3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 09

Di luar prediksiku, ternyata fisik Tante Inon cukup tangguh. Setelah makan di sebuah rumah makan tradisional, kami beristirahat setengah jam. Kemudian Tante Inon mengajakku bersetubuh lagi. Lalu kulaksanakan juga keinginannya itu. Meski awalnya ragu, karena takut luka di dalam liang memeknya melebar ke mana - mana.

Tapi aku sampai tiga kali menyetubuhi Tante Inon malam itu. Tanpa mengakibatkan Tante Inon kesakitan sedikit pun.

Esok paginya kuantarkan Tante Inon ke rumahnya, dengan janji akan ketemuan lagi di foodcourt mall yang pernah dijadikan point pertemuanku dengan Tante Inon kemaren.

Aku memang sangat terkesan dengan kehadiran Tante Inon sebagai sosok baru di dalam lembaran kehidupanku.

Seminggu kemudian, sesuai dengan janjiku kep[ada Tante Inon, sore itu aku nongkrong lagi di café yang pernah dijadikan tempat untuk menunggu tante Inon seminggu yang lalu.

Tepat pada jam yang dijanjikan, Tante Inon muncul di depan mataku. Dalam gaun terusan berwarna biru langit polos. Membuatnya tampak lebih cantik daripada seminggu yang lalu.

“Sudah lama menunggu?” tanya Tante Inon sambil duduk di sampingku.

“Baru sepuluh menit,” sahutku sambil memegang tangan Tante Inon yang terasa hangat dan halus.

“Sam… tempo hari aku curhat sama Isye,” kata Tante Inon.

“Tante Isye saudara kembar Tante Inon itu?” tanyaku.

“Iya. Di keluarga kita kan hanya ada seorang yang bernama Isye, ya saudara kembarku itu.”

“Terus… Tante curhat mengenai apa sama Tante Isye?”

“Curhat tentang kejadian di antara kita di villamu itu.”

“Wah… terus?”

“Dia jadi kepengen juga Sam. Kepengen merasakan semua yang telah kurasakan. Tapi awalnya dia mau lihat kita ML aja dulu. Kalau dia terangsang… ya libas aja sama kamu Sayang.”

“Kenapa Tante Isyenya tidak dibawa ke sini sekalian?”

“Memang dia ikut. Tapi kusuruh nunggu agak jauh dulu. Kalau aku miss call pada hapenya, pasti dia langsung nyamperin ke sini.”

“Ya udah. Panggil aja dia ke sini. Aku juga ingin lihat seperti apa saudara kembar Tante Inon itu. Apakah dia sangat mirip sama Tante sehingga sulit membedakannya?”

Tante Inon menjawab dengan bisikan, “Yang beda cuma toketnya. Toket dia nggak segede toketku. Yang lainnyha sama persis.”

“Ohya?! Panggil deh Tante Isyenya. Penasaran juga aku jadinya. Ingin lihat saudara kembar Tante Inon.”

Tante Inon mengeluarkan hape dari dala, m tas kecilnya. Lalu dipijatnya nomor Tante Isye. Setelah nyambung, panggilan itu dicancel oleh Tante Inon.

Sesaat kemudian muncul cewek bergaun yang sama bahan dan potongannya dengan gaun yang Tante Inon kenakan. Bedanya, gaun yang dikenakan saudara kembar Tante Inon itu berwarna orange, sementara gaun Tante Inon berwarna biru langit.

Begitu berhadapan dengan Tante Isye, aku langsung mencium tangannya, lalu cipika -cipiki sebagaimana lazimnya seorang anak terhadap adik ibunya.

“Waktu reunian kita kan pernah ketemu. Lupa lagi ya?” cetus Tante Isye sambil menatapku dengan senyum manis.

“Waktu reuni itu kan banyak sekali tamunya. Jadi sulit untuk langsung hafal satu persatu,” sahutku.

“Makanya sekarang kita harus dekat sama Sam. Supaya kalau ketemu di jalan bisa saling kenal,” kata Tante Inon sambil berdiri di samping Tante Isye.

Diam - diam aku memperhatikan kedua saudara kembar itu. Memang sulit membedakannya. Tapi Tante Isye lebih manis kalau dibandingkan dengan dengan Tante Inon. Dan kalau pandanganku diturunkan ke dada mereka, memang kelihatan darfi luar juga, bahwa toket Tante Inon lebih gede.

Beberapa saat kemudian mereka sudah kubawa di dalam mobilku, meninggalkan mall itu. Tante Inon duduk di sebelah kiriku, sementara Tante Isye duduk di seat belakang.

“Gimana Sam. Kamu sudah bisa membedakan yang mana aku dan yang mana saudara kembarku?” tanya Tante Inon sambil menepuk lutut kiriku.

“Sepintas lalu sih sulit membedakannya. Suara Tante Isye dan suara Tante Inon aja kedengarannya sama.”

“Pegang aja toketnya. Kalau gede berarti Inon, kalau agak kecilan berarti Isye… !”

“Iya Tante… hahahaaaa… !”

Kemudian Tante Inon menoleh ke belakang, “Gimana? Udah siap dibelah duren sama Sam?” tanyanya kepada Tante Isye.

“Ingin lihat dulu prakteknya nanti Pokoknya Inon dulu. Aku belakangan juga gak apa - apa.”

“Tapi mau kan?”

“Mau sih,” sahut Tante Isye hampir tak terdengar.

“Nah gitu dong,” kata Tante Inon, “Dientot sama kontol Sam itu waaah… luar biasa enaknya…! Bisa bikin lupa daratan saking enaknya. Mungkin ada bom meledak juga kita takkan peduli.”

“Masa sih?! Bener begitu Sam?” tanya Tante Isye sambil menepuk bahu kiriku.

Aku berusaha menengahi dan menjawab, “Memang hubungan sex itu membuat kita lupa segalanya. Tapi semua harus berjalan atas kemauan sendiri. Jangan ada yang merasa dipaksa. Tanya aja sama Tante Inon, apakah aku memaksanya atau…”

Belum selesai aku bicara, Tante Inon menyela, “Aku yang meminta Sam menyetubuhiku. Sam sama sekali tidak memaksa.”

“Mmm… pada waktu sedang begituan, Sam juga ikut menikmati enaknya?” tanya Tante Isye sambil memegang bahu kiriku.

“Tentu saja Tante. Kan pada waktu bersebadan itu kedua belah pihak harus merasakan nikmatnya,” sahutku, “Jadi kedua belah pihak harus ada take and give. Jangan ada pihak yang egois.”

Sedan merah marron metalic-ku meluncur terus di jalan aspal dan semakin jauh meninggalkan batas kota. Setelah dekat dengan belokan menuju puncak bukit, aku menghentikan dulu mobilku, untuk makan bersama, sekalian mau pesan makanan untuk dibawa ke villaku nanti.

Lalu kami makan bersama di rumah makan tradisional itu. Rumah makan yang menyediakan ikan hidup, lalu dipilih dan ditimbang, kemudian dimasak menurut keinginan konsumen.

Aku meminta ikan gurame asam manis. Daging ikannya dipotong kecil - kecil, lalu digoreng. Setelah masak, potongan yang kecil - kecil itgu ditata di atas tulang dari ekor sampai kepalanya. Sehingga mirip ikan gurame lagi. Lalu disiram dengan saos asam manis.

Sementara Tante Inon dan Tante Isye memilih goreng ayam kampung dan pencok leunca kesenangan mereka. nMinumannya mereka juice alpukat, sementara aku meminta secangkir kopi panas.

Aku pun memesan beberapa jenis makanan untuk dibawa ke villa, persiapan untuk tengah malam atau besok pagi. Hari itu adalah hari Jumat sore menjelang malam. Kami sepakat untuk menghabiskan weekend di villaku. Berarti Minggu malam kami baru akan pulang ke kota kami.

Pada waktu makan lesehan di atas tikar, Tante Isye merapatkan duduknya ke samping kananku, sementara Tante Inon duduk di sebelah kiriku.

Diam - diam aku sering mencuri pandang ke arah Tante Isye. Karena aku merasa penasaran, seperti apa tubuh tinggi langsing itu kalau sudah kusetubuhi nanti? Apakah dia juga masih perawan seperti Tante Inon seminggu yang lalu?

Sambil menunggu pesanan dihidangkan, Tante Inon melangkah ke yoilet dulu. Mau pipis, katanya. Sementara Tante Isye mengambil kesempatan ini untuk membisiki telingaku, “Begituan itu sakit nggak Sam?”

“Emangnya Tante sama sekali belum pernah begituan?” aku balik bertanya.

Tante Isye menggelengkan kepalanya, “Belum sama sekali.”

“Istriku ada empat orang. Tidak ada seorang pun yang mengatakan sakit waktu pertama kali begituan denganku. Tante Inon juga sama sekali tidak merasakan sakit. Malah ketagihan…”

Tante Isye meremas tangan kananku sambil berkata perlahan, “Aku juga kepengen seperti yang pernah kamu lakukan dengan Inon. Tapi takut sakit.”

Lalu kujawab dengan bisikan di dekat telinganya, “Kan memek Tante nanti akan kujilati dulu sampai benar - benar basah dan siap untuk dipenetrasi.”

“Sam… mendengar jilat - jilatan gitu… aku jadi merinding nih. Soalnya kata teman -teman yang udah punya suami, dijilatin itu enak sekali.”

Aku menyapukan pandangan ke sekelilingku, Kebetulan rumah makan ini masih lengang. Biasanya jam tujuh malam mulai banyak orang yang mau makan malam di sini.

“Tante,” kataku perlahan, “begituan itu dijuluki surga dunia oleh orang - orang yang sudah merasakan nikmatnya. Makanya sentuhan dalam bentuk apa pun pasti nikmat… paling nikmat di dunia ini…”

Tante Isye cuma tersenyum dengan pandangan mengambang, seperti sedang melamun.

Tak lama kemudian Tante Inon pun muncul kembali. Duduk di sebelah kiriku lagi. “Berapa liter barusan pipisnya?” tanyaku iseng.

Tante Inon mendelik sambil mencubit lengan kiriku. Tapi tidak tercubit, karena lenganku sengaja kukeraskan.

Dua orang pelayan rumah makan datang, untuk menghidangkan makanan yang kami pesan.

Kami pun mulai makan bersama, sambil ngobrol ke barat ke timur.

Selesai makan, hari pun mulai gelap. Maka setelah makanan pesanan untuk dibawa ke villa itu siap, kami pun meninggalkan rumah makan itu. Tak jauh dari rumah makan itu mobilku pun kubelokka ke kiri, ke jalan kecil yang berkelok - kelok menuju puncak bukit di mana villaku berdiri.

“Wuiiih… villamu keren amat Sam,” ucap Tante Isye pada waktu kubelokkan mobilku ke lantai dasar yang disediakan hanya untuk parkir mobil.

“Untuk membawa Tante Inon dan Tanrte Isye, aku takkan berani mengajak ke tempat asal - asalan,” sahutku sambil tersenyum.

Lalu kami naik ke lantai tiga. Lantai yang terasa paling nyaman bagiku, semoga juga demikian bagi kedua tanteku yang berkulit sangat putih dan mulus itu.

Tante Inon yang menjinjing kantong plastik berisi makanan untuk disantap di villa ini kapan pun kami merasa lapar itu, “Makanan ini mau ditaroh di mana Sam? Di Kulkas?”

“Iya Tante. Nanti kalau mau makan bisa dipanaskan di dapur. Ada microwave juga di sana,” sahutku.

Tante Inon melangkah ke arah kulkas di ruang cengkrama, sementara aku membuka pintu kamar sudut yang dianggap paling luas viewnya itu.

Lalu aku masuk ke dalamnya. Diikuti oleh Tante Isye dan Tante Inon.

Setelah berada di kamar sudut ini Tante Inon berkata kepada Tante Isye, “Aku dan Sam bakal telanjang bulat di sini nanti. Kalau kamu mau menyaksikan kami ML, kamu juga harus telanjang Is.”

“Aku harus telanjang juga?” tanya Tante Isye tampak heran.

“Iya. Kalau gak mau telanjang, kamu pakai kamar sebelah aja. Dan gak usah nonton kami bersetubuh,” sahut Tante Inon sambil menanggalkan gaun biru langitnya. Sehingga tinggal beha dan celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.

Aku pun menanggalkan segala yang melekat di tubuhku, kecuali celana dalam yang tidak kulepaskan.

“Ayo Is… mau nunggu apa lagi?” tegur Tante Inon kepada saudara kembarnya.

“Iya deh,” sahut Tante Isye sambil melepaskan gaun orangenya.

Ketika Tante Inon menanggalkan behanya, Tante Isye pun mengikutinya. Melepaskan behanya. Sehingga tampaklah sepasang payudara Tante Isye yang tidak segede payudara Tante Inon. Tapi kulihat sepasasng toket Tante Isye itu, indah sekali bentuknya.

Ya… pentil toket Tante Isye tampak meruncing ke depan. Bukan ke bawah seperti pentil toket gede Tante Inon. Meski belum kusentuh, aku yakin sepasang toket Tante Isye itu masih sangat kencang seperti toket gadis 20 tahunan ke bawah.

Tapi aku tak mau berkomentar apa - apa. Aku bersikap seolah semuanya biasa - biasa saja.

Kulihat Tante Inon sudah melepaskan celana dalamnya. Lalu merebahkan diri di atas bed. Meski tampak ragu, Tante Isye pun akhirnya menanggalkan celana dalamnya. Lagi - lagi aku dibuat kagum menyaksikan bentuk memek Tante Isye itu. Masih tertutup rapat celah memek tembemnya itu. Sehingga yang tampak hanya garis lurus dari atas ke bawah.

Namun tidak seperti itu memek Tante Inon. Bagian dalamnya tampak agak ternganga setelah ia menelentang sambil merenggangkan sepasang kakinya.

Namun target pertamaku adalah Tante Inon. Soal Tante Isye, terserah dia saja nanti. Mau merasakan disetubuhi, ya akan kusetubuhi nanti. Kalau masih “takut”, aku pun takkan memaksanya.

Lalu aku merayap ke atas perut Tante Inon. Untuk mencium bibir sensualnya sejenak. Kemudian mulutku turun ke bawah. Untuk mencelucupi pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku memegang toket kanannya.

Tante Isye pun merebahkan diri di atas bed. Lalu memiringkan tubuhnya ke arah Tante Inon, sambil mengamati apa yang terjadi di depan matanya.

Ketika aku mulai menjilati memek Tante Inon, sepasang mata indah Tante Isye semakin serius mengawasi apa yang sedang kulakukan pada memek saudara kembarnya.

Terlebih setelah Tante Inon mulai merintih - rintih histeris. “Duuuuh Saaam… aku paling suka kalau memekku sudah dijilati gini… Saaaam… ooooh Saaaam… Saaam…”

Seperti biasa, pada waktu menjilati memek Tantew Inon ini, jempol kiriku ikut beraksi, untuk menekan dan menggesek - gesek kelentit Tante Inon. Membuat rengekan Tante Inon semakin menjadi - jadi, “Iyaaa itilnya elus terus Saaam… ooooh… ini enak sekali… itilnya Sam… itiiilnyaaa… ooooh…

Mulut dan jempol kiiriku beraksi terus… sementara aku terus - terusan mengalirkan air liurku ke arah bagian dalam memek Tante Inon itu.

Sampai pada suatu saat Tante Inon merengek dengan nada seperti yang ingin dikasihani, “Oooh Saaaam… memekku udah basah… masukin aja kontolmu Saaam… aku sudah kangen sama entotan kontolmu… ayo Sam… kontooool ajaaa masukiiin Saayaaang… !”

Aku melirik ke arah Tante Isye yang tengah memperhatikanku dari samping kananku. Lalu kulepaskan celana dalamku. Dan menarik tangan Tante Isye ke batang kemaluanku, dengan maksud agar dia memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.

Dan… Tante Isye benar - benar memegang batang kemaluanku dengan mata seolah tak berkedip…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu