3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Ketika mobilku mau meninggalkan rumah Mama, Mbak Ita mengantarkanku sampai teras depan dan melambaikan tangannya dengan senyum yang lain dari biasanya. Senyum seorang cewek yang sudah menyerahkan kehormatannya padaku.

Dan aku tersentuh dibuatnya.

Entahlah, kepada Mbak Ita itu aku punya perasaan yang berbeda jika dibandingkan dengan perasaan terhadap Mbak Ayu. Aku sudah mendengar curhatannya tadi. Bahwa di masa SMAnya Mbak Ita pernah punya pacar, tapi cowok itu berselingkuh dengan sahabat Mbak Ita sendiri. Lalu hubungan Mbak Ita dengan cowok itu diputuskan atas keinginan kedua belah pihak.

Sejak saat itu Mbak Ita jadi dingin terhadap cowok mana pun.

Setelah jadi mahasiswi, Mbak Ita punya sahabat, Rima namanya. Dan ternyata Rima itu pun mengalami nasib yang sama dengan Mbak Ita. Sama-sama pernah dihianati oleh pacarnya. Akhirnya mereka kompak. Bahwa mereka takkan pacaran sampai jadi sarjana. Mereka akan mencurahkan tenaga dan pikiran mereka hanya untuk kuliahnya saja.

Awalnya mereka memang tabah, untuk tidak memikirkan lawan jenisnya.

Tapi, diam-diam Mbak Ita sering nonton bokep. Sering juga mendengar kisah-kisah syur dari beberapa temannya yang sudah melepaskan kesucian mereka dengan berbagai macam cara.

Sampai pada suatu hari Rima memperlihatkan sesuatu kepada Mbak Ita, secara sembunyi-sembunyi. Ternyata yang diperlihatkan oleh Rima itu sebuah dildo…!

Rima pun curhat, bahwa kalau dia sedang horny, dildo itu bisa meredakan amukan nafsunya.

“Tapi kalau dildo itu dimasukkan ke dalam memek lu, berarti virginitas lu hilang dong,” kata Mbak Ita saat itu.

“Emang udah hilang. Biarin aja. Daripada dikasihin sama cowok yang belum pasti kesetiaannya, mendingan pakai dildo,” sahut Rima menurut penuturan Mbak Ita.

“Lalu bagaimana utuk mempertanggungjawabkan keadaanmu jika kelak menikah?” tanya Mbak Ita.

“Maksudmu, karena gue gak perawan lagi, gitu?”

“Iya.”

“Hari gini masih mempermasalahkan keperawanan?! Lagian gue sih kalau mau dinikahi sama seseorang, maka orang itu harus mau menerima gue apa adanya. Kalau gak mau menerimanya, ya udah cari cowok lain aja. Kalau perlu, kawin sama oom-oom juga gakpapa.”

“Iya ya… kalau kawin sama lelaki yang sudah berumur, biasanya sudah melepaskan egonya. Mungkin mereka takkan pernah mempermasalahkan virginitas lagi. “.

Mbak Ita sempat memikirkan semuanya itu selama berhari-hari.

Dan akhirnya… pada suatu hari Mbak Ita minta tolong kepada Rima, untuk membelikan dildo seperti yang sudah dipunyai oleh sahabatnya itu.

Permintaan tolong itu dikabulkan oleh Rima. Bahkan ketika Mbak Ita ingin lebih jelas lagi tentang cara penggunaannya, Rima mengajak Mbak Ita ke rumahnya. Di rumah Rima itulah Mbak Ita diajari tentang cara menggunakan alat “bantu” seksual itu. Diajari sampai ke detail-detailnya.

Lalu Mbak Ita mempraktekkan “pelajaran” dari sahabatnya itu di kamarnya sendiri.

Awalnya Mbak Ita hanya menekankan puncak dildo itu ke kelentitnya, sambil dijalankan vibratornya. Ternyata dengan cara itu saja Mbak Ita bisa mencapai orgasme.

Tapi lama kelamaan Mbak Ita penasaran juga, bagaimana rasanya kalau dildo itu dimasukkan ke dalam liang memeknya.

Seperti yang sudah diajarkan oleh Rima, dildo itu dilumuri lotion dulu, supaya licin dan tidak menimbulkan rasa sakit.

Dan begitulah… akhirnya Mbak Ita jadi terbiasa untuk menggunakan dildo itu sebelum tidur. Bahkan hampir tiap malam ia memakai dildo itu untuk mencapai “surga KW”.

Apakah Mbak Ita bahagia dengan “cara baru” itu?

Tidak. Mbak Ita seolah mengalami halusinasi terus menerus. Bahwa ia selalu membayangkan lelaki ganteng tengah menggaulinya, sementara dildo itu dimaju-mundurkan di dalam liang kemaluannya. Dan setelah mencapai orgasme, Mbak Ita malah malu pada dirinya sendiri. Namun apa boleh buat, tiap kali dia merasa “kepengen” dildo itulah yang berperan secara dominan.

Begitulah curhatan Mbak Ita kepadaku tadi. Dan aku merasa iba kepada kakak tiriku yang sebenarnya cantik itu. Karena biar bagaimana pun juga, penggunaan dildo bukanlah perbuatan yang normal. Bahkan kalau keseringan, bisa jadi psikopat Mbak Ita nanti.

Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang nongkrong di kantin kampus, sambil menikmati juice alpukat, hapeku yang sedang disilent bergetar-getar. Ternyata Mbak Ita yang call. Aku mencari tempat yang “aman” dulu untuk menerima panggilan dari kakak tiriku itu. Kemudian :

“Hallo Mbak…”

“Hallo juga Sam. Lagi ngapain?”

“Lagi di kantin kampus Mbak. Nunggu dosen yang belum datang. Kenapa?”

“Kamu kangen nggak sama aku?”

“Kangen sih. Tapi belakangan ini aku sibuk banget Mbak.”

“Owh… jadi nggak bisa ke rumah dong. Padahal aku kangen sekali Sam.”

“Besok kan tanggal merah. Kalau mau ketemuan, boleh. Tapi jangan di rumah Mbak.”

“Terus di mana dong?”

“Di mall yang ada hotelnya aja.”

“Mall mana?”

Kusebutkan nama mall itu.

“Boleh. Terus kita ketemuannya di mall dulu kali ya?”

“Iya. Kita saling tunggu di foodcourt aja. Setelah ketemu, langsung ke hotel itu.”

“Mmm… Sam…”

“Ya?”

“Kalau sahabatku yang bernama Rima itu ikut gabung sama kita, boleh nggak?”

“Memangnya Mbak buka rahasia kita sama dia?”

“Iya. Dia itu sahabat terdekat denganku. Jadi nggak ada rahasia lagi di antara kami berdua.”

“Terus?”

“Dia sudah tau kamu kok. Pernah dia lihat kamu waktu sedang bertamu ke rumah. Tapi mungkin kamu nggak lihat dia waktu itu.”

“Ohya?!”

“Pokoknya dia kagum juga sama kamu. Dia bilang kamu itu ganteng dan kelihatan macho. Nggak melambai seperti Yoga. Makanya dia mau gabung sama kita. Kamu setuju kalau dia gabung?”

“Boleh aja. Tapi suruh dia beli pil kontrasepsi dulu. Perlihatkan aja kotak pil yang sudah kuberikan kepada Mbak itu, biar jangan salah beli.”

“Gampang soal itu sih. Pasti dia mau beli kok.”

“Dia cantik nggak? Maksudku… cantik mana dia dengan Mbak Ita?”

“Dia itu hitam manis Sam. Bodynya sexy habis deh.”

Mendengar kata “hitam manis” itu aku jadi penasaran. SOalnya selama ini aku bertualangan dengan perempuan putih semua, kecuali Tante Fenti.

“Ya udah, kalau gitu kita saling tunggu di foodcourt dalam mall itu aja besok sekitar jam sepuluhan. Gimana?”

“Deal Sam !”

Lalu hubungan seluler ditutup. Dan aku bergegas mengikuti langkah dosen yang mau mengajar sekarang. Bahkan aku mendahuluinya, supaya duluan tiba di ruang kuliah gabungan dengan fakultas lain.

Esok paginya, jam sembilan aku sudah selesai mandi dan berdandan. Kemudian memanaskan mesin motorku yang sudah agak lama tidak kupakai. Aku memang takkan pakai mobil, karena jalanan banyak lumpur sisa hujan tadi malam. Pasti capek nyucinya nanti kalau pakai mobil.

Setelah makan nasi goreng yang dibuat oleh Tante Ken, aku pun melarikan motorku menuju mall yang sudah dijanjikan dengan Mbak Ita. Sebelum jam 10.00 aku sudah tiba di foodcpourt mall itu. Dari foodcourt itu pula aku memesan kamar ke hotel yang bergabung dengan mall itu.

Dan tepat jam 10.00 Mbak Ita muncul di foodcourt mall itu. Mengenakan celana dan jaket yang sama-sama terbuat dari bahan blue jeans. Sementara temannya mengenakan celana denim deep brown dan jaket kulit berwarna light brown. Memang manis teman Mbak Ita itu.

Seperti biasa, aku berjabatan tangan dengan Mbak Ita, yang dilanjutkan dengan cipika-cipiki. Lalu Mbak Ita memperkenalkan temannya, “Ini Rima yang kuceritakan kemaren,” kata Mbak Ita sambil memegang tangan kiri cewek bernama Rima itu.

Lalu aku berjabatan tangan dengan sahabat Mbak Ita itu, sambil memperkenalkan nama masing-masing.

“Sammy…”

“Rima…”

Dengan lirikan sepintas saja aku sudah bisa menilai bahwa teman Mbak itu memang hitam manis dan kualitasnya di atas rata-rata. Walaupun dia mengenakan jaket kulit, sepintas lalu aku bisa melihat bahwa bokongnya memang semok sexy, tapi tidak segede pantat Tante Ken.

“Mau pada sarapan dulu?” tanyaku.

“Nggak ah. Tadi sebelum berangkat kami makan bubur ayam dulu,” sahut Mbak Ita.

“Kalau gitu, kita langsung ke hotel aja, gimana?” tanyaku setengah berbisik kepada Mbak Ita.

“Oke, “Mbak Ita mengangguk.

Lalu kami melangkah ke parkiran di lantai 3 mall itu. Karena di tempat parkir itu ada lift menuju hotel itu.

Di dalam mall, aku berkali-kali melirik ke arah cewek bernama Rima itu. Selalu saja kebetulan. Ia pun sedang memperhatikanku, dengan senyum manis di bibirnya.

Tak salah Mbak Ita mengajak Rima bergabung. Karena kualitasnya tidak di bawah Mbak Ita. Manis dan menarik.

“Kalian mau pada pakaian lengkap terus nih? Jangan buang-buang waktu dong…” kata Mbak Ita sambil berdiri dan melepaskan jaket jeansnya.

Rima juga berdiri untuk melepaskan jaket kulitnya. Aku pun ikutan berdiri untuk melepaskan jaket kulit hitamku, lalu juga celana denim hitam dan t-shirt hitamku. Semuanya berwarna hitam, kecuali celana dalamku yang putih bersih.

Ternyata Mbak Ita dan Rima juga tinggal mengenakan celana dalam, sehingga keindahan payudara mereka tampak jelas. Lalu mereka duduk mengapitku lagi. Mbak Ita di sebelah kiriku lagi, sementara Rima di sebelah kananku.

“Siapa dulu nih?” tanyaku.

“Demi sahabat terbaik, aku mengalah deh. Biar Rima dulu yang maju,” kata Mbak Ita.

Spontan aku melingkarkan lenganku di pinggang Rima yang tidak tertutup apa-apa lagi, “Aku harus manggil apa ya? Mbak Rima?”

“Dia seumuran denganmu Sam, “Mbak Ita yang menyahut, “Jadi saling panggil nama aja deh. Gak usah banyak basa-basi.”

“Iya,” kata Rima, “aku setahun lebih muda daripada Ita.”

Kupegang tangan kiri Rima sambil menunjuk ke arah bed hotel yang lumayan lebar itu. Rima pun bangkit dan mengikuti langkahku menuju bed. Sementara kulihat Mbak Ita malah asyik memainkan hapenya.

Di dekat bed aku berdiri berhadapan dengan Rima yang membelakangi tempat tidur itu. Ia menatapku dengan bola mata bergoyang dan bibir menyunggingkan senyum manis. Manis sekali.

Mungkin sekujur tubuh Rima sudah digosok oleh lotion sebelum berangkat dari rumahnya tadi, entahlah. Yang jelas sekujur tubuhnya tampak mengkilap dan menggiurkan.

Sebenarnya aku ingin mendahuolukan payudaranya yang tampak seperti kencang sekali, dengan kedua putingnya yang mancung ke depan itu. Tapi aku pun melihat bibir sensualnya yang terus-terusan tersenyum padaku itu.

Maka aku pun mencium bibir sensual itu sehangat mungkin, sambil memeluknya erat-erat, sehingga toketnya yang masih kencang padat itu bertempelan dengan dadaku, sementara bibirnya kulumat terus… sambil mendorongnya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ia terhempas ke atas kasur. Aku pun menghimpitnya dengan nafsu yang mulai bergejolak.

Setelah aku berada di atas tubuhnya, aku tak mau buang-buang waktu lagi. Kuemut puting payudara kirinya sambil meremas payudara kanannya dengan tangan kiriku.

Rima spontan melingkari pinggangku dengan kedua kakinya yang berkait di punggungku. Sehingga aku semakin bergairah untuk menyedot-nyedot puting toketnya yang masih sangat kencang itu. Tubuh Rima pun mulai terasa menghangat. Pertanda libidonya sudah naik. Sementara nafsu birahiku pun semakin menghangat.

Ketika aku mulai melorot turun dan lidahku mulai menjilati pusar perutnya, Rima pun mulai menggeliat perlahan. Sementara tanganku menurunkan celana dalamnya sedikit demi sedikit, yang lalu dilepaskan oleh Rima sendiri.

Terbukalah sebentuk kemaluan berwarna sawomatang yang bersih dari rambut seperti kemaluan Mbak Ita. Dengan bibir luarnya yang berwarna gelap dan sedikit ternganga.

Rima mengerti apa akan kulakukan. Spontan ia merentangkan kedua kakinya ketika aku sudah mulai mengusap-usap kemaluannya yang kuibaratkan sebagai brown panther itu.

Mulutku pun mulai beraksi. Menjilati kemaluannya dengan sepenuh gairahku. Kalau bagian dalam memek Mbak Ita berwarna pink, maka bagian dalam memek Rima ini berwarna merah membara. Bagian yang merah membara itulah sasaran ujung lidahku. Sementara kedua tanganku mengangakan bibir luarnya selebar mungkin, agar aku leluasa menjilati bagian dalamnya.

Tubuh Rima terasa mengejut-ngejut. Sementara kedua tangannya mulai memegang kepalaku. Membelai rambutku sambil berdesah-desah.

Terlebih setelah aku fokus untuk menjilati kelentitnya yang sedikit lebih gede daripada kelentit Mbak Ita (kelentit Rima kira-kira sebesar kacang kedelai, sementara kelentit Mbak Ita sebesar kacang hijau).

Rima mulai menggeliat dan mengejang-ngejang sambil merengek-rengek manja, “Saaam… aaaaa… aaaa… Saaaaaam… Saaaam… aaaa…”

Terlebih setelah jari tengah kananku mulai kuselusupkan ke dalam celah memeknya. Lalu kugeser-geserkan maju mundur, seperti gerakan penis yang sedang mengentot. Semakin berkelojotan juga lah sahabat kakak tiriku itu. Liang memeknya pun mulai basah dan licin. Makin lama makin basah.

Akhirnya aku pun buru-buru melepaskan celana dalamku. Lalu kuletakkan moncong penis ngacengku di mulut memek Rima yang sudah basah itu. Rima menyambut dengan menangkap penisku dan menyimpan moncongnya pada arah yang pas.

Kubiarkan Rima menarik penisku, sehingga terasa kepalanya masuk ke dalam liang memeknya. Lalu aku pun mendorongnya sekuat mungkin. Berhasil memasuki liang senggamanya… blesssssss…!

Pada saat itulah Rima merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Lalu mencium bibirku dengan mesranya.

Aku pun mulai beraksi. Mengayun penisku di dalam liang senggama Rima secara berirama.

Dan aku mulai membuktikan kata orang-orang, bahwa cewek hitam manis itu legit memeknya.

Ya… liang senggama Rima terasa legit sekali. Ketika aku mendorong penisku, terasa seperti ada yang menghisap kontolku. Ketika penisku ditarik mundur, juga terasa seperti dipertahankan oleh liang senggama cewek hitam manis ini.

Gila… memek Rima ini terasa enak sekali. Karena itu aku pun merasa wajib untuk membalasnya dengan hal yang serupa. Ketika penisku mulai gencar mengentotnya, aku pun melengkapinya dengan menjilati lehernya disertai gigitan-gigitan kecil. Dan Rima semakin merem melek dibuatnya. Pentil toketnya pun jadi sasaran mulutku berikutnya.

Maka semakin histeris lah rintihan dan rengekan manja Rima dibuatnya.

“Saaaam… aaaaa… aaaaah… aaaaa… aaaaah… Saaaaam… entot terus Saaaam… iyaaaa… iiiyaaaa… entot terus Saaaam… aaaa… aaaaaaahhhhhhhh… aaaah… aaaaah…”

Aku pun semakin garang mengentotnya. Bahkan aku merasakan moncong penisku terus-terusan menabrak dasar liang senggama Rima.

Terlupalah aku bahwa di kamar itu ada Mbak Ita yang entah sedang ngapain. Yang kuongat hanya satu. Bahwa aku semakin merasakan nikmatnya mengentot liang memek yang legit ini. Yang membuatku mulai keringatan.

Namun pada suatu saat Mbak Ita sudah hadir di samping sahabatnya. Dalam keadaan sudah telanjang bulat.

Kehadiran Mbak Ita itu tepat pada saat Rima sedang berkelojotan. Lalu mengejang tegang sambil menahan nafasnya, dengan mata terpejam rapat…

Aku tahu bahwa Rima sedang mencapai orgasmenya. Memang benar, sesaat kemudian tubuh Rima terasa melemas, sementara liang memeknya terasa berkedut-kedut. Maka kubiarkan batang kemaluanku menancap di dalam liang memek Rima yang sudah basah sekali rasanya.

Sementara tanganku merayap ke arah kemaluan Mbak Ita yang belum kugasak. Kumasukkan jemariku ke dalam liang kemaluan Mbak Ita. Lalu kugeser-geserkan jari tengahku, sehingga liang kemaluan Mbak Ita terasa mulai membasah.

Sesaat kemudian kucabut batang kemaluanku dari memek Rima. Dan pindah ke atas perut Mbak Ita sambil meletakkan moncong penisku pada arah yang tepat.

Ketika Rima tampak tepar, aku pun mendorong batang kemaluanku. Dan… mulai membenam ke dalam liang kemaluan kakak tiriku…!

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu