3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

LANGKAH - LANGKAH JALANG (Bitch Steps)

Bagian 01

Dalam beberapa hal aku ini berbeda dengan Mama dan Mbak Ayu. Mungkin Mama dan Mbak Ayu mengutamakan materi dalam kehidupan mereka. Sedangkan aku lebih mengutamakan ketenangan batin di atas segalanya.

Mungkin hal itu pula kenapa sebulan setelah diwisuda aku menerima lamaran Pak Baskoro, dosenku yang usianya jauh lebih tua dariku itu.

Dan seminggu menjelang perkawinanku dengan Pak Baskoro, aku pun resign dari pabrik Mama. Karena aku ingin konsen menjadi ibu rumah tangga saja.

Mama dan Mbak Ayu turut merestui saja pada keputusanku untuk menjadikan Pak Baskoro sebagai suamiku. Bahkan Mama pernah membisikiku, “Lelaki yang sudah di atas empatpuluh tahun, biasanya sudah melepaskan egonya. Semoga saja Baskoro akan menyayangi dan memanjakanmu ya.”

Doa Mama itu terkabul. Pak Baskoro memang sudah jatuh hati padaku sejak aku masih kuliah semester pertama. Dan barju kuterima “tembakannya” itu setelah aku diwisuda. Alasanku adalah, kalau jadi istri dosen yang sudah S3, masa aku S1 saja belum?

Padahal aku merasa kasihan padanya, yang begitu sabarnya menunggu sekian tahun sampai hatiku luluh.

Selain daripada itu, aku ingin membangun rumah tangga dengan batin tenang dan nyaman.

Ternyata Pak Baskoro benar - benar mencintai dan sangat menyayangiku.

Dan yang terpenting, dia tak pernah mempermasalahkan keperawananku yang sudah lama hilang. Ini teramat penting bagiku. Karena kalau dia memasalahkannya, aku mau bilang apa? Memang aku sudah menyiapkan jawaban jika dia menanyakannya. Bahwa keperawananku hilang oleh dildo, bukan oleh manusia. Dan memang kenyataannya pun begitu.

Bahwa dalam suatu keterlenaanku, dildo jahanam itu kugunakan untuk merenggut virginitasku sendiri. Tapi masalahnya, setelah menyadari bahwa aku tidak perawan lagi gara - gara dildo itu, aku jadi ingin mencobanya dengan manusia. Dan aku tak bisa menghitung lagi berapa orang yang telah merasakan kemaluanku ini.

Untungnya Pak Baskoro tidak pernah menanyakan soal yang satu itu. Sehingga aku merasa wajib untuk membalasnya dengan kasih sayang dan hormatku kepada sang Suami tercinta.

Aku mulai benar - benar menyayanginya. Panggilan Pak juga mulai hilang dari mulutku. Aku jadi memanggilnya Mas Baskoro atau Mas Bas saja. Agar dia tidak merasa terlalu tua bagiku. Aku pun berusaha untuk mengabdi padanya sebagai seorang istri sejati.

Itulah sebabnya aku mulai belajar masak sendiri. Tidak mengandalkan kepada Bi Ijah, pembantuku.

Berbagai macam masakan baru kubaca resepnya dari internet. Lalu kupraktekkan. Dan alangkah senangnya hatiku kalau Mas Bas tampak lahap menyantap setiap makanan yang kumasak sendiri. Disusul dengan pujiannya yang membuatku tersanjung. Pujian tentang enaknya masakanku yang tak pernah membosankannya.

Aku memang sudah tahu apa saja yang disukainya dan apa yang tidak disukainya.

Dan aku seolah mau melakukan apa saja untuk membahagiakan hati suamiku. Karena Mas Bas juga seperti itu. Mau melakukan apa pun untuk membahagiakanku.

Apa pun yang kuminta selalu dikabulkannya. Tentu saja permintaanku bukan yang luar biasa mahalnya. Karena aku sadar bahwa suamiku bukan orang tajir melintir seperti Papa Fred. Yang kuminta hanya sebatas pakaian, parfum impor atau alat - alat make up.

Pernah juga Mas Bas menawarkan mobil baru. Tapi aku menolaknya. Karena aku tahu Mas Bas akan mencicilnya lewat leasing, bukan akan membelinya secara cash. Lagian mobil SUV pemberian Papa Fred dahulu masih bisa kupakai secara normal.

Begitulah… hari demi hari berputar terus sesuai dengan janji sang matahari yang akan selalu tepat waktu untuk menyinari alam semesta ini.

Sudah hampir setahun aku menjadi istri Mas Baskoro. Sejauh ini aku merasa enjoy - enjoy saja menjadi istri mantan dosenku itu.

Aku tinggal di luar kota, tapi tidak terlalu jauh dari batas kota. Di rumah Mas Bas yang katanya dibeli dari hasil keringatnya sendiri.

Rumah kami tidak besar. Kamar tidurnya hanya dua. Kamar utama dipakai oleh kami berdua, aku dan Mas Bas. Sementara kamar depan dihuni oleh Andi, keponakan Mas Bas yang mahasiswa semester dua.

Ada juga kamar berukuran cuma 2X2 meter di belakang, yang diisi oleh Bi Murni, pembantu kami.

Ruang makannya agak luas. Ruang ini sekaligus dijadikan ruang keluarga. Karena selain ada meja makan dan kursi - kursinya, ada pula 1 set sofa yang biasa dipakai berbincang - bincang olehku dengan Mas Bas.

Di samping kamar pembantu ada dapur dan kamar mandi yang bisa dipakai oleh orang luar, oleh tamu misalnya. Sementara kamarku dan kamar Andi ada kamar mandi masing - masing.

Meski rumahnya sederhana, namun garasinya cukup luas. Bisa masuk 3 atau 4 mobil. Sehingga mobil Mas Bas dan mobilku bisa tersimpan dengan aman. Tidak dibiarkan kepanasan dan kehujanan seperti mobil beberapa orang yang punya mobil tapi selalu diparkir di pinggir jalan, karena tidak punya garasi.

Walau pun rumahnya tidak besar, namun tanah yang dimiliki oleh Mas Bas cukup luas. Terutama halaman belakangnya yang dijadikan kebun oleh suamiku. Banyak pohon pepaya dan pohon pisang yang ditanam di belakang rumah itu. Ada pula pohon jeruk lemon, jambu air, jambu batu dan sirsak. Bahkan tanaman bumbu dan obat - obatan tradisional ditanam pula di belakang rumahku, seperti jahe, kunyit, kencur dan sebangsanya.

Mas Bas memang sering memanfaatkan waktu luangnya untuk bercocok tanam. Kebetulan tanahnya bagus untuk bercocok tanam. Sehingga apa pun yang ditanam oleh suamiku selalu tumbuh dengan subur.

Aku pun jadi merasa berkewajiban untuk menyesuaikan diri dengan hobby suamiku. Lalu ikut - ikutan bercocok tanam, sekalian untuk memanfaatkan waktu luangku yang cukup banyak. Tapi aku bercocok tanam di halaman depan yang kurasa perlu diperindah. Yang kutanam pun tanaman hias, bukan buah - buahan atau pun tanaman bumbu.

Tentu saja aku selalu belajar dari situs di internet. Situs yang membahas masalah tanaman hias, agar setiap yang kutanam bisa tumbuh dengan subur.

Suamiku tampak senang melihat pekarangan depan sudah kusulap jadi taman kecil, dengan tumbuhnya tanaman hias yang kutanam dan kurawat tiap hari. Sehingga pekarangan depan jadi indah dan nyaman dipandang mata.

“Memang beda kalau di rumah ini ada wanitanya,” ujar suamiku pada suatu hari, “Di setiap sudut terasa jadi lebih indah dan penuh kehangatan.”

“Aku hanya mencoba beradaptasi dengan hobbymu Mas,” sahutku.

“Tapi ada suatu hal penting yang dilupakan ya?”

“Apa yang dilupakan itu Mas?”

Suamiku menjawab dengan senyum, “Besok adalah wedding anniversary kita yang pertama.”(wedding anniversary = ulang tahun perkawinan)

“Ooooh… iya ya… !” ucapku dalam kaget, karena hari penting itu nyaris terlupakan di benakku.

“Kita rayakan secara sederhana aja ya. Aku sudah mengundang rekan - rekan sesama dosen untuk makan malam di restoran langganan kita.”

“Ohya?! Teman - temannya udah pada diundang?”

“Hanya secara lisan pada waktu ada rapat dosen tiga hari yang lalu.”

“Kira - kira berapa orang yang bakal datang besok?”

“Mmm… sekitar empatpuluh orang. Ohya, besok kita pakai dress code serba putih ya. Pakailah gaun putih dan sepatu yang putih pula.”

“Mas sendiri mau pakai stelan jas serba putih?”

“Ya. Sepatu dan kaus kakiku juga putih.”

“Setauku Mas gak punya sepatu putih.”

“Sudah beli kemaren,” sahut suamiku, “Malah masih disimpan di bagasi mobilku. Sebentar kuambil dulu sepatunya.”

Suamiku melangkah ke garasi. Sementara aku tercenung memikirkan saran suamiku untukmengenakan pakaian dan sepatu serba putih itu. Mungkin suamiku ingin mengingatkanku pada hari perkawinan kami setahun yang lalu. Pada detik - detik bersejarah itu baik aku mau pun suamiku sama - sama mengenakan pakaian serba putih.

Maka keesokan harinya, aku dan suamiku laksana sepasang pengantin baru yang akan menuju gedung resepsi. Yang nyetir mobil pun bukan sopir suamiku, melainkan Andi yang juga sudah mengenakan pakaian serba putih. Tapi Andi hanya mengenakan kemeja, celana dan sepatu serba putih, tanpa jas dan dasi.

Mas Baskoro memakai restoran paling terkenal di kotaku (untuk golongan menengah ke atas). Dan ketika kami bertiga (aku, Mas Bas dan Andi) tiba di restoran itu, ternyata teman - teman suamiku sudah datang semua.

Sebagai kata sambutan, diucapkan oleh Prof. Dirga, dosen yang paling senior di antara para tamu malam itu. Beliau mengutarakan bahwa pada saat itu usia pernikahan Mas Bas denganku genap setahun. Lalu atas nama para dosen yang hadir di restoran itu, Prof. Dirga mengucapkan selamat kepada kami berdua (akku dan suamiku), disertai doa semoga kami tetap rukun dan cepat dianugerahi keturunan.

Lalu kue ulang tahun yang lilinnya cuma satu itu dipersilakan untuk ditiup lilinnya olehku dan Mas Bas.

Seperti ulang tahun biasa, aku dan Mas Bas sama - sama make a wish dulu. Aku tidak tahu doa apa yang dipanjatkan oleh suamiku, sementara aku sendiri berdoa agar cepat dikaruniai anak.

Lalu lilin tunggal itu kami tiup bersama, diikuti dengan tepuk tangan para tamu undangan.

Kemudian para tamu dan istrinya masing - masing menjabat tangan kami secara bergiliran. Andi pun menjabat tangan kami sambil mengucapkan selamat

Lalu kami makan bersama dengan system buffet (prasmanan), sementara meja makan kami sudah diatur berbentuk hurup O. Sehingga para dosen dan istrinya masing - masing bisa saling berpandangan sambil bercengkrama. Begitu juga ibu - ibu dosen dan suaminya masing - masing.

Di dalam cengkrama itu aku hanya jadi pendengar yang baik. Karena badanku terasa letih sekali. Istri - istri lain pun seperti itu semua, kelihatannya. Sementara yang dosennya wanita, maka suaminya juga bernasib sama sepertiku. Cuma jadi pendengar yang baik, meski entah mendengarkan atau sedang melamun.

Untungnya acara wedding aniversary itu hanya sampai jam 22.00. Kemudian kami membubarkan diri.

Tinggallah aku, suamiku dan keponakannya yang masih stand by di restoran itu. Dan Andi harus duluan pulang ke rumah, untuk membawa kado - kado yang begitu banhyaknya, sehingga memenuhi mobil suamiku.

Kalau tahu begitu, mungkin tadi aku membawa mobilku sendiri, supaya bisa pulang tanpa harus menunggu Andi dulu.

Namun Sejam kemudian Andi sudah kembali lagi ke restoran itu, untuk menjemput kami dan beberapa kado yang belum terangkut.

Setelah membayar makanan yang dihidangkan oleh restoran itu, aku dan suamiku pun masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh Andi itu.

“Nggak nyangka kadonya sebanyak itu ya Mas,” ucapku kepada Mas Baskoro yang duduk di sebelah kananku di seat belakang.

“Iya,” sahut suamkiku, “Mungkin mereka nggak enak hati kalau datang dengan tangan hampa. Serasa mau makan gratis doang. Sebenarnya aku terharu juga, karena tidak mengharapkan kado - kado itu, terutama dari mereka yang penghasilannya jauh di bawah penghasilanku.”

Wajar kalau suamiku bicara seperti itu. karena di antara dosen - dosen yang hadir pada perayaan wedding aniversary itu, mungkin suamikulah yang penghasilannya paling tinggi. Hal itu bisa dimaklumi, karena suamiku tidak hanya mengajar di satu kampus. Suamiku mengajar di banyak perguruan tinggi. Bahkan sering juga mengajar di luar kota dan di luar Jawa.

Malam itu pun, begitu tiba di rumah suamiku berkata, “Aku mau tidur duluan ya Sayang. Soalnya besok pagi - pagi sekali harus berangkat ke Jakarta.”

“Mau ngajar Mas?” tanyaku.

“Iya. Ngajarnya sih sore. Tapi takut kejebak macet di jalan.”

“Kenapa gak pakai kereta api aja? Biar gak pernah macet.”

“Kalau gak bawa mobil, susah di Jakartanya,” sahut suamiku yang langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Kadonya mau kubukain ya Mas… !” seruku dari ruang keluarga.

“Iya… bukalah semuanya.”

Setelah mengganti gaun putihku dengan housecoat, aku duduk di ruang keluarga lagi. Untuk membuka kado - kado yang ditumpukkan secara rapi oleh Andi tadi.

Kado - kado yang dihadiahkan untuk kami itu tidak ada yang murah. Membuatku terharu atas atensi mereka.

Ya, semuanya mahal untuk level dosen yang mengandalkan hidup dari gajinya saja. Memang menurut dugaanku, Mas Bas paling unggul penghasilannya. Karena Mas Bas tidak hanya mengajar di satu perguruan tinggi saja. Banyak perguruan tinggi yang membutuhkan ilmu Mas Bas untuk ditularkan kepada mahasiswa - mahasiswanya.

Dengan sendirinya penghasilan Mas Bas paling besar kalau dibandingkan dengan dosen - dosen yang hadir tadi, termasuk Prof. Dirga yang termasuk lebih senior daripada suamiku.

Tapoi yang membuatku tercenung adalah ucapan di belakang kartu nama para pemberi kado itu. Mereka kompak mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan, dengan doa semoga aku cepat diberi momongan. Bermacam - macam kalimatnya. Ada yang menulis “Semoga cepat dianugerahi keturunan”, ada yang menulis “Semoga cep[at punya momongan” dan sebagainya.

Apakah mereka tahu apa doaku waktu make a wish sebelum meniup lilin di atas kue ulang tahun itu?

Padahal doaku juga sama seperti doa mereka. Tadi aku pun berdoa agar cepat hamil dan punya anak…!

Tapi kenyataannya, sudah setahun aku menjadi istri Mas Baskoro. Dan tak pernah ada gejala - gejala mau hamil…!

Dengan perasaan galau, aku meninggalkan ruang keluarga, lalu masuk ke dalam kamarku dan tidur di samping Mas Bas.

Menjelang subuh Mas Baskoro sudah bangun. Lalu mandi dan berdandan.

“Sudah mau berangkat Mas?” tanyaku sambil menggeliat dan duduk di atas bedku.

“Iya,” sahut suamiku, “Mumpung hari masih gelap, biasanya jalanan masih sepi. Kalau hari sudah terang, pasti padat dan macet di sana - sini.”

“Daman sudah datang?”

“Sudah,” sahut Mas Bas, “Barusan ngeWA. Tolong kasihkan kunci mobil biar dia panasin dulu mesinnya.”

Kuambil remote keyless mobil suamiku dari atas meja rias. Kemudian melangkah ke arah garasi dan memberikannya kepada Daman, sopir suamiku.

Ketika aku kembali ke ruang tengah, kjulihat Bi Murni pun sudah bangun. Maka kataku, “Bi… bungkus - bungkus kado itu tolong buang ke bak sampah ya.”

“Iya Bu, “Bi Murni mengangguk sopan.

Beberapa saat kemudian Mas Baskoro masuk ke dalam mobil yang mesinnya masih dihidupkan oleh Daman. Aku pun menghampirinya pada saat pintu belakang yang sebelah kiri masih terbuka.

“Take care ya Mas,” ucapku sambil mengecup pipinya.

“You too…” sahut suamiku sambil membelai rambutku. Kemudian pintu belakang kiri ditutupkan. Mobil suamiku pun mulai bergerak meninggalkan garasi dan pekarangan rumah.

Lalu aku kembali ke ruang keluarga, sambil menghabiskan secangkir black coffee yang tidak dihabiskan oleh suamiku.

Memang satu - satunya ganjalan dalam kehidupanku adalah keinginan untuk hamil yang tidak juga terjadi pada diriku. Tapi aku tak pernah mengutarakannya kepada Mas Bas. Lagian perkawinan kami baru berumur setahun. Orang lain pun banyak yang beru punya anak setelah usia perkawinan mereka 3 atau 4 tahun.

Sebenarnya aku masih ngantuk, karena tadi malam membuka kado - kado sambil memperhatikannya satu persatu. Dan hal itu menghabiskan waktu berjam - jam, karena termenungnya pun cukup lama.

Aku sudah beli udang besar yang tadinya akan kumasak dan kumakan bersama suamiku. Tapi karena suamiku berangkat ke Jakarta, biar kumasak saja untuk kumakan sendiri. Karena udang mentah yang terlalu lama disimpan di dalam kulkas suka hilang enaknya. Apalagi kalau sudah merah - merah, mendingan dibuang saja.

Lalu aku melangkah ke dapur. Mengupas kulit udang sampai bersih benar. Kebetulan ada kacang capri untuk campuran tumisnya.

Setelah menyiapkan bumbu tumisnya, maka kutumis udang dan kacang capri yang hijau sekali itu dengan margarine.

Setelah tumisan selesai, bergegas aku masuk kde dalam kamarku, langsung masuk ke kamar mandi. Karena kurang enak makan kalau belum mandi dulu.

Setelah selesai mandi kukenakan kimono putihku. Tadinya mau langsung sarapan pagi. Tapi begitu melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, aku langsung teringat Andi. Kenapa dia belum kelihatan keluar dari kamarnya? Bukankah biasanya setiap jam setengah tujuh dia sudah berangkat kuliah?

Lalu bergegas aku menuju pintu kamarnya. Mengetuk - ngetuk pintu itu agak keras sambil memanggil - manggil nama keponakan Mas Bas itu. “Andiii…! Andiiii!”

Tidak terdengar sahutan. Apakah dia sudah berangkat kuliah?

Ketika kutekan handle pintu itu, ternyata pintunya tidak terkunci. Dan langsung nampak Andi yang masih tidur nyenyak, dengan sekujur tubuh nya ditutupi selimut, kecuali kepalanya saja yang tidak ditutupi selimut.

Astagaaa… sudah jam sembilan belum bangun juga? Pasti bakal kesiangan dia itu!

Lalu dengan jengkel kutarik selimut yang menurupi badan dan kedua kakinya itu sambil berseru, “Andi! Ini sudah jam sembilan! Bangun! Pasti kamu bakal kesiangan !”

Dan aku terkesiap. Karena setelah kutarik selimut itu, tampaklah sesuatu yang luar biasa. Bahwa di balik serlimut itu tidak ada apa - apa lagi kecuali sekujur tubuh Andi yang tak tertutupi sehelai benang pun…!

Dan sekilas aku melihat sesuatu yang luar biasa di bawah perutnya. Sebentuk alat kelamin cowok yang sangat panjang dan sangat gede… sedang ngaceng pula…!

Aku mau berseru lagi untuk membangunkan Andi. Tapi tiba - tiba kedua tanganku ditarik dengan sangat kuatnya, membuatku terhempas ke atas dadanya.

Celakanya aku belum mengenakan celana dalam. Sehingga pada saat dadaku ke atas dada Andi, tanpa kusengaja kemaluanku berhimpitan dengan penis Andi yang terasa keras itu.

Gila… ini mendebarkan…! Tapi aku menindas batinku sendiri. Dengan sekuat tenaga aku meronta - ronta, sampai akhirnya melepaskan diri dari dekapan Andi.

Bahkan dengan keras kutampar pipi keponakan suamiku itu. “Kamu sengaja mau kurang ajar ya? Awas… nanti akan kulaporkan kepada Mas Baskoro… !”

Andi tampak kaget. Dalam keadaan telanjang ia berlutut di depan kakiku sambil meratap, “Jangan laporan sama Oom Baskoro, Tante… yang barusan itu tidak disengaja… masih dalam suasana ngelindur… belum konek Tante.”

“Iya… biarin Mas Baskoro yang memutuskan. Apakah kamu bisa bebas atau harus dihukum,” sahutku bernada ancaman. Namun sudut mataku berkali - kali mencuri lihat pada penisnya itu. Masih tetap ngaceng… Tapi aku tahu bahwa cowok terkadang penisnya ngaceng pagi - pagi karena ingin kencing. Belum tentu karena horny.

“Jangan Tante… jangan dilaporin. Apa pun yang harus kulakukan akan kulakukan. Asalkan jangan dilaporkan pada Oom, “ratap Andi sambil menciumi kakiku.

“Sana pakai baju dulu! Memangnya tiap malam kamu tidur telanjang gitu?”

“Iii… iya Tante… mmm… tadi malam sepulangnya dari restoran itu aku latihan yoga dulu… lalu ketiduran saking lelah dan ngantuknya, “Andi bergegas meraih celana boxer dan mengenakannya. Lalu bergegas pula mengenakan kaus oblongnya.

“Terus kenapa bangun terlambat? Pasti kesiangan kan kuliahnya?!” ucapku dengan nada ketus.

“Libur selama lima hari Tante. Mulai hari ini,” sahut Andi dengan nada masih takut - takut.

Tanpa banyak bicara lagi kutinggalkan kamar Andi, untuk menyantap makan pagiku. Tapi tumis udangnya keburu dingin, gara - gara ulah si Andi itu.

Aku jadi patah selera. Lalu masuk ke dalam kamarku. Mengganti pakaianku dengan celana jeans yang ada robek - robek di lutut dan betisnya, baju t-shirt putih dan jaket kulit berwarna pink.

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam mobilku yang kularikan ke arah sebuah mall, tempat nongkrong bersama teman - temanku sejak masa mahasiswi dahulu.

Namun suasana telah berubah. Di foodcourt yang biasa kami pakai ngongkrong di dalam mall itu, tiada seorang pun yang kukenal.

Namun biarlah. Aku hanya ingin mengusir perasaan bete doang di rumah. Lalu kupesan yamien baso ikan dari salah satu counter, sebagai pengganti kekecewaanku di rumah, karena tumis udang - capri itu sudah keburu dingin.

Pada saat makan baso dan minum juice orange itulah aku ditegur oleh seorang wanita muda yang sedang hamil tua. “Hallo Ita… !”

Aku tersentak melihat wanita hamil itu. Ternyata dia Yena, salah seorang teman kuliahku dahulu. “Yena…?!” sahutku sambil berdiri dan memegang pergelangan tangan teman lamaku itu. Kemudian kami cipika - cipiki seperti berjumpa dengan saudara yang sudah lama tidak berjumpa.

“Rasa ngimpi ketemu lu lagi Ta,” ucap Yena sambil duduk di kursi yang berhadapan denganku dibatasi oleh meja makan.

“Iya. Harusnya kita reunian ya… tapi khusus yang seangkatan dengan kita aja. Ohya… kandungan lu udah berapa bulan?”

“Delapan bulan,” sahutnya.

“Udah dekat jadi mom dong.”

“Iya. Lu udah punya anak belum?”

“Belum. Biar honeymoonnya panjang. Hihihiiii…”

“Masih sama Pak Baskoro kan?”

“Masih lah. Masa kawin baru setaun udah ganti laki lagi.”

“Kirain kebiasaan lama kambuh lagi. Kebiasaan gonta - ganti pacar…”

“Nggak dong. Sekarang kan visinya udah beda.”

“Cailaaa… visi istri mahaguru… !” Yena menatapku dengan senyum menggoda.

Lalu kami berbincang - bincang cukup lama di foodcourt itu.

Aku senang sekali bisa berjumpa dan berbincang - bincang dengan teman lama itu. Namun di balik perasaan senang itu aku bertanya - tanya kepada diriku sendiri: Kapan aku hamil seperti Yena itu? Kenapa setelah setahun menjadi istri Mas Baskoro, belum kelihatan gejala - gejala akan hamil?

Ya… bahkan hari itu, ketika aku berjumpa dan ngobrol dengan Yena itu, aku sedang datang bulan. Padahal aku ingin telat datang bulan, lalu diperiksa ke dokter kandungan dan hasilnya positif hamil. Pasti aku bahagia sekali kalau mengalami hal itu.

Tapi sejauh ini menstruasiku tetap normal. Sebagai pertanda belum hamil juga.

Ternyata masalah itu dibahas pada keesokan sorenya, ketika suamiku baru pulang dari Jakarta. Pada saat ia sedang mengfganti pakaiannya dengan baju dan celana piyama, ia bertanya, “Waktu kita mau meniup lilin wedding aniversary itu, apa doamu yang dipanjatkan?”

“Itu kan rahasia pribadi Mas, gak boleh dibilang - bilang kepada orang lain,” sahutku sambil rebahan di bed.

“Kalau aku sih gak usah main rahasia - rahasiaan. Jujur, pada waktu itu doaku cuma satu. Ingin segera punya anak,” ucap suamiku.

Aku terhenyak. “Kok bisa sama doanya Mas?”

“Dede juga berdoa agar dikaruniai anak?” suamiku merebahkan diri di sampingku. Dia memang suka memanggilku “Dede” atau “Dek”

“Ucapan selamat di kartu - kartu nama teman Mas yang memberi kado itu juga senada semua. Mereka mengharapkan kita cepat diberi momongan.”

Suamiku menghela napas. Lalu berkata, “Inilah masalahnya. Aku pun berharap ingin segera punya keturunan. Tapi… dua bulan yang lalu aku memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan. Tapi obstetricians itu mengatakan bahwa spermaku kurang… tidak sesuai dengan yang dibutuhkan untuk membuahi telurmu, De.

“Mas udah memeriksakan diri ke dokter? Kenapa baru ngasih tau sekarang?”

“Iya. Maafkan aku ya Dek. Soalnya aku bingung harus bilang apa pada Dede.”

Aku pun jadi ikutan bingung. Dan tidak mau menanggapi pengakuan suamiku itu.

“Selama di Jakarta aku terus - terusan memikirkan hal itu. Sampai akhirnya kuputuskan Kuncoro harus campur tangan dalam masalah kita ini.”

“Kuncoro mmm… adik bungsu Mas itu?”

“Iya. Kun baru menikah lima tahun yang lalu. Tapi anaknya sudah tiga orang. Berarti spermanya memenuhi syarat untuk membuahi rahim istrinya kan?”

“Terus campur tangan yang Mas inginkan darinya itu gimana?” tanyaku bingung.

Mas Baskoro menyahutku dengan bisikan, “Aku akan menyuruh Kun menggaulimu secara periodik pada setiap masa suburmu.”

“Gila! “seruku, “Mas eling nggak sih? Masa Mas mau menyuruhku begituan dengan adikmu sendiri? Lalu nanti kalau dia membocorkan rahasianya, seluruh keluarga Mas pasti tau dan menganggapku perempuan murahan… !”

“Iya juga sih… Kun belum tentu bisa menutup rahasianya rapat - rapat. Atau begini aja… bagaimana kalau Dede menjebak si Andi sampai dapat? Tapi jangan bilang kalau aku yang menyuruh Dede.”

“Menjebak gimana?”

“Rayu aja dia seolah Dede gak puas olehku. Tapi suruh dia merahasiakannya. Seolah - olah Dede berbuat itu di luar pengetahuanku”

“Iiih… apalagi dengan Andi. Masih anak ingusan gitu… gak mau ah… !”

“Anak ingusan gimana? Andi kan sudah delapanbelas tahun.”

“Sudahlah Mas. Lupakan saja soal ingin punya anak itu. Kita kan bisa adopsi anak dari yayasan yang menyediakan jasanya untuk hal itu.”

“Jangan munafik. Dede pasti ingin punya anak yang asli berasal dari rahim Dede sendiri kan?”

“Iya. Tapi aku ingin benihnya berasal darimu Mas. Bukan dari orang lain,” sahutku. Membuat Mas Baskoro terdiam.

Padahal diam - diam aku teringat Sam. Mantan saudara tiriku itu punya istri empat orang. Semua istrinya punya anak. Jadi jelas kalau sperma Sam akan mampu membuahiku.

Tapi bukankah aku ingin menjadikan kesetiaanku di atas segalanya? Bukankah aku sudah menghapus kenangan masa laluku dan ingin seolah dilahirkan kembali sebagai istri sejati?

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu