3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

ASampai pada suatu saat, perut Mbak Gina terasa kejang, sehingga aku langsung mempercepat entotanku. Lalu kutancapkan batang kemaluanku di dalam liang memek Mbak Gina. Sementara liang memek Mbak Gina terasa menggeliat dan mengejut - ngejut.

Namun penisku belum mau ngecrot juga. Sehingga aku mengayunnya lagi. Maju mjundur lagi di dalam liang memek Mbak Gina. Sementara Merry memberi isyarat agar aku ejakulasi di dalam memek kakaknya.

Maka kupercepat terus entotanku, sampai akhirnya aku terkejang - kejang di atas perut Mbak Gina, sementara moncong penisku pun menembak - nembakkan air mani di dalam liang memek kakak iparku ini.

Crot… croooottttttt… crotcrot… croooooooootttttt… crettt… crooootttttttt…!

“Ooooh nikmat sekali Sam… ini pertama kalinya aku merasakan disemprot oleh sperma laki - laki…” bisik Mbak Gina sambil memeluk dan menciumiku.

“Aku juga pertama kalinya mendapat pasangan seksual secantik Mbak,” sahutku sambil mengepit sepasang pipi lembabnya dengan kedua telapak tanganku. Lalu kucium bibirnya semesra mungkin.

Merry mengacungkan jempolnya tanpa kelihatan oleh kakaknya. Sebagai tanda istimewa atas apa yang telah kulakukan dan kuucapkan.

Kemudian kutarfik batang kemaluanku sampai terlepas dari liang memek Mbak Gina. Merry dengan sigap mengambil kertas tissue basah, lalu disekanya memek Mbak Gina yang tampak berlepotan dengan air maniku.

“Terima kasih Mer,” kata Mbak Gina lirih, “aku terharu dengan pengorbananmu, sampai memberikan suamimu sendiri untuk menggauliku.”

“Santai aja Mbak,” sahut Merry sambil mengusap - usapkan kertas tissue ke perut Mbak Gina yang dibasahi keringat, “Nanti suamiku akan datang sendiri ke sini secara rutin. Khusus untuk menggauli Mbak Gina.”

“Terus… kalau aku hamil bagaimana?” Mbak Gina menatap wajah Merry.

“Biar aja hamil. Malah bagus kalau Mbak bisa punya anak, yang akan menjaga Mbak di masa tua kelak kan? Soal biayanya aku yang akan menjaminnya. Begitu pula masalah pendidikannya, aku yang akan menanggungnya,” sahut Merry.

Mbak Gina menatap adiknya lagi. Dengan mata berlinang - linang.

Aku pun ikut terhanyut ke dalam isi percakapan kakak dengan adiknya itu.

Esok paginya, ketika aku terbangun, Mbak Gina tampak sudah duduk di kursi rodanya. Tapi belum keluar dari kamar. Sementara Merry terdengar sedang mandi.

Untuk membesarkan hatinya, kudorong kursi roda itu keluar dari kamar dan bahkan keluar dari rumah berpekarangan luas itu.

Aku hanya ingin mengajaknya jalan - jalan sambil berbincang - bincang.

“Tadi malam nyenyak tidurnya?” tanyaku sambil berhenti di bawah pohon beringin yang rindang.

“Sangat nyenyak,” sahutnya, “Aku merasa seolah pengantin baru yang baru melewati malam pertamanya.”

Aku pun duduk di bangku kayu yang ada di bawah pohon beringin itu, sambil memegangi kedua tangan Mbak Gina dan menatap wajahnya yang benar - benar cantik alamiah itu.

“Aku akan sering menengok Mbak nanti. Kalau Mbak kangen berat, telepon aja aku. Nanti aku akan datang sendirian aja. Tanpa Merry,” kataku.

“Aku kan sudah diperlakukan seperti istri Sam tadi malam. Jadi jangan manggil Mbak lagi. Panggil namaku aja langsung.”

“Iya… iyaaa, Gina cantiiik…” sahutku sambil mengelus dagunya yang begitu halus dan mulus kulitnya.

“Aku merasa bahagia sekali Sam,” ucap Gina sambil memegang kedua tanganku dengan hangatnya.

“Sama,” sahutku, “aku juga bahagia kalau sudah bisa membahagiakan Mbak.”

Lalu aku menengok ke sekitarku. Tampak sepi sekali, tidak ada seorang pun lewat di sekitar pohon beringin rindang ini. Maka aku pun berani untuk mengecup bibir Gina dengan mesranya. Yang disambut dengan rengkuhan Gina di leherku. Lalu ia balas melumat bibirku.

Lalu terdengar suaranya lirih, “Sam… kayaknya aku sudah jatuh cinta padamu…”

Aku mengangguk dengan senyum, “Cinta Gina akan kurawat dan kupelihara samnpaoi kapan pun.”

“Terima kasih Sam. Karena aku sudah mencintaimu, aku ingin mengandung seperti wanita - wanita normal. Mengandung benih dari lelaki yang kucintai.”

Angin bertiup agak kencang, sehingga rambut Gina berkibar - kibar. Angin seolah ikut menjadi saksi atas permbicaraan kami berdua.

Dan Gina itu… tampak semakin cantik saja di mataku.

Dalam perjalanan pulang, Merry berkata, “Kalau bisa, mulai hari ini, Ayang tengok Mbak Gina secara rutin ya. Gak usah terlalu sering, seminggu dua kali atau sekali juga gak apa - apa.”

“Iya, “aku mengangguk di belakang setir jeep baruku. “Tapi Mer… apakah Merry pernah berusaha untuk membawa dia ke ahli spiritual?”

“Belum pernah, “Merry menggelengkan kepala, “Aku hanya mengupayakan pertolongan medis. Sampai ke China, ke Jepang dan bahkan sampai ke Amerika. Tapi hasilnya seperti itu. Kelumpuhannya tak bisa disembuhkan lagi. Memangnya Ayang punya petunjuk?”

“Ada, “aku mengangguk, “kalau bidadariku setuju, kita bawa aja ke sana.”

Kemudian aku menyebutkan nama daerah di mana ahli spiritual itu tinggal.

“Kebetulan Merry memberi hadiah jeep yang long chasis begini. Jadi nanti kita bisa membawa Mbak Gina beserta kedua perawatnya, sekalian dengan kursi rodanya juga.”

“Iya,” sahut Merry, “Orang - orang bilang jeep ini sebagai jeep limousine. Sehingga aku bersemangat untuk membeli dan menghadiahkannya untuk pangeranku.”

“Dan ternyata mobil ini akan sangat berguna. Karena tempat tinggal ahli spiritual itu membutuhkan mobil four wheel drive yang tangguh seperti mobil ini.”

“Ahli spiritual itu tinggal di daerah yang sangat terpencil?” tanya Merry.

“Terlalu terpencil sih tidak. Tapi jalanan menuju ke rumahnya masih berbatu - batu dan sulit dilewati mobil biasa. Apalagi di musim hujan begini, kalau bukan mobil four wheel drive susah lewat.”

Rencana itu kami laksanakan. Pada suatu malam, aku dan Merry mnembawa Gina ke ahli spiritual yang konon usianya sudah lebih dari 100 tahun itu. Tapi istrinya masih muda, baru 27 tahun, cantik pula.

Menjelang pagi, kami baru tiba di rumah yang lumayan megah itu.

Sebelum kedatangan kali ini aku sudah dua kali mengunjungi lelaki tua yang biasa kupanggil Abah itu. Pertama waktu belum dihadiahi hotel oleh Mamie, kedua setelah aku mendapatkan hibah beberapa perusahaan di Surabaya, dari Merry. Jadi ini adalah kedatanganku yang ketiga kalinya.

Biasanya menjelang subuh pun orang - orang sudah banyak yang mengantri di depan rumah Abah. Karena sejak malam sebelumnya mereka sengaja pada tiduran di teras rumah Abah.

Tapi kali ini suasana di depan rjumah Abah lengang. Tidak ada yang menunggu Abah seorang pun. Sehingga rombonganku dipersilakan masuk sebagai pasien pertama.

Kedua zuster yang bertugqas untuk menjaga dan merawat Gina tidak dibawa masuk. Mereka disuruh menunggu di teras depan. Sementara aku, Merry dan Gina di atas kursi rodanya saja yang masuk ke dalam.

Setelah tanya jawab beberapa saat, Abah pun berkata, “Kalau bukan lumpuh bawaan lahir, mudah - mudahan Alloh akan bisa menyembuhkannya. Abah hanya perantara saja, karena biar bagaimana Tuhan yang akan memperlihatkan kekuasaannya.”

Kemudian Abah memberikan secarik kertas berisi do’a, yang katanya harus dibacakan setiap malam Jumat. Ada juga sebotol air bening yang harus diusap - usapkan ke lutut Gina setiap malam Jumat, setelah melafalkan do’a di secarik kertas itu.

Lalu Abah berdoa di depan kursi roda Gina. Di ujung pembacaan do’anya Abah mengusap - usap kepala Gina sambil berkata lembut, “Semoga Tuhan mengabulkan keinginan dan doa kita, ya Neng.”

Ketika kami bertiga keluar dari ruang praktek Abah, ternyata di teras depan sudah banyak sekali orang yang menunggu, untuk menjadi pasien - pasien Abah.

Untung kami datang sangat pagi, sehingga jam tujuh pagi sudah bisa meninggalkan rumah Abah.

“Love is the answer, but while you are waiting for the answer, sex raises some pretty good questions.”

“Cinta adalah jawabannya, tetapi saat kamu menunggu jawabannya, seks menimbulkan beberapa pertanyaan yang cukup bagus.”

Woody Allen

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu