3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 03

“Marisa… “gumamku seolah menghafalkan nama manager personalia itu. “Nama panggilan sehari - harinya apa?” tanyaku.

“Saya biasa dipanggil Icha aja Big Boss.”

“Usianya sebaya dengan Mbak Widi ya?”

“Betul Big Boss. Saya hanya lebih muda enam bulan saja dari Mbak Widi.”

“Berarti aku harus manggil Mbak Icha aja ya. Karena usiaku kira - kira tujuh tahun lebih muda daripada Mbak Icha.”

“Dipanggil nama langsung tanpa mbak juga gak apa - apa Big Boss.”

Lalu Mbak Widi nimbrung, “Icha sudah menyatakan siap untuk ikut menemani Big Boss dan siap untuk menginap juga. Kalau perlu, nginap dua atau tiga malam juga gak apa - apa Big Boss. Karena kami sama - sama bebas… sama - sama tidak punya suami.”

“Betul begitu?” tanyaku sambil menoleh ke arah Mbak Icha.

“Siap Big Boss.”

Mbak Icha Marisa yang tadi kudesak agar duduk di sampingku, lebih banyak tertunduk. Mungkin karena segan duduk berdampingan dengan orang nomor satu di perusahaanku ini.

Ketika Mbak Widi minta izin untuk menyiapka n pakaian untuk ganti, aku jadi iseng. Membisiki telinga Mbak Icha, “Mbak siap juga untuk dijadikan sarana kebutuhan biologisku?”.

Mbak Icha menatapku dengan sorot takut - takut. Lalu mengangguk, “Siap Big Boss.”

“Siap karena terpaksa atau atas dasar kerelaan?”

“Rela Big Boss. Siapa sih yang tidak mau sama Big Boss yang ganteng dan masih sangat muda begini… owner perusahaan besar ini pula.”

“Sudah punya anak berapa?”

“Saya senasib dengan Mbak Widi. Sama - sama belum punya anak.”

Aku tersenyum. Lalu berbisik lagi ke telinga manager personalia itu, “Berarti memeknya masih rapet merepet dong.”

“Hihihi… nanti kan Big Boss bisa rasain sendiri…”

Beberapa saat kemudian, ketika kami bertiga menuju pelataran parkir, aku duluan menghampiri Jalal. Dan berkata setengah berbisik pada sopir perusahaan itu, “Cari hotel yang lebih bagus daripada yang dipakai dengan dirut tempo hari.”

“Siap, “Jalal mengangguk sopan.

Lalu Mbak Widi dan Mbak Icha datang. Kusuruh Mbak Widi duduk di depan, sementara aku dan Mbak Icha duduk di belakang. Aku di seat belakang kanan, Mbak Icha di seat belakang kiri.

Ketika sedan hitam ini mulai bergerak, lengan kiriku mulai melingkari pinggang Mbak Icha.

Sekilas aku teringat tentang orang - orang yang sudah sukses hidupnya, lalu mengoleksi puluhan mobil mewah untuk symbol statusnya. Namun aku bagaimana? Aku bahkan tak pernah membeli mobil untuk pribadiku. Mobil yang sudah kuberikan kepada Frida dan sedan merah maroon yang kujadikan mobil pribadi itu, dua - duanya pemberian Mamie tercinta.

Biarlah orang - orang sukses mengoleksi mobil mewah sebanyak mungkin. Aku tidak ingin mengikuti gaya hidup seperti itu. Apalagi kalau mengingat pajaknya yang harus dibayar tiap tahun… buang - buang duit doang.

Lalu apa yang kukoleksi sebagai symbol statusku? Aku malah ingin mengoleksi memek sebanyak mungkin. Supaya hidupku selalu bertaburkan bunga - bunga surgawi… !

Ketika sedan hitam perusahaan bergerak meninggalkan pelataran parkir, lengan kiriku tetap mendekap pinggang Mbak Icha. Namun tangan kananku mulai mengelus - elus lutut wanita berperawakan tinggi langsing itu. Bahkan sesaat kemudian mulai menggerayangi pahanya.

Mbak Icha cuma tersenyum - senyum. Bahkan ketika tanganku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya, Mbak Icha merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.

Bukan cuma merapatkan pipinya ke pipiku. Ketika jemariku mulai menggerayangi kemaluannya, Mbak Icha mengecup pipiku… lalu mengecup bibirku. Tanpa peduli apakah hal itu bisa terlihat oleh sopir atau tidak.

Maka diam - diam aku punya prediksi bahwa Mbak Icha ini lebih agresif daripada Mbak Widi.

Namun semua itu tak berlangsung lama. Karena tak lama kemudian kami sudah tiba di hotel pilihan Jalal.

Ini untuk pertama kalinya aku booking langsung ke resepsionis. Biasanya lewat online atau menyuruh anak buah.

Tapi hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk menuju kamar yang telah diberikan padaku di lantai 5. Nomor kamarnya juga keren. Triple five alias 555.

Seetelah berada di kamar 555, Mbak Widi dan Mbak Icha sama - sama melepaskan blazer seragam kantor mereka. Blazer berwarna biru muda, spanrok berwarna biru tua dan blouse berwarna biru tua juga.

Dan semua jenis pakaian yang kusebut kitu telah mereka lepaskan setelah berada di dalam kamar 555.

Aku telah menyetubuhi Mbak Widi di kantornya tadi. Tapi baru sekarang aku menyaksikan bentuk tubuhnya yang tinggal mengenakan bra dan CD (celana dalam). Mbak Widi tergolong chubby, tapi tidak gendut. Sementara Mbak Icha berperawakan tinggi langsing.

Soal kulit, mereka sama - sama puttih dan mulus. Memang patut disesalkan, wanita - wanita sebagus mereka bisa menjanda di usia yang masih muda, masih produktif.

“Mau siapa dulu? Mau direktur cabang dulu atau manager personalia dulu?” tanyaku setelah melepaskan dasi dan jasku, lalu menggantungkannya di kapstok.

“Silakan Icha aja duluan Big Boss. Saya belakangan aja,” sahut Mbak Widi sambil tersenyum.

Memang pantas Mbak Icha maju duluan. Karena Mbak Widi sudah kusetubuhi di kantornya tadi, meski cuma persetubuhan kilat dan aku tidak sampai ejakulasi.

Aku pun melepaskan kemeja putihku, disusul oleh celana panjangku. Kemudian kugantungkan kedua helai pakaian itu di dekat jas dan dasiku.

Sambil duduk di sofa kulepaskan sepatu dan kaus kakiku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku. Sementara kedua wanita muda itu sudah menanggalkan beha mereka. Sehingga aku bisa menyaksikan dua pasang toket yang berbeda bentuk dan ukurannya. Sepasang toket Mbak Widi gede - gede, agak tuirun tapi natural.

Lalu kuajak mereka langsung naik ke atas bed.

Mbak Icha memang lebih agresif daripada Mbak Widi. Setelah berada di atas bed, Mbak Icha langsung menarik celana dalamku sampai terlepas dari kakiku. Dan berseru kaget setelah menyaksikan batang kemaluanku, “Wow… punya Big Boss ini luar biasa panjang dan gedenya…”

Mbak Icha memegang batang kemaluanku dengan tangan kirinya, sambil mengelus - elus moncongnya dengan jemari tangan kanannya. Tak cuma itu. Ujung lidahnya pun mulai menyapu - nyapu moncong dan leher penisku… lalu… happp… penisku dikulumnya, seolah ingin menelannya…!

Aku mulai menahan - nahan nafasku ketika Mbak Icha mulai menyelomoti penisku dengan lahapnya. Air liurnya pun mulai mengalir ke batang penisku sampai ke pangkalnya, disusul dengan urutan - urutan tangan halusnya yang sangat terlatih.

Tampaknya Mbak Widi tergiur menyaksikan semua ini. Setelah melepaskan celana dalamnya, Mbak Widi berlutut di sampingku, sambil mendekatkan memeknya padaku, dengan senyum centil di bibirnya.

Aku pun mengfatur sedemikian rupa, sehingga kedua lutut Mbak Widi berada di kanan kiri leherku. Sementara memek tembemnya persis berada di atas mulutku.

Maka sambil menikmati selomotan Mbak Icha, aku pun bisa menarik pangkal paha Mbak Widi. Dan memeknya bersentuhan dengan mulutku.

Dalam posisi facesitting, aku bisa menjilati memek Mbak Widi, sementara Mbak Icha semakin binal menyelomoti penisku. Bahkan beberapa saat kemudian, Mbak Icha berlutut dengan kedua lutut berada di kanan kiri pangkal pahaku, sambil memegang penisku yang diarahkan ke memeknya.

Lalu pinggul Mbak Icha diturunkan, sehingga penisku seolah ditewlan oleh liang memeknya yang sudah basah.

Mjungkin pada saat menyelomoti penisku, Mbak Icha bisa bermasturbasi, sehingga liang memeknya jadi basah sekali. Dan dengan mudahnya “menelan” sekujur batang kemaluanku.

Keasyikanku jadi terbagi dua. Bahwa memek Mbak Icha naik turun naik turun naik terus, sehingga penisku terasa dibesot - besot oleh liang memeknya. Luar biasa enaknya…!

Sementara itu aku pun semakin asyik menjilati memek Mbak Widi yang sudah ternganga dan mulai membasah ini…!

Mbbak Widi dan Mbak Icha pun mulai pada merintih - rintih erotis.

Mbak Icha: “Aaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaaaah… aaaa… aaaaah… aaaa… aaaaaaah… aaaa… aaaaaah… aaaa… aaaaaaaah… aaaaa… aaaaaaahhhhh… !“

Mbak Widi: “Oooo… oooooh… oooo… ooooooohhhhhhhhh… oooo… ooooh… ooo… oooohhhhh… oooooohhhhhhhhh… ooooooohhhh… !”

Cukup lama semua ini berlangsung.

Sampai akhirnya Mbak Icha ambruk di puncak orgasmenya…!

Lalu Mbak Icha menggulingkan badannya ke samping kakiku.

Posisi Mbak Icha digantikan oleh Mbak Widi. Dalam posisi WOT Mbak Widi mulai menaik - turunkan memeknya yang sudah “menelan” penisku.

Namun karena memek Mbak Widi sudah cukup lama kujilati tadi, maka ia tak kuat lama bertahan dalam posisi WOT ini…

Aku tersenyum - senyum saja menyaksikan “nasib” kedua janda muda itu.

Setelah berpikir sejenak, akhirnyha aku memilih Mbak Icha yang tampak sudah mulai pulih lagi staminanya. Aku pun merayap ke atas tubuhnya yang masih celentang. Dan kubenamkan penisku tanpa kesulitan, karena liang memeknya masih basah sekali. Blessss… langsung masuk ke dalam liang memek Mbak Icha yang berjembut tipis itu.

Rintihan Mbak Icha pun mulai berkumandang, “Big Bosss… ooooooh… penisnya luar biasaaa… panjang dan gede sekali… ooooooh… oooo… oooooh… iyaaa… aaaa… aaaaaahhh… iyaaaaaaa… oooohhhh… entot terussssssss… entooooot… entoooootttttt… Big Bossku… ini luar biasa enaknya …

Kali ini pasangan seksualku dua orang. Karena itu aku harus mampu mengulur waktu ejakulasiku sebisa mungkin. Jangan cuma bergaya doang, ingin menikmati dua perempuan sekaligus, tapi staminanya kayak ayam jago.

Entotanku makin lama makin kencang dan keras. Sementara kedua tanganku habis - habisan meremas sepasang toket Mbak Icha yang ternyata masih sangat kencang ini (mungkin dia menggunakan “sesuatu” untuk mengencangkan payudaranya).

Mbak Icha memang agresif dan atraktif. Pinggulnya mulai digeol - geol seolah membentuk angka 8. Meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Sehingga penisku terasa dibesot - besot oleh liang memeknya yang lumayan legit. Membuatku tak mau kalah. Kugencarkan entotanku, sambil menjilati lehernya yang sudah berkeringat, diiringi dengan gigitan - gigitan kecil…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu