3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Esoknya, pagi - pagi sekali aku sudah bangun dan mandi sebersih mungkin. Lalu menyiapkan pakaian resmi tapi tidak kupakai. Hanya digantung di hanger baju. Lalu kugantungkan di seat belakang mobilku. Sementara yang kupakai hanya celana pendek putih dan baju kaus putih pula. Pakaian resminya nanti saja kupakai setelah tiba di hotel di Jakarta.

Lalu kupijat nomor handphone Sinta.

Dan terdengar suaranya, “Selamat pagi Boss. Ini saya sudah tiba di depan pintu lobby.”

“Oh ya udah. Langsung aja ke tempat parkir mobilku.”

“Siap Boss.”

Lalu kupanaskan mesin mobilku sambil memeriksa surat - surat yang harus kubawa ke Jakarta. Tak lama kemudian Sinta muncul dalam gaun putih bersih, menjinjing tas pakaian yang putih pula.

“Kok kita samaan sih bajunya. Aku juga serba putih begini,” ucapku.

“Iya Boss. Mmm… maaf… Boss mau pakai celana pendek?”

“Pakaian resmi sih nanti aja dipakainya setelah tiba di Jakarta. Ini hanya untuk dalam perjalanan aja.”

“Owh… kirain Boss lupa. Maaf…”

Setelah memasukkan tas kerjaku ke jok belakang, aku memberi isyarat agar Sinta masuk ke dalam mobil.

“Sebelum berangkat tadi sarapan dulu?” tanyaku sambil menjalankan mobilku ke arah depan hotelku.

“Sudah Boss. Kebetulan di dekat rumah ada tukang bubur ayam yang sudah jualan sejak subuh tadi.”

Aku tertegun setelah mendengar “bubur ayam” itu. Karena teringat masa remajaku yang senang sekali jajan bubur ayam. Seolah sudah menjadi keharusan, sebelum berangkat ke kampus, selalu saja mampir di warung bubur ayam langgananku.

“Nanti di hotel tempat kita menginap, breakfastnya all you can eat. Bisa sarapan sekenyang mungkin dengan makanan yang lumayan mewah,” kataku.

“Iya Boss. Hotel five star pastilah makanannya mewah.”

Lalu aku mulai konsentrasi ke jalan, karena sudah memasuki jalan tol.

Setengah jam kemudian kubelokkan mobilku ke rest area. “Gara - gara kamu bilang makan bubur ayam, aku jadi serasa diingatkan pada kegemaran makan bubur ayam di masa masih mahasiswa. Di sini segala bubur ada. Ada bubur ayam, bubur sapi, bubur ikan dan sebagainya,” kataku sambil menghentikan mobilku di area parkiran, “ayo turun dulu Sin.

“Iya Boss,” sahut Sinta sambil membuka pintu mobil dan turun. Lalu mengikuti langkahku masuk ke salah satu counter foodcourt rest area itu.

Kebetulan counter yang menjual bermacam - macam bubur itu masih lengang. Mungkin karena hari masih terlalu pagi. Sehingga aku bebas memperhatikan Sinta yang sudah duduk di depanku.

Ketika mangkok berisi bubur ayam dihidangkan padanya, Sinta berkata, “Sebenarnya saya belum lapar Boss.”

“Makan bubur kan nggak terlalu mengenyangkan. Ayolah, temani aku makan, “desakku. Sambil menilai sosok putri Ceu Inar itu. Sosok yang baru tiga hari bekerja sebagai sekretaris pribadiku itu.

Setelah buburku habis kusantap, aku tidak langsung melanjuutkan perjalananku. Karena lebih suka menatap wajah Sinta. Memang cantik Sinta itu. Bahkan jauh lebih cantik daripada ibunya.

Menyadari bahwa aku terus - terusan memperhatikannya, Sinta mengeluarkan kotak cermin kecil dari tas kecilnya, “Ada yang salah di muka saya Boss? Saya jadi gugup, takut ada sesuatu di muka saya,” ucapnya sambil menatap cermin kecilnya.

Aku tersenyum, lalu menyahut, “Yang salah justru aku Sin. Kenapa baru sekarang aku sadar kalau kamu ini cantik sekali?”

“Ah Boss bisa aja… “Sinta tersipu. Yang malah membuatnya semakin cantik.

Tanpa ragu kugenggam tangannya yang terletak di atas meja makan sambil berkata perlahan, “Aku serius Sinta. Kamu sangat cantik di mataku.”

Sinta menatapku dengan bola mata bergoyang perlahan. Dengan senyum yang manis di bibirnya. Manis sekali senyum itu.

“Tuh… kalau kamu tersenyum begitu, malah semakin cantik kelihatannya,” ucapku yang masih memegang tangannya.

Sinta menatapku lagi. Lalu menunduk dan seperti salah tingkah. Dan terdengar suaranya nyaris tak terdengar, “Boss juga ganteng sekali… makanya saya jadi takut…”

“Takut?! Takut apa?”

Sinta tak menjawab. Maka kuremas tangannya sambil mengulang pertanyaanku, “Takut apa Sin?”

“Tak… takut suka sama Boss.”

“Hahahaa… justru itu yang kuinginkan Sinta.”

Sinta menatapku lagi, dengan senyum manisnya lagi. Lalu menunduk lagi, seperti tak kuat berlama - lama saling tatap dneganku.

Di dalam mobil yang mulai kularikan lagi di jalan tol, tangan kiriku masih bisa melanjutkan hal yang kulakukan di rest area tadi. Tangan kiriku yang nganggur meremas tangan kanannya yang terasa hangat. “Waktu kerja di Jakarta, bossmu suka menggodamu?” tanyaku.

“Nggak pernah,” sahutnya, “Boss yang di Jakarta itu sudah sangat tua. Suaminya berumur tujuhpuluh tahun, istrinya enampuluhlima tahun. Mereka sangat serius. Tersenyum aja gak pernah, apalagi menggoda.”

“Lalu bagaimana kesanmu setelah bekerja sebagai sekretarisa pribadiku?”

“Kesannya, Boss masih sangat muda. Mmm… ganteng dan ramah pula.”

“Terus apa lagi kesannya?”

“Mmm… pokoknya saya mulai mencintai pekerjaan saya.”

Lalu aku serius lagi menghadapi jalan yang sedang kutempuh, karena kecepatan mobilku sudah di atas 120 km/jam.

Kebetulan jalan tol masih agak sepi. Sehingga aku bisa tiba di Jakarta lebih cepat dari prediksiku. Lebih cepat pula aku tiba di hotel yang sudah kubayar lewat mobile-bank.

Kamar yang telah kubooking itu berada di lantai 16.

“Jadwal meeting Boss jam tujuh malam. Sekarang baru jam sembilan pagi,” kata Sinta sebelum masuk ke dalam lift. Seorang bellboy mengantarkan kami, masuk juga ke dalam lift setelah aku dan Sinta berada di dalam lift itu. Kemudian dia memasukkan electronic keyku di lift. Karena lift itu hanya bisa bergerak sesuai dengan memori yang tersimpan pada kartu kunci kamar masing - masing.

Setelah mencapai lantai 16, bellboy itu mengantarkan kami ke kamar yang sudah dibooking, sambil menjinjing tas pakaianku dan tas pakaian SInta.

Setelah tiba di kamar yang sudah dibooking, bellboy itu kuberi uang tip. Yang disambutnya dengan bungkukan sopan sambil mengucapkan terima kasih, kemudian ia berlalu. Pasti dengan hati senang, karena uang tip dariku lumayan gede.

“Bednya cuma satu Boss?” tanya Sinta setelah memperhatikan keadaan di dalam kamar hotel bintang lima itu, tapi bednya lebar sekali.

“Iya,” sahutku, “Bednya kan besar sekali. Dipakai tidur sama empat orang juga bisa muat. Kenapa? Takut tidur seranjang denganku?“

“Takut sih nggak. Cuma malu aja… masa tidur sama Big Boss,” sahut Sinta dengan kerlingan mata yang membuatku agak degdegan.

Hai…! Apa yang sedang terjadi pada diriku ini? Apakah aku mulai jatuh cinta padanya? Aaah… entahlah. Yang jelas, Sinta sudah bersamaku, di dalam kamar yang sudah tertutup dan terkunci. Tinggal pandai - pandainya aku saja untuk mendapatkannya.

“Santai aja Sin. Jangan pakai malu - malu segala,” ucapku sambil memegang pergelangan tangan Sinta dan mengajaknya duduk berdampingan di atas sofa yang letaknya agak jauh dari bed, “Mumpung waktu masih banyak, kita ngobrol dulu yuk.”

Dengan canggung Sinta duduk di sebelah kiriku.

“Aku suka sama kamu Sin,” kataku sambil meremas tangan kanannya.

“Sa… saya jugva suka sama Boss… tapi… mmm… apa itu mungkin Boss?” ucap Sinta sambil menunduk.

“Kenapa kamu nanya begitu?”

“Boss kan sjudah punya istri. Malah kata Mama, istri Boss ada empat orang.”

“Iya. Tapi kita kan bisa menjalani hubungan rahasia. Dan aku akan mempertanggungjawabkan atas segala yang mungkin terjadi di antara kita berdua. Bagaimana?”

Sinta menatapku dengan sorot ragu. Dan… tiba - tiba saja dia menyembunyikan wajahnya di dadaku sambil berkata, “Yang penting Boss jangan buang saya nantinya.”

Aku terharu mendengar ucapan sekretaris pribadiku itu. Lalu kupeluk dia erat - erat. “Sampai kapan pun aku takkan membuangmu, Sinta.”

“Terima kasih Boss. Kalau boleh jujur, sejak awal saya melihat Boss, saya sudah jatuh hati. Tapi saya harus tau diri. Harus sadar siapa saya dan siapa Boss.”

Sebagai jawaban, kukepit sepasang pipi Sinta yang hangat dan halus. Lalu kutatap matanya yang berbinar - binar, “Sekarang ini hanya ada lelaki bernama Sammy dan cewek yang disukainya bernama Sinta. Titik. Jangan memberi jarak lagi di antara kita berdua. Kecuali kalau sedang sama - sama bekerja, ya bekerjalah secara profesional.

Sinta tersenyum manis. Lalu berkata perlahan, “Saya siap untuk menjadi milik Boss. Asalkan saya bisa tetap menjadi milik Boss sampai kapan pun.”

“Ya, “aku mengangguk, “kamu harus jadi milikku sampai kita tua renta kelak. Percayalah… seorang lelaki pantang menjilati air ludahnya sendiri.”

“Terima kasih Boss. Saya… saya bahagia sekali mendengarnya.”

“Kalau sedang berduaan begini, panggil Bang aja. Jangan pakai boss - bossan lagi.”

“Iya Boss… eh Bang…”

Lalu… sambil memeluk lehernya, kudaratkan ciuman mesraku di bibir sensual Sinta. Ciuman yang membuat Sinta terlena pasrah. Ciuman yang berkembang jadi saling lumat bibir. Yang menjadikan duniaku terasa indah… indah sekali.

Aku seolah kembali ke masa remajaku kembali. Namun patutkah aku merasakan hal ini? Kenapa tidak? Sinta berhak mendapatkan perhatian besar dariku kelak. Karena selain sangat cantik, Sinta juga sangat cerdas dan bisa cepat beradaptasi dengan suasana baru di dalam bisnisku.

Aku bahkan meletakkan kepala Sinta ke atas pangkuanku. Mengelus rambutnya dengan lembut dan berkata sejujurnya, “Aku sering mendapatkan wanita berdasarkan nafsu. Tapi padamu ini… aku merasa bukan sekadar nafsu yang membuatku ingin memilikimu, Sin… hanya sayangnya, aku tak bisa menikah lagi, karena istriku sudah empat orang.

“Tidak dinikahi juga gak apa Bang. Asalkan Abang tetap memiliki saya sampai kita sama - sama tua kelak…”

Aku merasa lega mendengar pernyataan Sinta itu. Mungkin juga ibunya (Ceu Inar) telah mendoktrinnya. Karena bukankah Ceu Inar pernah bicara bahwa ia akan merelakan putrinya untuk dijadikan simpananku?

“Kamu pernah punya pengalaman dengan lelaki?” tanyaku sambil mengusap - usap pipi hangatnya.

“Pengalaman gimana Bang?”

“Pengalaman dalam masalah seks…”

“Iiih… amit - amit. Saya masih seratus persen virgin Bang.”

“Tapi kalau mau menjalin hubungan denganku, virginitasmu pasti kuambil.”

“Apa pun yang akan Abang lakukan pada saya, silakan… asalkan Abang jangan buang saya di kemudian hari. Itu aja permintaan saya.”

“Kalau sedang berdua gini, jangan pakai istilah saya. Biar jangan kaku. Lagian kata orang, istilah saya itu berasal dari kata sahaya, yang artinya budak belian. Pakai istilah aku aja.”

“Iya… mmm… Bang… hatiku… hatiku sudah langsung runtuh… sudah merasa jadi milik Abang…”

“Syukurlah. Berarti aku tidak bertepuk sebelah tangan.”

“Mungkin malah aku yang duluan jatuh hati pada Abang. Karena sejak pertama kali bertemu dengan Abang… aku langsung merasakan getaran aneh di dalam hatiku Bang.”

“Mmmm… sambil menunggu waktu makan siang… mendingan kita istirahat di sana duulu yok,” ajakku sambil menunjuk ke atas bed.

“Mau ganti pakaian dulu dengan kimono, boleh?”

“Iya. Siapa tau kita ketiduran sampai sore nanti. Mendingan ganti dengan kimono.”

Sinta bangkit dari pangkuanku. Lalu melangkah ke arah tas pakaiannya, mengeluarkan sehelai kimono berwarna pink dari tas itu dan langsung menuju kamar mandi. Mungkin dia masih malu - malu melepaskan gaun putihnya di depan mataku.

Aku memang punya perasaan “lain” kepada Sinta itu. Mungkin aku mulai mencintainya. Tapi otak petualangku tetap mengarah ke “sana”. Melihat warna kimononya yang pink muda itu, aku langsung berpikir… seperti apa bagian dalam kewanitaannya yang berwarna pink itu?

Tapi aku langsung menindas pikiran itu. Karena kepada Sinta itu aku ingin mengalir seperti airan air dari hulu ke muara. Tak mau terburu - buru.

Aku sendiri yang hanya mengenakan celana pendek dan baju kaus serba putih, tak perlu mengganti pakaianku. Bahkan kakiku juga hanya beralaskan sandal kulit putih. Maka hanya dengan melepaskan sandal, aku bisa langsung melompat ke atas bed. Dan merebahkan diri, sambil menunggu Sinta selesai berganti pakaian.

Tak lama kemudian Sinta muncul kembali dari kamar mandi. Menghampiri bed dan naik dengan sikap canggung.

Aku pun menyambutnya dengan pelukan hangat. Lalu menciumi bibirnya dengan mesra.

Lalu… “Bang… aku mohon ambillah keperawananku sekarang juga. Supaya hatiku tenang.”

“Lho… kok buru - buru gitu? Nanti malam kan masih ada waktu.”

“Aku sering mendengar cerita bahwa dengan sering naik sepeda aja, keperawanan bisa hilang. Begitu juga olah raga yang membuat sepasang kaki terbuka lebar, katanya bisa merobek keperawanan juga. Sedangfkan di masa masih di SMP, aku sering naik sepeda, sering pula olahraga lompat jauh. Jadi… aku takut kalau keperawananku hilang tanpa kusadari.

“Begitu ya. Tapi nanti malam kamu kan harus mendampingiku. Kalau kulakukan sekarang, mungkin kemaluanmu akan sakit kalau dibawa jalan.”

“Biar aja Bang. Minum parasetamol juga bisa hilang sakitnya. Pokoknya aku sendiri ingin membuktikan apakah keperawananku masih utuh nggak. Aku memang belum pernah kebablasan dengan cowok yang pernah jadi pacarku, ciuman bibir juga baru dengan Abang sekarang. Tapi siapa tau virginitasku hilang pada waktu sering naik sepeda dan berolah raga waktu masih di SMP dahulu.

“Iya… iya… kalau kamu ingin membuktikannya sekarang juga, akan kulakukan. Tapi jangan terburu - buru ya… santai aja,” ucapku.

Sebenarnya aku sudah tidak mengutamakan masalah keperawanan lagi. Yang penting orangnya cantik, memeknya enak… cukup.

Tapi apa salahnya kalau aku bisa membuktikan perawan tidaknya Sinta ini?

Tentu saja aku harus melakukan foreplay dulu, sampai Sinta benar - bnear siap untuk dipenetrasi nanti.

Maka dengan hati - hati aku mulai menyelinapkan tanganku ke balik kimono pink itu pada bagian dadanya. Ternyata Sinta tak mengenakan beha. Mungkin dia sengaja ingin mempermudah jalannya pembuktian viriginitasnya ini. Dan aku mulai meremas payudaranya yang masih sangat kencang ini.

“Mau dibuka kimononya Bang?” tanya Sinta dengan tatapan bersorot pasrah.

“Boleh, “aku mengangguk.

Sinta pun menanggalkan kimononya. Dan… langsung telanjang bulat…!

Rupanya bukan cuma beha yang ditinggalkannya di kamar mandi. Celana dalamnya pun ditinggalkan di sana.

Pandanganku langsung tertuju ke kemaluannya yang putih dan sangat bersih itu. Tiada sehelai jembut pun di permuakaan kemaluan anak Ceu Inar yang luar biasa jelitanya ini.

Sinta hanya memejamkan mata ketika wajahku sedang berada di atas kemaluannya, sambil bergumam, “Memekmu… luar biasa indahnya Sinta.”

“Emangnya memek itu beda - beda bentuknya Bang?” tanya Sinta sambil membuka matanya.

“Memang beda - beda. Ada yang hitam, ada yang putih, ada yang tembem, ada yang kempes dan banyak lagi perbedaannya. Dan memekmu ini… membuatku tak kuat menahan keinginan untuk menjilatinya.”

“Silakan Abang lakukan yang terbaik bagi diriku Bang.”

Tanpa membuang - buang waktu lagi, kurenggangkan jarak di antara kedua belah paha putih mulus Sinta sejauh mungkin.

Lalu kuciumi memek tembem dan putih bersih ini. “Emwuuuuah… emwuuuuaaahhhh… emwuaaaaah…”

Kemudian kungangakan sepasang bibir luarnya, sehingga tampak jelas bagian dalamnya yang berwarna pink itu.

Tanpa keraguan lagi ujung lidahku mulai menyapu - nyapu bagian yang berwarna pink itu.

Sinta menggelinjang sambil merintih, “Adududuuuuh Bang… Bang… rasanya kok begini yaaa?”

Kuhentikan dulu jilatanku. “Kenapa? Nggak enak?” tanyaku.

“Enak mmm… geli - geli enak Bang…! Lanjutin aja Bang…”

Maka dengan penuh semangat kujilati lagi bagian dalam yang sedang kungangakan dengan kedua tanganku ini, sementara Sinta hanya berdesah - desah dengan kedua tangan meremas - remas kain seprai.

Sang Nafsu mulai menguasai jiwaku. Nafsu yang membuatku lupa segalanya.

Nafsu birahi memang membuat manusia lupa daratan…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu