3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 9

Mobil itu datang sebelum jam sembilan pagi. Sebuah mobil SUV berwarna hitam yang maskulin. Aku langsung suka pada mobil hadiah dari Mamie itu. Sudah terbayang, di kampus nanti aku bakal sejajar dengan anak-anak orang kaya. Memang mobil itu tidak semahal mobil Papa, apalagi kalau dibandingkan dengan mobil mewah Mamie yang jarang dipakai ke luar kota itu.

Aku merasa bangga dan berterima kasih kepada Mamie, karena telah mendapatkan hadiah yang jauh lebih berharga daripada harapanku.

Tante Ken menganjurkan agar mobil baru itu dimandi-kembangkan dulu sebelum dipakai. Karena menurut tradisi, hal itu semacam doa, agar mobilku membawa selamat dan mendatangkan rejeki.

Tante Ken bahkan pergi sendiri ke pasar, untuk membeli 7 jenis bunga dan sebuah kendi. Ketujuh jenis bunga itu dimasukkan ke dalam kendi yang sudah diisi air bersih.

Kuikuti saja saran Tante Ken itu. Kusiramkan air dan bunga-bungaan itu ke mobil baruku. Kemudian kendinya kupecahkan pada ban depan kanan.

Mudah-mudahan saja ritual kecil ini membawa keselamatan dan mendatangkan rejeki bagiku. Amiiin…!

“Mau test drive dulu ah. Tante mau ikut?” tanyaku.

“Tante lagi masak. Sendirian aja dulu. Gampang nanti pas hari Minggu sekalian piknik aja sambil membekal makanan hasil tante yang masak buat Sam tersayang.”

Akhirnya aku sendirian untuk test drive mobil baruku.

Mau test ke mana ya? Ah, mendingan ke rumah Mama. Kalau Mama nanya itu mobil siapa, mau dibilang inventaris perusahaan saja. Biar Mama tidak jealous kepada Mamie yang belum pernah tahu bentuknya itu.

Dengan batin bersemangat kukemudikan mobil hitamku menuju rumah Mama. Sambil membayangkan Mama yang sudah lumayan lama tidak kugauli itu.

Namanya juga mobil baru. Tentu saja enak sekali mengemudikannya.

Tapi setibanya di rumah Mama, kelihatannya sepi sekali. Pintu depan terkunci. Lalu aku masuk ke dalam garasi, karena dari garasi ada lorong menuju ruang keluarga. Mobil Mama tidak ada di garasi. berarti Mama sedang keluar.

Kulihat pintu kamar Mbak Ita tidak dikunci, karena kalau terkunci ada lampu merah menyala di atas pintunya. Lalu kubuka pintu itu. Tampak Mbak Ita sedang tidur. Jam segini masih tidur? Apakah Mbak Ita tidak ada kuliah hari ini?

Entahlah. Yang jelas aku teringat bahwa aku ingin melihat keadaan di dalam kamarku yang sudah agak lama kutinggalkan. Maka bergegas aku menaiki tangga menuju kamarku. Kulihat kamar Mbak Ayu terkunci, karena lampu merah di atas pintunya menyala. Begitu juga pintu kamarku.

Aku biasa menyimpan kunci kamarku di tempat rahasia. Di lubang ventilasi. Ternyata kunci kamarku masih tersimpan di tempatnya. Lalu kunci itu kuambil dan kupakai untuk membuka pintu kamarku.

Kamarku masih tetap seperti waktu aku mau meninggalkannya. Tidak ada sesuatu yang berubah atau dipindahkan.

Tapi ketika aku berkaca di depan cermin besar dekat meja tulisku, tampak rambutku yang agak gondrong ini acak-acakan sekali. Aku baru teringat bahwa sejak selesai mandi bersama Tante Ken tadi, aku belum menyisir rambutku sama sekali.

Lalu kucari sisirku. Tapi aku pun teringat bahwa sisir itu kubawa ke rumah Cinta.

Maka dengan niat mau meminjam sisir, aku keluar dari kamarku. Menuruni tangga dan menuju pintu kamar Mbak Ita, hanya karena mau meminjam sisir kepada kakak tiriku itu.

Kubuka pintu kamar Mbak Ita perlahan. Lalu masuk ke dalam kamar adik Mbak Ayu itu. Dengan mengendap-endap (supaya tidak mengganggu Mbak Ita yang sedang nyenyak tidur) aku mencari sisir punya Mbak Ita di meja riasnya. Tapi tidak ada, entah di mana meletakkan sisirnya.

Lalu aku menghampiri Mbak Ita yang sedang tertidur sambil memeluk bantal guling menghadap ke dinding. Berarti aku berada di belakangnya. Dan… apa yang kulihat? Saat itu Mbak Ita mengenakan daster putih bersih. Dan dasternya itu tersingkap sampai mataku menyaksikan sesuatu yang membuatku degdegan.

Ya… meski pun aku berada di belakangnya, aku bisa menyaksikan kemaluannya yang nyempil di antara sepasang paha putih mulusnya…!

Meski tadi malam dan tadi subuh habis menggasak Tante Ken, aku tetap sangat tergiur setelah menyaksikan kemaluan Mbak Ita itu. Maka perlahan-lahan sekali aku naik ke atas tempat tidur Mbak itu, untuk mendekati kemaluan yang bagaikan sepasang bibir yang sedang tersenyum padaku itu.

Dan aku tak kuasa untuk menahan diri lagi. Tanganku terjulur ke arah bibir kemaluan Mbak Ita yang tampak seperti sedang tersenyum manis itu… duuuh… terasa hangat…!

Tapi tiba-tiba Mbak Ita bergerak, membuatku kaget dan menjauhkan tanganku dari kemaluan kakak tiriku itu. Aku sudah siap untuk meminta maaf kalau Mbak Ita menyadari perbuatanku dan marah padaku.

Tapi ternyata Mbak Ita hanya mengubah posisi tidurnya, jadi menelentang dengan kedua kaki merenggang. Sementara daster putihnya tersingkap juga, sehingga separuh dari bagian bawah kemaluannya tampak jelas di mataku. Dan aku tak tahan lagi untuk menyingkapkan ujung bawah dasternya ke atas. Karena ingin melihat bentuk memek Mbak Ita sepenuhnya.

Kemaluan Mbak Ita sangat bersih. Putih mulus dan tak diganggu oleh sehelai rambut pun. Sangat menantang untuk dijilati. Tapi… kalau dia terbangun dan mengetahui perbuatanku, apakah dia takkan marah?

Aaah… bagaimana nanti saja. Kalau dia marah, aku akan minta maaf saja, selesai.

Maka perlahan-lahan aku mene;lungkup di antara kedua kaki Mbak Ita. Dan mulutku mulai mendekati memek Mbak Ita yang seolah menantangku itu.

Lidahku terjulur dan mendekati kemaluan kakak tiriku yang usianya hanya setahun lebih tua dariku itu.

Dan aku mulai menjilati memek Mbak Ita yang bentuknya sangat menggiurkan ini. Perlahan-lahan dulu jilatannya. Namun makin lama makin lahap. Sehingga kedua kaki Mbak Ita mulai mengejut-ngejut. Mungkin sedang bermimpi disetubuhi cowok atau… entahlah… yang jelas dia tetap tertidur dengan nyenyaknya.

Namun tiba-tiba Mbak Ita terbangun. Memegang kepalaku yang sedang berada di bawah perutnya. “Siapa ini? Ooooh… Sam?!”

Aku kaget dan menjauhkan mulutku dari memek kakak tiriku, “Iiii… iya Mbak… maafkan aku Mbak… soalnya memek Mbak gak pake celana dalam… membuatku tak kuat lagi untuk menjilatinya. Jangan marah ya Mbak… aku… aku terusap setan barusan…”

Di luar dugaanku, Mbak Ita malah memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Siapa yang marah? Lanjutkan aja… enak kok… tapi tutup dan kuncikan dulu pintunya. Takut kepergok Mbak Ayu.”

“Iya Mbak… iya, pintunya akan kututup dan kukuncikan,” sahutku sambil turun dari bed Mbak Ita dan menutupkan pintu keluar, sekaligus menguncikannya. :Lalu kembali lagi menghampiri Mbak Ita yang tampak sedang tersenyum padaku.

“Mama, Yoga dan Mbak Ayu pada ke mana Mbak?” tanyaku sambil duduk di pinggiran tempat tidur kakak tiriku.

“Mama lagi pergi sama Yoga. Entah ke mana. Hampir tiap hari mereka pergi. Kalau Mbak Ayu ya sedang kuliah,” sahut Mbak Ita sambil merebahkan diri, celentang lagi seperti tadi.

Lalu Mbak Ita menyingkapkan daster putihnya sampai di perutnya, sambil berkata, “Ayo lanjutin lagi yang tadi itu.”

Aku termangu menyaksikan betapa indahnya bagian yang sudah terbuka itu… dari perut sampai ke ujung kaki Mbak Ita itu. Indah sekali. Terutama bagian yang di bawah perutnya itu… lebih indah daripada patung dewi Venus…!

Bagian terindah itulah yang mulai kuusap-usap dengan lembut dan kuciumi dengan sepenuh gairahku. Pada saat itu pula Mbak Ita merenggangkan sepasang paha putih mulusnya.

Lalu kungangakan kemaluan yang sangat merangsang nafsu birahiku ini, sehingga bagian yang berwarna pink itu tampak jelas di mataku.

O, betapa beruntungnya diriku mendapatkan kesempatan sebagus ini.

Tanpa buang-buang waktu lagi kujulurkan lidahku, untuk menjilati bagian yang berwarna pink ini selahap mungkin. Dan Mbak Ita terdiam pasrah. Bahkan terasa rambutku dibelainya dengan lembut.

Terlebih setelah aku menjilati kelentitnya yang tampak menonjol dan mengkilap itu. Mbak Ita mulai menggeliat-geliat sambil meremas-remas rambutku yang berada di bawah perutnya.

Mbak Ita pun mulai berdesah-desah perlahan sambil menyebut-nyebut namaku, “Saaaam… aaaaah… Saaaam… Saaaaam… aaaaah… aaah… Saaaaam… Saaaam… enak sekali Saaaam… aaaaah…”

Hal itu membuatku semakin bergairah untuk menjilati kelentit dan celah memek kakak tiriku.

Cukup lama aku melakukan semuanya ini, sampai terasa celah kemaluannya sudah basah kuyup.

Bahkan pada suatu saat terdengar suara lirihnya, “Saaam… ka… kalau kamu mau… masukkan aja kontolmu Saaam…”

“Iya Mbak,” sahutku spontan. Dalam perasaan girang.

Lalu kutanggalkan celana jeans dan celana dalamku. Juga t-shirtku. Pada saat yang sama, Mbak Ita pun melepaskan daster putihnya. Sehingga tubuh putih mulusnya tak tertutup apa-apa lagi.

Dalam keadaan sama-sama telanjang, aku mendekatkan penisku ke memek Mbak Ita yang cemerlang dan merangsang itu.

Dan terdengar suara Mbak Ita, “Kamu boleh setubuhi aku. Tapi jangan dilepasin di dalam, ya Sam.”

“Kenapa? Takut hamil? Jangan takut Mbak. Aku punya pil anti hamil kok,” sahutku.

“Ya udah kalau gitu, terserah kamu,” sahutnya dengan nada pasrah.

Rasanya aku sudah meletakkan moncong penisku pada arah yang tepat. Maka aku pun mulai mendesakkannya sekuat mungkin. Dan… blessss… langsung masuk separuhnya…?!

Mbak Ita memelukku sambil berbisik, “Udah masuk Sam… !”

Feelingku berkata bahwa Mbak Ita sudah bukan perawan lagi. Tapi hal itu justru membuatku semakin bersemangat untuk menggerakkan penisku. Perlahan-lahan dulu. Makin lama makin cepat, sampai pada kecepatan normal dan berirama.

Rintihan-rintihan histeris Mbak Ita pun mulai berlontaran dari mulutnya, “Sam… duuuuh… Saaam… ini… ini enak sekali Saaam… ooooh… Saaaam… Saaaam… entot terus Saaaam… iyaaaa… iyaaaaa… iyaaaa… oooooooh…”

Sebagai jawaban, kuremas payudara kakak tiriku yang tidak begitu kencang, membuatku semakin yakin bahwa dia sudah sering disetubuhi cowok. Mungkin payudaranya ini sudah sering diremas tangan cowok.

Tapi persetan dengan semuanya itu. Yang penting aku bisa mengentot Mbak Ita sepuasnya…!

Di tengah nikmatnya menyetubuhi Mbak Ita, masih sempat aku membanding-bandingkan. Mana yang lebih enak, Mbak Ita atau Mbak Ayu?

Jujur, aku tak bisa membanding-bandingkan seperti itu. Karena lain perempuan lain lagi enaknya. Karena setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan.

Kalau membandingkan Mbak Ita dengan Mbak Ayu, tak ubahnya membandingkan Tante Ken dengan Mamie. Yang satu berperawakan tinggi semampai, yang satu lagi tinggi montok.

Mbak Ayu itu seperti Tante Ken, sementara Mbak Ita ini seperti Mamie perawakannya. Sementara perawakan Mbak Ayu tinggi montok, seperti Tante Ken.

Dan yang jelas, Mbak Ita sudah kuanggap sebagai koleksi baruku, yang kelak bisa kujadikan penyaluran nafsu birahiku.

Memang aku merasa terlambat memiliki Mbak Ita, karena pada waktu masih tinggal di rumah Mama ini, aku seolah “disita” oleh Mama. Sehingga Mbak Ayu pun seolah terabaikan.

Barangkali di waktu mendatang aku harus punya jadwal untuk menggilir mereka semua secara adil.

Tapi… bukankah aku harus memusatkan perhatianku kepada Mamie yang ingin segera hamil? Lagipula bukankah aku benar-benar mencintai Mamie sebagai seorang kekasih?

Ya… biar bagaimana pun juga prioritas utamaku adalah Mamie. Karena Mamie punya segalanya, termasuk jaminan masa depanku.

Maka aku pun membulatkan hatiku, bahwa aku hanya akan mencintai Mamie, sementara perempuan lain hanya akan kujadikan penyhaluran nafsu biologisku semata.

Beberapa jam yang lalu aku sudah bersetubuh dengan Tante Ken. Dan kini aku tengah menyetubuhi Mbak Ita pula. Maka tentu saja aku jadi lama sekali menyetubuhi kakak tiriku ini. Karena seperti lirik lagu Jawa yang dipelesetkan, “Suwe ora ngono, ngono ora suwe” (lama tidak begituan, begituan tidak lama).

Aku tahu bahwa Mbak Ita sudah tiga kali orgasme. Tapi aku masih jauh dari ejakulasi. Padahal tubuhku sudah bermandikan keringat. Tubuh Mbak Ita juga sama, leher dan ketiaknya sudah dibasahi keringat.

Namun waktu aku sudah lupa segalanya ini, memandang semuanya itu sebagai hal yang erotis. Aku mulai menjilati leher Mbak Ita disertai gigitan-gigitan kecil. Membuat Mbak Ita semakin merem melek. Bahkan ketiaknya pun kujilati dan kugigit-gigit.

Maka rintihan-rintihan histeris Mbak Ita pun semakin menjadi-jadi, “Saaam… aaaaah… Saaaam… aaaah… Saaaam… aaaaaah… aaaah…”

Aku tidak tahu lagi berapa lama terjadinya persetubuhan dengan Mbak Ita ini.

Yang jelas, ketika Mbak Ita tampak sudah kepayahan, barulah aku merasa bahwa ejakulasiku sudah di ambang pintu. Dan aku tidak berusaha untuk menahannya lagi. Kuayun penisku lebih cepat daripada biasanya. Kemudian kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi. Dan berlompatanlah sperma dari moncong penisku.

Creettttt… crotttt… croooottttt… crotcrot… crooootttt… croooooootttt…!

“Mana pil kontrasepsinya?” tanya Mbak Ita waktu aku sudah mengenakan pakaianku.

“Ada. Di mobil. Sebentar… kuambil dulu ya,” sahutku.

“Kamu pake mobil ke sini?”

“Iya Mbak…” sahutku sambil bergegas keluar dari kamar Mbak Ita. Melangkah ke arah mobilku yang kuparkir di pekarangan depan. Lalu kukeluarkan pil kontrasepsi itu dari dalam kotak dashboardku.

Ternyata Mbak Ita mengikutiku dan membuka pintu kiri depan mobilku. “Wow… ini mobil baru Sam. Joknya juga masih dibungkus plastik. Kamu dibelikan mobil sama Papa?” tanya Mbak Ita.

“Ini mobil inventaris perusahaan Mbak. Kan aku mulai dipekerjakan di kantor Papa.”

“Owh… kirain punya kamu pribadi.”

Setelah memberikan pil kontrasepsi itu aku pun keluar lagi dari mobil. Masuk lagi ke dalam rumah bersama Mbak Ita.

Mbak Ita menelan pil kontrasepsi itu sesuai petunjuk yang tertulis di kertas dari dalam kotaknya. Lalu duduk di sampingku di sofa ruang keluarga.

“Mbak… maaf ya… aku mau nanya sesuatu yang sangat pribadi. Boleh nggak?” tanyaku.

“Boleh aja. Mau nanya masalah apa?”

“Siapa cowok pertama yang mengambil virginitas Mbak?”

Mbak Ita malah menarik tanganku sambil berdiri,” Jawabnya di dalam kamarku aja yok.”

Kuikuti langkah kakak tiriku, masuk lagi ke dalam kamarnya.

Mbak Ita melangkah ke arah lemari pakaiannya. Lalu mengeluarkan sebuah kotak dari bawah tumpukan pakaiannya. Dia membuka kotak itu. Ternyata isinya… sebuah dildo! Sebuah kontol-kontolan yang sangat mirip dengan aslinya. Ada vibratornya segala…!

Mbak Ita mengacungkan dildo itu sambil berkata, “Inilah yang telah mengambil keperawananku. Benda ini selalu kupakai kalau aku sedang horny.”

Aku cuma terlongong.

Lalu kata Mbak Ita lagi, “Kalau kamu bertanya siapa manusia pertama yang menyetubuhiku, kamulah orangnya Sam.”

“Kirain ada orang lain, teman kuliah Mbak atau Yoga, misalnya.”

“Iiih… aku gak mungkin tertarik kepada cowok melambai seperti Yoga.”

“Lalu kenapa Mbak mau denganku?”

Mbak Ita mendekap pinggangku sambil berkata, “Karena kamu ganteng dan macho.”

“Pada waktu Mbak menggunakan dildo itu, Mbak suka sambil meremas-remas toket juga?”

“Iya. Emangnya kenapa? Toketku sudah agak lembek ya?”

“Kalau Mbak rajin olahraga atau senam, nanti juga toket Mbak bisa kencang lagi.”

“Yang penting kamu bisa menerimaku apa adanya kan?”

“Maksud Mbak?”

“Kamu akan tetap mau menggauliku kalau aku sedang horny.”

“Mau, “aku mengangguk, “tapi ada syaratnya. Mbak jangan memakai dildo itu lagi.”

“Yap. Sekarang juga akan kubuang benda ini, karena sudah mendapatkan gantinya yang benar-benar hidup. Nih buanglah sama kamu, biar kamu yakin kalau aku takkan menggunakannya lagi,” kata Mbak Ita sambil menyerahkan dildo itu padaku.

Kumasukkan dildo itu ke dalam saku celana jeansku.

Lalu kurengkuh leher Mbak Ita dan kudaratkan ciuman hangat di bibirnya.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu