3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 11

Suratan takdirku sudah tertulis seperti ini. Bahwa ada masanya aku jadi jablay, ada pula saatnya aku kebanjiran perempuan dari sana-sini. Seperti yang sedang kualami sekarang ini.

Tapi setelah pertemuan yang tidak diduga sebelumnya dengan Tante Rae itu, aku berusaha untuk konsentrasi pada 3 sosok saja. Mamie, Tante Rae dan Tante Niken alias Tante Ken.

Sementara Mama, Tante Fenti, Mbak Ayu dan Mbak Ita, biarlah mereka dijadikan wilayah kekuasaan Yoga saja.

Karena itu aku hanya mengintensifkan hubungan sex dengan Mamie, Tante Ken dan Tante Rae saja.

Dua hari sekali aku menggauli Mamie. Tiga hari sekali aku menggauli Tante Ken. Sementara hubungan sex dengan Tante Rae hanya pada saat waktuku senggang saja.

Namun berita yang diharapkan belum juga datang. Berita tentang kehamilan Mamie belum terdengar juga. Sampai tiga bulan berlalu, Mamie belum hamil juga. Padahal aku selalu menggaulinya secara periodik, sesuai dengan anjuran dokter.

Jangan-jangan salah seorang di antara aku dan Mamie ada yang kurang. Bisa saja Mamie mandul atau spermaku kurang kuat, sehingga aku tidak mampu membuahi Mamie.

Tentu saja hal itu membuatku resah juga.

Sampai pada suatu hari…

Waktu aku pulang kuliah, ternyata di Rumah Cinta ada Mamie sedang menungguku.

“Mamie?! “sapaku sambil mencium tangannya di depan Tante Ken, lalu kami cipika-cipiki. “Sudah lama Mam?”

“Mmm… kira-kira sejam. Kamu kok pakai motor lagi? Kenapa? Gak suka dengan mobil itu?” tanya Mamie.

“Musim hujan begini sayang pakai mobil Mam. Banyak lumpur yang harus dibersihkan, terutama bagian bawahnya.”

“Lho… orang yang pakai motor biasanya ngeluh kalau hujan turun, karena badan bisa basah kuyup. Kamu malah lebih suka pake motor.”

“Motor lebih lincah, bisa selap-selip kalau sedang macet. Kalau hujan, kan aku selalu bawa jas hujan Mam. Dan yang jelas, motor lebih hemat. Beli pertamax seratusribu cukup untuk seminggu.”

“Waduuh… mahasiswa fakultas ekonomi berhitungnya sampai ke situ ya? Tapi ya udah kamu laksanakan aja mana yang terbaik bagimu. Sekarang kamu masih capek nggak? Mamie mau mengajakmu ke suatu tempat.”

“Ke luar kota Mam?”

“Nggak.”

“Oke deh.”

“Kalau mau makan dulu, silakan aja. Tante Ken udah nyiapin makan untukmu tuh.”

“Belum lapar. Nanti aja pulangnya. Aku cuma mau mandi dan ganti baju dulu, ya Mam.”

“Iya, “Mamie mengangguk. Sementara Tante Ken cuma tersenyum-senyum.

Lalu bergegas aku naik ke atas, ke dalam kamarku. Langsung melepaskan pakaian kuliahku. Dan masuk ke kamar mandi.

Tidak sampai seperempat jam kemudian, aku sudah turun lagi. Dalam pakaian casual, celana corduroy biru tua dan baju kaus putih. Hanya mengenakan sandal kulit, tidak memakai sepatu.

Mamie masih duduk di ruang tamu, sementara Tante Ken sedang di belakang.

Mamie memandangku dengan sorot serius, namun bibirnya menyunggingkan senyum.

“Kenapa tersenyum-senyum gitu Mam?” tanyaku heran.

“Kamu itu… dalam pakaian apa pun selalu saja pantas. Apalagi kalau sudah mengenakan pakaian resmi nanti. Ayo kita berangkat. Kamu yang nyetir ya,” sahut Mamie sambil memberikan kunci mobil mahalnya.

“Ciecie… kami berangkat dulu ya !” seru Mamie setelah berdiri.

“Iya! Ati-ati di jalan yaaa… !” sahut Tante Ken dari dapur.

Mobil Mamie ini tergolong dalam deretan mobil mahal di dunia. Sehingga aku hati-hati benar mengemudikannya.

“Tumben mobil ini dikeluarkan dari garasi Mam,” kataku ketika sedan 3000cc itu sudah berada di jalan raya.

“Sesekali kan harus dibawa jalan juga. Jangan cuma dipanasin mesinnya di garasi,” sahut Mamie.

“Mobil secantik ini seharusnya tiap hari Mamie pake.”

“Nggak ah. Mamie gak mau terkesan pamer-pameran. Numpang di mobil Papa juga nyaman kok.”

“Mobil Papa juga kan berasal dari Mamie.”

“Ya iyalah. Papa kan sudah lama kerja di perusahaan mamie. Wajar saja kalau mamie ngasih sesuatu yang berharga baginya. Awas Sam… di depan ada perempatan, nanti belok ke kiri.”

“Iya Mam.”

Setelah belok ke kiri, jalanan lurus terus ke utara. Sampai akhirnya Mamie menyuruhku berbelok ke kanan, ke halaman sebuah hotel yang tampak baru selesai diupgrade.

“Nah… inilah hotel yang mamie beli beberapa bulan yang lalu itu,” kata Mamie setelah turun dari mobil di depan hotel yang tampak sepi-sepi saja itu.

Hotel itu tidak bertingkat. Tapi kelihatannya besar sekali. Semuanya dibangun dengan gaya rumah tradisional Sunda.

Seorang satpam menghampiri kami sambil membungkuk sopan kepada Mamie, “Selamat sore Bu Boss…” ucapnya.

“Sore,” sahut Mamie, “Kontraktornya sudah pulang?”

“Sudah Bu Boss. Baru saja.”

Kemudian Mamie mengajakku masuk ke lobby hotel yang belum ada orangnya.

Mamie memang pernah menjelaskan bahwa pemilik hotel itu meninggal. Anak-anaknya sudah menetap di luar negeri, sehingga hotel itu ditutup dan mau dijual.

Mamie membeli hotel itu karena tanahnya lumayan luas. Sampai 3 hektar. Padahal seingatku ada rumah sakit yang bangunannya kelihatan megah, tapi luas tanahnya hanya setengah hektar.

Di lobby Mamie mulai bersikap serius padaku. Lalu berkata, “Tadinya mamie mau mengangkatmu sebagai general manager hotel ini. Tapi karena sekarang mamie sedang sangat bahagia, maka hotel ini kuhadiahkan padamu Sam.”

“Dihadiahkan padaku?!” aku terheran-heran.

“Iya. Mulai hari ini hotel ini jadi milikmu. Jadi terserah kamu mau diapakan hotel ini. Mamie percaya, kamu pasti mampu mengelolanya.”

“Mam… apakah aku gak salah dengar? Mamie memberikan hotel sebesar ini padaku?”

Mamie mencium pipiku, kemudian berbisik, “Iya hotel ini kuhadiahkan padamu, karena kamu berhasil membuat mamie bahagia. Mamie sudah mulai hamil, Sayang.”

“Akhirnya… “hanya itu yang mampu kuucapkan. Lalu aku berlutut sambil memeluk kaki Mamie. “Semoga kehamilannya sehat dan lancar pada waktu melahirkan nanti.”

“Amiin…” sahut Mami sambil membelai rambutku.

Lalu aku berdiri lagi. Menggandeng lengan Mamie untuk duduk di sofa yang mengitari pinggiran lobby hotel.

“Aku juga bahagia Mam. Berarti beberapa bulan lagi aku akan punya anak ya.”

“Iya. Janin yang berada di dalam perut mamie ini adalah anakmu. Tapi publik hanya boleh tahu bahwa janin ini anak Papa.”

“Iya Mam. Aku mengerti soal itu sih. Ohya, jadi sekarang kandungan Mamie sudah berapa bulan?”

“Kurang dari sebulan. Tepatnya baru empat minggu.”

“Bagaimana tanggapan Papa? Apakah beliau kelihatan senang?”

“Senang sekali,” sahut Mamie sambil meremas-remas tanganku dengan lembut.

Kemudian kami membahas masalah hotel yang telah menjadi milikku ini.

Mamie menganjurkan agar karyawan dan karyawati yang dahulu bekerja di hotel ini direkrut kembali. Agar aku tak perlu mengajari pegawai lagi.

Hotel ini bukan hotel bertingkat. Hanya hotel satu lantai, yang berbentuk seperti huruf O. Kamar-kamarnya mengitari taman dan kolam renang yang ada di tengahnya.

Mamie pun tak lupa memberi nasihat. Agar kelak aku menjaga sikap dan perilaku sebagai owner hotel ini.

Mengenai manajemen, Mamie percaya padaku, karena kebetulan aku kuliah di fakultas ekonomi jurusan manajemen.

“Ohya… mamie cuma titip satu orang, anak Tante Ken itu. Kalau dia sudah menyelesaikan kuliahnya dan kesulitan mencari kerja, rekrut saja ke hotel ini. Mungkin dia bisa dijadikan wakilmu di sini nanti. Apakah kamu belum bertemu juga dengan Frida?”

“Belum Mam. Sepertinya dia memanfaatkan masa liburan untuk mengambil semester pendek, untuk mempercepat kelulusannya. Ohya… pernah dia pulang, tapi tidak nginep. Sorenya pulang lagi ke Jakarta. Jadi gak ketemu sama aku, karena aku sedang sibuk-sibuknya di kampus. Hanya beritanya aja yang nyampai, dari Tante Ken.

“Mmm… begini Sam… sebenarnya Frida itu cantik sekali. Mamie takut dia jatuh ke tangan yang salah. Karena selama ini mamie yang membiayai pendidikannya. Jadi… mamie setuju sekali kalau Frida jadi calon istrimu.”

“Haaa?! Mamie mau menjodohkanku sama anak Tante Ken?” tanyaku kaget bercampur bingung.

“Menjodohkan sih nggak. Cuma alangkah baiknya kalau Frida itu dijadikan calon istrimu. Dia anak baik dan penurut kok. Cerdas dan sangat cantik pula. Takkan memalukan deh kalau dia dijadikan calonmu.”

“Aku hanya bisa mencintai Mamie seorang,” sahutku sambil menunduk.

“Tapi biar bagaimana pun mamie tidak bisa menjadi istrimu secara sah Sam. Walaupun Papa sudah meninggal, kita tetap tidak bisa menjadi suami-istri. Mamie sudah tanya ke beberapa pakar hukum agama. Semuanya menjawab seperti itu.

“Iya Mam. Aku juga pernah dengar bahwa wanita yang pernah dinikahi oleh ayah, tidak boleh dinikahi oleh anaknya.”

“Nah… baguslah kalau kamu sudah tahu. Kamu tidak akan bisa menikahi mamie. Tapi mamie tidak mau kamu jatuh ke tangan wanita lain, kecuali wanita yang masih berada di dalam lingkaran mamie. Makanya mamie sangat mendukung kalau Frida dijadikan calon istrimu.”

“Terus hubungan kita bagaimana?”

“Tetap jalan. Tapi secara rahasia. Seperti sekarang, hanya Papa dan Tante Ken yang boleh tau.”

Aku terdiam sesaat. Aku merasa apa pun yang Mamie inginkan, selalu positif bagiku. Karena itu, akhirnya aku berkata, “Aku akan mengikuti apa pun yang Mamie inginkan.”

“Nah… kalau begitu hari Minggu yang akan datang, mamie akan memanggil Frida. Kalau mamie yang memanggil, pasti Frida datang.”

Aku cuma mengangguk-angguk sambil berusaha untuk tersenyum. Semuanya ini terlalu mengejutkan bagiku. Bahwa Mamie mulai mengandung benih dariku. Bahwa aku dihadiahi hotel yang masa depannya pasti cemerlang. Bahwa aku akan dijodohkan dengan Frida yang belum pernah kulihat seperti apa bentuknya itu.

Namun aku berusaha untuk mengikuti jalan pikiran Mamie. Karena sejauh ini Mamie selalu memberikan sesuatu yang menyegarkan jiwaku.

“Apakah Papa sudah diberitahu tentang masalah Frida itu Mam?” tanya sesaat kemudian.

“Tentu sudah,” sahut Mamie, “Jangankan Papa, Tante Ken juga sudah dikasih tahu. Dan mereka semua mendukung masalah ini. Tinggal menunggu keputusan darimu aja.”

“Fridanya gimana?” tanyaku.

“Frida sudah bilang mau mengikuti keputusan Mamie dan Tante Ken saja.”

“Wow… jadi sudah sejauh itu ya…”

“Iya Sayang. Kamu kan gak mungkin bujangan terus. Pada suatu saat kamu harus punya istri. Dan mamie tidak mau kalau kamu menikah dengan cewek di luar lingkaran Mamie. Karena Mamie takut kehilangan kamu.”

Dengan lembut kukecup pipi Mamie yang hangat, lalu berbisik di dekat telinganya, “Sampai kapan pun Mamie takkan kehilangan aku.”

“Terima kasih sayang,” sahut Mamie yang lalu diikuti dengan kecupan hangatnya di bibirku.

Lalu Mamie berdiri sambil memegang pergelangan tanganku, “Ayo sekarang kamu lihat keadaan di dalam kamar-kamar hotel ini, “ajaknya.

Ternyata kamar-kamar di hotel ini sudah disulap seperti baru semua. Furniture dan peralatan lainnya pun sudah diganti dengan yang baru semua.

Kata Mamie, waktu hotel ini baru dibeli, tidak ada AC satu pun. Lalu Mamie menyuruh kontraktor agar semua ruangan dipasangi AC. Furniturenya pun diganti semua, karena yang lama sudah kelihatan usang.

“Kamarnya ada berapa Mam?” tanyaku waktu sedang memeriksa kamar-kamar hotel itu.

“Hanya seratus kamar. Tapi tanah kosong di belakang kan masih luas. Kalau masih kurang, kan bisa dibangun kamar-kamar baru di situ. Nah… rencanamu bagaimana untuk promosinya nanti?”

“Mungkin harus nyebar brosur ke instansi-instansi yang biasa mengadakan rapat di hotel-hotel.”

“Bagus, “Mamie menepuk bahuku, “Kamu kok langsung punya ide bagus gitu.”

“Tapi belum ada ruangan luas untuk rapatnya ya Mam.”

“Bangun aja di depan, karena pelataran parkir terlalu luas, bisa diambil separuhnya untuk ruang rapat itu. Untuk parkir kan bisa di belakang, yang jauh lebih luas.”

“Sekalian bikin convention hall aja Mam. Kan bisa disewakan juga untuk acara pesta pernikahan, khitanan dan sebagainya. Kita kasih harga sewanya lebih murah dari gedung-gedung lain, tapi cateringnya harus dari hotel. Gimana?”

“Iya… iya… iya…! Idemu bagus. Kalau gedungnya dipakai untuk resepsi pernikahan, tamu-tamu dari luar kota bisa nginep di hotel juga. Bagus itu. Besok kontraktornya akan mamie panggil, untuk membangun convention hall itu.”

“Kira-kira membangun convention hall itu makan waktu berapa lama Mam?”

“Kalau pakai konstruksi baja, tiga-empat bulan juga selesai.”

“Mmm… kuliahku kayaknya lima bulan lagi juga selesai Mam.”

“Haaa? Secepat itu?!”

“Iya Mam. Aku memang ingin cepat menyelesaikan kuliahku. Biar bisa belajar bisnis sama Mamie dan Papa.”

“Owh iya… kata Tante Ken, kamu sekarang bisnis juga ya?”

“Ah, itu cuma bisnis kecil-kecilan Mam. Tapi hasilnya lumayan juga.”

“Bisnis apa pun sebaiknya dimulai dari dasar dulu. Jangan langsung gede-gedean.”

“Iya Mam.”

“Ohya… mamie mau telepon Frida sekarang. Nanti kamu dengarin aja jawabannya ya,” kata Mamie sambil mengeluarkan handphone dari tas kecilnya. Lalu ia memijat nomor di hapenya. Dan terdengar suara cewek yang dikeluarkan dari speaker hape Mamie :

“Hallo Tante Yun…”

“Frid, hari Sabtu atau Minggu kamu pulang dan langsung aja ke rumah tante. Bisa?”

“Iya Tante. Kalau boleh tau ada acara apa neh?”

“Nanti aja dikasih tau setelah bertemu sama tante.”

“Siap Tante. Hari Minggu pagi aja aku berangkat ke sana ya. Mungkin siangnya baru nyampe di rumah Tante. Soalnya hari Sabtu masih ada kuliah.”

“Iya. Tapi kamu sehat-sehat aja kan?”

“Sehat Tante. Gimana Tante sendiri? Sehat juga kah?”

“Sehat. Tante tunggu hari Minggu ya.”

“Siap Tante.”

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu