kebahagiaannya pada waktu dokter menyatakan Mamie hamil.”

“Tante Yunita memang baik hati sih. Makanya aku gak berani melanggar aturan yang sudah ditetapkannya. Ohya… lalu kenapa hotel ini baru mau dibuka enam bulan lagi?”

“Karena di depan akan dibangun gedung convention hall, yang bisa disewa untuk resepsi pernikahan, rapat-rapat dan sebagainya. Selain daripada itu, aku masih konsen ke sidang yang akan kuhadapi. Kalau lulus, lima bulan lagi aku akan diwisuda.”

“Wuiiih… gila… cepat banget?!”

“Tiga tahun sih gak termasuk cepat. Ada yang kurang dari tiga tahun. Ohya… bagaimana dengan kuliahmu?”

“Masih jauh Bang. Baru juga semester dua.”

“Katanya kamu kuliah di fakultas ekonomi juga ya. Ambil jurusan apa?”

“Marketing.”

“Wah… bagus tuh. Tapi bagusnya sih kamu pindah kuliah ke sini aja. Ngapain jauh-jauh kuliah di Jakarta? Di sini juga banyak universitas unggulan kok.”

“Dulu kan Tante Yun yang ngatur semuanya itu.”

“Maksudku begini… kalau gedung convention hall-nya sudah selesai dibangun, kita menikah aja. Jadi nanti kita yang akan pertama kali memakai convention hall itu. Lalu kuliahmu pindah ke sini aja. Biar aku punya tangan kanan untuk mengelola hotel ini.”

“Lalu kuliahku gimana?”

“Pindah aja ke sini.”

“Biasanya kalau pindah begitu, harus mengulang dari semester pertama lagi.”

“Biar aja, terbuang dua semester gak apa-apa. Yang penting aku ingin dekat selalu denganmu Beib.”

“Tante Yun gimana? Ngijinin gak nanti?”

“Pasti ngijinin deh. Biar aku yang ngomong sama Mamie nanti,” kataku sambil melingkarkan lenganku di pinggang Frida.

Frida pun merapatkan duduknya ke sisiku. “Ya udah… terserah Abang aja bagaimana baiknya. Yang penting jangan bikin Tante Yun marah.”

“Nanti kalau kita sudah menikah, kamu harus manggil Mamie lho… jangan manggil Tante Yun lagi,” kataku.

“Bang Sam juga harus manggil Mama ke mamaku. Jangan manggil Tante Ken lagi,” sahut Frida.

Pada saat itulah aku bergerak. Mengepit kedua sisi pipinya dengan kedua telapak tanganku. Hmmm… memang cantik sekali Frida ini. Beruntung aku dijodohkan dengan cewek secantik ini.

Di kampusku juga banyak mahasiswi yang cantik. Tapi menurutku, tiada yang secantik Frida ini.

Dan ketika bibirku memagut bibir Frida, terasa ia agak mengejut. Tapi lalu terdiam pasrah ketika aku mulai melumat bibirnya yang sensual itu. Bahkan sesaat kemudian ia merengkuh leherku ke dalam pelukannya.

Sebenarnya diam-diam birahiku memuncak, mungkin karena sudah terbiasa main ekse dengan perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, agar jangan timbul kesan kalau aku ini cowok brengsek.

Namun tak urung setelah ciuman dan lumatan kulepaskan, aku berbisik ke telinga Frida. “Kalau sudah jadi istriku sih bukan cuma bibir atas yang akan kulumat. Bibir bawah juga akan kujilati dan kuisep-isep.”

Frida terhenyak. Menatapku dengan bola mata bergoyang. Lalu menyahut perlahan, “Kalau sudah menikah sih aku kan jadi milik Abang. Apa pun yang mau Abang lakukan, aku takkan pernah menolaknya. Tapi sekarang ini… aku berani bersumpah… baru pertama tadi aku merasakan bibirku dicium cowok, Bang.”

Aku tersenyum. Dan berusaha untuk bersikap sebagai cowok yang “bijak”. Padahal si dede sudah ngaceng berat di balik celanaku.

Nanti harus kusalurkan. Entah ke memek siapa. yang jelas bukan ke memek Frida yang aku belum tahu bentuknya seperti apa.

Biarlah Frida tetap perawan sampai dia sah menjadi istriku.

Lalu Frida kuajak berkeliling hotel, agar dia bersemangat untuk membantuku mengelola hotel ini nanti.

Tampaknya Frida senang sekali melihat beberapa keistimewaan hotelku. Terlebih setelah melihat kolam renang yang dikelilingi oleh taman itu.

“Kolam renang ini memang masih kering, karena untuk membeningkan airnya juga perlu biaya. Tapi nanti setelah hotel ini dibuka kembali, pasti kolam renangnya akan diisi air lagi.”

“Iya, “Frida mengangguk-angguk, “Hotel ini tergolong hotel bnerbintang bukan?”

“Mungkin bisa disebut hotel melati tiga, tapi fasilitasnya bintang satu atau dua.”

“Kan banyak juga hotel yang tidak bertingkat tapi tarifnya sama dengan hotel bintang lima.”

“Untuk promosi, aku akan menetapkan tarif yang murah-murah saja. Yang penting kamarnya selalu full, terutama di hari-hari weekend.”

“Kalau sudah ada modalnya, dibikin jadi hotel five star juga bisa ya.”

“Iya. Tapi aku belum mikir ke arah sana. Hotel bintang lima itu banyak aturan mainnya. Belum lagi pajaknya, gede sekali. Mending melati tiga aja dulu. Yang penting rame terus.”

Beberapa saat kemudian, Frida sudah berada di dalam mobilku lagi. Tidak sempat ke mana-mana lagi. Karena sore nanti Frida mau pulang ke Jakarta. Besok ada ujian, katanya.

Kepada Mamie, aku menyampaikan rencanaku, untuk memindahkan kuliah Frida ke kota kami, sekaligus untuk membantuku mengelola hotel itu. Aku juga menyampaikan hasrat untuk menikahi Frida sebelum aku diwisuda nanti. Itu pun jika Mamie setuju. Aku takkan berani memaksa kalau Mamie tidak setuju.

Untungnya Mamie menyambut keinginanku dengan sorot senang. Bahkan Mamie berkata padaku, “Kalau mau pindah kuliah ke sini, Frida tinggal bersamamu aja di rumahmu. Gak usah ngurus apa-apa lagi di Jakarta. Kan biar bagaimana juga pasti harus mengulang dari semester pertama lagi di sini.”

Mamie menyebut Rumah Cinta itu sebagai “rumahmu”. Apakah rumah itu pun akan dihadiahkan padaku?

Frida setuju saja pada keinginan Mamie untuk langsung pindah ke Rumah Cinta. Dia hanya minta izin untuk mengambil barang-barangnya dulu yang masih tertinggal di Jakarta.

Mamie menjawab, “Kalau begitu, Sam aja yang antarkan Frida ke Jakarta. Pakaian dan barang-barang Frida kan banyak. Kasihan kalau dia harus pakai kendaraan umum. “Siap Mam,” sahutku yang tak pernah menolak perintah Mamie.

Beberapa saat berikutnya, Frida sudah berada di dalam mobilku lagi. Tanpa mengganti pakaiannya. Karena malas buka-buka lagi tasnya yang sudah dirapikan, katanya.

“Minggu sore gini, biasanya jalan menuju Jakarta macet,” kataku.

“Santai aja Bang. Aku gak dikejar waktu lagi. Besok gak akan ikut ujian. Kan kata Tante Yun juga tinggalin aja kampusku yang di Jakarta, karena kalau pindah ke kampus lain pasti harus mengulang dari awal lagi,” sahutnya.

“Gak ada penyesalan waktumu dibuang setahun?” tanyaku.

“Nggak. Kan ada tujuan yang lebih penting.”

“Apa tuh yang penting?”

“Karena kita bakal saling memiliki,” sahutnya yang disusul dengan ciuman di pipi kiriku.

Jujur, ada getaran kuat di batinku. Apakah aku mulai mencintainya? Bukankah aku sudah menyatakan bahwa cintaku hanya untuk Mamie seorang?

Ah, entahlah. Mungkin aku akan mengikuti aliran batinku saja. Karena semuanya ini Mamie yang mengaturnya. Lagian, bukankah kodrat lelaki bisa mencintai perempuan lebih dari seorang?

“Kenapa gak pakai tol?” tanya Frida pada suatu saat.

“Tol macet sekali. Lihat aja di waze tuh… merahnya panjang…” sahutku sambil menyerahkan hapeku.

“Oooh iya ya. Kalau jalan biasa ini macet juga istirahat aja dulu.”

“Kalau macet, kita rehat di hotel atau villa aja ya.”

“Terserah gimana baiknya aja menurut Bang Sam.”

Memang di jalan biasa pun makin lama makin padat dengan kendaraan roda empat dan roda dua. Bahkan akhirnya macet. Hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit.

Sehingga akhirnya kubelokkan mobilku ke kompleks villa yang suka disewakan.

“Mau istirahat di villa?” tanya Frida.

“Iya. Besok pagi aja kita lanjutkan. Gak apa-apa kan?”

“Gak apa-apa. Waaah… banyak orang arab di sini ya?”

“Iya. Mereka kalau sudah jauh dari negaranya, kayak kuda lepas dari istal.”

“Istal itu apa?”

“Kandang kuda.”

Lalu mobil kubelokkan ke depan villa yang ditunjuk oleh seorang lelaki berpakaian serba hitam seperti seragam security. Villa itu memang direntalkan seperti hotel. Tarifnya pun tidak seberapa mahal.

Villa itu tidak besar. Kamarnya pun hanya satu. Tapi yang lainnya lengkap semua. Ada ruang tamu, ruang makan dan dapur. Kamar mandinya pun dilengkapi dengan water heater. Semuanya tampak bersih dan terawat. Pakai AC pula, meski udara di sekitar kompleks villa itu dingin sekali.

Setelah menerima uang dariku, lelaki berpakaian serba hitam itu mengucapkan terima kasih, lalu meninggalkan kami berdua.

Begitu pintu villa ditutup dan dikunci, aku menghampiri frida yang tengah membuka tas pakaiannya. Kupeluk badannya dari belakang, “Mandi yuk,” bisikku.

“Mandi bareng?” tanyanya tanpa menoleh ke belakang.

“Iya. Kenapa memangnya?”

“Nggak. Cum… aku belum pernah mandi sama cowok.”

“Aku kan calon suamimu Beib.”

“Hihihii… malu ah… kalau mandi kan harus telanjang di depan Abang.”

“Kan nantinya juga pasti harus sering telanjang di depanku. Kenapa malu? Banyak bekas kudis dan panu di badannya?”

“Amit-amit…! Tubuhku sih mulus Bang. Gak ada noda setitik pun.”

“Iya… nanti kita buktikan di kamar mandi. Ayooo…” kataku sambil meraih pergelangan tangan Frida menuju kamar mandi.

“Kita kan belum mandi sore. Makanya sebelum tidur harus mandi dulu, biar nyenyak tidurnya nanti,” kataku sambil mengamati Frida yang masih mengenakan celana corduroy dan blouse youcansee yang sama-sama berwarna biru tua itu, “Perlu kubantu bukain pakaiannya?”

Frida tertunduk sambil menyahut, “Silakan aja kalau mau sih.”

Aku tersenyum dalam kemenangan…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu