3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Pada hari Selasa yang dijanjikan, aku menghampiri Mbak Ayu yang tampak sedang ngelap dan manasin mesin mobil putihnya.

“Mbak… mau ke mana?” tanyaku.

“Mau ke rumah temen. Emangnya kenapa?” Mbak Ayu balik bertanya.

“Nanti malam jangan ke mana-mana ya Mbak.”

“Lho emangnya ada apa?” Mbak Ayu tampak heran.

“Jam tujuh malam bakal datang dua cowok yang tampangnya mirip aktor-aktor Korea.”

“Ohya? Emang mau ngapain mereka ke sini?”

Sebagai jawaban kubisiki telinga kakakku, “Mau fucking Mbak. Kalau ada Mbak kan bisa sharing. Mau foursome bisa, mau di kamar masing-masing juga boleh.”

“Kamu serius Ta?”

“Serius lah Mbak. Mumpung di rumah cuma tinggal kita berdua. Kita bisa bebas melakukan apa pun. Mumpung masih sama-sama lajang. Kalau udah punya suami kan gak bisa seenaknya.”

“Kalau gitu aku bakal pulang sebelum jam empat sore.”

“Siiip deh! Kompak ya Mbak,” ucapku sambil menjulurkan telapak tanganku kepada Mbak Ayu.

Mbak Ayu menepuk tanganku sambil berseru, “Kompak !”

Kemudian Mbak Ayu berlalu di dalam mobil putihnya.

Beberapa saat berikutnya, aku pun berangkat ke kampus. Karena hari itu ada kuliah sampai jam dua siang.

Sebelum jam empat sore aku sudah di rumah lagi. Mbak Ayu pun pulang jam empat lebih beberapa menit.

Lalu kami berunding di mana acara itu akan dilaksanakan. Akhirnya kami putuskan untuk melaksanakannya di pavilyun, di kamar Mama yang sudah ditinggalkan. Karena kamar Mama cukup luas, bednya pun ada dua.

Memang Mbak Ayu ingin melaksanakan acara itu secara foursome saja, biar lebih seru katanya.

Sayangnya baru sampai di situ Ita menulis catatan pribadinya. Mungkin karena sedang ujian semester akhir, sehingga waktunya habis tersita.

Aku tersenyum sendiri setelah membaca catatan pribadi adikku itu. Tersenyum, karena melibatkan diriku juga di akhir catatan yang belum dilanjutkan itu. Aku memang terlibat dalam acara itu, tapi biarlah nanti Ita yang mencatatnya dan akan kusalin ke sini.

Kemudian kututup catatan pribadi Ita, untuk menelaah diriku sendiri.

Aku memang pernah bertualang dengan Sam dan Yoga. Tapi hanya sebatas dengan isi rumah ini saja. Sementara petualanganku dengan Yong itu, adalah untuk pertama kalinya aku disetubuhi oleh orang luar.

Aku memang tak mau menghujat adikku. Karena aku sendiri pun tidak bersih-bersih amat. Hanya saja aku tidak sengaja mencari cowok untuk memenuhi hasrat birahiku yang sering menagih-nagih ini.

Sang Waktu pun berjalan terus tanpa bisa dihentikan.

Hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan berputar terus. Sampai pada suatu saat, perjuanganku terasa sudah berhasil.

Ya, akhirnya aku dinyatakan lulus, meski tidak cum laude seperti Sam.

Aku merasa bahagia setelah diwisuda, meski sudah dilewati oleh Sam yang angkatannya dua tahun di bawahku. Minimal aku sudah bisa mulai bekerja di perusahaan Mama. Karena Mama memberikan syarat agar aku harus meraih gelar sarjana dulu sebelum bekerja di perusahaannya.

Tapi sebelum sempat ditempatkan di perusahaan Mama, aku mendengar “syarat” baru yang sangat mengejutkanku.

Ya, pada saat itu Mama sengaja mengajakku berbicara empat mata di villa milik Papa Fred.

Di situlah Mama berkata, “Ayu… soal keinginanmu untuk bekerja, dengan mudah bisa mama tempatkan kamu di posisi yang sangat penting dalam perusahaan mama nanti. Tapi mama mau minta tolong sama kamu dulu… yang pasti membutuhkan pengertian dan pengorbanan, Sayang.”

“Syarat apa lagi Mam?” tanyaku heran, karena Mama tampak sangat serius.

“Begini… Papa Fred itu dahulu pernah punya istri. Dan tidak punya anak terus. Setelah bertahun-tahun berusaha untuk menghamili istrinya, akhirnya seorang dokter spesialis kandungan menganjurkan agar mengikuti program bayi tabung. Karena rahim istrinya punya masalah,” kata Mama.

“Lalu,” kata Mama lagi, “Papa Fred mengikuti anjuran dokter itu. Tapi apa yang didapatkannya? Baru dua bulan tabung itu dipasang di rahim istrinya, malah tumbuh kanker ganas di dalam rahim istrinya. Kanker yang akhirnya merenggut nyawa istrinya.”

“Terus?”

“Sekarang pun Papa Fred punya keinginan yang sama. Ingin memperoleh keturunan dari mama. Tapi mama takut mengecewakan dia. Karena usia mama sudah hampir empatpuluhtiga tahun. Karena itu mama menawarkan solusi pada Papa Fred, bahwa jalan yang paling meyakinkan adalah dengan menghamili salah satu anak mama, kamu atau Ita.

“Haaa?! Terus gimana tanggapannya?”

“Dia memilih klamu, Sayang. Kamu mau kan berkorban untuk mama, agar perkawinan mama dengan Papa Fred tidak tergoyahkan oleh masalah yang satu itu?”

Aku menunduk lesu. Aku memang ingin melakukan apa pun demi keutuhan rumah tangga Mama dengan Papa Fred yang begitu dicintainya itu. Tapi… kenapa aku yang harus hamil?

Ketika aku masih tertunduk bingung, Mama berkata lagi, “Kalau kami hamil dan sampai melahirkan anak Papa Fred, kamu bisa bekerja dan anak itu akan mama rawat seperti anak kandung mama sekaligus cucu mama sendiri. Soal masa depanmu jangan takut. Nanti Papa Fred akan menjodohkanmu dengan salah satu adik cowoknya, tapi asal-usul anak itu harus dirahasiakan kepada siapa pun.

“Aku masih bingung Mam. Soalnya aku jadi ngebayangin masa depanku sendiri,” sahutku lirih.

“Kamu masih ingat tentang Sam kan? Pada saat kita semua digauli oleh Sam, sebenarnya kita hanya menyalurkan nafsu birahi semata. Tapi kali ini, ada tujuan yang positif. Papa Fred pasti melakukan semuanya denganmu, disertai dengan persiapan untuk menata masa depanmu, Sayang. Siapa tau Papa Fred malah akan menghadiahkan sesuatu yang lebih besar daripada apa yang sudah diberikannya kepada mama?

“Bukan masalah harta yang kupikirkan Mam. Aku hanya memikirkan fisikku sendiri. Kalau pernah hamil dan melahirkan, siapa pula lelaki yang mau menikahiku kelak?”

Banyak… banyak lagi yang kuutarakan kepada Mama. Tapi sebanyak itu pula Mama berusaha meyakinkanku, bahwa apa yang Mama minta itu takkan merusak tatanan masa depanku. Bahkan Mama yakin kalau aku akan lebih berbahagia kelak.

Sampai akhirnya aku menyerah pada desakan Mama. Lalu aku bertanya, “Terus prosesnya seperti apa Mam?”

“Kalau kamu mau, sekarang juga Papa Fred bisa mama call supaya datang ke villa ini,” sahut Mama, “Sementara Papa denganmu berdua, mama bisa meninggalkan villa ini. Supaya kalian bisa bebas melakukannya.”

“Secepat itu dilaksanakannya?”

“Lebih cepat lebih baik.”

“Tapi suntikan anti hamilku masih berjalan sampai dua minggu lagi Mam.”

“Ya udah. Kalau begitu, seminggu setelah bebas dari program birthcontrol, siap-siap aja untuk menerima Papa Fred di dalam kehidupanmu ya.”

“Iya Mam. Aku sayang Mama,” ucapku yang kulanjutkan dengan ciuman hangat di pipi Mama.

“Mama juga sayang kamu, Ayu,” sahut Mama dilanjutkan dengan balasan ciumannya di pipiku, bahkan dengan membelai rambutku juga, “Tapi masalah ini jangan sampai diketahui oleh Ita ya.”

“Iya Mam. Terus kalau aku hamil kelak, bagaimana caranya agar orang-orang tidak melihat perutku yang membuncit?”

“Itu sih gampang. Kamu bisa bersembunyi di salah satu rumah punya Papa Fred. Rumah dia kan banyak. Di setiap ibu kota provinsi dia punya rumah.”

“Tapi kepada orang luar, anaknya akan disebut sebagai anak Mama kan?”

“Iya. Mama akan sangat menyayanginya sebagai anak tiri sekaligus cucu mama. Kepada Sam dan Yoga pun mama merasa sayang, apalagi kepada cucu kandung mama.”

“Iya Mam…”

Sejak pembicaraan unik bersama Mama itu, aku jadi gelisah sendiri. Walau pun begitu, aku bertekad untuk mengikuti jalan pikiran dan keinginan Mama.

Tapi yang membuatku resah adalah… aku membayangkan bahwa Papa Fred akan menelanjangiku. Lalu menyetubuhiku… aaaah… mungkinkah Papa Fred yang sangat kuhormati itu akan melakukan hubungan seks denganku?

Keresahanku memuncak setelah mendapat keterangan dari dokter, bahwa aku sudah terbebas dari suntikan anti hamilnya. Berarti aku tidak dibentengi oleh kontrasepsi lagi. Dan bisa hamil jika di masa subur aku digauli oleh pria.

Aku pun melapor kepada Mama tentang keadaan ini.

Tapi Mama berkata, “Nanti tunggu dulu sampai menstruasi. Supaya efektif, sebaiknya dimulai dari masa subur, di sekitar semingguan di sekitar masa paska bersih menstruasi.”

Mama juga menuturkan, bahwa Mama sudah berbicara terus terang kepada Papa Fred, bahwa aku tidak perawan lagi, karena mantan pacarku telah mengambil kesucianku. Tentu saja ini karangan Mama belaka. Karena sebenarnya yang mengambil kesucianku adalah Sam. Itu pun atas kehendakku sendiri.

Menurut penuturan Mama lagi, Papa Fred takkan mempermasalahkan keperawananku. Yang terpenting, aku bisa mengandung benih Papa Fred. Itu saja.

Hari demi hari pun berlalu dengan cepatnya. Dan hari yang ditunggu pun tiba. Tiga hari setelah bersih dari menstruasi, aku dibawa oleh Papa Fred menuju ke sebuah perumahan elit di dalam kota. Bukan menuju villa di luar kota itu.

“Ayu jangan tegang ya. Papa kan mau melakukannya dengan penuh kasih sayang,” kata Papa Fred setibanya di sebuah rumah megah yang tiada penghuninya, kecuali seorang pembantu yang bertugas membersihkan rumah itu setiap hari.

“Tapi nanti setelah terjadi, Papa harus semakin menyayangiku ya,” ucapku sambil menyandarkan kepalaku ke dada ayah tiriku.

“Tentu saja,” sahut Papa Fred sambil membelai rambutku, “sekarang papa akan menganggapmu sebagai istri kedua. Istri pertamanya Mama, istri keduanya kamu.”

“Biasanya istri muda itu lebih dimanjakan daripada istrei pertama, ya Pap,” ucapku dengan sikap manja. Sambil memperhatikan wajah ganteng ayah tiriku.

“Papa mau bersikap adil saja.” sahut Papa Fred, “papa akan menyayangimu sama persis dengan menyayangi mamamu.”

Lalu Papa Fred mengajakku naik ke lantai dua. Lantai seluas itu hanya dijadikan kamar yang sangat luas, disekat-sekat oleh partisi kaca es. Ada dapurnya, ada ruang cengkramanya (chat room), ada ruang makannya, ada kamar mandinya dan ada bedroomnya.

“Rumah ini beserta segala perabotannya mulai sekarang menjadi milikmu, Sayang. Nanti surat-suratnya akan dibalik namakan menjadi namamu,” kata Papa Fred setelah mengajakku duduk berdampingan di sofa bedroom.

Aku terkejut bercampur girang. Rumah megah beserta perabotannya yang serba mahal ini nilainya mungkin belasan milyar. Tapi Papa sudah menghadiahkannya padaku. Padahal Papa Fred belum mengapa-apain diriku.

Aku pun merebahkan kepalaku di atas sepasang paha ayah tiriku, “Papa… terima kasih ya. Mimpi pun tidak kalau aku bakal dikasih rumah semegah ini.”

“Iya. Nanti kalau kamu hamil, tinggal di sini aja. Dan jangan bertemu dulu dengan setiap orang yang kamu kenal, termasuk dengan Ita juga. Yang boleh menemuimu hanya papa dengan mamamu.”

“Siap Pap… tapi ada satu hal yang membuatku penasaran…”

“Tentang masalah apa?”

“Masalah kenapa Papa memilih aku dan bukannya Ita yang lebih muda?”

Papa Fred tersenyum. Mengelus pipiku sambil menjawab, “Justru karena kamu lebih dewasa, makanya papa pilih. Selain daripada itu, di mata papa… kamu lebih seksi…”

Aku tersenyum senang mendengar jawaban berikut pujian itu.

Dan kubiarkan Papa melepaskan kancing-kancing blouseku satu persatu. Kubiarkan juga tangannya menyelinap ke balik behaku. Lalu terasa tangannya mempermainkan pentil toket gedeku. “Lalu kenapa kamu menyetujui usul mamamu dan menerima papa yang akan memperlakukanmu seperti istri papa sendiri?” tanyanya.

“Karena aku ingin rumah tangga Papa dengan Mama tetap utuh. Selain daripada itu, aku juga sejak lama mengagumi Papa yang ganteng dan baik hati.”

Aku memang sudah lama mengagumi Papa Fred yang ganteng, bule dan bermata biru itu. Namun tadinya aku hanya sebatas kagum saja, tanpa keberanian untuk berpikir yang bukan-bukan.

Tapi pada waktu aku merebahkan kepalaku di pangkuan Papa Fred, aku mulai membayangkan, seperti apa yang penis lelaki bule ini?

Tapi aku tak berani bertindak agresif. Takut terkesan yang aneh-aneh di hati Papa Fred.

Aku hanya bersikap pasrah saja. Mengikuti apa pun yang akan Papa Fred lakukan padaku.

Karena itu kubiarkan Papa Fred menanggalkan blouse dan behaku, sehingga tinggal spanrok dan celana dalam yang masih melekat di tubuhku.

“Toketmu lebih gede daripada toket mamamu, Sayang…” ucap Papa Fred sambil mempermainkan kedua pentil toketku.

“Iya… Papa seneng yang gede apa yang kecil?”

“Yang gede dong… enak meremasnya… bisa dipakai menjepit kontol pula…”

“Hihihihiiii…”

Papa Fred lalu mengemut pentil toketku, sementara tangannya mulai merayap ke balik spanrokku, lalu menyelinap ke balik celana dalamku. Dan mulai menggerayangi kemaluanku.

Ketika aku merasakan jemari Papa Fred menggesek-gesek kelentitku, mulailah batinku seolah tengah melayang-layang di langit indah… langit birahi yang biasa dialami oleh perempuan-perempuan lain dalam keadaan seperti ini.

Aku masih berusaha menahan diri. Cuma menahan-nahan nafasku sambil membiarkan apa pun yang Papa Fred lakukan padaku.

Namun akhirnya aku tak kuasa lagi mengendalikan nafsuku. Lalu aku merintih lirih, “Papa… oooh… aaa… aku jadi horny Pap…!”

Papa Fred menghentikan aksinya. Lalu mengangkat dan membopong tubuhku ke atas bed. Di situlah Papa menanggalkan spanrok dan celana dalamku, sehingga sekujur tubuhku tak terhalangi sehelai benang pun.

“Luar biasa… Ayu memang sangat seksi di mata papa,” ucap Papa Fred sambil menanggalkan busananya sehelai demi sehelai, sampai akhirnya telanjang bulat seperti aku.

Dan aku terhenyak setelah menyaksikan penis ayah tiriku yang bule ganteng bermata biru itu.

Aku pun tak kuasa menahan diri lagi. Kutangkap penis Papa Fred yang ternyata panjang gede ini… bahkan menurutku lebih gede daripada penis Sam dan Yoga…!

Sebenarnya aku ingin menyelomoti penis Papa Fred yang gagah itu. Tapi aku tak mau beraksi seolah sudah sangat berpengalaman dalam soal sex. Karewna itu aku hanya berani meremasnya dengan lembut. Lalu Papa Fred mendorong dadaku, membuatku celentang di atas bed mahal yang telah menjadi milikku ini.

Papa Fred mendorong kedua belah pahaku agar mengangkang, kemudian dia menelungkup di antara sepasang pahaku, sambil membenamkan mulutnya di kemaluanku.

Tak lama kemudian Papa Fred mulai menjilati kemaluanku, dengan cara yang agak lain jika kubandingkan dengan aksi Sam atau Yoga dan lainnya. Papa begitu agresif menjilati celah memekku, sementara jempol tangannya menggesek-gesek kelentitku dengan tekanan yang lumayan kuat.

Tentu saja aku klepek-klepek dibuatnya. Kedua tanganku mengepak-ngepak ke kasur, seperti burung yang patah sayap lalu berjuang untuk bisa terbang. Terkadang sepasang tanganku meremas-remas kain seprai… sementara mataku terpejam-pejam dalam nikmatnya jilatan dan gesekan jempol Papa Fred di clitorisku.

Begitu lahapnya Papa Fred menjilati memekku. Begitu garangnya jempol tangan Papa Fred menggesek-gesek kelentitku. Sehingga dengan cepatnya liang kemaluanku basah. Tapi Papa Fred tidak menghentikan aksinya yang membuatku terlena-lena dalam arus nikmat ini.

Sehingga akhirnya aku merengek manja, “Pap… aaaa… aaaah… udah Paaap…! Masukin aja kon… kontolnya Paaaap…”

Untungnya Papa Fred mengikuti permintaanku. Ia meletakkan moncong penisnya di mulut memekku. Lalu terasa penis itu mendesak mulut vaginaku dengan kuatnya. Dan… bleeessssekkkkk… penis panjang gede itu tenggelam ke dalam liang kenikmatanku.

Aku pun menyambutnya dengan merangkul dan memeluk leher Papa Fred. Lalu kuciumi bibir sensualnya dengan mesra… mesra sekali

(karena aku ingin disayanginya di kemudian hari).

Detik-detik penuh keindahan dan kenikmatan pun mulai terjadi. Bahwa penis Papa Fred mulai bermaju-mundur di dalam liang kemaluanku.

Dengus-dengus nafas ayah tiriku pun mulai terdengar, berbaur dengan rintihan dan rengekan manjaku, “Papa… oooo… ooooh… Pap… ini luar biasa enaknya Papaaaa… ooooh… kontol Papa enak sekali Papa… aaa… aku sudah menjadi milik Papa… aku sudah mencintai Papa dengan sepenuh hatiku, Paaap…

Papa mengepit sepasang pipiku dengan sepasang telapak tangannya, lalu berusaha bicara terengah-engah, “Papa juga su… sudah menjadi… menjadi milik Ayuuuu… ooooh… memekmu ini luar biasa enaknya, Ayu… sempit dan menjepit… enak sekali, Sayaaaang…”

Makin lama entotan Papa Fred makin menjadi-jadi. Begitu terasa gesekannya yang membuatku gedebak-gedebuk dalam nikmat yang luar biasa.

Saking panjangnya penis ayah tiriku ini, setiap kali didorong maju, terasa mentok terus di dasar liang memekku. Dan ini mendatangkan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata belaka.

Durasi persetubuhan ini terasa lama sekali. Sehingga keringat Papa Fred mulai berjatuhan di wajahku, di leher dan di dadaku, bercampur baur dengan keringatku sendiri.

Aku pun tak kuasa menahan nikmat tak terperikan ini. Sehingga aku jadi duluan orgasme. Membuatku berkelojotan, lalu mengejang tegang, sementara liang kemaluanku terasa menggeliat dan berkedut-kedut.

Tampaknya Papa Fred menyadari hal ini. Sambil tetap mengentotku dengan perkasanya, Papa Fred membisikiku, “Nanti kalau mau orgasme lagi kasih tau papa dulu yaaa… biar bisa melepasnyha bareng-bareng…”

“Iiii… iiiyaaaa…” sahutku yang mulai bergairah lagi untuk menikmati gagahnya entotan ayah tiriku ini.

“Papaaaa… aaaaa… aaaaah… ini udah enak lagi Paaaap… iya Papa… entot terus Paaap… dudududuuuuh… terasa sekali enaknya Paaap… !“rintihku berhamburan begitu saja dari mulutku.

Papa Fred tetap asyik mengentotku. Dan aku merasakan kembali betapa nikmatnya persetubuhan dengan ayah tiriku ini. Makin lama makin nikmat. Sehingga aku merasakan lagi gejala-gejala mau orgasme itu.

Maka aku pun merengek manja, “Papa… oooooh… aku mau orga lagi Paaap…”

“Iya,” sahut Papa tanpa menghentikan entotannya, “ini mau dibarengin… !”

Penis ayah tiriku diayun dengan kecepatan tinggi. Bahkan biji pelernya terasa menepuk-nepuk mulut anusku. Plak-plok plak-plok plak-plok…!

Sampai akhirnya penis putih kemerahan yang panjang gede itu tenggelam sepenuhnya di dalam liang memekku. Pada saat itulah aku merasakan liang memekku berkedut-kedut lagi, sementara moncong penis Papa Fred pun menyemprot-nyemprotkan air maninya di dalam liang kenikmatanku. Lelaki bule memang beda… air maninya terasa banyak sekali…

Crottt… crooot… crooottt… croooottttt… croooootttttt… crotcrot… croottttttttt!

Lalu Papa Fred terkapar di atas perutku sambil merapatkan pipinya ke pipiku. Meski tubuhku sudah lemah lunglai, masih sempat aku mencium bibibr Papa Fred dengan mesra sekali.

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu