3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 27

Pia adalah sosok lama, sebagai saudara sepupu dan teman sepermainan waktu masih kecil. Tapi dalam masalah seksual, dia menjadi sosok baru bagiku. Dan aku berjanji di dalam hati, pada suatu saat aku akan pergi ke Surabaya. Khusus untuk menikmati lagi tubuh saudara sepupuku itu.

Sepertinya aku sudah ditakdirkan begini. Bahwa perempuan demi perempuan seolah mengalir sendiri padaku. Tanpa diundang, apalagi dikejar.

Hari demi hari pun berputar terus tanpa terasa. Mungkin ini pertanda bahwa aku kerasan tinggal di muka bumi ini.

Sampai pada suatu pagi…

Tadinya pagi itu aku bermaksud untuk mengunjungi rumah Mamie, karena seingatku hari ini adalah “jatah” untuk Mamie tercinta. Tapi handphoneku berdenting, pertanda ada WA masuk.

Ternyata dari Aleksandra. Isinya :-Sam Sayang… datang ke rumah ya. Ada sesuatu yang sangat penting-

Aku pun membalas singkat*-OKE-*

Maka setelah makan sarapan pagi, hanya bubur ayam dan kopi panas, aku pun melarikan mobilku menuju rumah Aleksandra yang berpunggungan dengan hotelnya itu.

Aleksandra membuka pintu depan dengan senyum manisnya. Namun di belakang Aleksandra ada seorang cewek bule lain, membuatku bertanya, “Siapa dia?”

“Justru karena dia makanya aku minta kamu datang, Honey. Kenalin dulu… dia teman sekolahku waktu sama-sama di high school dulu.”

Aku pun menjabat tangan cewek bule itu sambil menyebutkan namaku, “Sammy.”

“Halina,” kata cewek itu.

Aleksandra menyambung, “Halina itu di dalam bahasa kami berarti Cahaya.”

Kemudian kami duduk di sofa ruang tamu.

Aleksandra membuka pembicaraan. “Kemaren aku makan siang di resto hotel kita. Gak taunya Halina juga sedang makan di situ. Tentu aja aku kaget sekali, karena berjumpa dengan teman semasa masih ABG dulu. Ternyata dia sudah tiga malam menginap di hotel kita. Makanya dia kuajak ke rumah ini.”

“Dia belum bisa berbahasa Indonesia kan?” tanyaku.

“Sudah bisa, karena dia sudah tiga tahun tinggal di Indonesia. Dia itu seorang volunteer yang bekerja untuk badan sosial di bawah naungan U. N. O

(PBB). Tadinya dia mau pulang, karena kontrak kerjanya sudah habis. Padahal dia masih kerasan tinggal di Indonesia. Maka sebelum pulang ke Eropa, dia ingin jalan-jalan dulu di kota ini, karena menurutnya daerah wisata di kota ini luar biasa indahnya.”

Cewek bernama Halina itu menyambung, “Penduduknya pun lebih ramah daripada kota-kota lain. Kulinernya juga sangat enak dan variatif.”

“Nah setelah berjumpa dengan aku, Halina jadi berubah pikiran. Dia ingin stay di Indonesia, terutama di kota ini. Karena kota ini berhawa sejuk, tidak panas seperti di Jakarta.”

Aku cuma mengangguk-angguk, sambil sesekali melirik ke arah Halina yang kunilai tak kalah cantik kalau dibandingkan dengan Aleksandra. Hmm… lagi-lagi aku ditakdirkan untuk berjumpa dengan sosok cantik yang hadir sendiri tanpa kuundang atau pun kukejar.

Kemudian Aleksandra berbicara kepada Halina dalam bahasa mereka, yang aku tidak mengerti sedikit pun. Halina mengangguk-angguk sambil tersenyum. Lalu Aleksandra berkata padaku sambil berdiri, “Honey… aku mau membicarakan sesuatu secara empat mata…”

Aku mengangguk. Lalu mengikuti langkah Aleksandra menuju kamar.

Di kamar kami itulah Aleksandra berkata padaku, “Aku senang sekali berjumpa dengan teman lamaku itu. Dia juga ingin stay permanen di Indonesia. Bahkan dia sangat berminat untuk menjadi warganegara Indonesia. Lalu kubilang, kalau mau cepat mengurus kewarganegaraan di sini, harus menikah dengan orang Indonesia.

Tentu saja aku terkejut mendengar ucapan Aleksandra itu. Karena usul Aleksandra agar aku menikahi teman lamanya itu benar-benar di luar akal sehatku. Tapi kalau dipikir lebih mendalam, alasan Aleksandra itu masuk akal.

“Bagaimana? Sam setuju untuk menikahi Halina kan? Bukankah agama kita membolehkan seorang pria menikahi wanita sampai empat orang?”

Aku tercenung sesaat. Lalu jawabku, “Biar bagaimana pun juga, keputusannya ada di tangan Frida. Seperti waktu aku mau menikahimu, harus ada izin dari Frida dulu kan. Memang seperti itu hukumnya.”

Aleksandra tersenyum dan berkata, “Aku akan ikut membujuk dan meluluhkan hati Frida agar menyetujui Sam menikahi Halina.”

“Terus… Halina sendiri bagaimana? Dia belum tentu mau kan dijadikan istri ketigaku.”

“Setelah kuperlihatkan foto-foto Sam, Halina langsung menyatakan setuju. Bahkan dia juga menyatakan siap untuk menjadi seorang mualaf. Dia masih virgin lho. Kalau sudah bolong, aku takkan mengajukannya sevbagai calon istrimu, Honey.”

“Aku bisa menerima kehadiran teman asing mana pun. Tapi untuk dijadikan istriku, tentu saja aku harus mengenal watak dan perilakunya dulu. Dia juga harus mengenal watakku. Kalau sudah sesuai, baru bisa menjadi suami-istri.”

Tiba-tiba terdengar suara Feodor di gendongan Ima (babysitter), “Papaaa… !”

Aku senang sekali mendengar suara anakku yang sudah berumur dua tahun itu. Lalu kuambil Feo dari gendongan babysitternya dan kuciumi pipinya yang putih bersih seperti kulit ibunya. “Feo udah makan belum?”

“Udah,” sahutnya dengan jelas. Padahal usianya baru dua tahun.

Tapi tidak lama aku bisa menimang-nimang anakku, karena Aleksandra masih ingin berbicara denganku secara serius. Maka kuserahkan Feo ke tangan Ima lagi.

Setelah Feo dan babysitternya keluar dari kamar, Aleksandra berkata, “Silakan aja Halina dibawa ke tempat yang tenang, agar bisa tukar pikiran sekaligus PDKT.”

Aku berpikir lagi sesaat. Lalu berkata, “Besok aku mau ke Jakarta. Mungkin bakal nginap dua malam di sana. Kalau kamu izinkan, aku akan membawanya. Bagaimana?”

“Silakan,” sahut Aleksandra dengan senyum di bibirnya, “Ya udah kita ke depan lagi yuk. Kasian Halina duduk sendirian.”

Lalu kami melangkah ke ruang tamu lagi, di mana Halina masih duduk sendiri sambil mempermainkan kuku jari tangannya.

Setelah duduk di samping Halina, Aleksandra menepuk lutut sahabatnya sambil bertanya dalam bahasanya, “Lubisz go?”

(belakangan aku tahu artinya: Apakah kamu suka dia?)

Halina menyahut, “Tak Lubie to Wygląda przystojnie i sympatycznie. “(belakangan aku tahu juga artinya: Ya, saya menyukainya, terlihat tampan dan menyenangkan).

“Jadi clear sudah,” kata Aleksandra, “Besok kamu mau diajak ke Jakarta oleh suamiku. Dan akan menginap dua malam di sana, sambil mengenal watak kalian masing-masing. Kamu mau kan?”

Halina mengangguk sambil tersenyum manis.

Hmm… kalau kunilai-nilai, Halina dan Aleksandra sama-sama cantik. Perbedaannya hanya dua hal. Rambut Aleksandra pirang, sementara rambut Halina brunette (rambut berwarna coklat). Tubuh Aleksandra tinggi semampai, sementara Halina tinggi montok.

Tanpa keraguan, aku memegang tangan Halina sambil bertanya, “Are you willing to be my third wife?”

(Apakah kamu bersedia menjadi istri ketigaku?)

Halina menatapku sambil menyahut, “Yes I do.”

Lalu aku bertanya lagi, tetap dalam bahasa Inggris, agar jangan salah faham, “Are you willing to melt into my religion?”

(Apakah kamu bersedia melebur ke dalam agamaku?)

Halina menjawab, “Yes, I am willing to merge into your religion. “(Ya, saya bersedia bergabung dengan agama Anda)

Aleksandra bertepuk tangan sambil berkata, “May the three of us be compact until old age!”(Semoga kita bertiga kompak sampai tua kelak !)

“Oke… kalau begitu clear semua. Sekarang aku mau kerja dulu ya,” kataku sambil berdiri.

“Mau ke hotelmu, Honey?”

“Nggak Mau ke perusahaan Papa,” sahutku.

Lalu aku dan Aleksandra cipika-cipiki dulu.

“Cium pipi Halina juga dong,” kata Aleksandra.

Aku mengangguk sambil tersenyum. Lalu mencium pipi kanan dan pipi kiri Halina yang terasa hangat. Lalu aku berkata di dalam hatiku, Berarti aku akan punya memek bule yang baru! Dengan restu Aleksandra pula! ****** sekali aku ini kalau menolaknya!

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobilku, menuju rumah utama Mamie…!

Entah kenapa, di antara sekian banyak perempuan yang sudah kumiliki, Mamie tetap menjadi prioritas pertamaku. Karena aku tidak main-main… aku benar-benar mencintai Mamie… Jadi Mamie bukan sekadar sumber duit buatku. Karena sebenarnyalah aku sangat mencintainya… Bukankah cinta itu tidak memandang bangsa, usia dan segalanya?

Saat aku menuju rumah Mamie, hari masih pagi. Baru jam sembilan. Pasti Papa sedang di kantor. Memang aku hanya mau menggauli Mamie kalau Papa tidak ada. Karena biar bagaimana pun aku tetap ingin menjaga perasaan Papa.

Mamie menyambutku di ruang keluarga, dengan pelukan dan ciuman mesranya. Lalu mengajakku ke lantai dua. Lantai yang tidak boleh diinjak siapa pun kecuali Mamie sendiri yang menyuruhnya.

“Udah sarapan pagi?” tanya Mamie setelah duduk berdampingan di ruang cengkrama lantai dua.

“Udah…” sahutku.

“Sam… beberapa hari yang lalu, waktu mamie sedang menstruasi, mamie lepas lUD-nya. Karena mamie ingin punya anak lagi dari kamu. Dan sekarang mamie sedang dalam masa subur nih.”

“Wow, kalau sedang masa subur sih memek Mamie sedang enak-enaknya. Apalagi kalau tidak dipasangi IUD lagi.”

“Iya. Makanya mamie senang sekali kamu datang sekarang,” kata Mamie sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.

“Aku kan selalu datang untuk menemui Mamie… satu-satunya wanita yang kucintai di permukaan bumi ini,” ucapku sambil mengecup pipi Mamie.

“Kirain setelah kamu punya Frida dan cewek bule itu, cintamu pada mamie mulai berkurang,” kata Mamie sambil mengerlingkan mata sipitnya.

“Walau pun seribu perempuan hadir dalam kehidupanku, Mamie tetap prioritas utamaku. Mamie tetap jadi wanita yang paling kucintai. Seandainya Mamie bukan istri Papa, udah dari dulu-dulu Mamie sudah kulamar untuk menjadi istriku.”

“Mamie juga sangat mencintaimu, bukan sekadar menyayangimu, Sam. Makanya sejak kamu hadir di dalam kehidupan pribadi mamie… mamie bahagia sekali rasanya…”

Pada saat itu Mamie mengenakan daster wetlook berwarna orange, dengan corak bunga sakura putih dan kecil-kecil. Dan tanganku sudah menyelinap ke balik daster itu, sampai menyentuh celana dalam… dan langsung kucelinapkan tanganku ke balik celana dalam itu. Sampai menyentuh memek Mamie yang selalu saja membuatku kangen berat.

Lalu dengan cepat aku duduk di lantai bertilamkan karpet merah hati, di antara kedua lutut dan paha putih mulus ibu tiri sekaligus kekasihku itu. Mamie mengerti apa yang akan kulakukan. Lalu ia melepaskan celana dalamnya sekaligus menyingkapkan dasternya. Bokongnya pun dimajukan, sehingga memeknya menghampiriku lebih dekat.

Kutepuk-tepuk memek yang sangat kurindukan itu sebentar. Lalu kuciumi memek tanpa jembut itu dengan penuh gairah. Sepasang tangan Mamie pun mengangakan memeknya selebar mungkin. Sehingga aku langsung bisa menjilati bagian dalamnya yang berwarna pink itu.

Aku memang sudah hafal apa yang Mamie sukai dan apa yang tidak disukainya. Dia tidak suka kalau jilatanku langsung menerjang kelentitnya. Dia lebih suka kalau lidahku menjilati bagian dalamnya dulu agak lama. Baru kemudian lidah dan bibirku menggasak kelentitnya.

Mamie juga hanya menyenangi posisi missionaris. Karena posisi ini terasa “lengkap”, katanya. Bisa bersetubuh sambil berciuman, saling remas dan sebagainya. Posisi lain-lainnya hanya selingan untuk menghilangkan kejenuhan belaka, lalu akhirnya kembali ke posisi missionaris lagi.

Setelah memek Mamie basah, aku bertanya, “Mau di sini aja mainnya?”

“Nggak ah. Di sana aja,” sahut Mamie sambil menunjuk ke bednya, “biar nyaman dan leluasa menikmatinya. Ayo di sana aja masukinnya.”

Lalu aku berdiri sambil mengangkat tubuh Mamie dan membopongnya ke arah bed. Ini pun hal yang Mamie sukai, karena dianggap sesuatu yang romantis.

Kuletakkan tubuh ibu tiriku dengan hati-hati di atas bed. Kemudian kutanggalkan segala yang melekat di tubuhku, termasuk jam tangan dan cincinku, karena sering menyakiti Mamie tanpa kusadari. Mamie sendiri sudah menelanjangi dirinya. Kalung emas putihnya pun dilepaskan dari lehernya. Lalu ia menelentang dengan senyum manis di bibir tipis merekahnya.

Aku pun merayap ke atas perutnya sambil memegang batang kemaluanku yang sudah hafal arah ke mana harus menuju di celah kewanitaan Mamie.

Perlahan tapi pasti batang kemaluanku mulai melesak ke dalam liang memek ibu tiriku yang cantik jelita ini. Mamie pun menyambutku dengan merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu mencium bibirku dengan mesranya, sementara kedua tanganku menelungkupi sepasang toket Mami yang masih tetap terawat, meski pernah menyusui Satria, anak kami.

Dan yang jelas, memek Mamie tetap lezat… tetap legit, meski sudah pernah melahirkan anakku. Bahkan aku merasa setelah Mamie melahirkan, tiap kali aku mengentot memeknya terasa lebih lancar.

“Sam… ooooh… Saaaam… tiap kali kamu ngentot mamie… rasanya mamie jadi gila… saking enaknya Saaam… duuuuh… Saaam… mamie sayang kamu Saaammm… “Mamie mulai melontarkan celotehan-celotehan histerisnya, “Bahkan mamie mencintaimu Sam… bukan cuma menyayangimu… ayo entot terus Saaam…

Aku menyahutnya dengan sedotan-sedotan di pentil toket Mamie. Pada waktu Mamie masih menyusui Satria, kalau pentil toketnya disedot seperti ini pasti keluar ASInya. Yang selalu enak buat kutelan. Tapi sekarang toketnya tak bisa memancarkan ASI lagi. Nanti kalau Mamie hamil lagi, pasti aku bisa netek lagi padanya, bersaing dengan anakku.

Seperti biasa juga, kalau entotanku sudah lancar begini, mulutku senang bersarang di leher jenjang Mamie yang sudah mulai berkeringat. Dan kujilati leher jenjang Mamie disertai gigitan-gigitan kecil. Bahkan Mamie senang sekali kalau lehernya dicupang, lalu setelah persetubuhan selesai, Mamie menutupi lehernya dengan balutan syal.

Kali ini pun begitu. Kucupangi leher Mamie sekuatnya, agar menyisakan bekas menghitam seperti yang Mamie inginkan.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu