3 November 2020
Penulis —  Neena

Rumah Kami Surga Kami - Petualangan Hot - Langkah Langkah Jalang

Bagian 6

Pernyataanku bahwa kemaluan Mama paling enak di dunia, mungkin kelak harus dikoreksi. Karena pada beberapa minggu kemudian ada serentetan kisah yang kualami, yang membuatku teringat pada pepatah dalam buku silat Tiongkok: Setinggi-tingginya gunung, pasti ada yang lebih tinggi lagi…!

Ya… pada suatu hari aku mendatangi kantor Papa, untuk sesuatu yang sangat penting.

Aku memang baru kedua kali ini mendatangi kantor Papa. Dahulu aku pernah datang ke sini, ketika mau mendaftar ke SMA swasta terbaik di kotaku, yang membutuhkan duit lumayan besar. Berarti sudah lebih dari lima tahun aku tidak mendatangi kantor Papa lagi.

Ternyata keadaannya sudah jauh berbeda. Dahulu kantor Papa hanya dua lantai. Sekarang jadi lima lantai. Dan aku harus menemui Papa di lantai lima, seperti yang dijelaskan oleh satpam kantor yang mengantarkanku sampai di ruang kerja Papa.

Di ruang kerja itu tampak Papa sedang berbicara dengan seorang wanita yang kutaksir usianya 32-33 tahunan dan… cantik sekali!

Tadinya kupikir perempuan itu sekretaris Papa.

Maka alangkah kagetnya ketika Papa mengenalkan perempuan itu sebagai istri Papa sekaligus pemilik perusahaan ini…!

Waktu menjabat tangan perempuan itu aku berusaha bersikap sesopan mungkin. Kucium tangannya sebagaimana layaknya seorang anak mencium tangan ibunya. Lalu ia mencium pipi kanan dan pipi kiriku sambil berkata, “Papa sering menyebut-nyebut namamu Sam. Tapi baru sekali ini kita ketemu ya.”

“Iii… iya,” sahutku bingung, karena harus memanggil apa kepada istri muda Papa itu.

Lalu terdengar Papa berkata, “Supaya tidak tertukar-tukar, kamu panggil Mamie aja Sam. Kan kedudukannya sama aja dengan Mama.”

Aku mengangguk. Ya, baik Mama mau pun wanita yang harus dipanggil Mamie ini kedudukannya sama-sama ibu tiriku.

Aku jadi ingat Mama pernah berkata bahwa Papa menikah lagi dengan wanita yang lebih tua, yakni owner perusahaan tempat Papa bekerja. Tapi Mama sendiri belum tahu seperti apa istri muda Papa itu. Hahahaaa… pasti Mama dikibulin oleh Papa, supaya Mama tidak cemburu dan sakit hati. Padahal ternyata istri muda Papa itu jauh lebih muda daripada Mama.

Tiba-tiba telepon di ruang kerja Papa itu berdering. Lalu terdengar suara lewat speaker di dekat meja kerja Papa: “Selamat Siang Boss. Tamu-tamu dari Thailand sudah datang.”

Papa spontan menjawab, “Persilakan mereka menunggu di meeting room.”

“Siap Boss…”

Lalu Papa bangkit dari kursinya. Mengambil map dari tas kerjanya.

“Aku mau meeting dulu ya,” kata Papa kepada Mamie.

Lalu Papa berkata padaku, “Kalau ada perlu sama papa, tunggu sampai papa selesai meeting ya. Paling juga dua jam meetingnya selesai. Ngobrol sama Mamie dulu ya. Biar kamu makin akrab sama mamiemu itu.”

“Iya Pap,” sahutku.

Setelah Papa turun ke meeting room yang katanya di lantai dua itu, aku mulai merasa salting. Karena baru sekali ini aku berjumpa dengan ibu tiriku yang masih muda itu.

Untungnya wanita yang akan kubiasakan memanggilnya Mamie itu cukup ramah.

“Mau ada perlu apa sama Papa? Butuh duit ya?” tanyanya sambil duduk di sampingku, di sofa yang sedang kududuki.

“Mamie kok tau aja…” sahutku canggung.

“Tebak-tebakan aja sih. Butuh duit untuk apa Sam? Ngomong aja terus terang sama mamie. Kan sekarang Sam sudah tau kalau mamie ini ibu keduamu.”

Melihat sorot wajah Mamie yang begitu cerah, aku jadi berusaha untuk bersikap terbuka. Maka kataku, “Kemaren aku nabrak orang yang sedang nyebrang Mam.”

“Haaa?! Terus orang yang ditabraknya nggak apa-apa?”

“Justru babak belur Mam. Tangan kirinya patah.”

“Keluarganya bagaimana?”

“Ya itulah Mam. Orang tuanya minta duit untuk biaya rumah sakit. Kalau sudah dikasih duit, mereka sedia berdamai denganku. Dan takkan memperpanjang urusanku dengan polisi.”

“Mereka minta berapa?”

Aku tertunduk, “Banyak Mam. Makanya Mama menyuruhku ke sini, karena Mama tidak punya uang sebanyak itu.”

“Iya banyaknya itu berapa?” tanya Mamie, “Kan papamu juga pasti minta ke mamie kalau mau memberikannya padamu nanti.”

“Tigapuluh juta,” sahutku sambil menunduk.

“Owh… kirain minta ratusan juta,” kata Mamie sambil tersenyum. Lalu ia melangkah ke meja tulisnya. Mengeluarkan buku panjang kecil dari laci meja tulisnya. Ternyata itu buku cek. Kemudian ia menulis di selembar cek.

“Nih Sam,” kata Mamie sambil menyerahkan selembar cek itu.

Ketika kubaca, aku kaget. Karena nominal yang tercantum di cek itu limapuluh juta…!

“Mam… apa Mamie nggak salah tulis? Aku hanya membutuhkan tigapuluh juta. Tapi yang tertulis di sini limapuluh juta.”

“Iya, sisanya untuk keperluan Sam.”

Wah… ternyata istri muda Papa ini baik sekali…!

“Terima kasih Mam,” kataku dengan sikap sopan.

“Nanti lagi kalau butuh uang, minta ke mamie aja ya. Kalau Papa kan jarang megang duit. Kecuali kalau mau bepergian jauh aja. Seperti bulan depan, Papa mau ke Bangkok tuh.”

“Mau ke Bangkok? Tanggal berapa Mam?”

“Bulan depan tanggal tiga.”

“Wah kebetulan aku sedang libur panjang tuh Mam.”

“Bagus dong. Selama Papa di luar negeri, tidur rumah mamie aja ya. Biar mamie nggak kesepian.”

“Bo… boleh…”

“Nanti alamatnya mamie kasih. Tapi jangan bilang-bilang sama Mama ya.”

“Iya Mam.”

“Itu dikasih cek juga gak usah bilang-bilang. Takut Mama marah sama kamu nanti.”

“Iya Mam. Aku akan bilang gak ketemu sama Mamie aja nanti, biar gak panjang lebar pertanyaannya.”

“Nah… itu lebih baik.”

Lalu aku ngobrol panjang lebar dengan wanita yang sudah mulai kubiasakan memanggilnya Mamie itu. Sampai pada suatu kesimpulan, bahwa beliau orang baik. Dan aku siap untuk menjadikannya setingkat dengan ibu kandungku yang telah tiada.

Dua jam kemudian Papa pun muncul kembali di ruang kerjanya ini. Lalu Papa menceritakan hasil meetingnya kepada Mamie. Antara lain bahwa rencana Papa untuk terbang ke Bangkok itu jadi. Pada tanggal tiga bulan depan.

Pada saat itulah Mamie berkata, bahwa aku akan tidur di rumah Mamie selama Papa berada di luar negeri, karena aku sedang libur panjang selama Papa berada di luar negeri itu.

Papa tersenyum dan menyambut rencana itu dengan senang.

Ketika Papa menanyakan apa kebutuhanku sehingga datang ke kantor Papa tidak seperti biasanya, Mamie yang menjawab dan mengulang pengakuanku tadi. Bahwa aku harus membayar uang damai pada orang yang kutabrak itu. Dan semua itu sudah diselesaikan oleh Mamie. Papa tampak senang mendengar penuturan Mamie itu.

Papa juga malah menguatkan keinginan Mamie agar aku tidur di rumahnya, selama Papa di luar negeri, agar ada laki-laki di rumah Mamie, katanya.

Pada waktu aku pamitan mau pulang, Papa mewanti-wantiku agar merahasiakan pertemuanku dengan Mamie, terutama dalam hal usia Mamie yang memang jauh lebih muda daripada Mama. Bahkan Papa membisikiku, “Kalau ketahuan, bilang aja Mamie lebih tua daripada Mama gitu. Biar hatinya gak sakit. Tapi sebaiknya jangan sampai bocor.

Papa juga mengarahkan bahwa waktu aku mau tidur di rumah Mamie nanti, tak usah mengatakan yang sebenarnya pada Mama. Bilang saja mau study tour, katanya.

“Siap Pap,” sahutku sambil memegang tangan Papa erat-erat.

Mamie pun seperti berat melepaskan kepergianku. Setelah kucium tangannya, Mamie mencium pipi kanan dan pipi kiriku dengan penuh kehangatan, sehingga harum parfumnya tersiar ke penciumanku. Lalu terdengar suaranya yang setengah berbisik, “Mamie siap untuk menyayangimu, Sam.”

“Terima kasih Mam. Aku juga siap untuk menyayangi Mamie,” sahutku.

Entah kenapa, pada waktu aku meninggalkan kantor Papa, rasanya hatiku tertinggal di ruang kerja Papa dan istri mudanya itu. Karena aku sudah menerima keramahan dan kemurahan hati wanita yang sudah kubiasakan menyebutnya Mamie itu.

Memang aku kagum pada Papa yang pandai mencari istri. Mama, misalnya, bukan hanya cantik tapi juga menyayangi anak-anak tirinya.

Kini aku semakin kagum kepada Papa, karena telah berhasil menikahi bossnya sendiri. Boss yang masih sangat muda untuk usia Papa, sangat cantik pula.

Di kartu nama yang kuterima dari Mamie, ternyata dia bernama Yun xxxxxxx.

Dan yang jelas, sekarang aku punya ibu tiri dua orang. Mama Mien dan Mamie Yun.

Setelah berada di rumah Mama, aku terus-terusan memikirkan Papa dan Mamie Yun itu.

Aku mengerti kalau Papa menikahi wanita yang jauh lebih muda daripada Mama itu. Bahwa Papa jatuh cinta pada Mamie Yun, karena wanita itu cantik sekali. Kaya raya pula. Maka wajarlah kalau Papa menikahinya sebagai istri muda. Sehingga Papa bisa “sambil menyelam minum air”. Dengan kata lain, mendapatkan istri cantik, sekaligus mendapatkan kucuran hartanya juga.

Papa memang ganteng dan awet muda. Sehingga meski usianya sudah kepala lima, Papa tetap bisa menarik perhatian wanita yang usianya masih sangat muda sekali pun.

Satu-satunya masalah yang membuat Mama merana setelah Papa menikah lagi, adalah Papa jadi jarang pulang ke rumah. Sehingga Mama sering membutuhkanku untuk menghangatinya, sebagai pengganti Papa. Tapi di sudut lain, Papa jadi banyak mengalirkan duit ke tangan Mama. Untuk biaya kami berlima (Mama, Mbak Ayu, Mbak Ita, aku dan Yoga).

Esoknya aku pergi ke bank, untuk mencairkan cek dari Mamie itu. Yang tigapuluh juta kujadikan uang cash, sementara yang duapuluh juta kusimpan di rekening tabunganku.

Kemudian aku mendatangi rumah yang anaknya tertabrak oleh motorku itu. Kuserahkan uang yang tigapuluh juta itu, sesuai dengan permintaan mereka. Dan masalah dengan mereka dianggap selesai, dengan pernyataan di atas meterai.

Legalah dadaku setelah berjabatan tangan dengan mereka sambil sama-sama minta maaf, seperti lebaran saja ya.

Sementara motorku hanya membutuhkan duaratus ribu untuk memperbaiki kerusakan akibat kecelakaan itu.

Sehari sebelum keberangkatan Papa, aku naik taksi menuju rumah Mamie Yun.

Seperti yang sudah diarahkan oleh Papa, aku berkata kepada Mama bahwa aku akan ikut study tour ke Surabaya selama sepuluh hari. Mama mengiyakan dan membekali aku dua juta, untuk “bekal selama di Surabaya”.

Padahal sejam kemudian aku sudah berada di rumah Mamie, yang ternyata megah sekali. Dijaga oleh tiga orang satpam pula. Maklum rumah owner perusahaan besar.

Mamie menyambut kedatanganku dengan ciuman di pipi kanan dan pipi kiriku, seperti yang dilakukannya di kantornya.

“Tadi ngomong apa waktu pamitan sama Mama?” tanya Mamie setelah duduk di sampingku dalam ruang keluarga.

“Bilang mau study tour di Surabaya… hehehee…”

“Iya, “Mamie mengangguk-angguk sambil tersenyum, “Untuk kerukunan kita semua, bohong sedikit kan nggak apa-apa.”

“Iya Mam. Ohya… Papa mana?” tanyaku.

“Lagi meeting di kantor. Mamie sengaja nggak ke kantor, karena tau kamu mau datang.”

“Sebenarnya Papa mau berapa hari di luar negerinya Mam?”

“Mungkin dua mingguan. Karena dari Bangkok akan menuju Hongkong dan Shanghai. Ohya… bagaimana keluarga yang ditabrak itu sudah selesai urusannya?”

“Sudah Mam. Hatikju sudah lapang sekarang.”

“Lain kali hati-hati dong kalau naik motor.”

“Sebenarnya kejadian itu bukan salahku Mam. Anak itu tiba-tiba aja nyebrang, sehingga aku tak bisa mengelak lagi. Itu kejadian pertama dan semoga terakhir dalam hidupku.”

“Tapi kata Papa, kalau nyetir mobil kamu sangat halus mengemudikannya.”

“Iya Mam. Makanya aku sering disuruh nyetir sama Papa.”

“Iya. Papa bilang nanti malam juga kamu yang bakal nyetir ke Jakarta.”

“Siap Mam. Papa mau terbang malam nanti?”

“Besok subuh. Tapi kan harus cek in dua jam sebelumnya. Jadi sebelum jam tiga pagi harus sudah ada di bandara.”

“Berarti jam duabelas malam harus berangkat ke Jakarta, ya Mam.”

“Iya. Mamie juga mau ikut nganter ke bandara, Sam.”

“Owh… baguslah. Jadi pulangnya aku gak kesepian.”

“Hmmm… sekalian mau nengok rumah yang di Jakarta.”

“Mamie punya rumah di Jakarta?”

“Punya. Di Semarang, di Surabaya, di Jogja, di Denpasar dan di Medan juga punya.”

“Waduuuh… rumah Mamie banyak bener.”

“Kan terkadang harus lama tinggal di kota-kota yang ada cabang perusahaan. Daripada tinggal di hotel, mendingan di rumah sendiri kan?”

“Iya Mam.”

“Setelah menikah dengan papamu, mamie jarang ke luar kota lagi. Semua cabang perusahaan mamie diurus oleh papamu. Mamie jadi bisa duduk manis aja di rumah atau di kantor yang ada di kota ini.”

Aku cuma mengangguk-angguk kecil.

Lalu Mamie eberkata lagi, “Kalau kuliahmu sudah selesai, mamie bisa menempatkanmu di salah satu cabang perusahaan mamie.”

“Wow. Terima kasih Mam. Jadi setelah kuliahku selesai, aku tak usah nyari-nyari kerja lagi.”

“Nanti bisa kerja sambil kuliah S2 juga.”

“Siap Mam.”

Mamie tersenyum. Lalu menepuk lututku sambil berkata, “Yang rajin kuliahnya ya. Biar cepat selesai.”

“Iya Mam,” sahutku, “By the way… Mamie belum punya anak?”

“Belum, “Mamie tersenyum getir, “makanya sekarang kamulah anak mamie.”

“Iya Mam.”

Sebelum jam duabelas malam, aku sudah duduk di belakang setir mobil, sementara Papa duduk di sampingku dan Mama duduk di belakang.

Di sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Papa mengajak ngobrol terus. Mungkin agar aku tidak ngantuk. Sementara Mama tampak dari kaca spion sedang rebahan di seat belakang

Di tengah malam begini suasananya lumayan lengang. Sehingga hanya dalam waktu dua jam kami sudah tiba di bandara Soekarno-Hatta.

Sebelum masuk ke gerbang keberangkatan, Papa berkata kepada Mamie, “Nanti gak usah nunggu pesawatnya take off. Langsung pulang aja. Takut Sam keburu ngantuk nanti di jalan.”

“Lho… aku kan mau istirahat di rumah Jakarta dulu,” sahut Mama.

“Owh… itu lebih baik. Biar Sam bisa tidur dulu sekenyangnya.”

Lalu Papa cipika-cipiki dulu dengan Mamie. Kemudian giliran aku mencium tangan Papa sambil berkata, “Semoga penerbangannya lancar dan aman, ya Pap.”

“Amiin,” sahut Papa, “Kamu mau dikirim oleh-oleh apa nanti?”

“Terserah Papa aja deh. Yang penting Papa lancar penerbangan dan urusan bisnisnya,” sahutku.

Papa mengusap rambutku sambil berkata, “Oke deh. Jaga Mamie baik-baik selama papa di luar negeri ya Sam.”

“Siap Pap.”

“Ya udah… kalian langsung pulang aja,” kata Papa sambil menyeret kopernya ke dalam pintu gerbang.

Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam mobil Papa lagi. Sementara Mamie jadi duduk di depan, di samping kiriku.

Ternyata rumah Mamie yang di Jakarta itu dekat sekali dengan bandara Soekarno-Hatta. Tinggal keluar menuju Tangerang, karena rumah Mamie tepatnya berada di Tangerang. Bukan di Jakartanya benar.

Tapi setibanya di rumah megah itu, Mamie menjelaskan bahwa semua rumahnya yang di kota-kota lain berada di dekat bandara. Supaya gampang kalau mau menggunakan pesawat terbang ke kota tujuannya.

Ketika kami tiba di rumah megah itu, kulihat jam tanganku menunjukkan pukul jam 01.15 pagi.

Rumah yang hanya beberapa kilometer saja dari bandara Soetta itu dijaga oleh seorang satpam di dekat pintu gerbangnya. Sementara di dalamnya ada seorang pembantu wanita, yang bertugas untuk selalu merapikan dan membersihkan rumah megah itu. Ternyata wanita itu istri satpam yang sedang menjaga di dekat pintu gerbang itu.

“Sudah ngantuk, Sam?” tanya Mamie sambil membuka salah satu pintu kamar.

“Belum terlalu Mam,” sahutku, “tadi di bandara kan sempet minum kopi juga.”

Ternyata pintu kamar yang Mamie buka itu menuju tiga ruangan. Tepatnya dua kamar tidur yang dibatasi oleh ruang cengkrama. Di ruang cengkrama itulah Mamie mengajakku duduk di sofa dan menunjuk ke pintu kamar yang di sebelah kiri, “Nanti kamu tidur di kamar itu, mamie tidur di kamar yang satunya lagi itu.

“Iya Mam. Tapi aku belum ngantuk,” sahutku sambil berdiri, “boleh nyetelin tivi?”

“Setel deh. Itu remote controlnya, “Mamie menunjuk ke remote control yang tergeletak di dekat televisi.

Aku bangkit dari sofa dan melangkah untuk mengambil remote control televisi. Lalu kuaktifkan televisi layar lebar itu. Tapi setelah dipilih-pilih tak ada acara yang menarik. Akhirnya kupilih channel musik saja, dengan volume perlahan. Lalu kembali ke arah sofa yang kududuki tadi. Tapi Mamie malah menelungkup di sofa itu, sambil berkata, “Sam…

“Iya Mam,” sahutku canggung. Sambil memperhatikan Mamie yang sedang menelungkup di sofa. Mamie belum ganti baju. Masih mengenakan gaun terusan yang terbuat dari bahan beludru hitam. Gaun terusan itu lumayan pendek, sehingga ketika Mamie menelungkup, betis dan sebagian pahanya yang begitu putih dan mulus itu tampak jelas di mataku.

“Mau dipijitin di sini aja Mam?” tanyaku di dekat sofa yang sedang Mamie pakai menelungkup.

“Iya,” sahut Mamie, “kamu duduk aja sambil nonton tivi. Gak usah terlalu serius mijitnya. Yang penting pijit-pijit sembarangan aja. Pegel-pegel banget betisnya Sam.”

“Iya Mam,” sahutku sambil duduk nyempil di sofa. Di dekat lutut Mamie.

Lalu aku mulai memijati betis Mamie seperti yang diinginkan oleh ibu tiri keduaku itu. Dengan perasaan mulai tak menentu. Bahkan ada pikiran, apakah aku akan mengalami hal yang sama sreperti dengan Mama? Aaah, sebaiknya kusingkirkan pikiran yang bukan-bukan itu. Mamie ini ibu tiri yang menjanjikan.

“Kamu pernah mijitin Mama, Sam?” tanya Mamie ketika aku mulai sungguh-sungguh memijati betisnya yang putih mulus dan terasa padat sekali ini.

“Belum pernah Mam. Kalau Papa suka nyuruh mijitin. Tapi itu pun dahulu, waktu aku masih di SMP.”

“Kalau ada Papa, mamie selalu tidur dalam pelukan dia Sam. Sekarang Papa nggak ada. Kamu mau tidur sama mamie dan melukin mamie?” tanya Mamie membuatku sulit menjawabnya.

“Memangnya boleh Mam?” aku balik bertanya.

“Why not?! Ayolah… kamu tidur di kamar mamie aja,” ucap Mamie sambil bangkit dan berdiri. Lalu menarik pergelangan tanganku menuju kamarnya yang di sebelah kanan itu.

Kuikuti saja langkah Mamie masuk ke dalam kamarnya. Meski sambil bergumam, “Kalau Papa tau aku tidur sama Mamie, pasti Papa marah Mam.”

“No no no…! “Mamie menggoyangkan telapak tangannya, “Papa malah nyuruh mamie tidur sama Sam selama dia di luar negeri.”

“Ohya?! “aku nyaris tidak percaya pada ucapan Mamie itu.

Tapi kata Mamie, “Kalau nggak percaya, tanyain sendiri kalau Papa nelepon besok.”

Aku cuma bengong. Lalu duduk di sofa putih yang agak jauh dari bed Mamie.

“Kamu bawa pakaian ganti Sam?” tanya Mamie.

“Bawa,” sahutku, “tapi cuma satu stel Mam. Buat pulang nanti.”

“Kalau gitu, pakai aja kimono Papa di lemari itu… ambil aja sendiri. Banyak yang masih baru dan belum pernah dipakai oleh Papa tuh.”

“Iya Mam,” sahutku sambil bangkit dari sofa dan melangkah ke lemari yang Mamie tunjukkan itu. Sementara Mamie sendiri membuka lemari yang satunya lagi, lalu tmapak mengeluarkan sehelai kimono sutera berwarna orange dengan corak yang belum jelas di mataku.

Kukeluarkan sehelai kimono putih yang masih terlipat dan tampak seperti belum pernah dipakai oleh Papa. Kimono itu terbuat dari bahan handuk, Dan langsung kubawa ke dalam kamar mandi Mamie. Di situlah aku menanggalkan segala yang melekat di tubuhku, lalu kukenakan kimono baru itu. Terasa ngepas juga di badanku.

Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat Mamie sudah mengenakan kimono, rebahan di bednya yang lebar sekali. Mungkin dalam keadaan darurat, dipakai tidur oleh lima orang juga bisa muat.

Dengan canggung aku duduk di pinggiran bed itu. Tapi Mamie menarik tanganku agak kuat, sehingga aku terhempas ke sampingnya. Pada saat berikutnya, aku dan Mamie jadi sama-sama rebah miring dan berhadapan…

Lanjut bagian berikutnya 

Cerita Sex Lainnya

Cerita Sex Pilihan

Komentar Kamu