3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 31

Karel adalah adik Papa Fred yang paling kecil. Namun ternyata penisnya paling gede di antara saudara-saudaranya. Panjangnya sih sama, tapi diameternya jauh beda.

Bukan cuma gagah alat kejantanannya saja. Karel pun ternyata sangat perkasa bermain di atas perut perempuan. Lebih dari sejam dia menyetubuhiku. Padahal aku sudah dua kali orgasme, tapi Karel tampak masih perkasa. Masih enjoy mengentotku dengan gagahnya.

Karuan saja aku merintih-rintih dalam nikmat tak terlukiskan dengan kata-kata belaka. “Kamu memang pejantan yang sangat tangguh Karel. Ayo entot terus sepuasmu… kontolmu luar biasa dahsyatnya… sangat enak… oooo… ooooh… sambil emutin lagi pentil tetekku Karel… iyaaaaa… iyaaaaa… oooooh…

Sesekali Karel pun suka menanggapi rintihanku. “Memek Zus juga… lu… luar biasa enaknya Zusssss…! Gak nyangka aku bisa menikmati memek seenak ini Zussss… !”

Lalu mulut Karel bersarang lagi di leherku, menjilat-jilat dan menggigit-gigit seperti yang kuajarkan tadi.

Terkadang jilatan dan gigitan-gigitan kecil itu pindah ke daun telingaku, ke ketiakku dan ke mana saja yang bisa terjangkau oleh mulutnya.

Sampai pada suatu saat, Karel berbisik terengah, “Kayaknya aku udah mau ngecrot Zus… lepasin di… di mana?”

“Di dalam aja,” sahutku, “Ayo kita lepasin bareng-bareng… biar nikmat… !”

Memang pada saat itu aku pun merasa sudah mau orgasme lagi untuk yang kesekian kalinya.

Maka kugoyangkan pinggulku seedan mungkin… kugoyang terus… sementara gerakan maju-mundurnya penis Karel makin lama makin cepat… makin cepat…!

Lalu kami seperti dua manusia yang sedang kesurupan. Kujambak rambut Karel sambil meremas-remasnya. Sementara kedua tangan Karel meremas sepasang payudaraku kuat-kuat… dengan mata melotot dan nafas tertahan… lalu… penis gede itu mengejut-ngejut di dalam liang kemaluanku yang sedang menggeliat dan memilinnya…

Dan… moncong penis Karel menyemprot-nyemprotkan cairan kental hangatnya… sekaligus menyemprotkan kehangatan ke dalam sekujur batinku… oooo, betapa indahnya semua ini…!

Cretttt… cretcret… croooootttttttt… croooottttttt… crotcroooooooootttt… crot… Crooootttt…!

Karel berkelojotan di atas perutku. Lalu terkulai lemah. Dengan tubuh bersimbah keringat.

“Kamu memang sangat memuaskan,” ucapku sambil menepuk-nepuk pipi Karel, diikuti dengan cuman hangatku di bibirnya, “Emwuahhhh…!

Karel mencabut penisnya yang sudah lemas dari liang memekku. Lalu duduk bersila sambil mengusap-usap pahaku. “Buatku… persetubuhan tadi merupakan persetubuhan yang paling fantastis, Zus… soalnya aku merasakan getaran aneh pula di hatiku… jangan-jangan aku mencintai Zus Ayu nih…”

“Mmm… aku juga merasakan hal yang sama,” sahutku, “Tapi aku ini punya abangmu, Karel.”

“Iya… aku menyadari hal itu,” kata Karel, “Tapi kira-kira kalau aku tinggal di sini, boleh nggak ya? Biar aku bisa lebih dekat ke kampusku. Bisa sering-sering main sama Zus Ayu pula…”

“Nanti Victor ikut-ikutan mau pindah ke sini pula,” sahutku.

“Victor kan kerja di pabrik. Gak mungkin diizinkan sama Broer Frederick. Kalau aku gak ada kegiatan apa-apa selain kuliah.”

“Kamu satu-satuinya adik Broer Fred yang kuliah ya?”

“Iya. Victor dan Edgar kan gak mau lanjutin pendidikannya. Setelah lulus SMA malah memilih kerja di pabrik.”

“Adrianus juga begitu kan?”

“Iya. Dia kan diangkat jadi direktur di pabrik. Padahal pendidikannya cuma SMA juga.”

“Kalau kamu mau tinggal di sini, boleh-boleh aja. Di bawah kan masih ada tiga kamar yang kosong. Tapi harus minta izin sama abangmu dulu.”

“Broer Frederick pasti mengizinkan. Alasanku sangat tepat kan. Ingin mendekati kampus, supaya tidak capek di jalan.”

“Ohya… kamu nggak bekal pakaian untuk ganti?”

“Nggak Zus. SOalnya gak ada rencana mau nginap sih. Itu celana pendek dan baju kaus tadi dipakai di dalam baju kuliahku.”

Tiba-tiba aku teringat pada celana dan t-shirt baru, yang tadinya kubeli untuk Edgar. Sedangkan bentuk tubuh Karel kira-kira sama dengan tubuh Edgar. Sama-sama tinggi langsing.

Maka kukeluarkan celana jeans dan t-shirt baru itu dari dalam lemari. Lalu kuberikan kepada Karel, “Nih cobain dulu. Kalau ngepas di tubuhmu, ambil saja buatmu.”

Karel menyambut celana dan t-shirt hitam itu. Kemudian mencobanya. Ternyata ngepas dengan tubuhnya.

“Terima kasih Zus,” kata Karel yang tampak senang dengan hadiah itu.

Lalu aku melangkah ke kamar mandi buat bersih-bersih dan mengelap keringatku. Dan keluar lagi dari kamar mandi setelah mengenakan kembali kimonoku.

Ketika mau melangkah ke arah ruang cengkrama, kulihat handphoneku berkedip-kedip lampunya. Ternyata ada email dari Sam. Berisi catatan pribadinya yang selalu kubarter dengan catatan pribadiku sendiri.

Hmmmm… Sam memang pejantan unggulan. Ada saja sosok baru yang jadi sasarannya. Seperti yang tercatat berikut ini…


Halina sudah menjadi mualaf dan menjadi istriku ketigaku. Kemudian aku ikut membantu agar ia menjadi WNI, lewat proses panjang. Dan surat kewarganegaraannya itu baru keluar setelah Halina melahirkan bayi cewek cantik, yang lalu kuberi nama Samyanna, sebagai gabungan namaku dengan nama Halinna, dengan nama kecil Anna.

Rumah dan bangunan calon restoran untuk Halina sudah selesai dibangun sebelum Anna lahir. Letaknya tidak jauh dari hotelku.

Rumah baru yang dibangun di atas tanah kosong itu sudah dihuni oleh Halina. Tapi restorannya belum dibuka, karena Halina ingin konsen mengurus anaknya dulu, dibantu oleh seorang babysitter bernama Kinanti.

Baik rumah mau pun bangunan untuk restoran itu dibiayai oleh tabungan Halina sendiri. Sementara uang dollarnya yang disimpan di SDB bank asing itu belum dipakai selembar pun.

Sebelum Halina melahirkan, Frida sudah duluan melahirkan bayi cewek juga. Yang lalu kuberi nama Devi Patriani. Dengan begitu aku sudah punya tiga anak yang resmi sebagai anakku. Feo anak dari Aleksandra, Devi anak dari Frida dan Anna anak dari Halina. Ditambah lagi dengan Satria, anak dari Mamie tapi dalam akte kelahirannya disebut anak Papa.

Sementara itu aku belum berhasil juga menghamili Mamie. Tapi Mamie akan bersabar sampai tiba saatnya hamil lagi.

Kalau dinilai sepintas lalu, perkawinanku seperti kusut. Tapi sebenarnya sebaliknya. Frida, Aleksandra dan Halina menjadi tiga sekawan yang solid dan damai. Aku merasa nyaman dan bahagia menyaksikan kekompakan mereka. Bahkan aku berpikir sebaiknya setiap lelaki yang melakukan polygami harus mampu membuat istriu-istrinya rukun dan damai begitu.

Namun aku tidak berusaha untuk menyatukan mereka di dalam satu rumah. Karena takut mendapat cibiran masyarakat yang tidak mengetahui asal-muasal perkawinanku dengan Aleksandra dan Halina itu. Tidak mengetahui bahwa aku menikahi kedua perempuan bule itu dengan tujuan tak sekadar untuk mengumbar nafsu birahiku semata.

Sementara itu bangunan hotel baru di belakang itu sudah selesai, tapi masih belum dibuka secara resmi, karena interiornya sedang dikerjakan oleh Halina…!

Ya, ternyata pendidikan Halina itu cukup menarik. Dia tamatan Instytut Sztuk Pięknych (Institut Seni Rupa) Jurusan Projektowanie Wnętrz (interior design) di negaranya.

Maka Halina sangat bersemangat ketika kutawari untuk menata interior hotel baruku itu. Yoga pun kusuruh untuk membantu Halina dalam menata interior hotel baru yang empat lantai itu.

Sementara itu Natasha sudah lama kutempatkan di hotel punya Aleksandra, sebagai manager operasional, dengan gaji yang jauh lebih besar daripada gaji di hotelku dahulu. Dalam waktu sedang menata hotel baruku itulah terjadi suatu kisah yang tergores dalam lembaran kehidupanku.

Kisah tentang perempuan… ya, lagi-lagi sesosok perempuan hadir di dalam lembaran kehidupanku.

Pada suatu hari, aku kedatangan seorang tamu di ruang kerja hotelku. Dia adalah Bu Merry, pebisnis permata yang modalnya benar-benar besar itu.

Aku memanggilnya Bu, karena aku tahu bahwa dia istri seorang konglomerat. Padahal usianya kira-kira sebaya dengan Mbak Ayu.

Tentu saja aku terkejut melihat tamu yang datang itu. Wanita pebisnis kelas kakap yang telah menggoalkan perjuanganku untuk menjual berlian-berlian dari Afrika Selatan milik Halina itu.

“Aduuuuh… ada angin apa yang meniup Bu Merry sampai sudi mendatangi tempat sederhana ini?” sapaku sambil menjabat tangannya yang halus dan hangat itu.

“Angin sumpek membuatku sengaja mencari Sam sampai ke sini, “katanya setelah kupersilakan duduk di sofa ruang tamu.

“Sumpek gimana Bu?”

“Jenuh mondar-mandir di Jakarta. Sementara perjalanan bisnisku tidak selamanya sukses. Bahkan kalau dihitung-hitung, lebih banyak gagalnya daripada suksesnya,” sahutnya dengan senyum yang… aaaah… manis sekali senyum istri konglomerat yang aktif dalam bisnis permata itu…!

“Bisnis kan selalu begitu Bu. Kadang sukses, kadang gagal, “tanggapku.

“Iya sih. Tapi aku datang ke sini, khusus untuk meminta saran kepada Sam. Jujur, aku ingin punya pabrik yang bisa menghasilkan produksi secara rutin, sehingga bisa mendatangkan income secara rutin pula. Kira-kira pabrik apa yang stabil produksi dan pemasarannya?”

“Kalau mau bikin pabrik yang stabil produksi maupun marketingnya, menurut aku yang awam ini sih mendingan produksi kebutuhan anak-anak. Dari mainan sampai kebutuhan sekolahnya sebatas taman kanak kanak saja,” ucapku.

“Haaaa?! Itu ide yang cemerlang Sam! Kebutuhan anak-anak kan selalu dinamis, tidak ada matinya. Wow… ini inspirasi yang benar-benar brilliant…!”

“Kalau Bu Merry butuh lahan untuk membangun pabrik itu, aku bisa membantu, terutama lahan di kota ini. Tapi kalau ingin yang lebih murah lagi, banyak pabrik tekstil yang bangkrut, lalu disita oleh bank dan sekarang mau dijual lagi dengan harga cukup murah, karena patokannya harga lelang.”

“Pabrik-pabrik yang akan dijual dengan harga klelang itu lebih menarik lagi. Hmmm… aku bisa stay di kota ini nanti. Ohya… apa di hotel ini masih ada kamar kosong?”

“Hotel ini tidak layak dihuni oleh wanita selevel Bu Merry. Soalnya hotel ini cuma melati tiga. Ada sih di belakang, hotel bintang tiga. Tapi belum dibuka. Aku malu menyodorkannya kepada Bu Merry yang pasti biasa nginap di hotel five star.”

“Ogitu ya? Padahal aku ingin ngobrol banyak sama Sam, “Bu Merry terlihat kecewa.

“Mmm.. ada sih kamar yang mungkin agak sesuai dengan kriteria Bu Merry. Di situ tuh…” kataku sambil menunjuk ke pintu bedroom yang berhubungan dengan meeting room, ruang cengkrama, ruang makan dan ruang tamu terpisah. Bedroom yang merupakan suite room itu punya pintu keluar tersendiri.

Menurutku, kualitas suiteroom itu sesuai untuk wanita sekelas Bu Merry. “SIlakan dilihat dulu keadaan kamarnya. Mudah-mudahan sesuai dengan selera Bu Merry,” kataku sambil membuka pintu menuju ke arah suite room itu.

“Ini kan kantor?” tanya Bu Merry heran.

“Iya. Tapi kamar ini punya pintu tersendiri menuju ke luar. Jadi pintu ini nanti bisa dikunci oleh Bu Merry. Ohya… Bu Merry bawa pengawal ke sini?”

“Nggak. Tadi aku pakai pesawat. Lalu dari bandara pakai taksi ke sini. Sebagai petunjuknya, kartu nama yang pernah Sam berikan di Jakarta.”

“Pakai pesawat pribadi?”

“Nggak. Pakai pesawat umum. Sekali-sekali ingin nyobain ngeluyur sendirian saja, tanpa merasa terganggu oleh kehadiran asisten, sekretaris pribadi dan para bodyguard. Wow… ini kamarnya bukan kamar biasa… ini suite room kan?”

“Iya Bu.”

“Wah… kurasa kondisi dan fasilitasnya tidak kalah dengan hotel bintang lima. Ada meeting roomnya segala… mmm… ya udah, aku mau cek in di sini aja. Tapi…” ucapan Bu Merry terputus. Lalu dilanjutkan dengan bisikan, “Nanti temani aku tidur di sini ya…”

Pandangan Bu Merry poun tampak berubah. Jadi seperti jinak begitu.

“Ditemani sama aku juga boleh. Tapi takut…”

“Takut apa?”

“Takut kebablasan. Hehehee…”

“Justru aku ingin kebablasan. Ingin ngerasain selingkuh itu seperti apa rasanya…”

“Serius Bu?” ucapku sambil memberanikan diri memegang pergelangan tangan wanita 26 tahunan itu.

“Sangat serius. Sam mau kan?”

“Iya, “aku mengangguk, “Sekali-sekali kita urus masalah pribadi, ya Bu. Jangan bisnis mulu.”

“Naaah… aku juga berpikir begitu. Terlalu ngabisin waktu untuk bisnis juga bisa kena serangan jantung nanti. Makanya perlu refreshing sekali-sekali.”

“Refreshing apa rekissing?” tanyaku dengan tatapan dan senyum menggoda.

Bu Merry menyahutku dengan bisikan, “Refucking secara rutin setiap weekend juga oke.”

“Hihihiiii… pancingku disambut sama ikan paus,” sahutku yang kulanjutkan dengan ciuman di pipi kiri Bu Merry. Lalu kujabat tangannya sambil berkata, “Deal… !”

“Suiteroomnya sesuai dengan keinginan saya. Terutama masalah keamanan dan kerahasiaannya, pasti terjamin kan?”

“Tentu saja. Privacy-nya terjamin. Bellboy juga takkan berani mengetuk pintu kamar ini sih.”

Baru sekarang aku berani memperhatikan sosok Bu Merry yang sempurna untuk menjadi istri seorang konglomerat. Sangat cantik, masih sangat muda pula untuk ukuran seorang lelaki limapuluhan tahun sih.

Di mataku juga Bu Merry adalah wanita tercantik di antara semua wanita yang pernah kukenal. Bahkan aku tak menyangka kalau dia akan tertarik padaku. Karena dia seolah putri pingitan di kandang emas, yang senantiasa dijaga oleh singa-singa buas. Singa-singa yang siap menerkam siapa pun berani mengganggunya.

Tapi kenyataannya begitu mudah wanita muda dari kelas jetset itu mendatangiku, khusus untuk memasrahkan tubuhnya.

Apakah aku harus menolaknya? Hohohooo… aku bukan seorang hypokrit yang berlagak moralis. Ada sosok fantastis yang mau menyerahkan dirinya, masa harus kutepiskan?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu